Belajar Agama dari Guru yang Kurang Ilmu

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaykum
Ustadz farid nu’man yg dirahmati Allah. Ana ingin bertanya, bagaimanakah sebaiknya sikap seorang penuntut ilmu jika ia mendapati guru mengajinya memiliki kapasitas keilmuan agama yg sedikit? Apakah ada dalilnya jika seorang pengajar agama (da’i) harus berlatar belakang pendidikan dari universitas islam?
Jazakalloh khayr atas jawabaanya
Wassalamu’alaykum

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ba’d:

📌Kondisi Ideal

Idealnya memang kita menuntut ilmu kepada guru-guru yang expert. Menguasai banyak bidang seperti Al Quran dan tafsir, Hadits baik riwayah maupun dirayah, fiqih dan ushul fiqih, sirah nabawiyah, bahasa Arab, ilmu akhlak, dan sebagainya. Tetapi, jika kita mencari guru yang “ensiklopedi” seperti itu, entah di belahan bumi mana adanya.

Oleh karena itu ambil-lah dari kelebihan seorang guru pada bidang yang dia mampu, walau dia kurang menguasai sisi lainnya. Sisi lainnya kita bisa ambil dari guru lainnya.

Pepatah mengatakan:

“Jangan mencari guru yang ideal sebab dupa yang wangi pun tetap mengeluarkan asap.”

Kemudian, apakah harus menuntut ilmu kepada yang berlatar belakang universitas agama? Tidak harus tapi itu idealnya, sebab tanggung jawab ilmiah lebih otoritatif.

Yang terpenting adalah dia ahli dalam bidangnya dan bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah apa yang diajarkannya.

Sebagaimana hadits;

إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

Jika urusan duberijan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya. (HR. Al Bukhari No. 59)

Menjadi ahli bisa dilakukan berguru secara formal dan informal, baik di kampus resmi atau mendatangi majelis ilmu para ulama.

Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi, adalah seorang sarjana ilmu komputer, tapi juga seorang ahli fiqih. Yang seperti Beliau tentu banyak.

Wallahu A’lam

🌴🌻🍃🌾☘🌺🌸🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Fiqih Sujud Tilawah pada Ayat Sajadah (Bag 2)

▪▫▪▫▪▫▪▫

📌 Kapankah dilakukan sujud Tilawah?

Sujud tilawah dilakukan jika ayat sajadah sdh selesai dibaca, ada pun jika belum selesai dibaca walau satu huruf maka tidak sah.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ سُجُودِ التِّلاَوَةِ دُخُول وَقْتِ السُّجُودِ، وَيَحْصُل ذَلِكَ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ بِقِرَاءَةِ جَمِيعِ آيَةِ السَّجْدَةِ أَوْ سَمَاعِهَا، فَلَوْ سَجَدَ قَبْل الاِنْتِهَاءِ إِلَى آخِرِ الآْيَةِ وَلَوْ بِحَرْفٍ وَاحِدٍ لَمْ يَصِحَّ السُّجُودُ؛ لأَِنَّهُ يَكُونُ قَدْ سَجَدَ قَبْل دُخُول وَقْتِ السُّجُودِ فَلاَ يَصِحُّ، كَمَا لاَ تَصِحُّ الصَّلاَةُ قَبْل دُخُول وَقْتِهَا

Disyaratkan untuk sahnya sujud tilawah yaitu masuknya waktu sujud. Menurut mayoritas ulama hal itu terjadi dengan membaca semua ayat sajadah atau mendengarkannya, Seandainya sujud sebelum selesai di akhir ayat walau satu huruf maka tidak sah sujudnya, sebab sujud sebelum waktunya tidaklah sah, sebagaimana tidak sahnya shalat sebelum waktunya.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 24/215)

📌 Bagaimana caranya?

Sujud tilawah hanya satu kali, dan dilakukan dengan dua takbir yaitu takbir hendak sujud dan takbir saat bangun dari sujud, menempelkan ke tempat sujud; dahi, hidung, dua telapak tangan, lutut, dan ujung kaki, semuanya mengarah ke kiblat.

Dalam Al Mausu’ah tertulis:

اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ سُجُودَ التِّلاَوَةِيَحْصُل بِسَجْدَةٍ وَاحِدَةٍ، وَذَهَبَ جُمْهُورُهُمْ إِلَى أَنَّ السَّجْدَةَ لِلتِّلاَوَةِ تَكُونُ بَيْنَ تَكْبِيرَتَيْنِ، وَأَنَّهُ يُشْتَرَطُ فِيهَا وَيُسْتَحَبُّ لَهَا مَا يُشْتَرَطُ وَيُسْتَحَبُّ لِسَجْدَةِ الصَّلاَةِ مِنْ كَشْفِ الْجَبْهَةِ وَالْمُبَاشَرَةِ بِهَا بِالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَالْقَدَمَيْنِ وَالأَْنْفِ، وَمُجَافَاةِ الْمِرْفَقَيْنِ مِنَ الْجَنْبَيْنِ وَالْبَطْنِ عَنِ الْفَخِذَيْنِ، وَرَفْعِ السَّاجِدِ أَسَافِلَهُ عَنْ أَعَالِيهِ وَتَوْجِيهِ أَصَابِعِهِ إِلَى الْقِبْلَةِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ

Para ahli fiqih sepakat bahwa sujud tilawah telah hasil dengan sekali sujud. Mayoritas mereka mengatakan bahwa sujud tilawah terjadi diantara dua kali takbir. Sesungguhnya didalamnya disyaratkan dan disunnahkan apa-apa yang disyaratkan dan disunnahkan dalam sujud shalat baik berupa membuka dahi (kening/jidat), dua tangan bersentuhan langsung, juga lutut, dua telapak kaki, hidung, menjauhkan dua siku dari bagian samping badan, menjauhkan perut dari kedua pahanya, dan menghadapkan jari jemarinya ke kiblat.

(Al Mausu’ah, 24/221)

Masalah takbir dalam sujud tilawah ini disebutkan dalam berbagai madzhab, seperti Hanafiyah (Bada’i Shana’i, 1/188), Malikiyah (Al Mudawanah, 1/278), Syafi’iyah (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/63), dan Hambaliyah (Al Mughni, 1/686).

Semetara Imam Al Ghazali mengatakan tidak dianjurkan bertakbir, namun Imam An Nawawi mengkritiknya dan menyebutnya sebagai pendapat yang syadz (janggal). (Al Majmu’, 4/63)

📌 Apa yang dibaca saat sujud tilawah?

Pada bagian yg pertama sudah disebutkan bacaan sujud tilawah yang dicontohkan oleh Nabi ﷺ, diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, inilah yang Sunnah. Silahkan lihat lagi.

Lalu, apakah boleh membacanya dengan bacaan sujud biasanya?

Boleh saja, Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

ولو ‏قال ما يقول في سجود صلاته جاز، ثم يرفع رأسه مُكبّراً كما يرفع من سجود الصلاة

Seandainya membaca seperti bacaan dalam sujud shalat maka itu BOLEH, kemudian dia angkat kepalanya sambil bertakbir sebagaimana dia bangun pada sujud shalat. (Raudhatuth Thalibin, Hal. 322)

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

ويقول الساجد في سجود التلاوة ما يقوله في غيره من السجود ويستحب أن يقول ما رواه الترمذي وصححه عن عائشة …

Orang yang sujud tilawah hendaknya membaca apa yang dibaca sujud lainnya. Dan disunnahkan membaca seperti yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi dan dishahihkannya, dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha .. (lalu disebutkan bacaan seperti yang sdh kami sebutkan).

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 73514)

(Bersambung ..)

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷 💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Fiqih Sujud Tilawah pada Ayat Sajadah (Bag 1)

▫▪▫▪▫▪▫▪

📌 Dalil-Dalil:

Pertama.

قَالَ أَبُو بَكْرٍ وَكَانَ رَبِيعَةُ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ عَمَّا حَضَرَ رَبِيعَةُ مِنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَرَأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ بِسُورَةِ النَّحْلِ حَتَّى إِذَا جَاءَ السَّجْدَةَ نَزَلَ فَسَجَدَ وَسَجَدَ النَّاسُ حَتَّى إِذَا كَانَتْ الْجُمُعَةُ الْقَابِلَةُ قَرَأَ بِهَا حَتَّى إِذَا جَاءَ السَّجْدَةَ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا نَمُرُّ بِالسُّجُودِ فَمَنْ سَجَدَ فَقَدْ أَصَابَ وَمَنْ لَمْ يَسْجُدْ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَلَمْ يَسْجُدْ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
وَزَادَ نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَفْرِضْ السُّجُودَ إِلَّا أَنْ نَشَاءَ

Berkata, Abu Bakar; “Rabi’ah adalah orang yang paling baik dalam mengisahkan segala hal yang berasal dari majelis ‘Umar bin Al Khaththob radliallahu ‘anhu, saat hari Jum’at, ‘Umar bin Al Khaththab radhiallahu ‘anhu membaca surah An-Nahl dari atas mimbar hingga ketika sampai pada ayat sajadah, dia turun dari mimbar lalu melakukan sujud tilawah. Maka orang-orang pun turut melakukan sujud. Kemudian pada waktu shalat Jum’at berikutnya dia membaca surat yang sama hingga ketika sampai pada ayat sajadah dia berkata: “Wahai sekalian manusia, kita telah membaca dan melewati ayat sajadah. Maka barangsiapa yang sujud, benarlah dia. Namun yang tidak melakukan sujud tidak ada dosa baginya. Dan ‘Umar bin Al Khaththab radhiallahu ‘anhu tidak melakukan sujud”. Nafi’ menambahkan dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma: “Allah subhanahu wata’ala tidaklah mewajibkan sujud tilawah. Kecuali siapa yang mau silakan melakukannya”.

(HR. Bukhari no. 1077)

Kedua

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي سُجُودِ الْقُرْآنِ بِاللَّيْلِ يَقُولُ فِي السَّجْدَةِ مِرَارًا سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha ia berkata; ” Rasulullah ﷺ ketika melakukan sujud Al Qur’an (sajdah) pada malam hari beliau mengucapkan beberapa kali: ” SAJADA WAJHIYA LILLADZII KHALAQAHU WA SYAQQA SAM’AHU WA BASHARAHU BIHAULIHI WA QUWWATIHI” (Wajahku bersujud kepada Dzat yang telah menciptakannya dan telah membuka pendengaran serta penglihatannya dengan daya dan kekuatanNya).

(HR. Abu Daud no. 1414, Shahih)

📌 Hukumnya

Kedua riwayat di atas menunjukkan sujud tilawah di saat mendengar atau membaca ayat sajadah adalah disyariatkan, yaitu SUNNAH, bukan kewajiban, sebagaimana hadits pertama bahwa Umar Radhiallahu Anhu mengatakan tidak dosa bagi yang tidak melakukannya. Ini adalah pendapat umumnya ulama kecuali Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya yang mengatakan wajib.

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

إِنَّمَا قَوْلُهُ وَمَنْ لَمْ يَسْجُدْ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ظَاهِرٌ فِي عَدَمِ الْوُجُوبِ قَوْلُهُ وَلَمْ يَسْجُدْ عُمَرُ فِيهِ تَوْكِيدٌ لِبَيَانِ جَوَازِ تَرْكِ السُّجُودِ بِغَيْرِ ضَرُورَةٍ

Sesungguhnya ucapan Umar: “Siapa yang tidak sujud maka tidak ada dosa baginya” secara zahir menunjukkan tidak wajib. Dan perkataan: “Umar tidak sujud”, menjadi penegas yang menjelaskan bolehnya meninggalkan sujud tilawah tanpa adanya sebab mendesak sama sekali.

(Fathul Bari, 2/559)

Imam Ibnu Baththal Rahimahullah mengatakan:

اختلف الفقهاء فى سجود القرآن، فقال مالك، والليث، والأوزاعى، والشافعى: سجود القرآن سنة، وقال أبو حنيفة: هو واجب، واحتج أصحابه لوجوبه بقوله تعالى: (وإذا قرئ عليهم القرآن لا يسجدون) [الانشقاق: ٢١] ، قالوا: والذم لا يتعلق إلا بترك الواجبات، وبقوله: (واسجد واقترب) [العلق: ١٩] ، وقالوا: هذا أمر. قال ابن القصار: فالجواب أن الذم هاهنا للكفار بأنهم لا يؤمنون وإذا قرئ عليهم القرآن لا يسجدون، فعلق الذم بترك الجميع؛ لأنهم لو سجدوا ألف مرة فى النهار مع كونهم كفارًا كان الذم لاحقًا بهم، فعلمنا أن الذم لم يختص السجود، ويزيد هذا بيانًا قوله تعالى: (بل الذين كفروا يكذبون) [الانشقاق: ٢٢] ، فلم يقع الوعيد إلا على التكذيب، وقوله: (واسجد واقترب) [العلق: ١٩] ، هو أمر له بالصلاة وتعليم له، وقد تقدم أن سجود القرآن إنما هو ما جاء بلفظ الخبر، وما جاء بلفظ الأمر إنما هو إعلام له بالصلاة وأمر له بالسجود فيها

Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hukum sujud membaca Al Qur’an. Malik, Al Laits, Al Awza’iy, Asy Syafi’iy mengatakan: sujud membaca Al Qur’an adalah SUNNAH.

Abu Hanifah mengatakan: WAJIB. Para sahabatnya beralasan dengan firman Allah Ta’ala: “Jika dibacakan Al Qur’an kepada mereka, mereka tidak bersujud.” (QS. Al Insyiqaq: 21)
Menurut mereka, celaan dalam ayat ini tidak akan terjadi kecuali karena meninggalkan kewajiban.

Alasan lain, ayat: “Sujudlah dan mendekatlah” (QS. Al ‘Alaq: 19). Menurut mereka: ini adalah perintah.

Ibnul Qushar berkata: “Jawaban (untuk pendapat Abu Hanifah) adalah bahwa celaan dalam ayat ini untuk orang kafir, karena mereka orang yang tidak beriman, disaat dibacakan Al Qur’an mereka tidak bersujud. Jadi, celaan di sini kaitannya karena meninggalkan semuanya, sebab walau mereka sujud 1000 kali di siang hari tapi keadaannya masih kafir maka celaan itu tetap untuk mereka, maka kita tahu bahwa celaan ini tidak khusus tentang sujud.

Sebagai penjelasan tambahan, Allah Ta’ala berfirman: “Tetapi orang-orang kafir itu mendustakan ayat-ayat Allah” (QS. Al Insyiqaq: 22), maka tidak ada ancaman kecuali bagi yg mendustakan.

Kemudian, ayat: “Sujudlah dan mendekatlah (kepada Allah).” (QS. Al ‘Alaq: 19), adalah tentang perintah shalat dan pengajaran untuknya. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa riwayat tentang sujud tilawah tidak ada yang bentuk perintah, tapi khabar (pemberitaan). Tidak ada lafaz dalam bentuk perintah kecuali pada shalat dan sujud ada didalamnya.

(Syarh Shahih Al Bukhari, 3/61-62)

📌 Haruskah Dalam Keadaan Suci?

Ya, mayoritas ulama mengatakan WAJIB dalam keadaan suci, sebagaimana shalat. Inilah pendapat empat madzhab.

Namun, sebagian lain mengatakan tanpa bersuci tetap sah, inilah pendapat Ibnu Umar, Asy Sya’biy, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Asy Syaukaniy, termasuk Al Lajnah Ad Daimah Arab Saudi.

Imam Al Qurthubi Rahimahullah menjelaskan:

ولا خلاف في أن سجود القرآن يحتاج إلى ما تحتاج إليه الصلاة من طهارة حدث ونجس ، ونية ، واستقبال قبلة ، ووقت . إلا ما ذكر البخاري عن ابن عمر أنه كان يسجد على غير طهارة . وذكره ابن المنذر عن الشعبي

Tidak ada perbedaan pendapat tentang sujud membaca Al Qur’an membutuhkan apa-apa yang dibutuhkan pada shalat yaitu berupa suci dari hadats dan najis, niat, menghadap kiblat dan waktunya. Kecuali apa yang disebutkan oleh Imam Al Bukhari, dari Ibnu Umar bahwa dia pernah sujud (tilawah) tanpa bersuci. Ibnul Mundzir juga menyebutkan dari Asy Sya’biy.

(Tafsir Al Qurthubi, 9/438)

Ada pun, Imam Asy Syaukaniy mengatakan:

ليس في أحاديث سجود التلاوة ما يدل على اعتبار أن يكون الساجد متوضئا ، وقد كان يسجد معه – صلى الله عليه وسلم – من حضر تلاوته ، ولم ينقل أنه أمر أحدا منهم بالوضوء

Dalam hadits sujud tilawah tidak ada hal yang menunjukkan bahwa orang yang bersujud mesti dalam keadaan wudhu. Dahulu, orang-orang yang bersama Nabi ﷺ ikut sujud bersamanya, tapi tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Beliau memerintahkan satu pun mereka untuk berwudhu.

(Nailul Authar, 5/348)

Namun, bersuci adalah sikap yang lebih hati-hati dan aman.

Bersambung …

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷 💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Air Mani Keluar Sendiri, Batalkah Puasanya?

▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

assalamu’alaikum pak ustadz.suami saya mau tanya.Begini ustad,suami saya umurnya 60 thn.beliau sering tanpa disadari mengeluarkan cairan putih spt air biasa tapi licin(maaf) dari kemaluannya(mani encer kali y)padahal suami saya dikatakan hilang rasa birahi juga gak sama sekali sih hanya agak hilang aja.saat puasa skrg ini sering keluar jg siang hari tanpa sebab gt.apakah ini membatalkan puasanya pak ustadz?sebab beliau sdh bertanya dg ulama tempat kami (2 org)dan di wa group ustadz Somad katanya batal puasanya.bgmn yg sbnrnya ustadz?mohon penjelasannya.wassalam🙏

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Yg perlu diperjelas adalah apakah itu benar air mani?

Dalam Dustur Al ‘Ulama:

الْمَنِيُّ هُوَ الْمَاءُ الأْبْيَضُ الَّذِي يَنْكَسِرُ الذَّكَرُ بَعْدَ خُرُوجِهِ وَيَتَوَلَّدُ مِنْهُ الْوَلَدُ

Air mani adalah air berwarna putih yang membuat   kemaluan lemas setelah keluarnya, dan terbentuknya bayi adalah berasal darinya. (Dustur Al ‘Ulama, 3/361)

Apakah si bapak itu lemas setelah keluar cairan tersebut?

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah memberikan penjelasan tentang MADZI:

وهو ماء أبيض لزج يخرج عند التفكير في الجماع أو عند الملاعبة، وقد لا يشعر الانسان بخروجه، ويكون من الرجل والمرأة إلا أنه من المرأة أكثر، وهو نجس باتفاق العلماء

Itu adalah air berwarna putih agak kental yang keluar ketika memikirkan jima’ atau ketika bercumbu, manusia tidak merasakan keluarnya, terjadi pada laki-laki dan wanita hanya saja wanita lebih banyak keluarnya, dan termasuk najis berdasarkan kesepakatan ulama.

(Fiqhus Sunnah, 1/26. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Apa perbedaan MANI dengan MADZI?

وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْمَذْيِ وَالْمَنِيِّ أَنَّ الْمَنِيَّ يَخْرُجُ بِشَهْوَةٍ مَعَ الْفُتُورِ عَقِيبَهُ ، وَأَمَّا الْمَذْيُ فَيَخْرُجُ عَنْ شَهْوَةٍ لاَ بِشَهْوَةٍ وَلاَ يَعْقُبُهُ فُتُورٌ

Perbedaan antara madzi dan mani adalah, bahwa mani keluar dibarengi dengan syahwat dan keadaan lemas setelah keluarnya, ada pun madzi bisa keluar dengan syahwat dan tanpa syahwat, dan tidak membuat lemas setelah keluarnya.

(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/141, Fathul Qadir, 1/42)

Jadi, jika dia setelah itu lemas, dibarengi rasa enak saat keluarnya, maka itu mani. Ada pun keenceran itu terkait dgn produksi spermanya. Tp, reaksi dasarnya “lemas” dan “rasa enak” saat keluar itulah mani.

Jika ini tidak ada, MAKA ITU BUKAN MANI.

ANGGAPLAH ITU MANI

Kemudian, anggaplah itu mani .., karena keluarnya tidak melalui kesengajaan bukan karena dengan tangan, memeluk, menggesekkan ke istri ..dll, alias keluar sendiri apakah ini membatalkan? TIDAK menurut mayoritas ulama. Bahkan walau dibarengi dgn MEMIKIRKAN dan MENGHAYALKAN, tetap tidak batal.

Dalam Al Mausu’ah:

إِنْزَال الْمَنِيِّ بِالنَّظَرِ أَوِ الْفِكْرِ ، فِيهِ التَّفْصِيل الآْتِي : – مَذْهَبُ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ إِلاَّ قَلِيلاً مِنْهُمْ أَنَّ الإِْنْزَال بِالْفِكْرِ – وَإِنْ طَال – وَبِالنَّظَرِ بِشَهْوَةٍ ، وَلَوْ إِلَى فَرْجِ الْمَرْأَةِ مِرَارًا ،لاَ يُفْسِدُ الصَّوْمَ ، وَإِنْ عَلِمَ أَنَّهُ يُنْزِل بِهِ ، لأَِنَّهُ إِنْزَالٌ مِنْ غَيْرِ مُبَاشَرَةٍ ، فَأَشْبَهَ الاِحْتِلاَمَ . قَال الْقَلْيُوبِيُّ : النَّظَرُ وَالْفِكْرُ الْمُحَرِّكُ لِلشَّهْوَةِ ، كَالْقُبْلَةِ ، فَيَحْرُمُ وَإِنْ لَمْ يُفْطِرْ بِهِ.
وَمَذْهَبُ الْمَالِكِيَّةِ أَنَّهُ إِنْ أَمْنَى بِمُجَرَّدِ الْفِكْرِ أَوِ النَّظَرِ ، مِنْ غَيْرِ اسْتِدَامَةٍ لَهُمَا ، يَفْسُدُ صَوْمُهُ وَيَجِبُ الْقَضَاءُ دُونَ الْكَفَّارَةِ

Keluarnya air mani karena melihat atau memikirkan, ada perincian: Madzhab Hanafiy dan Syafi’iy -kecuali sebagian kecil saja dari mreeka- bahwa keluarnya mani karena memikirkan walau pun lama, atau karena melihat dengan syahwat walau ke kemaluan wanita berkali-kali TIDAKLAH MEMBATALKAN PUASA, sebab keluarnya mani bukan karena mubasyarah, maka ini serupa dengan mimpi basah. Al Qalyubi berkata: “Penglihatan, khayalan, yang membangkitkan syahwat seperti mencium adalah HARAM walau TIDAK MEMBATALKAN PUASA.

Ada pun madzhab Malikiyah, bahwa semata-mata keluar mani gara-gara memikirkan a

tau melihat, walau tanpa terus-terusan maka itu membatalkan puasanya dan wajib qadha, tanpa kafarah.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 28/33-34)

Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:

فإن كان سببه مجرد النظر، أو الفكر، فإنه مثل الاحتلام نهارا في الصيام لا يبطل الصوم، ولا يجب فيه شئ.
وكذلك المذي، لا يؤثر في الصوم، قل، أو كثر.

Jika sebab keluarnya mani semata-mata karena melihat, atau memikirkan, maka itu serupa dgn mimpi basah di siang hari saat puasa, itu tidak membatalkan puasa, dan tidak ada kewajiban apa pun.

Demikian pula madzi sama sekali tidak ada pengaruhnya bagi puasanya, baik sedikit atau banyak.

(Fiqhus Sunnah, 1/466)

Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan:

عن عمرو بن هرم قال : سئل جابر بن زيد عن رجل نظر إلى امرأته في رمضان فأمنى من شهوتها هل يفطر ؟ قال : لا ، و يتم صومه

Dari Amru bin Haram, bahwa Jabir bin Zaid ditanya tentang laki-laki yang melihat istrinya pada bulan Ramadhan lalu keluar mani-nya karena syahwat, apakah batal puasanya? Beliau menjawab: “TIDAK, hendaknya dia lanjutkan puasanya.”

(Al Mushannaf, 2/170/1)

Maka, kasus yg ditanyakan ini masih lebih ringan .. tidak memikirkan, tidak menghayal, tidak melihat yang porno, tidak syahwat, tapi keluar sendiri .. maka lebih menunjukkan bahwa itu tidak batal sebagaimana penjelasan di atas.

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷 💐

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top