💦💥💦💥💦💥
📨 PERTANYAAN:
Assalamu’alaykum
Ustadz farid nu’man yg dirahmati Allah. Ana ingin bertanya, bagaimanakah sebaiknya sikap seorang penuntut ilmu jika ia mendapati guru mengajinya memiliki kapasitas keilmuan agama yg sedikit? Apakah ada dalilnya jika seorang pengajar agama (da’i) harus berlatar belakang pendidikan dari universitas islam?
Jazakalloh khayr atas jawabaanya
Wassalamu’alaykum
📬 JAWABAN
🍃🍃🍃🍃
Wa’alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ba’d:
📌Kondisi Ideal
Idealnya memang kita menuntut ilmu kepada guru-guru yang expert. Menguasai banyak bidang seperti Al Quran dan tafsir, Hadits baik riwayah maupun dirayah, fiqih dan ushul fiqih, sirah nabawiyah, bahasa Arab, ilmu akhlak, dan sebagainya. Tetapi, jika kita mencari guru yang “ensiklopedi” seperti itu, entah di belahan bumi mana adanya.
Oleh karena itu ambil-lah dari kelebihan seorang guru pada bidang yang dia mampu, walau dia kurang menguasai sisi lainnya. Sisi lainnya kita bisa ambil dari guru lainnya.
Pepatah mengatakan:
“Jangan mencari guru yang ideal sebab dupa yang wangi pun tetap mengeluarkan asap.”
Kemudian, apakah harus menuntut ilmu kepada yang berlatar belakang universitas agama? Tidak harus tapi itu idealnya, sebab tanggung jawab ilmiah lebih otoritatif.
Yang terpenting adalah dia ahli dalam bidangnya dan bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah apa yang diajarkannya.
Sebagaimana hadits;
إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
Jika urusan duberijan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya. (HR. Al Bukhari No. 59)
Menjadi ahli bisa dilakukan berguru secara formal dan informal, baik di kampus resmi atau mendatangi majelis ilmu para ulama.
Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi, adalah seorang sarjana ilmu komputer, tapi juga seorang ahli fiqih. Yang seperti Beliau tentu banyak.
Wallahu A’lam
🌴🌻🍃🌾☘🌺🌸🌷
✏ Farid Nu’man Hasan