Kekuasaan dan Agama adalah Saudara Kembar

💦💥💦💥💦💥

Hujjatul Islam, Imam Al Ghazali Rahimahullah berkata:

فإن الدنيا مزرعة الآخرة، ولا يتم الدين إلا بالدنيا. والملك والدين توأمان؛ فالدين أصل والسلطان حارس، وما لا أصل له فمهدوم، وما لا حارس له فضائع، ولا يتم الملك والضبط إلا بالسلطان

“Sesungguhnya dunia adalah ladang bagi akhirat, tidaklah sempurna agama kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar; agama merupakan pondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin.”

📚 Imam Al Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, 1/17. Mawqi’ Al Warraq

🍃🌾🌸🌻🌴🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Pemuliaan Islam Terhadap Wanita

💦💥💦💥💦💥

📌 Kedudukannya sebagai ibu, wanita dalam Islam begitu dimuliakan, sampai dikatakan bahwa “Surga di bawah kedua kakinya.”

Dari Muawiyah bin Jaahimah, katanya:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَعْنِي جَاهِمَةَ – فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ فَجِئْتُكَ أَسْتَشِيرُكَ، فَقَالَ: ” هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ ؟ ” قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: ” فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا

Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah ﷺ -yaitu Jahimah-, dia berkata: Wahai Rasulullah, saya ingin ikut berperang, maka saya mendatangimu ingin bermusyawarah denganmu.” Maka Nabi bersabda: “Apakah kamu masih punya ibu?” Beliau menajwab: “Ya.” Nabi bersabda: “Berbaktilah kepadanya, sesungguhnya surga di bawah kedua kakinya.”

(HR. An Nasa’i No. 3104, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 7833. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak, 4/151, dan disepakati Imam Adz Dzahabi. Dishahihkan pula oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dalam Huququn Nisaa’, Hal. 195, Syaikh Al Albani: hasan. Lihat As Silsilah Adh Dhaifah, 2/59. Dalam Irwa’ul Ghalil (5/21), Syaikh Al Albani berkata: “Tetapi hadits ini dengan semua jalurnya adalah shahih.”)

📌 Kedudukannya sebagai istri juga sangat dimuliakan, maka perhatikanlah wahai para suami ..

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

Sebaik-baik kamu adalah yang pang baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang terbaik terhadap istriku.

(HR. At Tirmidzi No. 3895, Ibnu Majah No. 1977, Ad Darimi No. 2260, dll. Imam At Tirmidzi berkata: hasan gharib shahih. Hadits ini juga dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, Syaikh Husein Salim Asad, dll)

📌Kedudukan sebagai anak, sebagai hijab dari api neraka bagi kedua orang tuanya

Jika pada masa Arab Jahiliyah mereka begitu memiliki anak perempuan, tetapi dalam Islam anak perumpuan sangat dimuliakan.

Dari ‘Auf bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ كُنَّ لَهُ ثَلَاثُ بَنَاتٍ أَوْ ثَلَاثُ أَخَوَاتٍ، أَوْ بِنْتَانِ أَوْ أُخْتَانِ، اتَّقَى اللهَ فِيهِنَّ، وَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ حَتَّى يَبِنَّ أَوْ يَمُتْنَ، كُنَّ لَهُ حِجَابًا مِنَ النَّارِ

Barang siapa yang memiliki tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan, atau dua anak perempuan atau dua saudara perempuan, lalu mereka bertaqwa kepada Allah dalam mengurus mereka, dan berbuat baik kepada mereka, sampai mereka wafat, maka baginya akan terhalang dari api neraka.

(HR. Ahmad No. 23991. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih lighairih. Ta’liq Musnad Ahmad No. 23991)

Bagaimana jika hanya punya satu anak perempuan? Sama juga, dia akan terhalang dari api nereka, sebagaimana hadits lain berikut ini:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu “anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

” مَنْ كَانَ لَهُ ثَلَاثُ بَنَاتٍ، فَصَبَرَ عَلَى لَأْوَائِهِنَّ ، وَضَرَّائِهِنَّ ، وَسَرَّائِهِنَّ، أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُنَّ “، فَقَالَ رَجُلٌ: أَوْ ثِنْتَانِ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ: ” أَوِ اثِنْتَانِ “، فَقَالَ رَجُلٌ: أَوْ وَاحِدَةٌ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ: ” أَوْ وَاحِدَةٌ “

Barang siapa yang memiliki tiga anak perempuan, lalu dia bersabar atas susah dan senangnya, maka Allah akan memasukannya ke dalam surga lantaran rahmatNya kepada anak-anak itu. “ Seorang laki-laki bertanya: “Bagaimana kalau hanya dua anak perempuan wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Dua anak perempuan juga.” Dia bertanya lagi: “Atau kalau satu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Walaupun satu anak perempuan.”

(HR. Ahmad No. 8425. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan lighairih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 8425)

So, tidak usah menunggu 21 April untuk memuliakan wanita, sebab sudah 15 Abad yang lalu Islam memuliakan mereka.

Wallahu A’lam. Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam.

☘🌺🌴🌻🍃🌾🌸🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Hukum Laki-Laki Memakai Baju Merah

💦💥💦💥💦💥

Laki-laki memakai pakaian merah tidak lepas dari dua keadaan:

1.       Merah bercampur warna lain, atau ada corak lain. Ini sepakat kebolehannya. Hadits-hadits yang melarang pakaian merah itu konteksnya jika merahnya polos.

وأما أحاديث النهي فهي خاصة بما كان أحمر خالصا لا يخالطه شيء

Ada pun hadits-hadits yang menunjukkan larangan itu spesial untuk merah murni tanpa ada campuran lainnya. (Al Mausu’ah, 6/132)

2.       Seluruhnya merah, tanpa ada corak sama sekali. Baik corak itu garis, lengkung, warna lain, atau bentuk apa saja. Semuanya tidak ada, murni merah dan polos.

Untuk kasus ini, ada dua pendapat ulama:

Pendapat Pertama. Sebagaian Pihak yang mengatakan MERAH POLOS, tanpa campuran warna lain, hal itu terlarang yaitu makruh.

 ذهب بعض الحنفية والحنابلة إلى القول بكراهة لبس ما لونه أحمر متى كان غير مشوب بغيره من الألوان للرجال دون النساء

Sebagaian Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat  dengan pendapat makruhnya memakai pakaian merah selama tidak ada campuran warna lain, ini berlaku buat kaum pria bukan wanita. (Al Mausu’ah, 6/132)

Alasannya sebagai berikut:

1.       Al Bara bin ‘Azib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

نهانا النبي صلى الله عليه وسلم عن المياثر الحمر والقسي

Nabi ﷺ melarang kami memakai ranjang berwarna merah dan pakaian campuran sutera. (HR. Al Bukhari No. 5838)

2.       Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ عَلَيْهِ ثَوْبَانِ أَحْمَرَانِ، فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Lewat di hadapan Nabi ﷺ seorang laki-laki yang memakai dua lembar pakaian berwarna merah, dia mengucapkan salam kepadanya, tetapi Nabi ﷺ tidak menjawabnya. (HR. At Tirmidzi No. 2807, katanya: hasan gharib. Abu Daud No. 4069, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7399. Katanya: shahih. Disepakati oleh Imam Adz Dzahabi penshahihannya. Tetapi, didhaifkan oleh Syaikh Al Albani. (Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2807. Al Hafizh Ibnu Hajar menilainya cacat, karena ada seorang perawi yang dha’if. (Fathul Bari, 10/306) )

Imam At Tirmdzi berkata:

وَمَعْنَى هَذَا الحَدِيثِ عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ أَنَّهُمْ كَرِهُوا لُبْسَ الْمُعَصْفَرِ، وَرَأَوْا أَنَّ مَا صُبِغَ بِالحُمْرَةِ بِالمَدَرِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ، فَلاَ بَأْسَ بِهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ مُعَصْفَرًا

Maksud hadits ini adalah, menurut para ulama, mereka memakruhkan pakaian yang tercelup oleh ‘ushfur (merah), dan mereka memandang tidak mengapa pakaian celupan merah atau selainnya jika bukan berasal dari ‘ushfur (mu’ashfar). (Sunan At Tirmidzi No. 2807)

Pendapat Kedua. Sebagian Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah mengatakan BOLEH.

وذهب بعض الحنفية والمالكية والشافعية إلى القول بجواز لبس الثوب الأحمر الخالص غير المزعفر والمعصفر

Sebagian Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat BOLEHnya pakaian berwarna merah murni tanpa tercampur oleh za’faran dan ‘ushfur. (Al Mausu’ah, 6/132)

Dalilnya adalah:

1.       Dari Al Bara bin ‘Azib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرْبُوعًا، وَقَدْ رَأَيْتُهُ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ، مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْهُ

Nabi ﷺ adalah orang yang berperawakan sedang, aku pernah melihatnya tengah memakai hullah (pakaian) berwarna merah, aku belum pernah lihat siapa pun yang setampan dirinya. (HR. Al Bukhari No. 5848)

Imam Ibnu Rajab mengutip dari Abu ‘Ubaid,  katanya: “Hullah di sini adalah dua lapis pakaian yaitu kain (Izaar) dan selendang (Ridaa’). Tidak  dinamakan Hullah kalau belum dua pakaian. Selesai.” (Fathul Bari, 2/436)

2.       Dari Abu Juhaifah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

….وخرج رسول الله – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – في حلة حمراء مشمرا، صلى إلى العنزة بالناس ركعتين، ورأيت الناس والدواب يمرون بين يدي العنزة

“ … Dan Rasulullah ﷺ keluar dengan memakai  HULLAH berwarna merah  sepanjang sampai setengah betis, Beliau shalat menghadap tombak bersama manusia sebanyak dua rakaat, aku melihat orang-orang dan hewan lalu lalang di depan tombaknya.          (HR. Bukhari No. 376, Muslim No. 503)

Menurut Imam Ibnu Rajab, riwayat ini menjadi dalil bolehnya shalat memakai pakaian merah (Ats Tsaub Al Ahmar). (Fathul Bari, 2/436)

Walau pun  di hadits ini di sebut HULLAH, tetapi Imam Ibnu Rajab memahami secara umum pakaian, bukan hanya model hullah. Karena memang saat itu jenis seperti  hullah biasa di pakai. Hanya saja, definisi HULLAH MERAH dalam hadits ini oleh Sufyan Ats Tsauri dikatakan: mantel celupan tinta (Burdul Hibrah). Saat itu, yang dipakai oleh Nabi ﷺ   adalah mantel merah yang memiliki garis-garis, bukan merah seluruhnya. (Ibid, 2/437)

3.       Dari Hilal bin ‘Amir, dari ayahnya, katanya:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِنًى يَخْطُبُ عَلَى بَغْلَةٍ، وَعَلَيْهِ بُرْدٌ أَحْمَرُ  …..

Aku melihat Rasulullah ﷺ di Mina berkhutbah di atas Bighalnya, dan dia memakai mantel merah ….  (HR. Abu Daud No. 4073. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)

Imam Ibnul Qayyim menganggap bahwa mantel merah di sini adalah tidak polos, ada corak garisnya. Beliau pun menyalahkan para ulama yang menganggapnya polos. Pendapat Imam Ibnul Qayyim ini di kritik oleh para ulama, di antaranya Imam Asy Syaukani, seperti yang dikutip  Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim, kata beliau:

وقد زعم بن القيم أن الحلة الحمراء بردان يمانيان منسوجان بخطوط حمر مع الأسود وغلط من قال إنها كانت حمراء بحتا قال وهي معروفة بهذا الاسم ولا يخفاك أن الصحابي قد وصفها بأنها حمراء وهو من أهل اللسان والواجب الحمل على المعنى الحقيقي وهو الحمراء البحت

Ibnul Qayyim menyangka bahwa pakaian merah di sini adalah dua mantel Yaman yang terdapat jalinan garis warna merah dan hitam, dan salah pihak yang mengatakan bahwa itu adalah merah polos. Beliau (Asy Syaukahi) berkata: Hal ini sudah dikenal dengan nama ini, dan bukanlah rahasia lagi bahwa  sahabat  nabi telah mensifatinya bahwa pakaian itu adalah merah, dan dia pemilik bahasanya, maka wajib memaknainya dengan makna hakiki bahwa itu adalah MERAH POLOS. (‘Aunul Ma’bud, 11/85)

Kesimpulannya:

1.       Jika merahnya berasal dari ‘ushfur secara total (polos) sebagian ulama melarangnya.

2.       Jika merahnya bukan berasal dari ‘ushfur walau total (polos) sebagian ulama memandang  tidak apa-apa.

3.       Jika merahnya bergaris dan bercorak, baik dari ‘ushfur atau bukan, sama saja yakni tidak apa-apa.

Mengambil yang hati-hati lebih baik dan aman, yaitu tetap menghindari yang polos,  agar keluar dari perselisihan. Hari ini pun kelihatannya, tidak ada orang (pria) yang benar-benar memakai merah total dari atas sampai ke bawah (kaya pendekar), baik kemeja dan celana panjangnya, atau gamisnya, melainkan biasanya sudah ada kombinasinya.

Wallahu A’lam

🌴🌻🍃🌸🌾☘🌺🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Hukum Ibadah Dibarengi Niat dan Tujuan Duniawi, apakah Syirik?

📨 PERTANYAAN:

Asslm wrwb
Ustad Farid Nu’man, kalau puasa Daud dg niat spy sehat apakah termasuk syirik..?
Jazakallah khair
Atas jawaban ustad.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Ba’d:

Sesungguhnya Islam sangat perhatian kepada amal, terlebih lagi terhadap “pendorong” dibalik sebuah amal. Nilai sebuah amal ditentukan oleh pendorongnya itu, itulah niat.

Hal ini didasarkan pada hadits:

نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ

“Niat seorang mu’min lebih baik dari pada amalnya.” (HR. Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir, 6/185-186, dari Sahl bin Sa’ad As Saidi. Imam Al Haitsami mengatakan: “ Rijal hadits ini mautsuqun (terpercaya), kecuali Hatim bin ‘Ibad bin Dinar Al Jursyi, saya belum melihat ada yang menyebutkan biografinya.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 1/61)

📌Allah Ta’ala melihat seorang hamba dari niatnya

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada penampilan kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat pada hati dan perbuatan kalian.” (HR. Muslim 4/1987, dari Abu Hurairah)

Hujjatul Islam, Al Imam Al Ghazali Rahimahullah mengatakan:

وَإِنَّمَا نَظَرَ إِلَى الْقُلُوبِ لأَِنَّهَا مَظِنَّةُ النِّيَّةِ ، وَهَذَا هُوَ سِرُّ اهْتِمَامِ الشَّارِعِ بِالنِّيَّةِ فَأَنَاطَ قَبُول الْعَمَل وَرَدَّهُ وَتَرْتِيبَ الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ بِالنِّيَّةِ

“Sesungguhnya Dia melihat kepada hati lantaran hati adalah tempat niat, inilah rahasia perhatian Allah terhadap niat. Maka, diterima dan ditolaknya amal tergantung niatnya, dan pemberian pahala dan siksa juga karena niat.” (Ihya ‘Ulumuddin, 4/351)
Oleh karena itu, jika seseorang beribadah targetnya adalah akhirat, maka dia mendapatkannya. Jika targetnya adalah dunia maka dia akan mendapatkannya, tapi dia tidak mendapatkan akhirat.

Allah ﷻ berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)

Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Huud: 15-16)

Demikianlah. Jika amal-amal akhirat dilakukan untuk target duniawi semata-mata, tidak ada tujuan akhirat sama sekali, begitu keras ancamannya. Sebab itu merupakan bentuk kesyirikan.

Disebutkan dalam Shahih Muslim, kisah Mujahidin, Qari, dan seorang dermawan, yang semuanya masuk neraka, lantaran amal shalih mereka, jihad, membaca Al Quran, dan sedekah bukan mencari ridha Allah ﷻ tetapi tujuan duniawi semata.

📌Lalu .., Bagaimana Dengan Amal Shalih Yang bercampur?

Seseorang beramal akhirat, tujuannya akhirat, tapi ada noda tujuan dunia. Apakah ini tetap berpahala atau justru siksa? Ataukah tidak berpahala dan juga tidak ada siksa? Ataukah masing-masing dapat bagiannya, dia diberikan pahala karena niat akhiratnya dan dia juga berdosa karena noda dunianya.

Hal ini seperti seseorang pergi haji dengan niat berdagang, puasa sunnah sekalian diet, wudhu untuk kesegaran, dan semisalnya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa amal ini gugur. Hal ini berdasarkan hadits Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu:

جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال أرأيت رجلا غزا يلتمس الأجر والذكر ماله فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا شيء له فأعادها ثلاث مرات يقول له رسول الله صلى الله عليه و سلم لا شيء له ثم قال إن الله لا يقبل من العمل إلا ما كان له خالصا وابتغي به وجهه

Datang seorang laki-laki kepada Nabi ﷺ dan dia bertanya: “Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang berperang dalam rangka mencari balasan harta dunia?” Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu mengulangi sampai tiga kali, semua di jawab oleh Rasulullah ﷺ : “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Lalu Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali amal itu ikhlas berharap wajahNya semata.” (HR. An Nasa’i No. 3140, hasan shahih)

Inilah pendapat Imam Ibnu Rajab dalam Jaami’ Al ‘Uluum wal Hikam, saya akan kutip bagian yang penting saja:

واعلم أنَّ العمل لغيرِ الله أقسامٌ : فتارةً يكونُ رياءً محضاً ، بحيثُ لا يُرادُ به سوى مراآت المخلوقين لغرضٍ دُنيويٍّ ، كحالِ المنافِقين في صلاتهم ، كما قال الله – عز وجل – : { وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللهَ إلاَّ قَلِيلاً } .
وقال تعالى : { فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ } الآية
وكذلك وصف الله تعالى الكفار بالرِّياء في قوله : { وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بَطَراً وَرِئَاءَ النَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ الله } ((5)) .
وهذا الرِّياءُ المحضُ لا يكاد يصدُرُ من مُؤمنٍ في فرض الصَّلاةِ والصِّيامِ ، وقد يصدُرُ في الصَّدقةِ الواجبةِ أو الحجِّ ، وغيرهما من الأعمال الظاهرةِ ، أو التي يتعدَّى نفعُها ، فإنَّ الإخلاص فيها عزيزٌ ، وهذا العملُ لا يشكُّ مسلمٌ أنَّه حابِطٌ ، وأنَّ صاحبه يستحقُّ المقتَ مِنَ اللهِ والعُقوبة

Ketahuilah bahwa amal karena selain Allah ada beberapa macam; kadang karena semata-mata riya, yang tidak dimaksudkan pamer kepada makhluk dengan motivasi duniawi, seperti keadaan kaum munafik dalam shalat mereka, sebagaimana firman Allah ﷻ :

Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali hanya sedikit. (QS. An Nisa: 142)

Ayat yang lain:

Celakah bagi orang yang shalat, yaitu orang yang lalai dari shalatnya, yaitu mereka yang shalatnya ingin dilihat manusia. (QS. Al Ma’un: 4-5)

Begitu juga Allah ﷻ mensifatkan orang-orang kafir dengan riya, dalam firmanNya:

Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan. (QS. Al Anfal: 47)

Inilah riya yang murni, hampir-hampir seorang mukmin tidak akan muncul perasaan itu dalam shalat dan puasanya. Tapi bisa jadi muncul pada amal sedekah, haji, atau lainnya, yang merupakan amal zhahir atau kelihatan hasilnya. Ikhlas dalam amal-amal ini merupakan sesuatu yang amat berharga dan mulia. Tidak ragu lagi, bahwa amal seperti ini bisa menggugurkan pahala, bahkan itu layak dibenci Allah dan mendapatkan hukuman. (Jaami’ Al ‘Uluum wal Hikam, 3/30)

Sementara itu, ulama lain mengatakan bahwa amal shalih yang bercampur dorongan duniawi tetap di terima oleh Allah ﷻ walau tidak sesempurna yang ikhlas secara total.

Alasannya adalah:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (Al Zalzalah: 7-8)

Ayat lain:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (QS. An Nisa: 40)

Inilah yang diikuti oleh Imam Al Ghazali Rahimahullah, Beliau mengatakan:

أما الذي لم يرد به إلا الرياء فهو عليه قطعاً وهو سبب المقت والعقاب وأما الخالص لوجه الله تعالى فهو سبب الثواب وإنما النظر في المشوب وظاهر الأخبار تدل على أنه لا ثواب له وليس تخلو الأخبار عن تعارض فيه والذي ينقدح لما فيه والعلم عند الله أن ينظر إلى قدر قوة الباعث فإن كان الباعث الديني مساوياً للباعث النفسي تقاوماً وتساقطاً وصار العمل لا له ولا عليه وإن كان باعث الرياء أغلب وأقوى فهو ليس بنافع وهو مع ذلك مضر ومفض للعقاب
نعم العقاب الذي فيه أخف من عقاب العمل الذي تجرد للرياء ولم يمتزج به شائبة التقرب
وإن كان قصد التقرب أغلب بالإضافة إلى الباعث الآخر فله ثواب بقدر ما فضل من قوة الباعث الديني

Orang yang beramal semata karena riya, sudah pasti amalnya itu menyebabkan kebencian dan siksa dari Allah ﷻ. Sedangkan yang melakukan karena ikhlas, maka amal itu menjadi sebab datangnya pahala dari Allah.

Yang perlu dikaji lagi adalah amalan yang niatnya bercampur. Menurut zhahir hadits ada yang menyebut bahwa amal itu tidak ada pahalanya. Namun hadits lain menunjukkan sebaliknya. Yang bisa dikatakan dalam masalah ini -dan ilmunya pada sisi Allah ﷻ- bisa dilihat dari sisi kekuatan motivasinya amal. Jika motivasi keagamaan sejajar dengan motivasi pribadi, baik ukuran dan timbangan, maka amal itu tidak mendatangkan pahala dan dosa.

Jika pendorong riya lebih dominan dan kuat, maka amal itu tidak bermanfaat, dan bahkan bisa mendatangkan siksa. Namun siksa ini lebih ringan daripada siksa amal yang semata karena riya, dan tidak dicampuri motivasi untuk taqarrub kepada Allah ﷻ.

Jika tujuan taqarrub lebih dominan dari pada motivasi lainnya, maka dia mendapatkan pahala sesuai kekuatan motivasi agama. (Ihya ‘Ulumuddin, 4/384)

Apa yang disampaikan oleh Imam Al Ghazali sangat bagus dan memuaskan, baik secara dalil naqli dan akal. Semoga rahmat Allah ﷻ atasnya dan kita semua.

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌿🌺☘🌾🌹🌻🌴

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top