Berdoa Di Dalam Shalat; Bolehkah Dengan Bahasa Selain Arab?

▫▪▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Bolehkah berdoa bukan dengan bahasa arab dalam shalat?(+62 857-2508-xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim ..

Berdoa dalam shalat ada dua jenis:

1⃣ Doa-doa yang terikat dgn shalat itu sendiri, seperti doa iftitah, doa saat duduk di antara dua sujud, doa ruku’, dan bacaan lainnya di masing-masing gerakan dan posisi shalat. Tentu pula takbiratul ihram dan bacaan Al Qur’annya.

– Mayoritas ulama mengatakan TIDAK BOLEH membaca Al Qur’an ketika shalat dengan selain bahasa Arab, kecuali menurut Imam Abu Hanifah yang membolehkan dengan bahasa Persia dan lainnya.

Dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:

لاَ يَجُوزُ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِالْعَجَمِيَّةِ مُطْلَقًا، سَوَاءٌ أَحْسَنَ الْعَرَبِيَّةَ أَمْ لاَ فِي الصَّلاَةِ أَمْ خَارِجَهَا. وَعَنْ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ يَجُوزُ مُطْلَقًا، وَعَنْ أَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدٍ يَجُوزُ لِمَنْ لاَ يُحْسِنُ الْعَرَبِيَّةَ، لَكِنْ فِي شَرْحِ الْبَزْدَوِيِّ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَجَعَ عَنْ ذَلِكَ، وَوَجْهُ الْمَنْعِ أَنَّهُ يَذْهَبُ إِعْجَازُهُ الْمَقْصُودُ مِنْهُ

Tidak boleh membaca Al Qur’an dengan bahasa selain Arab secara mutlak, sama saja apakah dia bagus bahasa Arabnya atau tidak, di dalam shalat atau di luar shalat.

Dari Abu Hanifah bahwa Beliau membolehkan secara mutlak. Dari Abu Yusuf dan Muhammad (bin Hasan) membolehkan selain bahasa Arab bagi yang tidak baik bahasa Arabnya, tetapi dalam Syarh Al Bazdawiy disebutkan bahwa Abu Hanifah telah meralat pendapatnya. Sebab pelarangannya adalah karena hal itu menghilangkan kemukjizatan maksud-maksud Al Qur’an.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 13/258)

Di halaman lain juga disebutkan:

اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي جَوَازِ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فِي الصَّلاَةِ بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ، فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى أَنَّهُ لاَ تَجُوزُ الْقِرَاءَةُ بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ سَوَاءٌ أَحْسَنَ الْقِرَاءَةَ بِالْعَرَبِيَّةِ أَمْ لَمْ يُحْسِنْ.
وَيَرَى أَبُو حَنِيفَةَ جَوَازَ الْقِرَاءَةِ بِالْفَارِسِيَّةِ وَغَيْرِهَا مِنَ اللُّغَاتِ سَوَاءٌ كَانَ يُحْسِنُ الْعَرَبِيَّةَ أَوْ لاَ، وَقَال أَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ لاَ تَجُوزُ إِذَا كَانَ يُحْسِنُ الْعَرَبِيَّةَ؛ لأَِنَّ الْقُرْآنَ اسْمٌ لِمَنْظُومٍ عَرَبِيٍّ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا} وَالْمُرَادُ نَظْمُهُ

Para fuqaha berbeda pendapat tentang kebolehan membaca Al Qur’an di dalam shalat dengan selain bahasa Arab. Mayoritas ulama mengatakan tidak boleh membaca Al Qur’an dalam shalat dengan selain bahasa Arab, baik bagi yang jago bahasa Arab atau tidak.

Abu Hanifah berpendapat bolehnya dengan bahasa Persia dan bahasa lainnya, sama saja apakah dia bisa bahasa Arabnya atau tidak. Sementara Abu Yusuf dan Muhammad menyatakan tidak boleh jika dia bagus bahasa Arabnya, sebab Al Qur’an adalah isim yang terdiri bahasa Arab. Sebagaimana ayat: “Sesungguhnya Kami jadikan Al Qur’an dengan berbahasa Arab”, maksudnya susunannya berbahasa Arab.

(Ibid, 33/38)

Ada pun dzikir-dzikir sunnah dalam shalat, bagi yang bisa membacanya dalam bahasa Arab maka wajib memakai bahasa Arab, bagi yang tidak mampu maka boleh dengan bahasa selain Arab.

Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah mengatakan:

والصحيح في التسبيحات وسائر الأذكار المستحبة كالتشهد الأول والقنوت وتكبيرات الانتقالات والأدعية المأثورة منعه للقادر بخلاف العاجز فإنه يجوز على الأصح

Pendapat yg benar tentang beragam tasbih dan semua bentuk dzikir yg Sunnah seperti tasyahud awal, qunut, takbir intiqal, doa-doa ma’tsur, maka itu TERLARANG (selain bahasa Arab) bagi yang mampu, berbeda dengan yang lemah maka dia BOLEH menurut pendapat yg lebih Shahih.

(At Tamhid, 1/141)

Imam Az Zarkasyiy Rahimahullah mengatakan:

ما يمتنع في الأصح للقادر دون العاجز كالأذان وتكبير الاحرام والتشهد يصح بغير العربية إن لم يحسن العربية وان أحسنها فلا لما فيه من معنى التعبد وكذلك الأذكار المندوبة والأدعية المأثورة في الصلاة

Tidak terlarang dengan selain bahasa Arab menurut pendapat yg lebih Shahih bagi yang mampu tapi tidak bagus bahasa Arabnya seperti adzan, takbiratul ihram, tasyahud, maka sah dengan selain bahasa Arab, tapi kalau dia bagus pengucapan bahasa Arabnya maka tidak boleh pakai selain bahasa Arab, karena ini adalah peribadatan, demikian juga dzikir-dzikir Sunnah dan doa-doa ma’tsur dalam shalat.

(Al Mantsur, 1/282)

Kesimpulan:

– Untuk membaca Al Qur’an dalam shalat, WAJIB dgn lafaz bahasa Arab, inilah pendapat mayoritas ulama; Malikiyah, Syafi’iyyah, Hambaliyah. Ada pun Imam Abu Hanifah akhirnya telah meralat pendapatnya yg membolehkan memakai bahasa selain Arab.

– Untuk dzikir-dzikir Sunnah pada shalat: WAJIB pakai bahasa Arab bagi yg bisa dan mampu melafalkannya. Batal shalatnya jika selain bahasa Arab. Ada pun bagi yg benar-benar tidak mampu mereka boleh selain bahasa Arab.

2⃣ Doa-doa tambahan, selain doa dan dzikir shalat. Seperti doa tambahan saat sujud atau saat duduk tasyahud akhir sebelum salam.

Mayoritas ulama mengatakan makruh memakai bahasa selain Arab.

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:

ولهذا كان كثير من الفقهاء أو أكثرهم يكرهون في الأدعية التي في الصلاة والذكر أن يدعي الله أو يذكر بغير العربية

Oleh karena itu, mayoritas ahli fiqih Memakruhkan doa-doa dalam shalat dan dzikir, menggunakan bahasa selain Arab, dan juga dzikir kepada Allah selain bahasa Arab. (Iqtidha Shirath al Mustaqim, Hal. 203)

Sebagian ulama membolehkan memakai bahasa non Arab bagi orang yg tidak mampu melafazkan bahasa Arab, Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

أنه يجوز الدعاء بغير العربية في الصلاة ، لمن كانت هذه لغته ، لا سيما إذا شق عليه تعلم العربية. وله أن يدعو بما شاء من خير الدنيا والآخرة ، ولا يشترط أن يكون مأثورا

Bahwasanya boleh berdoa dgn selain bahasa Arab di dalam shalat bagi yang memang bahasa sehari-harinya bukan Arab, apalagi yang kesulitan mempelajari bahasa Arab, maka dia hendaknya berdoa dgn doa apa pun yang dikehendakinya untuk kebaikan dunia dan akhirat, dan tidak disyaratkan mesti doa yg ma’tsur (berasal dari Al Qur’an dan As Sunnah).

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no.262254)

Jalan keluarnya, doa dengan doa bahasa Arab yang dia hapal, atau kalau ingin susunan sendiri dan tidak dapat berbahasa Arab doa di hati saja kalau dengan bahasa Indonesia. Sebagai jalan tengah antara yang menyebutnya batal, makruh, dan sbagian ulama memang ada yang membolehkan dgn lafaz bahasa non Arab, tapi pilih pendapat yang aman saja.

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Hukum Shalat Sunnah Rawatib Dalam Safar (Perjalanan)

▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Assalaamu’alaykum,
slamat morning pak Ustadz Farid dan Saudara Muslim lainnya disini,
Semoga Alloh Ta’ala senantiasa memberikan Taufik dan Hidayah NYA kepada kita semua,
Aamiin,
‘afwan pak Ustadz,
ana ingin bertanya,
kalo kita dalam keadaan musafir, lalu kita lkukan qashar sholat, apakah sholat sunnah rawatib nya termasuk tidak dikerjakan atau tetap dikerjakan…

syukron jazilan pak Ustadz (+62 811-1348-024)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Shalat sunnah rawatib (Qabliyah dan Ba’diyah), tidak dianjurkan saat safar. Sebab musafir sdg dapat keringanan untuk Qashar yaitu mengurangi shalat yang 4 rakaat menjadi 2, … malah menjadi kontradiksi dgn keringanan itu jika dia melakukan sunnah rawatib.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

كان من هدي النبي صلى الله عليه وسلم في السفر الاقتصار على الفرض ولم يحفظ عنه أنه كان يصلي السنن الرواتب لا قبل الفرائض ولا بعدها

Di antara petunjuk Nabi ﷺ dalam safar adalah meringkas shalat wajib dan tidak melakukan shalat sunah rawatib, tidak qabliyah dan tidak pula ba’diyah.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 21467)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:

وكان من هديه في سفره الاقتصار على الفرض ولم يحفظ عنه أنه صلى سنة الصلاة قبلها ولا بعدها إلا ما كان من الوتر وسنة الفجر فإنه لم يكن ليدعهما حضرا ولا سفرا

Di antara petunjuk Nabi ﷺ dalam safar adalah meringkas shalat wajib dan tidak ada riwayat darinya melakukan shalat sunah rawatib, tidak qabliyah dan tidak pula ba’diyah, KECUALI witir dan dua rakaat sebelum fajar sebab Nabi ﷺ tidak pernah meninggalkan keduanya baik safar atau tidak.

(Zaadul Ma’ad, 1/473)

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Hukum Satu Ekor Kambing Dengan Dua Niat: Aqiqah dan Qurban

▪▫▪▫▪▫▪▫

(Ini salah satu pertanyaan yg sering ditanyakan menjelang hari raya qurban)

Bismillahirrahmanirrahim ..

Para ulama berbeda pendapat tentang, apakah hewan qurban sudah dapat mewakili aqiqah?

1. Tidak boleh, tidak sah

Ini pendapat Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Alasannya, karena keduanya sama-sama Sunnah yang berdiri sendiri, ada ketentuan masing-masing. Sebagaimana bayar dam pada haji tamattu’ dan bayar dam fidyah yg tidak bisa disatukan.

Imam Ibnu Hajar Al Haitami Rahimahullah berkata:

وَظَاهِرُ كَلَامِ َالْأَصْحَابِ أَنَّهُ لَوْ نَوَى بِشَاةٍ الْأُضْحِيَّةَ وَالْعَقِيقَةَ لَمْ تَحْصُلْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا ، وَهُوَ ظَاهِرٌ ; لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا سُنَّةٌ مَقْصُودَةٌ

Jika seseorang berniat dalam satu kambing untuk qurban dan aqiqah, maka ia tidak mendapatkan dua-duanya, pendapat inilah yang kuat, karena masing-masing dari qurban dan aqiqah memiliki tujuan tersendiri.

(Tuhfatul Muhtaj, 9/371)

Imam Al Hathab Rahimahullah berkata:

إِنْ ذَبَحَ أُضْحِيَّتَهُ لِلْأُضْحِيَّةِ وَالْعَقِيقَةِ أَوْ أَطْعَمَهَا وَلِيمَةً ، فَقَالَ فِي الذَّخِيرَةِ : قَالَ صَاحِبُ الْقَبَسِ : قَالَ شَيْخُنَا أَبُو بَكْرٍ الْفِهْرِيُّ إذَا ذَبَحَ أُضْحِيَّتَهُ لِلْأُضْحِيَّةِ وَالْعَقِيقَةِ لَا يُجْزِيهِ ، وَإِنْ أَطْعَمَهَا وَلِيمَةً أَجْزَأَهُ ، وَالْفَرْقُ أَنَّ الْمَقْصُودَ فِي الْأَوَّلَيْنِ إرَاقَةُ الدَّمِ ، وَإِرَاقَتُهُ لَا تُجْزِئُ عَنْ إرَاقَتَيْنِ ، وَالْمَقْصُودُ مِنْ الْوَلِيمَةِ الْإِطْعَامُ ، وَهُوَ غَيْرُ مُنَافٍ لِلْإِرَاقَةِ ، فَأَمْكَنَ الْجَمْعُ . انْتَهَى

Jika seseorang menyembelih sembelihannya untuk Qurban dan aqiqah, atau untuk walimahan, maka ia berkata dalam “Adz Dzakhirah”: Pengarang “al Qabas” berkata: “Syaikh kami Abu Bakr Al Fihri berkata: “Jika seseorang menyembelih sembelihannya untuk niat kurban digabung aqiqah, maka itu tidak dibolehkan, namun jika ia berniat untuk qurban digabung dgn walimahan, atau aqiqah dengan walimahan, maka dibolehkan.

Bedanya adalah karena tujuan qurban dan aqiqah adalah sama-sama pengucuran darah, sedang sembelihan buat walimahan adalah untuk hidangan makan semata, dan ini tidak menafikan adanya pengucuran darah, maka memungkinkan untuk digabungkan (antara aqiqah dan walimahan, atau qurban dan walimahan).

(Mawahib Al Jalil, 3/259)

2. Boleh dan Sah

Inilah salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan juga pendapat Hanafiyah, dan sebagian tabi’in. Alasannya, aqiqah dan qurban adalah sama-sama ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Maka, cara yang satu sudah mewakili yang lain. Sebagaimana shalat tahiyatul masjid sudah terwakili oleh Sunnah Qabliyah.

Imam Al Hasan Al Bashri Rahimahullah berkata:

إذَا ضَحُّوا عَنْ الْغُلَامِ فَقَدْ أَجْزَأَتْ عَنْهُ مِنْ الْعَقِيقَةِ .

Jika mereka menyembelih kurban untuk seorang anak, maka juga boleh untuk aqiqah. (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah, no. 24750)

Imam Ibnu Sirin Rahimahullah berkata:

يُجْزِئُ عَنْهُ الْأُضْحِيَّةُ مِنْ الْعَقِيقَةِ .

Dibolehkan sembelihan untuk aqiqah diniatkan juga untuk qurban. (Ibid, no. 24751)

Imam Al Bahuti Rahimahullah berkata:

وَإِنْ اتَّفَقَ وَقْتُ عَقِيقَةٍ وَأُضْحِيَّةٍ ، بِأَنْ يَكُونَ السَّابِعُ أَوْ نَحْوُهُ مِنْ أَيَّامِ النَّحْرِ ، فَعَقَّ أَجْزَأَ عَنْ أُضْحِيَّةٍ ، أَوْ ضَحَّى أَجْزَأَ عَنْ الْأُخْرَى ، كَمَا لَوْ اتَّفَقَ يَوْمُ عِيدٍ وَجُمُعَةٍ فَاغْتَسَلَ لِأَحَدِهِمَا ، وَكَذَا ذَبْحُ مُتَمَتِّعٍ أَوْ قَارِنٍ شَاةً يَوْمَ النَّحْرِ ، فَتُجْزِئُ عَنْ الْهَدْيِ الْوَاجِبِ وَعَنْ الْأُضْحِيَّةَ ” انتهى .

Jika waktu aqiqah bersamaan dengan waktu berkurban, seperti pada hari ke tujuh atau yang lainnya bertepatan dengan hari raya idul adha atau hari tasyriq, maka salah satu dari aqiqah atau kurban bisa mewakili yang lainnya. Sebagaimana jika hari raya bersamaan dengan hari jum’at, maka niat mandinya untuk salah satunya saja, sebagaimana juga sembelihan haji tamattu’ atau haji qiran pada hari raya Idul adha, maka sembelihan dam (yang wajib) juga untuk qurban Idul adha”.

(Syarh Muntahal Iradaat, 1/616)

Beliau –Rahimahullah- juga berkata dalam “Kasysyaful Qina’” 3/30 :

وَلَوْ اجْتَمَعَ عَقِيقَةٌ وَأُضْحِيَّةٌ ، وَنَوَى الذَّبِيحَةَ عَنْهُمَا ، أَيْ : عَنْ الْعَقِيقَةِ وَالْأُضْحِيَّةِ أَجْزَأَتْ عَنْهُمَا نَصًّا

Jika aqiqah dan kurban berkumpul, dan berniat dalam satu sembelihan untuk keduanya (aqiqah dan kurban), maka hal itu dibolehkan secara tekstual oleh nash (perkataan Imam Ahmad).

(Kasysyaf Al Qinaa’, 3/29)

Ulama Hambaliy kontemporer, seperti Syaikh Muhammad bin Ibrahim Rahimahullah telah memilih pendapat ini dengan mengatakan:

لو اجتمع أضحية وعقيقة كفى واحدة صاحب البيت ، عازم على التضحية عن نفسه فيذبح هذه أضحية وتدخل فيها العقيقة .
وفي كلامٍ لبعضهم ما يؤخذ منه أنه لابد من الاتحاد : أن تكون الأضحية والعقيقة عن الصغير. وفي كلام آخرين أنه لا يشترط ، إذا كان الأب سيضحي فالأضحية عن الأب والعقيقة عن الولد .
الحاصل : أنه إذا ذبح الأضحية عن أُضحية نواها وعن العقيقة كفى” انتهى .

Jika bertemu antara waktu aqiqah dengan waktu kurban, maka cukup dengan satu hewan sembelihan, dengan berniat untuk berkurban untuk dirinya dan berniat untuk aqiqah anaknya. Sebagian dari mereka justru berpendapat harus dijadikan satu, yaitu; kurban dan aqiqah untuk bayi. Namun pendapat yang lain tidak mensyaratkan hal itu, jika seorang ayah mau berkurban, maka kurban itu untuk sang ayah dan aqiqah untuk si anak.

Kesimpulannya adalah: Jika seseorang berniat untuk berkurban, pada waktu bersamaan ia berniat untuk aqiqah maka hal itu sudah cukup.

(Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/159)

Pendapat pertama, nampaknya pendapat yang lebih hati-hati, bahwasanya sebaiknya keduanya dipisahkan. Memisahkan keduanya juga disepakati semua ulama atas kebolehannya, sebab didebatkan para ulama adalah tentang hukum menyatukannya.

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Sumber-Sumber Keberkahan

▪▫▪▫▪▫▪▫

Makna Berkah

Berkah (Al Barokah), artinya:

هي النماء والزيادة
وكذلك البركة في الأمر , فالخير يثبت فيه ولا يُفارقه ويُبارك الله فيه بأن ينمُو ويزداد
البركة قيمةٌ معنوية لا تُرى بالعين المجردة ولا تُقاس بالكم ولا تحويها الخزائن .. هي شعورٌ إيجابي يشعر به الإنسان
إذاً البركة تحملُ معنى نزول الخير الإلهي

Artinya berkembang dan bertambah. Demikian juga makna berkah pada sebuah urusan, yaitu kebaikan selalu mengiringi urusan tersebut dan tidak pernah berpisah, dan Allah memberkahi urusan itu dengan menumbuhkan dan menambahkan.

Berkah itu nilai yang sifatnya ma’nawiyah (esensial), tidak bisa dilihat oleh mata telanjang dan tidak bisa dianalogikan dengan kuantitas, dan tidak pula diukur dengan harta .. berkah adalah cita rasa positif yang dirasakan manusia. Jadi, berkah itu bermakna turunnya kebaikan ilahiy kepada manusia. (Selesai)

📌 Di sinilah keberkahan itu

Berikut ini adalah hal-hal yang memunculkan keberkahan. Bisa berupa tempat, benda, waktu, aktifitas dan manusia itu sendiri.

1⃣ Ka’bah, Masjidul Haram, dan kota Mekkah

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ

Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.

(QS. Ali ‘Imran: 96)

Para ulama tafsir berbeda dalam memaknai “rumah pertama”: ada yang memaknai Ka’bah adalah bukan rumah pertama semata-mata rumah, tapi maksudnya rumah pertama yg diberkahi. Sebelumnya sdh ada rumah-rumah selain Ka’bah. Ini dikatakan oleh Ali, Mathar, Al Hasan, dan lainnya.

Ada pula yang mengatakan memang sebagai rumah pertama sebelum dibangun rumah-rumah lain, bahkan diciptakan bersamaan dengan diciptakan bumi. Seperti yang dikatakan oleh Abdullah bin Amr, Mujahid, As Suddiy, dan lainnya. Ada pula yang mengatakan Ka’bah sudah diciptakan sebelum adanya bumi, bahkan diturunkan bersamaan diturunkannya Nabi Adam ‘Alaihissalam dari surga ke bumi, seperti penjelasan Qatadah. Pendapat yg benar menurut Imam Ibnu Jarir adalah Ka’bah rumah pertama yg dibangun dalam artian rumah untuk tenpat ibadah.

(Semua penjelasan ini disebutkan oleh Imam Ibnu Jarir Ath Thabariy dalam Tafsirnya, Jilid. 3, Hal. 1877-1879)

Keberkahan Ka’bah dan sekitarnya, sangat banyak bagi penduduknya bahkan bagi umat manusia. Sejak masa lalu dikunjungi banyak manusia, bahkan jutaan manusia, sehingga menjadi pusat perdagangan dan peribadatan. Hal itu dirasakan sampai masa kini. Selain itu inilah salah satu kota -bersama Madinah- yang tidak akan mampu dimasuki Dajjal.

 

2⃣ Kota Madinah

Ini adalah kota yang diberkahi, beribadah di masjid Nabawi sama dengan seribu di masjid lainnya. Dia salah satu tanah haram (bersama Mekkah) yang diharamkan orang kafir masuk ke dalamnya, dan haram pula kemaksiatan terjadi di dalamnya. Serta tidak akan dimasuki oleh Dajjal.

Dalam sebuah hadits:

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُمَّ اجْعَلْ بِالْمَدِينَةِ ضِعْفَيْ مَا جَعَلْتَ بِمَكَّةَ مِنْ الْبَرَكَةِ

Dari Anas Radhiallahu ‘Anhu dari Nabi ﷺ bersabda: “Ya Allah jadikanlah Madinah seperti Makkah, yang dimana Engkau telah menjadikannya (Makkah) penuh dengan keberkahan”. (HR. Bukhari no. 1885)

Dalam Shahih Al Bukhari, Sayyidina Umar Radhiallahu ‘Anhu berdoa:

اللَّهم ارزقني شهادة في سبيلك، واجعل موتي في بلد رسولك

“Ya Allah rezekikanlah kepadaku mati syahid dijalanMu dan jadikanlah kematianku di negeri RasulMu.” (HR. Al Bukhari No. 1890)

Imam Al Bukhari memasukkan doa Umar Radhiyallahu ‘Anhu ini dalam Kitab Al Fadhaail Al Madinah, Keutamaan-keutamaan kota Madinah.

Maksud dari “negeri RasulMu” adalah Madinatun Nabi (kota Nabi), yaitu Madinah Al Munawwarah, kota di mana Nabi ﷺ dikuburkan. Doa ini dijadikan dasar sebagian ulama keutamaan Madinah dibanding Mekkah.

Imam Ibnu Baththal Rahimahullah mengatakan:

احتج به من فضل المدينة على مكة ، وقالوا : لو علم عمر بلدة أفضل من المدينة لدعا ربه أن يجعل موته وقبره فيها

Ini dijadikan hujjah keutamaan Madinah dibanding Mekkah. Mereka mengatakan: seandainya Umar tahu ada negeri yang lebih utama dibanding Madinah niscaya dia akan berdoa agar wafat di sana dan di kuburkan di sana. ( Syarh Shahih Al Bukhari, Jilid 4, Hal. 558)

Doa Umar Radhiallahu ‘Anhu terkabulkan, Beliau wafat di Madinah, dibunuh seorang Majusi, Abu Lulu’ah.

 

3⃣ Masjidil Aqsha dan Sekitarnya Adalah Diberkahi

Allah Taala berfirman:

سُبْحَانَ الذى أسرى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مّنَ المسجد الحرام إلى المسجد الاقصى الذى بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءاياتنا إنَّهُ هُوَ السميع البصير

“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al Isra (17): 1)

Berkata  Imam Asy Syaukani Rahimahullah tentang makna: “telah Kami berkahi sekelilingnya”:

بالثمار والأنهار والأنبياء والصالحين ، فقد بارك الله سبحانه حول المسجد الأقصى ببركات الدنيا والآخرة

“Dengan buah-buahan, sungai, para nabi dan shalihin, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan keberkahan di sekitar masjid Al Aqsha dengan keberkahan dunia dan akhirat. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 4/280. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Al Aqsha dan sekitarnya yang saat ini menjadi wilayah Palestina, yang dulunya adalah Syam, adalah tempat penuh keberkahan; buminya para Nabi, tempatnya subur, shalat di Al Aqsha sama dengan 500 kali shalat di masjid lain (kecuali Masjidul Haram dan Masjid Nabawi), dan saat ini menjadi arena jihad fisabilillah yang memunculkan banyak Mujahidin dan syuhada. Sebut saja seperti Shalahuddin Al Ayyubi, ‘Izzuddin Al Qassam, Ahmad Yasin, Abdul Aziz Ar Rantisi, ‘Imad ‘Aql, Yahya Ayyasy, Fathi Syaqaqiy, dan masih banyak lainnya.

Nabi ﷺ bersabda:

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ لَعَدُوِّهِمْ قَاهِرِينَ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ إِلَّا مَا أَصَابَهُمْ مِنْ لَأْوَاءَ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَأَيْنَ هُمْ قَالَ بِبَيْتِ الْمَقْدِسِ وَأَكْنَافِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ

“Akan ada sekelompok ummatku yang senantiasa berada diatas kebenaran, menang dan mengalahkan musuh mereka, orang yang menentang mereka tidaklah membahayakan mereka kecuali cobaan yang menimpa mereka hingga urusan Allah tiba dan mereka seperti itu.” Mereka bertanya; Wahai Rasulullah! Dimana mereka? Rasulullah ﷺ bersabda; “Di Baitul Maqdis dan di sekitar Baitul Maqdis.”

(HR. Ahmad no. 22320. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: Shahih. Ta’liq Musnad Ahmad no. 22320)

Syaikh Muhammad Al ‘Arifiy dalam salah satu ceramahnya mengatakan bahwa menurut pendapatnya maksud dari segolongan umat yang konsisten berjihad di Baitul Maqdis dalam hadits ini di zaman ini adalah sayap militernya HAMAS, yakni ‘Izzuddin Al Qassam. Wallahu a’lam

 

4⃣ Syam dan Yaman

Dua negeri ini juga menempati posisi khususu. Nabi ﷺ mendoakan keberkahan untuk keduanya.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma bahwa Nabi ﷺ berdoa:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا وَفِي يَمَنِنَا

Ya Allah berkahilah kami pada negeri Syam kami dan negeri Yaman kami.

(HR. Bukhari no. 1037)

Hadits ini menunjukkan keutamaan kedua negeri tersebut; Syam dan Yaman. Negerinya para ulama dan mujahid sepanjang zaman.

Negeri Syam meliputi itu Palestina, Jordan, Siria, dan Libanon.

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizahullah mengatakan:

والحديث فيه دلالة على فضل الشام واليمن، والدعاء لهما بالبركة، وقد وردت أحاديث أخر في فضلهما، وفضل سكناهما، وخاصة في آخر الزمان حين تكثر الفتن، فمن ذلك ما أخرجه أبو داود وابن حبان في صحيحه، والحاكم في المستدرك أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “سيصير الأمر أن تكونوا جنوداً مجندة: جند بالشام، وجند باليمن، وجند بالعراق، قال ابن حوالة: خر(أي: اختر) لي يا رسول الله إن أدركت ذلك، فقال: عليك بالشام، فإنها خيرة الله من أرضه، يجتبي إليها خيرته من عباده، فأما إن أبيتم فعليكم بيمنكم، واسقوا من غدركم، فإن الله توكل لي بالشام وأهله”

Pada hadits ini menunjukkan keutamaan Syam dan Yaman, dan doa keberkahan bagi keduanya. Ada juga hadits lain yang menyebutkan keutamaan keduanya, dan keutamaan bertempat tinggal dikeduanya, khususnya di akhir zaman ketika banyaknya fitnah.

Di antaranya apa yg diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Hibban dalam Shahihnya, Al Hakim dalam Al Mustadrak bahwa Nabi ﷺ bersabda:

“Keadaannya sampai kalian menjadi tentara-tentara yang terpisah-pisah, pasukan di Syam, pasukan di Yaman, dan pasukan di Irak.” Ibnu Hawalah berkata; pilihkan (tempat terbaik) untukku wahai Rasulullah apabila aku mendapati hal tersebut! Beliau berkata: “Hendaknya kalian menetap di Syam karena sesungguhnya Syam adalah bumi Allah yang paling terpilih, Allah memilih hamba-hamba pilihannya menuju kepadanya. Adapun jika kalian menolak maka hendaknya kalian menetap di Yaman, dan minumlah dari telaganya, karena sesungguhnya Allah telah menjamin untukku Negeri Syam dan penduduknya.”

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 11456)

Jika ada yang bertanya kenapa penuh dgn konflik? Maka, jawabnya di negeri-negeri ini suburnya ladang para syuhada, keberkahan sebuah tempat tidak berarti bermakna damai, tapi penuh kekayaan, ilmu, dan tokoh-tokoh besar dari kalangan pejuang dan ulama.

 

5⃣ Berkumpul Bersama Para Ulama

Nabi ﷺ bersabda:

البركة مع أكابركم

Keberkahan itu bersama orang-orang besar kalian.

(HR. Ibnu Hibban no. 1912, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 8/172, Al Hakim dalam Al Mustadrak, 1/62, katanya: SHAHIH sesuai syarat Al Bukhari. Dan disepakati oleh Adz Dzahabi)

Apa yang dimaksud Akaabir (orang-orang besar)? Mereka adalah ahlul ‘Ilmi (ulama). (Jaami’ Al Ahaadits no. 10505)

Bergaul dan berkumpul dengan para ulama yang Rabbani dan mukhlish, akan mendapatkan banyak manfaat. Diamnya mereka, bicaranya, cara makan dan minumnya, nasihatnya, bahkan gurauannya pun memiliki hikmah, ilmu, dan manfaat, apalagi seriusnya.

Maka seringlah hadir di majelis-majelis ilmu agar kita bisa mendapatkan keberkahan ilmu dan para ulama.

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’Anhu berkata:

لا يَزَالُ النَّاسُ صَالِحِينَ مُتَمَاسِكِينَ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَمِنْ أَكَابِرِهِمْ ، فَإِذَا أَتَاهُمْ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ هَلَكُوا “

Manusia senantiasa Shalih bila mereka mengambil ilmu dan komitmen dari para sahabat Nabi ﷺ dan orang-orang besarnya, tapi jika mengambilnya dari ASHAGHIR maka mereka binasa. (Ath Thabaraniy dalam Al Awsath dan Al Kabir)

Imam Abdullah bin Al Mubarak Rahimahullah mengatakan tentang makna ASHAGHIR:

الذين يقولون برأيهم، فأما صغير يروي عن كبير فليس بصغير

“Orang-orang yang mengutarakan pendapat dengan pendapat mereka semata, ada pun orang kecil yang meriwayatkan dari orang besar (ulama), dia bukanlah shaghir yang dimaksud. (Imam Ibnu Abdil Bar, Jami’ Bayan Al ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/312. Cet. 1, 2003M-1424H. Muasasah Ar Rayyan – Dar Ibnu Hazm)

Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

scroll to top