Tahniah Di Hari Raya Bukan Bid’ah

▪▫▫▫▫▫▪

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah ditanya tentang kebiasaan manusia mengucapkan selamat hari raya, dengan beragam kalimat seperti ‘Iduka Mubarak, dll. Apakah ini ada dasarnya? Beliau menjawab:

أما التهنئة يوم العيد يقول بعضهم لبعض إذا لقيه بعد صلاة العيد : تقبل الله منا ومنكم ، وأحاله الله عليك ، ونحو ذلك فهذا قد روي عن طائفة من الصحابة أنهم كانوا يفعلونه ، ورخص فيه الأئمة كأحمد وغيره ، لكن قال أحمد : أنا لا ابتدئ أحداً ، فإن ابتدرني أحد اجبته ، وذلك ؛ لأنه جواب التحية واجب ، وأما الابتداء بالتهنئة فليس سنة مأمور بها ، ولا هو أيضاً مما نُهي عنه ، فمن فعله فله قدوة ، ومن تركه فله قدوة ، والله أعلم

Ada pun ucapan selamat di hari raya, di mana sebagian orang berkata kepada yang lainnya setelah shalat ‘id: Taqabbalallah minnaa wa Minkum, Ahaalahullah ‘Alaik, dan semisalnya. Maka yang seperti ini telah diriwayatkan dari Segolongan sahabat Nabi ﷺ bahwa mereka melakukannya.

Para imam pun memberikan keringanan, seperti Imam Ahmad dan lainnya, tetapi Imam Ahmad berkata: “Aku tidak akan memulainya kepada seeeorang, tapi jika ada orang yang mengucapkan kepadaku, aku akan menjawabnya.” Hal ini karena menjawab ucapan selamat itu wajib. Ada pun memulainya, bukankah sunah yang diperintahkan, tapi itu juga bukan hal yang dilarang.

Jadi, siapa yang melakukannya maka dia ada contohnya, barang siapa yang tidak melakukannya dia juga ada contohnya. Wallahu a’lam

📚 Majmu’ Al Fatawa, 24/253

🌻🌿🌸🍃🍄🌷 💐☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Fidyah Pakai Uang

◼◽◼◽◼◽◼

Ya, membayarkan fidyah ke penerimanya adalah dengan makanan, bukan dengan uang. Inilah pendapat umumnya para ulama kecuali Imam Abu Hanifah dan pengikutnya yang membolehkan dengan uang.

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

ولا يجزئ إخراج القيمة بدلاً من الطعام في الراجح خلافاً للأحناف، للنص على الإطعام في الآية الكريمة: (وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين) [البقرة: 184]

Menurut pendapat yang kuat, TIDAK SAH fidyah dengan uang sebagai ganti dari makanan, berbeda dengan pendapat Ahnaf (Hanafiyah). Ini sesuai firman Allah: “Dan atas orang-orang yang kesulitan melaksanakannya maka dia memberikan fidyah, makanan bagi orang miskin”.

Namun .. jika dia memberikan fidyah tidak langsung ke penerimanya, tapi ke wakilnya .. lalu wakilnya nanti yang membelikannya makanan, maka tidak apa-apa dia membayarnya dengan uang seharga fidyahnya ..

لكن لا بأس بدفع النقود إلى وكيل، شخص أو جمعية يشتري بها طعاماً يدفعه إلى مستحقيه

Tetapi tidak apa-apa membayarkan uang kepada wakilnya, bisa seseorang atau organisasi, yang membelikan makanan lalu mereka memberikan kepada mustahiqnya.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 6673)

Demikian. Wallahu a’lam

☘🌺🌿🌸🌷🍃🌼🎋

✍ Farid Nu’man Hasan

SHOLAT KAFAROT (SHOLAT AKHIR JUMUAH BULAN Ramadhan) adalah PALSU

◼◽◼◽◼◽◼◽

Dalam kitab I’anatuth Thaalibin, salah satu kitab rujukan Madzhab Syafi’iy:

قال المؤلف في إرشاد العباد ومن البدع المذمومة التي يأثم فاعلها ويجب على ولاة الأمر منع فاعلها صلاة الرغائب اثنتا عشرة ركعة بين العشاءين ليلة أول جمعة من رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وصلاة آخر جمعة من رمضان سبعة عشر ركعة بنية قضاء الصلوات الخمس التي لم يقضها وصلاة يوم عاشوراء أربع ركعات أو أكثر وصلاة الأسبوع أما أحاديثها فموضوعة باطلة ولا تغتر بمن ذكرها

Beliau berkata dalam Irsyadul ‘Ibaad, di antara BID’AH TERCELA dan BERDOSA bagi orang yang melakukannya dan hendaknya penguasa melarangnya, adalah shalat raghaib sebanyak 12 rakaat pada malam hari di awal malam Jumat bulan Rajab, shalat nisfu sya’ban sebanyak 100 rakaat, SHALAT AKHIR JUMAT DI BULAN RAMADHAN sebanyak 17 rakaat dengan niat mengqadha shalat lima waktu yg belum dilaksanakan, shalat hari asyura sebanyak 4 rakaat atau lebih, atau shalat sepekannya, maka semua hadits-haditsnha adalah PALSU dan jangan terpedaya oleh pihak yang menceritakannya. (Imam Abu Bakar Ad Dimyathi Syatha, I’anatuth Thalibin)

Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Asy Syafi’iy

قد سئل العلامة ابن حجر الهينمي المكي الشافعي عن هذه الصلاة التي كان بعض المصلين يصليها في آخر جمعة من رمضان ويسميها “صلاة البراءة”، هل تصح جماعة أم لا؟
فأجاب بقوله: “أما صلاة البراءة فإن أريد بها ما ينقل عن كثير من أهل اليمن من صلاة المكتوبات الخمس بعد آخر صلاة جمعة من رمضان معتقداً أنها تكفر ما وقع في جملة السنة من تهاون في صلاتها فهي محرمة شديدة التحريم، يجب منعهم منها؛ لأنه يحرم إعادة الصلاة بعد خروج وقتها ولو في جماعة، وكذا فيوقتها بلا جماعة ولا سبب يقتضي ذلك. ومنها أن ذلك صار سبباً لتهاون العامة في أداء الفرائض؛ لاعتقادهم أن اعتقادهم على تلك الكيفية يكفر عنهم ذلك” انتهى. من الفتاوى الفقهية الكبرى، ج: 2/ ص: 325

Al ‘Allamah Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Rahimahullah ditanya tentang shalat yang dilakukan manusia pada akhir Jumat Ramadhan dan mereka menamakan shalat AL BARA’AH, apakah sah berjamaah atau tidak ?

Beliau menjawab:

Jika shalat Al Bara’ah yang dimaksud adalah apa yang dinukilkan dari shalat yang biasa dilakukan penduduk Yaman, berupa melakukan shalat wajib yang lima dilakukan setelah shalat Jumat di akhir Ramadhan maka ini adalah perbuatan yang SANGAT DIHARAMKAN, WAJIB MENCEGAH MEREKA MELAKUKANNYA, karena diharamkan mengulangi setelah keluar waktunya, walau dilakukan berjamaah. Begitu pula jika tidak berjamaah, dan tidak ada sebab syar’i mengqadhanya.

Perbuatan ini hanya membuat orang awam meremehkan menunaikan kewajiban shalat, sebab keyakinan mereka bahwa shalat ini dapat menghapuskan kesalahan meninggalkan shalat pada waktunya. (Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubra, 2/325)

Wallahu A’lam

☘🍃🌷🌸🌿🌻🎋🌼

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Wanita Pergi Haji dan Umrah Tanpa Mahram

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz apa hukum haji atau umrah tanpa mahram…

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah … Bismillah wal Hamdulillah ..

Sebenarnya ini perkara yang debatable para ulama Islam. Walau saya sendiri lebih memilih tidak ridha jika istri dan anak saya, bepergian jauh lebih tiga hari tanpa mahram.

Hadits: “Janganlah seorang wanita pergi keculi dengan mahramnya” (HR. Bukhari – Muslim. Lu’ Lu’ wal Marjan No. 850)

Hadits ini menjadi pegangan para ulama yang melarang, dan begitu kuat atas larangannya, dan berlaku untuk semua perjalanan.

Sementara yang lain, memahami secara kontekstual. Sebab (‘Illat) larangan hadits ini adalah karena jika wanita pergi sendirian tanpa suami atau mahram pada zaman unta dan keledai menempuh gurun atau jalan-jalan sepi dikhawatirkan terjadi sesuatu atasnya atau melahirkan fitnah baginya.

Jika kondisi zaman telah berubah seperti zaman ini, di mana perjalanan sudah menggunakan kapal, pesawat, bis, yang penumpangnya puluhan bahkan ratusan. Kondisi ini tentu amat sulit bagi seseorang untuk berbuat senonoh dan melecehkan wanita, karena di depan banyak manusia. Maka, tak mengapa ia pergi sendiri dengan syarat memang keamanan telah terjamin.

Bahkan, hal ini diperkuat oleh beberapa hadits berikut.

PERTAMA. dari Adi bin Hatim, secara marfu’: “Hampir datang masanya wanita naik sekedup seorang diri tanpa bersama suaminya dari Hirah menuju Baitullah.” (HR. Bukhari)

Hadits ini merupakan pujian atas kejayaan Islam pada masa yang akan datang, sehingga keadaan sangat aman bagi wanita untuk bepergian jauh seorang diri.

Hadits inilah yang dijadikan IMAM IBNU HAZM membolehkan wanita untuk keluar seorang diri tanpa mahram. Maka janganlah kita heran justru banyak ulama yang membolehkan wanita pergi seorang diri jika adalam keadaan aman dan jauh dari fitnah.

KEDUA. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ‘Aisyah dan ummahatul mukminin lainnya, pergi haji pada zaman khalifah Umar Al Faruq tanpa mahram yang mendampinginya, justru ditemani oleh Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan. Dan tak satu pun sahabat lain yang menentangnya, sehingga kebolehannya ini dianggap sebagai ijma’ sahabat. (Fathul Bari, 4/445)

Sebagian ulama membolehkan seorang wanita bepergian ditemani oleh wanita lain yang tsiqah. IMAM ABU ISHAQ ASY SYAIRAZI dalam kitab Al Muhadzdzab, membenarkan pendapat BOLEHNYA seorang wanita bepergian (haji) sendiri TANPA MAHRAM jika keadaan telah aman.

Sebagian ulama madzhab Syafi’i membolehkannya pada SEMUA JENIS BEPERGIAN, bukan cuma haji. (Fathul Bari, 4/446. Al halabi)

Ini juga pendapat pilihan IMAM IBNU TAIMIYAH, sebagaimana yang dijelaskan oleh IMAM IBNU MUFLIH dalam kitab Al Furu’, dia berkata: “Setiap wanita yang aman dalam perjalanan, bisa (boleh) menunaikan haji tanpa mahram. Ini juga berlaku untuk perjalanan yang ditujukan untuk kebaikan.” Al Karabisi menukil bahwa IMAM SYAFI’I membolehkan pula dalam haji tathawwu’ (sunah). Sebagian sahabatnya berkata bahwa hal ini dibolehkan dilakukan dalam haji tathawwu’ dan SEMUA JENIS PERJALANAN TIDAK WAJIB seperti ziarah dan berdagang. (Al Furu’, 2/236-237)

Al Atsram mengutip pendapat IMAM AHMAD BIN HAMBAL:

“Adanya mahram tidaklah menjadi syarat dalam haji wajib bagi wanita.Dia beralasan dengan mengatakan bahwa wanita itu keluar dengan banyak wanita dan dengan manusia yang dia sendiri merasa aman di tengah-tengah mereka.”

IMAM MUHAMMAD BIN SIRIN mengatakan: “Bahkan dengan seorang muslim pun tidak apa-apa.”

IMAM AL AUZA’I mengatakan: “Bisa dilakukan dengan kaum yang adil dan terpercaya.”

IMAM MALIK mengatakan: “Boleh dilakukan dengan sekelompok wanita.”

IMAM ASY SYAFI’I mengatakan: “Bisa dilakukan dengan seorang wanita merdeka yang terpercaya.” Sebagian sahabatnya berkata, hal itu dibolehkan dilakukan sendirian selama dia merasa aman.” (Al Furu’, 3/235-236)

Ini juga pendapat IMAM IBNUL ARABI dalam kitab ‘Aridhah Al Ahwadzi bi Syarh Shahih At Tirmidzi.

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Dalam kutipan Al Karabisi disebutkan bahwa perjalanan sendirian bisa dilakukan sepanjang jalan yang akan ditempuhnya dalam kondisi aman.” Jika perjalanan ini diterapkan dalam perjalanan haji dan umrah maka sudah sewajarnya ji ka hal itu pun diterapkan pada SEMUA JENIS PERJALANAN sebagaimana hal itu dikatakan oleh sebagian ulama.” (Fathul Bari, 4/445) Sebab, maksud ditemaninya wanita itu oleh mahram atau suaminya adalah dalam rangka menjaganya. Dan ini semua sudah terealisir dengan amannya jalan atau adanya orang-orang terpercaya yang menemaninya baik dari kalangan wanita atau laki-laki, dan dalil-dalil sudah menunjukkan hal itu.

Ketahuilah, masalah ini adalah perkara muamalat, yang larangannya bisa diketahui karena adanya ‘illat (sebab) dan maksud (Al Hukmu yaduuru ma’a ‘illatihi wujudan aw ‘adaman – hukum itu berputar bersama sebabnya, baik ada atau tidaknya). Dalam konteks ini, ‘illatnya adalah karena faktor bahaya. Ketika ‘illat itu tidak ada maka larangan itu pun teranulir. Berbeda dengan masalah ibadah khusus (ta’abudiyah), yang dalam menjalankannya seorang muslim harus tunduk tanpa melihat pada sebab atau maksudnya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy Syathibi.

Namun, pendapat yang lebih hati-hati adalah sebaiknya ada mahram. Walau tanpa mahram, dgn syarat aman dan tidak ada fitnah, banyak diikuti para imam kaum muslimin.

Ibnu ‘Aun berkata, bahwa Imam Muhammad bin Sirin, orang yang ketat untuk dirinya, tetapi memberikan kelonggaran bagi org lain. Saya pribadi dlm banyak hal seperti ini, dalam masalah yang masih debatable, ketat untuk diri sendiri tp memberikan keringanan bagi org lain.

Ada pun sikap keras sebagian orang yang mengingkari kenyataan adanya perselisihan fiqih seperti ini dan semisalnya, hanya menunjukkan satu hakikat kekurangan dalam memahami fiqih itu sendiri. Sebagaimana nasihat para ulama: “Barang siapa yang tidak mengetahui perbedaan dalam fiqih, maka dia belum mencium aroma fiqih.”

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌻🌴🌺☘🌷🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top