Ambisi Kekuasaan, Antara Hina dan Mulia

▫▪▫▪▫▪▫▪

📌 Berambisi menjadi penguasa karena dorongan mencari kekayaan, ini hina ..

📌 Berambisi menjadi penguasa, karena untuk kejayaan suku, ormas, dan partainya, padahal ormas dan partai hanya sarana, ini hina ..

📌 Berambisi jadi penguasa, padahal lemah, tidak mampu, ini juga hina .. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pun menolak keinginan Abu Dzar Radhiyallahu ‘Anhu saat meminta jabatan karena dia seorang yg lemah

📌 TAPI, Berambisi menjadi penguasa dan menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk amar ma’ruf nahi munkar, Ini mulia ..

‘Utsman Radhiallahu ‘Anhu berkata:

إنَّ اللَّهَ لَيَزَعُ بِالسُّلْطَانِ مَا لَا يَزَعُ بِالْقُرْآنِ

Sesungguhnya, Allah akan benar-benar menghilangkan kemungkaran melalui tangan penguasa, apa-apa yang tidak bisa dihilangkan oleh Al Quran. (Al Hisbah, Hal. 326)

📌 Berambisi menjadi Penguasa, karena mampu, kuat, dan ada kecakapan, maka ini bagus ..

Utsman bin Abu Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْنِي إِمَامَ قَوْمِي قَالَ أَنْتَ إِمَامُهُمْ وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا

Wahai Rasulullah jadikanlah aku sebagai pemimpin bagi kaumku! Beliau bersabda: “Engkau adalah pemimpin bagi mereka, perhatikanlah orang yang paling lemah di antara mereka, ….” (HR. Abu Daud No. 531, Al Hakim No. 715, katanya: shahih sesuai syarat Imam Muslim. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad No. 17906)

📌 Berambisi jadi penguasa bukan untuk mencari kekayaan, tapi mengabdi dan melayani masyarakat sebaik-baiknya .. Ini mulia ..

📌 Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah berkata:

فَقَدْ قَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ إنَّ التَّنَازُعَ فِيهَا لَا يَكُونُ قَدْحًا مَانِعًا وَلَيْسَ طَلَبُ الْإِمَامَةِ مَكْرُوهًا

“Sebagian fuqaha mengatakan bahwa memperebutkan jabatan kepemimpinan tidaklah tercela dan terlarang, dan mengincar jabatan imamah bukan suatu yang dibenci.” (Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 7)

📌 Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah berkata:

فطلب رضي الله عنه إمامة قومه للمصلحة الشرعية، ولتوجيههم للخير وتعليمهم وأمرهم بالمعروف، ونهيهم عن المنكر، مثلما فعل يوسف عليه الصلاة والسلام

قال العلماء : إنما نهي عن طلب الإمرة والولاية ، إذا لم تدع الحاجة إلى ذلك؛ لأنه خطر ، كما جاء في الحديث: النهي عن ذلك ، لكن متى دعت الحاجة والمصلحة الشرعية إلى طلبها جاز ذلك ، لقصة يوسف عليه الصلاة والسلام ، وحديث عثمان رضي الله عنه المذكور

Beliau (Utsman) Radhiallahu ‘Anhu meminta jabatan sebagai pemimpin karena pertimbangan maslahat syar’i, dalam rangka mengantarkan manusia kepada kebaikan, mengajarkan mereka, dan memerintahkan yang baik, dan mencegah kemungkaran, sebagaimana yang dilakukan Yusuf ‘Alaihissalam.

Berkata para ulama: bahwasanya meminta jabatan adalah perkara yang terlarang, jika memang tidak ada keperluan untuk itu karena hal itu berbahaya sebagaimana diterangkan dalam hadits yang menyebutkannya. Tetapi jika karena didorong oleh keperluan dan maslahat yang syar’i untuk memintanya maka hal itu dibolehkan, berdasarkan kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam dan hadits ‘Utsman (bin Abu Al ‘Ash) Radhiallahu ‘Anhu tersebut.

(Majmu’ Fatawa Ibni Baaz, 7/232)

📌 Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah:

فهل يجوز طلب الإمامة؟ والجواب: إذا كان يترتب على ذلك مصلحة فلا بأس به؛ لأن الإمامة قربة وعبادة

Maka, bolehkah meminta menjadi seorang pemimpin? Jawabannya: jika hal itu membawa kepada maslahat tidaklah apa-apa, karena kepemimpinan adalah termasuk qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) dan ibadah.

(Syarh Sunan Abi Daud, 3/404)

📌 Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan:

الحديث يدل على جواز طلب الإمامة في الخير وقد ورد في أدعيت عباد الرحمن الذين وصفهم الله بتلك الأوصاف أنهم يقولون {وََاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً} وليس من طلب الرياسة المكروهة

Hadits ini menunjukkan kebolehan meminta jabatan kepemimpinan dalam kebaikan. Telah ada di antara doa-doa para ibadurrahman, di mana Allah Ta’ala menyifati mereka dengan sifat tersebut, bahwa mereka berkata (Dan jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang bertaqwa), dan meminta jabatan itu bukanlah merupakan hal yang dibenci. (Subulus Salam, 1/128)

✔ Maka, jika Anda tulus, bersih dari ambisi jelek, punya kecakapan, penuh dengan tujuan mulia, maka rebutlah kekuasaan itu semoga Allah Ta’ala membantu Anda.

✔ Tapi, jika tujuan Anda buruk, ambisi pribadi, tidak mampu, tapi begitu keras ingin menjadi pejabat, maka itu

kebinasaan dan menjadi fitnah besar.

Wallahu A’lam walillahil ‘Izzah

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Berqurban Untuk Daerah Lain

▫▪▫▪▫▪▫▪

Berqurban untuk daerah lain

(Ini termasuk pertanyaan yang paling sering masuk)

Jawaban:

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d:

Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat. Tapi, pendapat yang kuat menurut para imam madzhab Syafi’iy adalah BOLEH, Insya Allah. Berikut ini penjelasan para ulama:

و فى نقل الأضحية وجهان قياسا على نقل الزكاة و الصحيح هنا الجواز

Dalam masalah distribusi hewan qurban (ke luar daerah) ada dua sisi pengqiyasan pada distribusi zakat, pendapat yang BENAR adalah BOLEH.

(Tsamar Al Yani’ah, Hal. 82)

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

سواء كان بلده او موضعه من السفر بخلاف الهدى فإنه يختص بالحرم و فى نقل الأضحية وجهان حكاهما الرافعى و غيره تخريجا من نقل الزكاة

Sama saja baik di negerinya atau di negeri dia safar, berbeda dengan Al Hadyu (qurban jamaah haji), itu khusus di tanah haram. Adapun pemindahan hewan qurban ada dua sudut pandang, hal itu diceritakan oleh Ar Rafi’iy dan lainnya, dikeluarkannya sebagaimana pendistribusian zakat (yakni BOLEH).

(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 7/404)

Zaman ini, pendapat ini bisa dilaksanakan ke daerah yang minus muslim, bencana, fakir, yang jarang orang berqurban, sehingga syi’ar qurban bisa merata. Sikap seorang muslim terhadap perbedaan pendapat ulama, janganlah selalu membenturkan, tapi hendaknya beristifadah (mengambil faidah) darinya yaitu pendapat mana yang paling mungkin dijalankan dalam kondisi tertentu. Demikianlah cara para salaf dan ulama dalam menyikapi perbedaan di antara mereka.

Demikian. Wallahu A’lam.

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Hukum Makan Kelinci dan Kangguru

▪▫▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Nawar Safura:
Assalamualaikum ust, mau bertanya, apa hukum memakan daging kelinci dan daging kangguru? Syukron ustadz

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Kelinci adalah halal menurut mayoritas ulama, berdasarkan hadits berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
مَرَرْنَا فَاسْتَنْفَجْنَا أَرْنَبًا بِمَرِّ الظَّهْرَانِ فَسَعَوْا عَلَيْهِ فَلَغَبُوا قَالَ فَسَعَيْتُ حَتَّى أَدْرَكْتُهَا فَأَتَيْتُ بِهَا أَبَا طَلْحَةَ فَذَبَحَهَا فَبَعَثَ بِوَرِكِهَا وَفَخِذَيْهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُ بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبِلَهُ

Dari Anas bin Malik dia berkata, “Pada suatu ketika kami lewat di Marru Zhahran (nama tempat), tiba-tiba kami dikagetkan oleh seekor kelinci, lalu kami kejar kelinci tersebut sampai mereka kelelahan.” Anas melanjutkan, “Saya juga turut mengejarnya sampai dapat, lantas saya membawanya kepada Abu Thalhah, kemudian dia menyembelihnya dan mengirimkan kedua pahanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku lalu membawanya ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau pun menerimanya.”

(HR. Muslim no. 1953)

Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

وَأَكْل الْأَرْنَب حَلَال عِنْد مَالِك وَأَبِي حَنِيفَة وَالشَّافِعِيّ وَأَحْمَد وَالْعُلَمَاء كَافَّة , إِلَّا مَا حُكِيَ عَنْ عَبْد اللَّه بْن عَمْرو بْن الْعَاصِ وَابْن أَبِي لَيْلَى أَنَّهُمَا كَرِهَاهَا . دَلِيل الْجُمْهُور هَذَا الْحَدِيث مَعَ أَحَادِيث مِثْله , وَلَمْ يَثْبُت فِي النَّهْي عَنْهَا شَيْء

Makan kelinci itu halal menurut Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’iy, Ahmad, dan semua ulama, kecuali apa yang diceritakan dari Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash dan Ibnu Abi Laila bahwa mereka berdua memakruhkannya. Dalil mayoritas ulama adalah hadits ini dan hadits lain yang semisalnya, dan tidak ada dalil shahih yang melarangnya.

(Syarh Shahih Muslim, 13/105)

Dalam Al Mausu’ah tertulis:

الأَْرْنَبُ حَلاَلٌ أَكْلُهَا عِنْدَ الْجُمْهُورِ. وَقَدْ صَحَّ عَنْ أَنَسٍ أَنَّهُ قَال

Makan kelinci itu halal menurut mayoritas ulama. Telah shahih dari Anas bin Malik bahwa dia berkata (disebut hadits di atas)..

Kemudian tertulis juga:

وَقَدْ أَكَلَهَا سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَرَخَّصَ فِيهَا أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ وَعَطَاءٌ وَابْنُ الْمُسَيَّبِ وَاللَّيْثُ وَأَبُو ثَوْرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ

Sa’ad bin Abi Waqash telah memakannya, ada pun Abu Sa’id Al Khudri, ‘Atha, Ibnul Musayyab, Al Laits, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir mereka telah memberikan keringanan dalam hal ini. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 5/132-133)

Bagaimana dgn Kangguru? Demikian juga kangguru, tidak ada dalil yang mengharamkannya. Dia juga bukan hewan buas, tidak bertaring, tidak mencabik mangsa, tidak khabaits (menjijikan), bukan jalaalah (pemakan kotoran), bukan termasuk hewan yang diperintah untuk dibunuh dan bukan pula yang dilarang untuk dibunuh.

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

فالأصل في حكم أكل لحم الحيوان أنه حلال ما لم يرد دليل يمنع من أكله، وحيث إن الكنغر ليس سبعاً، ولا يعدو بنابه، وإنما يأكل الأعشاب، فلا حرج في أكل لحمه
والله أعلم

Hukum dasar dari memakan daging hewan adalah halal selama tidak ada dalil yang melarang memakannya. Kangguru itu bukan termasuk hewan buas, tidak termasuk bertaring, dia herbivora, maka tidak apa-apa memakannya.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 9091)

Demikian. Wallahu A’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Perlukah Berwudhu Lagi Setelah Mandi Junub?

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Ustad,apakah boleh berwdhu stelah mandi wajib?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Jawaban:

Bismillah wal Hamdulillah …

Tidak perlu. Bahkan menurut Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma hal itu berlebihan. Berikut dalil-dalilnya:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak wudhu lagi setelah dia mandi (janabah).” (HR. An Nasa’i No. 252, 430, Ibnu Majah No. 579, At Tirmidzi No. 107, kata Imam At Tirmidzi: hasan shahih)

Dari Abu Ishaq, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma:

إني أتوضأ بعد الغسل قال : لقد تعمقت.

“Sesungguhnya saya berwudhu setelah mandi (janabah).” Ibnu Umar menjawab: “Engkau telah berlebihan.” (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 750)

Imam Abul Hasan bin Abdil Hadi As Sindi berkata tentang makna “Adalah Rasulullah tidak berwudu”:

أَيْ لِلصَّلَاةِ بَعْد الْغُسْل مِنْ الْجَنَابَة مَا لَمْ يُحْدِث أَوْ لَمْ يَرَ الْحَدَث فَيَكْتَفِي بِالْوُضُوءِ الْحَاصِل فِي ضِمْن غُسْل الْجَنَابَة أَوْ بِالْوُضُوءِ الْمُتَقَدِّم عَلَى الْغُسْل عَادَة

“Yaitu wudhu untuk shalat sesudah mandi janabah, selama belum berhadats atau selama belum melihat hadats, maka cukup baginya mandi janabah itu sebagai cakupan dari wudhunya, atau cukup dengan wudhu sebelumnya yang telah dia lakukan saat mandi.” (Hasyiyah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, 2/9)

Imam Asy Syaukani Rahimahullah berkata sebagai berikut:

وَرُوِيَ عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّهُ قَالَ : ” أَمَا يَكْفِي أَحَدَكُمْ أَنْ يَغْسِلَ مِنْ قَرْنِهِ إلَى قَدَمَيْهِ حَتَّى يَتَوَضَّأَ ؟ ” ، وَقَدْ رُوِيَ نَحْوُ ذَلِكَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ الصَّحَابَةِ وَمَنْ بَعْدَهُمْ حَتَّى قَالَ أَبُو بَكْر بْن الْعَرَبِيِّ : إنَّهُ لَمْ يَخْتَلِفْ الْعُلَمَاءُ أَنَّ الْوُضُوءَ دَاخِلٌ تَحْتَ الْغُسْلِ وَأَنَّ نِيَّةَ طَهَارَةِ الْجَنَابَةِ تَأْتِي عَلَى طَهَارَةِ الْحَدَثِ وَتَقْضِي عَلَيْهَا ؛ لِأَنَّ مَوَانِعَ الْجَنَابَةِ أَكْثَرُ مِنْ مَوَانِعِ الْحَدَثِ فَدَخَلَ الْأَقَلُّ فِي نِيَّةِ الْأَكْثَرِ وَأَجْزَأَتْ نِيَّةُ الْأَكْبَرِ عَنْهُ

Diriwayatkan dari Hudzaifah, bahwa dia berkata: “Apakah tidak cukup bagi kalian mandi janabah dari ubun-ubun hingga ke kedua kaki, sampai-sampai kalian berwudhu segala?” Perkataan seperti itu juga telah diriwayatkan dari jamaah para sahabat dan orang-orang setelah mereka, sampai Abu Bakar bin Al ‘Arabi berkata: “Bahwa para ulama tidak berselisih pendapat, bahwa wudhu telah masuk ke dalam cakupan mandi janabah, dan niat bersuci dari janabah juga berlaku bagi niat bersuci dari hadats, dan itu dapat menghilangkan hadats tersebut. Karena sesungguhnya halangan-halangan bagi orang yang janabah lebih banyak dari pada orang yang sekedar berhadats. Oleh karena itu, sesuatu yang lebih sedikit sudah masuk ke dalam niat yang besar, dan niat besar sudah mencakupi niat yang sedikit.” (Nailul Authar, 1/246-247)

Jadi, tidak usah wudhu lagi, kecuali dia melihat adanya hadats lagi pada dirinya.

Wallahu A’lam

🍃🌾🌸🌻🌴🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top