Hadits Mulailah Berbuka Dengan Yang Manis

▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

adakah hadist yang menunjukkan bahwa kita disunnahkan untuk berbuka dengan yang manis? (+62 859-4637-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim ..

Apa yang Nabi ﷺ konsumsi pertama kali saat berbuka dipaparkan dalam hadits berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتُمَيْرَاتٌ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

Dari Anas bin Malik dia berkata, Nabi ﷺ selalu berbuka dengan kurma basah sebelum shalat, jika beliau tidak mendapatinya, maka (beliau berbuka) dengan kurma kering dan jika tidak mendapatkan kurma kering, beliau berbuka dengan meneguk air tiga kali.

(HR. At Tirmidzi no. 696, Shahih)

Inilah yg Sunnah. Tidak ada hadits tentang berbuka dgn yang MANIS, .. itu iklan sirup, bukan hadits.

Mungkin karena Kurma berasa manis, jadi dikiaskan dgn yang apa pun yg manis-manis.

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Siapakah Para Syuhada?

💦💥💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Saya .. mau bertanya, ttg mati syahid. Mati spti apa sjakah yg termasuk mati syahid? Dan mohon penjelasan nya ttg macam2 mati syahid. Terima kasih

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah …

Orang-orang yang mati syahid itu banya, di antaranya:

1⃣ Dibunuh Karena Amar Ma’ruf Nahi Munkar Kepada Penguasa Zalim

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب ، ورجل قال إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله

“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang berkata benar kepada penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.” (HR. Al Hakim, Al Mustdarak-nya, Ia nyatakan shahih, tetapi Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya. Adz Dzahabi menyepakatinya. Syaikh Al Albany mengatakan hasan, dia memasukkannya dalam kitabnya As Silsilah Ash Shahihah, No. 374)

3⃣ Dibunuh Karena Melindungi Harta

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

”Barangsiapa yang dibunuh karena hartanya, maka dia syahid.” (HR. Al Bukhari No. 2348)

3⃣ Dibunuh karena membela agama, keluarga, dan darahnya (kehormatan)

Dari Sa’id bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

Barangsiapa yang dibunuh karena hartanya maka dia syahid, barangsiapa dibunuh karena agamanya maka dia syahid, barangsiapa yang dibunuh karena darahnya maka dia syahid, barangsiapa yang dibunuh karena membela keluarganya maka dia syahid.” (HR. At Tirmidzi, No. 1421, katanya: hasan shahih. Abu Daud, No. 4177. An Nasa’i, No. 4095. Ahmad, Juz. 4, Hal. 76, No. 1565. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib, Juz. 2, Hal. 75, No. 1411)

4⃣ Mati karena penyakit tha’un, sakit perut, dan tenggelam

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَا تَعُدُّونَ الشَّهِيدَ فِيكُمْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ قَالَ إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيلٌ قَالُوا فَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِي الطَّاعُونِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيدٌ قَالَ ابْنُ مِقْسَمٍ أَشْهَدُ عَلَى أَبِيكَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّهُ قَالَ وَالْغَرِيقُ شَهِيد

Siapa yang kalian anggap sebagai syahid? Mereka menjawab: “Orang yang dibunuh di jalan Allah, itulah yang syahid.” Nabi bersabda: “Kalau begitu syuhada pada umatku sedikit.” Mereka bertanya: “Siapa sajakah mereka wahai Rasulullah?” Nabi menjawab: “Siapa yang dibunuh di jalan Allah dia syahid, siapa yang mati di jalan Allah dia syahid, siapa yang mati karena tha’un dia syahid, siapa yang mati karena sakit perut maka dia syahid.” Ibnu Miqsam berkata: “Aku bersaksi atas ayahmu, pada hadits ini bahwa Beliau bersabda: “Orang yang tenggelam juga syahid.” (HR. Muslim No. 1915)

5⃣ Juga karena melahirkan, tertiban, dan terbakar. Sebagaimana hadits berikut:

الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ وَالَّذِى يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ »

Mati syahid itu ada tujuh golongan, selain yang terbunuh fi sabilillah: “Orang yang kena penyakit tha’un, tenggelam, luka-luka di tubuh, sakit perut, terbakar, tertiban, dan wanita melahirkan.” (HR. Abu Daud No. 3113, shahih)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

قال العلماء:المراد بشهادة هؤلاء كلهم، غير المقتول في سبيل الله، أنهم يكون لهم في الآخرة ثواب الشهداء، وأما في الدنيا، فيغسلون، ويصلى عليهم

Berkata para ulama: Yang dimaksud syahadah

(mati syahid) adalah bagi mereka semua, selain karena terbunuh di jalan Allah, dan sesungguhnya bagi mereka di akhirat akan mendapatkan ganjaran syuhada, ada pun di dunia mereka tetap dimandikan dan dishalatkan. (Fiqhus Sunnah, 2/633)

Demikian. Wallahu A’lam

🌻🌴🍃☘🌸🌾🌷🌺

✏ Farid Nu’man Hasan

Khutbah Jumat Memegang Tongkat

💦💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Ustadz, ana mau bertanya: Khotib Khutbah memegang tongkat, apakah di Syari’atkan?
Syukron katsir. (@Baitul Izzah)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Man waalah, wa ba’d:

Jazakallah khairan atas pertanyaan, dan saya mohon maaf baru baca pertanyaan antum, sehingga mungkin sudah lama menunggu jawabannya. Semoga Allah Ta’ala membalas kesabaran antum.

Dalam masalah ini ada beberapa riwayat yang menceritakannya, di antaranya:

📕 Dari Hakam bin Hazn Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

شَهِدْنَا فِيهَا الْجُمُعَةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصًا أَوْ قَوْسٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ كَلِمَاتٍ خَفِيفَاتٍ طَيِّبَاتٍ مُبَارَكَاتٍ

Kami melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari Jumat, Beliau berdiri (khutbah) memegang tongkat atau busur panah, lalu dia memuji Allah dengan berbagai kalimat yang ringan, baik, dan penuh berkah … (HR. Abu Daud No. 1096, Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shaghir No. 484, juga Ma’rifatus Sunan wal Aatsar No. 1761)

Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Ibnu Sikkin, dan dihasankan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, Imam Ash Shan’ani, dan Syaikh Al Albani. Sedangkan Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr mengatakan: wa haadzal hadits la ba’sa bihi – hadits ini tidak apa-apa. (Periksa Mir’ah Al Mafatih Syarh Al Misykah Al Mashabih, 5/85. Subulus Salam, 2/59, Tuhfatul Muhtaj Ila Adillatil Minhaj, 1/508, Shahih Abi Daud, 4/261, Syarh Sunan Abi Daud, 6/349)

📗 Menurut Imam Ash Shan’ani ada hadits lain yang menguatkan hadits di atas, yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, dari sahabat Al Bara bin ‘Azib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كان إذا خطب يعتمد على عنزة له

Jika nabi berkhutbah Beliau berpegangan dengan tombaknya. (Subulus Salam, 2/59)

Namun, ternyata tidak ditemukan dalam Sunan Abi Daud hadits yang seperti ini. Yang ada adalah sebagai berikut:

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي جَنَابٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْبَرَاءِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُووِلَ يَوْمَ الْعِيدِ قَوْسًا فَخَطَبَ عَلَيْهِ

Berkata kepada kami Al Hasan bin Ali, berkata kepada kami Abdurrazzaq, mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah, dari Abu Janaab, dari Yazid bin Al Bara’, dari ayahnya (Al Bara bin ‘Azib), bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diambilkan untuknya busur panah pada hari raya, lalu dia berkhutbah sambil berpegangan dengannya. (HR. Abu Daud No. 1145)

📌 Bagaimana kedudukan hadits ini?

– Al Hasan bin Ali, dia adalah Al Hasan bin Ali Al Hulwani seorang yang tsiqah, haditsnya dikeluarkan oleh para pengarang kutubus sittah, kecuali Imam An Nasa’i.

– Abdurrazzaq, dia adalah Abdurrazzaq bin Hammam, seorang imam terpercaya.

– Sufyan bin ‘Uyainah, dia adalah seorang imam terpercaya, dan haditsnya dikeluarkan oleh Kutubus Sittah.

– Abu Janaab, dia adalah Yahya bin Abi Hayyah, para ulama mendhaifkannya karena dia banyak melakukan tadlis (mengaburkan sanad atau matan hadits). Haditsnya dikeluarkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan An Nasa’i.

– Yazid bin Al Bara, dia seorang yang shaduuq (jujur), hadits darinya telah dikeluarkan oleh Abu Daud dan An Nasa’i.

– Al Bara bin ‘Azib adalah salah satu sahabat nabi –Radhiallahu ‘Anhum, hadits darinya telah dikeluarkan oleh Kutubus Sittah. (Lihat Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, 6/448)

Jadi, dalam sanad hadits ini ada rawi yang dilemahkan oleh para ulama. Namun demikian, hadits sebelumnya yakni yang diriwayatkan oleh Hakam bin Hazn merupakan penguat baginya, sehingga hadits ini dinilai hasan.

Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah Ta’ala:

والحديث في سنده أبو جناب ضعف لكثرة تدليسه، ولكن الحديث الذي سبق في خطبة يوم الجمعة أنه يخطب على قوس أو عصا يشهد له ويؤيده، فهو حديث حسن

Hadits ini, dalam sanadnya terdapat Abu Janaab yang dhaif karena banyaknya melakukan tadlis, tetapi hadits sebelumnya tentang khutbah pada hari Jumat bahwa nabi berkhutbah bersandar dengan busur panah atau tongkat telah menjadi syahid (saksi penguat) baginya dan mendukungnya, maka hadits ini adalah hasan. (Ibid)

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah juga menghasankan hadits ini. (Shahih Abi Daud, 4/307)

📙 Ada pula riwayat Imam Asy Syafi’i, sebagai berikut:

أخبرنا إبراهيم بن محمد حدثني ليث عن عطاء : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان إذا خطب يعتمد على عنزته إعتمادا

Telah mengabarkan kami Ibrahim bin Muhammad berkata kepadaku Laits, dari ‘Atha: bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika berkhutbah dia bersandar diatas tombaknya. (Musnad Asy Syafi’i No. 341, Al Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan wal Aatsar No. 1964)

Namun riwayat ini dhaif karena mursal (Lihat Kanzul ‘Ummal No. 17976), yaitu terjadi keterputusan sanad antara ‘Atha kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebab ‘Atha adalah seorang tabi’in yang hidupnya tidak sezaman dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam.

Nah, setelah kita mengetahui bahwa berkhutbah sambil bersandar dengan tongkat atau busur panah pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka jelaslah bahwa hal itu adalah sunah. Oleh karenanya, hendaknya kita tidak merasa heran, aneh, asing, dan bingung ketika melihatnya.

📌 Komentar Para Ulama

Berikut ini kami paparkan perkataan para ulama terkait berkhutbah sambil bersandar dengan tongkat atau semisalnya.

Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu berkata:

وَذَلِكَ مِمَّا يُسْتَحَبُّ لِلأْئِمَّةِ أَصْحَابِ الْمَنَابِرِ أَنْ يَخْطُبُوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَمَعَهُمُ الْعَصَا ، يَتَوَكَّئُونَ عَلَيْهَا فِي قِيَامِهِمْ ، وَهُوَ الَّذِي رَأَيْنَا وَسَمِعْنَا

Demikian itu merupakan di antara hal yang disunahkan bagi para imam yang berada di mimbar bahwa jika mereka berkhutbah Jumat hendaknya mereka memegang tongkat dan bersandar kepadanya pada saat mereka berdiri, itulah yang kami lihat dan kami dengar. (Jawahir Iklil, 1/97, Hasyiah Ad Dasuqi, 1/382-383, Al Mudawanah Al Kubra, 1/151, Raudhatuth Thalibin, 2/32, Hasyiah Al Qalyubi, 1/282, Kasysyaaf Al Qina’, 2/36, Al Inshaf, 2/397, Al Mughni, 2/309)

Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu berkata:

وَأُحِبُّ لِكُلِّ من خَطَبَ أَيَّ خُطْبَةٍ كانت أَنْ يَعْتَمِدَ على شَيْءٍ وَإِنْ تَرَكَ الِاعْتِمَادَ أَحْبَبْتُ له أَنْ يُسْكِنَ يَدَيْهِ وَجَمِيعَ بَدَنِهِ وَلَا يَعْبَثُ بِيَدَيْهِ …

Saya suka bagi setiap khatib yang berkhutbah agar dia menyandarkan dirinya pada sesuatu, kalau pun dia tidak bersandar hendaknya dia menenangkan kedua tangannya dan semua anggota badannya .. (Al Umm, 1/238)

Imam Ash Shan’ani Rahimahullah berkata:

وفي الحديث دليل على أنه يندب للخطيب الاعتماد على سيف أو نحوه وقت خطبته والحكمة أن في ذلك ربطاً للقلب ولبعد يديه عن العبث فإن لم يجد ما يعتمد عليه أرسل يديه أو وضع اليمنى على اليسرى أو على جانب المنبر ويكره دق المنبر بالسيف إذ لم يؤثر فهو بدعة

Pada hadits ini terdapat dalil disunahkannya bagi khatib untuk bersandar di atas pedang atau yang semisalnya pada waktu khutbah. Hikmahnya adalah bahwa hal itu bisa memantapkan hati dan menjauhkan tangan dari gerakan, jika tidak ada yang bisa dijadikan sandaran maka hendaknya dia meng-irsal-kan (melepaskan) tangannya, atau meletakkan yang kanan di atas yang kiri, atau meletakkannya di sisi mimbar, dan dimakruhkan dia memukul mimbar dengan pedangnya. Jika hal ini tidak ada atsarnya (yakni tidak ada dalilnya) maka perbuatan ini (yakni memukul mimbar dengan pedang) adalah bid’ah. (Subulus Salam, 2/59)

Syakh ‘Athiyah bin Muhammad Salim menjelaskan:

توكؤ الخطيب على شيء في يده مظهر من مظاهر الخطابة عند العرب قبل وبعد الإسلام

Bersandarnya khathib di atas sesuatu pada tangannya, merupakan di antara fenomena yang biasa terjadi pada orang-orang Arab, baik sebelum dan sesudah zaman Islam. (Syarh Bulugh Al Maram, Kitabush Shalah, Bab Shalatul Jum’ah, 13/102)

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah mengatakan:

وهذا الحديث لا بأس به، واعتماد الخطيب على عصا لا شك في أنه اقتداء برسول الله صلى الله عليه وسلم، ويمكن للخطيب أن يستند على المنبر، فإن المنبر على م

قدار مساو لارتفاع العصا، ويحصل به المقصود، لكن إذا كان المنبر لا يمكن أن يعتمد عليه فإنه يعتمد على العصا كما فعل الرسول صلى الله عليه وسلم، والاقتداء بالنبي صلى الله عليه وسلم فيه الخير والبركة. والاعتماد على السيف أو القوس كل ذلك مثل الاعتماد على العصا يحصل به المقصود، والقول بأنَّ الرسول صلى الله عليه وسلم فعله للحاجة ليس هناك شيء يدل عليه، وآلة القوس -كما هو معلوم- غير مستقيمة، بل هي مثل السيف فيها ميلان

Hadits ini tidak apa-apa, dan bersandarnya seorang khatib di atas tongkat tidak ragu lagi itu adalah perbuatan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mungkin saja seorang khatib bersandar kepada mimbar, karena jika ukuran tinggi mimbarnya sama akan meninggikan tongkat, hal ini sudah mencapai maksudnya, tetapi jika keadaan mimbar tidak memungkinkan untuk bersandar kepadanya, maka hendaknya khatib bersandar kepada tongkat sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan mengikuti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terdapat kebaikan dan keberkahan di dalamnya. Ada pun bersandar dengan pedang atau busur panah, semua ini sama halnya dengan tongkat yang apabila menggunakannya maka tujuan bersandar tersbeut telah terpenuhi dengannya, perkataan yang menyebutkan bahwa Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan hal ini karena adanya kebutuhan sama sekali tidak ada alasan yang menunjukkan hal itu, dan alat Busur panah –sebagaimana diketahui- tidaklah lurus, tetapi dia sama dengan pedang bentuknya melengkung (bengkok). (Syarh Sunan Abi Daud, 6/349)

Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri Rahimahullah mengatakan:

وفي الحديث مشروعية الاعتماد على قوس أو عصا حال الخطبة، قيل: والحكمة في ذلك الاشتغال عن العبث، وقيل: إنه أربط للجأش

Pada hadits ini menunjukkan disyariatkannya bersandar pada busur panah atau tongkat ketika dalam keadaan khutbah. Disebutkan bahwa hikmahnya adalah agar dia sibuk dari mempermainkan tangan. Juga disebutkan bahwa hal itu lebih menahankan tangan dari gerakan-gerakan. (Mir’ah Al Mafatih, 5/58)

Demikian, sebagian kecil saja pandangan dari para ulama tentang kesunahan bersandar kepada tongkat ketika khutbah, dan kesunahannya merupakan pendapat mayoritas fuqaha. Tetapi, tidak menggunakan juga tidak apa-apa, khatib bisa bersandar atau memegang mimbar, yang dengan itu maksud dari memegang tongkat sudah terpenuhi; yaitu agar tangan khatib tenang, tidak ke kanan ke kiri, dan nampak lebih berwibawa. Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa shahbihi wa Sallam.

🍃🌻🌴☘🌺🌷🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Jenis-Jenis Walimah

▪▫▪▫▪▫▪

Makna Walimah

Maknanya, kata Syaikh Wahbah Az Zuhailiy Rahimahullah:

هي كل طعام يتخذ لسرور حادث من عرس و عقد زواج و غيرها

Yaitu jamuan makan yang disediakan karena adanya peristiwa membahagiakan, seperti pesta pernikahan, akad perkawinan, dan selainnya.

(Al Fiqhu Asy Syafi’iy Al Muyassar, 2/71)

Macam-Macamnya:

  1. Al ‘Urs, jamuan makan saat pesta pernikahan
  2. Al Khars, jamuan makan saat aqiqah
  3. Al I’dzar, jamuan makan saat anak dikhitan
  4. Al Wakirah, jamuan makan setelah usai membangun rumah
  5. An Naqim, jamuan makan saat kedatangan musafir
  6. Wadhimah, memberikan makan saat musibah
  7. Al Imlak, jamuan makan setelah akad nikah
  8. Al Ma’dubah, jamuan makan tanpa sebab (Traktir). (Ibid)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid menjelaskan tentang Al Wakirah:

الوكيرة طعام سرور وشكران ، يتخذه الإنسان عند فراغه من البناء ، ويدعو إليه الناس ، وقد استحبها كثير من الفقهاء

Al Wakirah adalah jamuan makanan karena bahagia dan bersyukur, biasa dilakukan orang saat selesainya membangun bangunan (rumah), lalu dia mengundang manusia. Banyak sekali ulama fiqih yang mengatakan sebagai amal yg mustahab/SUNNAH… (Fatawa Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 205413)

Ada pun memenuhi undangannya adalah SUNNAH, menurut mayoritas ulama.

كما ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ : الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ فِي أَصَحِّ الْوَجْهَيْنِ ، وَالْحَنَابِلَةُ : إِلَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ حَضَرَ طَعَامَ الْوَكِيرَةِ

Sebagaimana MAYORITAS ulama baik Hanafiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, bahwa SUNNAH menghadiri undangan makan Al Wakiirah. (Ibid)

Syaikh Wahbah Az Zuhailiy Rahimahullah berpendapat WAJIB memenuhi semua bentuk undangan makan-makan.

Beliau berkata:

من دعي إلى الوليمة لزمته الاجابة فهي فرض عين صائما كان أو مفكرا

Siapa yang diundang untuk hadir walimah maka dia mesti meresponnya, yaitu fardhu ‘ain, baik dia dalam keadaan puasa atau tidak. (Al Fiqhu Asy Syafi’iy Al Muyassar, 2/71)

Dalilnya adalah:

اذا دعي أحدكم إلى الوليمة فليأتيها

Jika kalian diundang pada walimah (jamuan makan) maka datangilah. (HR. Bukhari dan Muslim)

Bagi yang berpuasa, dia wajib datang, dan boleh memilih untuk mendoakan saja dan tetap berpuasa, atau ikut makan (membatalkan puasanya). Ini situasional.

Dalilnya:

اذا دعي أحدكم فليجب فإن كان صائما فليصل و ان كان مفطرا فليطعم

Jika kalian diundang maka penuhilah undangan itu, jika sedang puasa maka doakanlah (tuan rumah), jika sedang tidak puasa makanlah.

(HR. Muslim)

Ada pun undangan yang dicampur oleh maksiat maka boleh tidak datang, dengan kata lain tidak wajib mendatanginya.

Syaikh Muhammad Muhajirin Amsar Rahimahullah berkata:

أذا كان هناك ضرر شرعي فلا تجب إجابته

Jika ada dharar (bahaya/keburukan) menurut syariat maka tidak wajib mendatanginya.

(Misbahuzh Zhalam, 4/290)

Atau ‘udzur syar’iy lainnya seperti sakit, bencana alam, atau tempat yang teramat jauh.

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top