Wahai Para Da’i, Perhatikan Kebiasaan Fiqih Di Daerahmu!

💢💢💢💢💢💢

Imam Abu Bakar Al Khathib Al Baghdadi berkata:

عن أبي عبيدة
قَالَ: قَالَ عَلِيّ: اقضوا ما كنتم تقضون فإني أكره الاختلاف حتى يكون للناس جماعة، أو أموت كما مات أصحابي

Dari Abu Ubaidah, dia berkata: Berkata Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu:

Putuskanlah dengan keputusan yang biasa kalian putuskan. Sungguh, saya tidak suka dengan perselisihan sampai aku mendapati manusia memiliki jamaahnya sendiri-sendiri, atau aku mati sebagaimana matinya para sahabatku.

(Tarikh Baghdad, 8/42)

Imam Ad Darimi Rahimahullah berkata:

أخبرنا يزيد بن هارون عن حماد بن سلمة عن حميد قال قلت لعمر بن عبد العزيز لو جمعت الناس على شيء فقال ما يسرني انهم لم يختلفوا قال ثم كتب إلى الآفاق أو إلى الأمصار ليقضي كل قوم بما اجتمع عليه فقهاؤهم

Mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun, dari Hammad bin Salamah, dari Humaid, dia berkata: Aku berkata kepada Umar bin Abdil ‘Aziz:

“Alangkah baiknya engkau menyatukan manusia dalam satu pendapat.”

Beliau menjawab:

“Aku tidak senang jika mereka tidak berbeda pendapat.”

Humaid berkata: “Lalu Umar bin ‘Abdil Aziz menulis surat ke semua penjuru negeri:

“Setiap penduduk di suatu negeri hendaknya memutuskan urusannya sesuai kesepakatan ahli fiqih mereka (di negeri masing-masing).”

(Sunan Ad Darimi No. 652, Bab Ikhtilaf Al Fuqaha)

Imam Al Qarafi Rahimahullah memiliki perkataan yang luar biasa:

فمهما تجدد في العرف اعتبره ومهما سقط أسقطه ولا تجمد على المسطور في الكتب طول عمرك بل إذا جاءك رجل من غير أهل إقليمك يستفتيك لا تجره على عرف بلدك واسأله عن عرف بلده وأجره عليه وأفته به دون عرف بلدك ودون المقرر في كتبك فهذا هو الحق الواضح والجمود على المنقولات أبدا ضلال في الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين “

Bagaimanapun yang baru dari sebuah tradisi perhatikanlah, dan yang sudah tidak berlaku lagi tinggalkanlah. Jangan kamu bersikap tekstual kaku pada tulisan di kitab saja sepanjang hayatmu. Jika datang kepadamu seorang dari luar daerahmu untuk meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu memberikan hukum kepadanya berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di daerahmu, tanyailah dia tentang adat kebiasaan yang terjadi di daerahnya dan hargailah itu serta berfatwalah menurut itu, bukan berdasarkan adat kebiasaan di daerahmu dan yang tertulis dalam kitabmu. Itulah sikap yang benar dan jelas. Sedangkan sikap selalu statis pada teks adalah suatu kesesatan dalam agama dan kebodohan terhadap tujuan para ulama Islam dan generasi salaf pendahulu.“

(Al Furuq, 1/176-177)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌱🌴🌾🌸🍃🌵🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Sujud Tanpa Sebab

◼◽◼◽◼◽

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum Ustadz, ijin bertanya.. bagaimana hukumnya bila ada kebiasaan seseorang yang melakukan sujud sehabis sholat atau dzikir sebelum beliau meninggalkan masjid.. Syukron, jazakallahu khoir (+62 877-8200-xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah ..

Sujud yg syar’iy ada 3 macam:

– Sujud dalam shalat
– Sujud sahwi
– Sujud tilawah
– Sujud syukur
– Sujud karena berdoa

Jadi lihat saja penyebabnya apa … Jika sujud hanya sekedar sujud tanpa sebab maka itu tidak disyariatkan.

Sebagian orang bisa jadi berdalil pakai hadits ini:

فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ

Maka bantulah aku membantu dirimu (ke surga) dengan banyak bersujud.

(HR. Muslim no. 489)

Mereka memaknai hadits ini hendaknya banyak sujud secara bebas. Sementara yang lain menolak pemahaman itu.

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata:

واستدل به من قال بجواز التقرب بسجدة فردة وحمله المانع على ان المراد به السجود في الصلاة والله أعلم

Pihak yang mengatakan bolehnya mendekatkan diri kepada Allah dengan sujud berdalil dengan hadits ini. Pihak yang melarang mengatakan maksud hadits ini adalah sujud dalam shalat. Wallahu a’lam

(At Talkhish Al Habir, 4/209)

Pendapat yang lebih hati-hati adalah tidak dibenarkan sujud tanpa adanya sebab.

Seorang ulama madzhab Syafi’iy, yaitu Imam ‘Izzuddin bin Abdussalam Rahimahullah berkata -sebagaimana dikutip Imam As Suyuthi Rahimahullah:

لم ترد الشريعة بالتقرب إلى الله بسجدة مفردة لا سبب لها فإن القرب لها أسباب وشرائط وأوقات وأركان لا تصح بدونها

Tidak ada dasarnya dalam syariat bahwa mendekatkan diri kepada Allah dengan sujud semata-mata tanpa sebab. Karena pendekatan diri kepada Allah memiliki sebab, syarat, rukun, waktu, dan tidak sah tanpa hal-hal ini.

(Imam As Suyuthi, Al Amru bil Ittiba’, Hal. 173)

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Sakit Bagaimanakah Yang Membolehkan Seseorang Tidak Berpuasa?

▫▪▫▪▫▪▫

Sakit adalah salah satu ‘udzur, halangan, bagi seseorang yang membuat boleh baginya tidak berpuasa, dan mengganti puasanya di hari lain.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah: 184)

Ada pun orang yang tidak berpuasa tanpa alasan, tanpa adanya ‘udzur, itu adalah salah satu dosa besar.

Imam Adz Dzahabi Rahimahullah berkata:

وعند المؤمنين مقرر أن من ترك صوم رمضان بلا مرض ولا عرض أنه شر المكاس والزاني ومدمن الخمر بل يشكون في إسلامه ويظنون به الزندقة والانحلال

Orang-orang beriman telah menetapkan bahwa orang yang meninggalkan puasa Ramadhan padahal tidak sakit dan tidak ada alasan, maka dia lebih buruk dari perampas, pezina, peminum khamr, bahkan diragukan keislamannya, dan mereka menyangka orang tersebut adalah zindik dan telah copot keislamannya.

(Dikutip oleh Imam Al Munawiy, Faidhul Qadir, 4/211)

📌 Makna Maridh (Sakit)

Sakit dalam ayat di atas ada dua pendapat para ulama.

Pertama. Semua macam penyakit atau rasa sakit yang disebut “sakit”.

Imam Ath Thabariy Rahimahullah berkata:

وهو كل مرض يسمى مرضا

Yaitu semua sakit yang dinamakan “keadaan sakit”. (Tafsir Ath Thabariy, 2/915)

Bahkan walau sekedar penyakit dijari jemari. Padahal ini penyakit yang ringan.

Imam Ath Thabariy Rahimahullah menceritakan dari Tharif bin Syihab Al ‘Atharidiy:

أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، فِي رَمَضَانَ وَهُوَ يَأْكُلُ فَلَمْ يَسْأَلْهُ، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ: إِنَّهُ وَجِعَتْ إِصْبَعِي هَذِهِ

Bahwa dia (Tharif) masuk ke rumah Muhammad bin Sirin di bulan Ramadhan, dan Muhammad bin Sirin sedang makan dan dia tidak menanyakannya. Tatkala selesai makan, Ibnu Sirin berkata: “Jariku yang ini sakit.”

(Ibid. Imam Al Qurthubi juga menceritakan dalam tafsirnya, 2/276)

Sebagian salaf mengikuti pendapat ini seperti ‘Atha bin Abi Rabah, Imam Bukhari, dan lainnya. Juga didukung oleh kelompok zhahiriyah (tekstualis), seperti Imam Daud, dan Imam Ibnu Hazm.

Syaikh Muhammad ‘Ali Ash Shabuniy Hafizhahullah berkata:

قال أهل الظاهر: مطلق المرض و السفر يبيح الافطار حتى لو كان السفر قصيرا و المرض يسيرا حتى من وجع الاصبع و الضرس و روى هذا عن عطاء و ابن سيرين

Kelompok Tekstualis (ahli zhahir) mengatakan, secara mutlak (umum) penyakit dan safar itu membolehkan untuk berbuka puasa walau jenis perjalanan yang dekat dan sakit yang ringan, sampai-sampai rasa sakit di jari dan gigi geraham. Hal ini diriwayatkan dari ‘Atha dan Ibnu Sirin.

(Rawa’i Al Bayan, 1/156)

Alasan mereka adalah ayat tersebut tidak menyebut sakit yang bagaimana, tapi hanya menyebut maridhan (keadaan sakit). Maka, ini menunjukkan bahwa sakit yang dimaksud adalah umum baik yang ringan dan berat. Pendapat ini nampak begitu “menggampangkan” tanpa membedakan penyakit ringan atau berat. Pokoknya, selama namanya sakit maka seseorang sudah boleh tidak berpuasa.

Kedua. Penyakit berat yang jika dia berpuasa maka dia sangat bersusah-payah dan bisa semakin parah penyakitnya atau semakin lama sembuhnya. Inilah sakit yang boleh bagi seseorang untuk tidak berpuasa. Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama.

Syaikh Muhammad ‘Ali Ash Shabuniy Hafizhahullah berkata:

وذهب أكثر الفقهاء إلى أن المرض المبيح الفطر هو المرض الشديد الذى يؤدى إلى ضرر فى النفس أو زيادة فى العلة أو يخشى معه تأخر البرء

Mayoritas ahli fiqih mengatakan bahwa sakit yang dibolehkan berbuka adalah sakit yang berat, yang jika dia puasa akan membawa bahaya bagi jiwanya, atau bertambah sakitnya, atau khawatir jadi lama sembuhnya. (Rawa’i Al Bayan, 1/156)

Ada yang memberikan batasan bahwa “sakit berat” itu adalah sakit yang membuat seseorang tidak mampu berdiri untuk shalat.

Imam Hasan Al Bashri Rahimahullah berkata:

إذا لم يستطع المريض أن يصلى قائما أفطر

Jika seorang yang sakit tidak mampu shalat secara berdiri, maka dia boleh berbuka. (Tafsir Ath Thabariy, 2/915)

Ini juga dikatakan oleh Ibrahim An Nakha’iy. (Ibid)

Sementara Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah pernah di tanya:

مَتَى يُفْطِرُ الْمَرِيضُ ؟ قَالَ : إذَا لَمْ يَسْتَطِعْ
قِيلَ : مِثْلُ الْحُمَّى ؟ قَالَ : وَأَيُّ مَرَضٍ أَشَدُّ مِنْ الْحُمَّى

“Kapankah orang sakit boleh berbuka?” Dia menjawab: “jika dia tidak mampu (puasa).” Ditanyakan lagi: “semacam demam?” Beliau menjawab: “Sakit apa pun yang lebih berat dari demam.” (Al Mughni, 6/149)

📚 Manakah Yang Dipilih?

Pendapat mayoritas ulama, yaitu sakit yang beratlah yang pantas bagi seseorang berbuka, sakit yang bisa membuat payah, dan semakin lama sembuhnya jika dia berpuasa, maka ini pendapat yang lebih aman dan hati-hati.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

وَالْمَرَضُ الْمُبِيحُ لِلْفِطْرِ هُوَ الشَّدِيدُ الَّذِي يَزِيدُ بِالصَّوْمِ أَوْ يُخْشَى تَبَاطُؤُ بُرْئِهِ

“Sakit yang dibolehkan untuk berbuka adalah sakit keras yang bisa bertambah parah karena puasa atau dikhawatiri lama sembuhnya.” (Ibid)

Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah mendukung pendapat ini, Beliau mengatakan tentang standar sakit yang boleh berbuka puasa:

هوالذي يشق معه الصوم مشقة شديدة أو يخاف الهلاك منه إن صام، أو يخاف بالصوم زيادة المرض أو بطء البرء أي تأخره . فإن لم يتضرر الصائم بالصوم كمن به جرب أو وجع ضرس أو إصبع أو دمل ونحوه، لم يبح له الفطر

“Yaitu sakit berat yang jika puasa beratnya semakin parah atau khawatir dia celaka, atau khawatir dengan puasa akan menambah sakit atau memperlama kesembuhan. Jika seorang puasa tidaklah mendatangkan mudharat baginya seperti sakit kudis, 1sakit gigi, jari, bisul, dan yang semisalnya, maka ini tidak boleh berbuka. (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 3/75. Maktabah Al Misykah)

Imam Ibnu Jarir Ath Thabariy Rahimahullah berkata:

وَالصَّوَابُ مِنَ الْقَوْلِ فِي ذَلِكَ عِنْدَنَا، أَنَّ الْمَرَضَ الَّذِي أَذِنَ اللَّهُ تَعَالَى ذِكْرُهُ بِالْإِفْطَارِمَعَهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ مَنْ كَانَ الصَّوْمُ جَاهَدَهُ جَهْدًا غَيْرَ مُحْتَمَلٍ، فَكُلُّ مَنْ كَانَ كَذَلِكَ فَلَهُ الْإِفْطَارُ وَقَضَاءُ عِدَّةٍ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Pendapat yang benar dalam masalah ini menurut kami adalah bahwa penyakit yang Allah izinkan untuk berbuka dan diganti di hari lain, adalah orang yang berpuasa begitu berat perjuangannya, maka semua yang seperti ini saat puasa maka dia hendaknya ganti dihari lain. (Tafsir Ath Thabariy, 2/915)

Syaikh Muhammad ‘Ali Ash Shabuniy Hafizhahullah berkata:

اقول ما ذهب إليه الجمهور هو الصحيح الذى يتقبله العقل بقول حسن فإن الحكمة التى من أجلها رخص للمريض فى الافطار هي إرادة اليسر و لا يراد اليسر الا عند وجود المشقة فأي مشقة فى وجع الاصبع أو الصداع الخفيف و المرض اليسير ..

Aku katakan bahwa apa yang dikatakan mayoritas ulama itulah yang shahih, bisa diterima akal, dan merupakan pendapat yang bagus. Sebab, hikmah dari adanya rukhshah (keringanan) adalah agar orang sakit itu mendapatkan kemudahan. Dan keringanan tidak akan muncul kecuali disaat adanya masyaqqah (berat, susah, payah), maka kepayahan apa yang dimunculkan dari sakit sekedar di jari jemari, demam ringan, atau sakit ringan ….?

(Rawa’i Al Bayan, 1/157)

Pendapat inilah yang lebih hati-hati dan aman, karena Allah Taala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

”Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.. “ (QS. At Taghabun (64): 16)

Jadi, selama masih ada kesanggupan maka berpuasalah. Jangan menyerah begitu saja hanya karena penyakit ringan.

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Anjuran Safar Di Waktu Malam

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz

Mau bertanya terkait apakah hadits ini ada dan shohih?
#konteks anjuran berjalan safar di waktu malam tsb seperti apa ya ustadz.
#nuhun

Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالدُّلْجَةِ فَإِنَّ الأَرْضَ تُطْوَى بِاللَّيْلِ

“Hendaklah kalian melakukan perjalanan di malam hari, karena seolah-olah bumi itu terlipat ketika itu.”

[HR. Abu Daud no. 2571]
(+62 822-8255-XXXX)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Ya, hadits tersebut SHAHIH. Dishahihkan oleh Imam Al Hakim, Ibnu Khuzaimah, Syaikh Al Albani, dan lainnya.

Maksudnya, perjalanan jadi lebih singkat dan tidak memakan banyak waktu, itulah makna seakan bumi dilipat yaitu seolah jarak menjadi pendek. Sebab dimalam hari manusia biasanya sdg istirahat sehingga lalu lalang manusia juga berkurang shgga lancar perjalanan.

Bisa juga karena hewan tunggangan kita lebih segar di malam hari, setelah istirahat di siang hari, shgga dia lebih fit dan cepat.

Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan:

وأما قوله فإن الأرض تطوى بالليل فمعناه – والله أعلم – أن الدابة إذا استراحت نهارا كان مشيها بالليل ضعف مشيها بالنهار ولهذا المعنى ندب رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى الدلجة والله أعلم

Ada pun sabdanya “Bumi dilipat di malam hari” maknanya – Wallahu a’lam_- bahwa hewan tunggangan istirahat disiang hari, dahulu di malam hari hewan itu melakukan perjalanan, sdgkan kalau siang lemah melakukan perjalanan. Oleh karena itu, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menganjurkan perjalanan di malam hari. (Al Istidzkar, 8/535)

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata:

وفيه فضل السير بالليل على السير بالنهار لما وقع من الإسراء بالليل ولذلك كانت أكثر عبادته صلى الله عليه وسلم بالليل وكان أكثر سفره صلى الله عليه وسلم بالليل

Pada hadits ini menunjukkan keutamaan safar di malam hari. Sebab, perjalanan Isra’ pun di malam hari, mayoritas ibadahnya nabi juga di malam hari. Demikian pula mayoritas perjalanan nabi juga dilakukan di malam hari.

(Fathul Bari, 7/217)

Namun, tentunya juga dilihat situasi ril di sebuah negeri, jika di malam hari justru bahaya baik karena kejahatan manusia, atau tradisi yang berbeda, atau alergi udara malam, maka tidak masalah perjalanannya di pagi atau siangnya.

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌱🌴🌾🌸🍃🌵🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top