Merutinkan Al Ma’tsurat

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Kpd ustadz farid,
Assalamu’alaikum ustadz, Mohon bertanya beekenaan al matsrurat yg di susun oleh ustadz al banna. Saya termasuk yg rutin membacanya, namun seringkali syubahat2 yg datang ke saya berkenaan al matsurat tsb.
Jadi mohon di jelaskan berkenaan al matsurat ini. kemudian, bolehkan untuk rutin membacanya?
Terima kasih semoga ustadz selalu dalam rahamat Allahu swt. 🙂

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi wa man Waalah, wa ba’d:

Semoga Allah Ta’ala merahmati penanya dan keluarga ..

Al Ma’tsurat adalah kitab kecil berupa kumpulan doa yang disusun oleh Al Imam Hasan Al Banna Rahimahullah yang berisi doa-doa yang berasal dari Al Quran dan As Sunnah.

Boleh dikatakan, dalam era penerbitan modern, dibanding kitab sejenisnya, Al Ma’tsurat adalah kitab yang paling luas penyebarannya di dunia Islam dan paling banyak jumlah eksemplarnya dengan naik cetak berkali-kali.

Kitab ini, sebagaimana kitab-kitab lain secara umum, tentu tidaklah sempurna. Telah banyak pihak yang memberikan penjelasan, penelitian terhadap haditsnya, bahkan juga kritikan, hingga tahap celaan terhadapnya hingga ada yang mengatakan: tidak boleh dibaca, karena terdapat hadits yang dhaif dan palsu. Sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah Ta’ala, oleh karena itu mengharapkan selain diriNya adalah sempurna, merupakan tindakan yang keliru dan menyalahi kodrat dan tabiat kehidupan.

Jauh sebelum Al Ma’tsurat, sudah ada kitab-kitab sejenis yang di susun para ulama; seperti Al Adzkar karya Imam An Nawawi dan Kalimatuth Thayyibah karya Imam Ibnu Taimiyah. Kedua kitab inilah yang menjadi rujukan utama Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah dalam menyusun Al Ma’tsurat sebagaimana dikatakan oleh Al ‘Allamah Asy Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah Ta’ala. Oleh karenanya, menjadi aneh ketika Al Ma’tsurat dicela karena adanya riwayat yang dhaif, namun sumber pengambilannya tidak dicela.

Kita pun tidak ingin ada manusia yang lancang mencela Al Adzkar dan Kalimatuth Thayyibah, itu bukan keinginan kita bersama, ini hanya untuk menunjukkan bahwa kedengkianlah yang membuat sebagian manusia bersikap tidak adil terhadap Al Ustadz Hasan Al Banna dan Al Ma’tsurat. Jika mereka mau adil, sadar, jujur, mereka pun tidak akan temukan kitab-kitab kumpulan doa yang disusun ulama masa lalu yang tanpa hadits-hadits dhaif (bahkan kitab tafsir dan fiqih pun memuatnya). Kritik dan nasihat tetaplah ada, tetapi demi ilmu, bukan untuk menjatuhkan kehormatan penulisnya dan memancing manusia untuk membencinya, serta membuang jauh karya-karyanya.

Zaman ini, kumpulan doa yang disusun ulama masa kini, telah dibuat sebisa mungkin tanpa riwayat yang dhaif -walhamdulillah, seperti Hishnul Muslim yang disusun oleh ulama muda, Asy Syaikh Said bin Ali Wahf Al Qahthani Hafizhahullah, juga kumpulan doa karya ulama lainnya, termasuk oleh penulis-penulis lokal. Demikianlah zaman telah berubah …

Dalam Al Ma’tsurat ini, sebenarnya Al ustadz Hasan Al Banna memuat sangat banyak dan lengkap, tidak seperti yang beredar di masyarakat yang lebih dikenal dengan Wazhifah Sughra dan Wazhifah Kubra.

Di dalamnya beliau membuat lima pembahasan:

Qismul Awwal (bagian pertama), Al Ustadz Al Banna memberi judul Al Wazhiifah, yaitu berisi wirid pagi dan sore yang berasal dari Al Quran dan As Sunnah. Inilah yang umumnya beredar dan manusia mengenal dan menyebutnya dengan Al Ma’tsurat. Dan, ini pula yang menjadi pembahasan kita.

Qismuts Tsaani (bagian kedua), berjudul Al Wirdul Qur’aniy (wirid Al Quran), yaitu berisi wirid-wirid berasal dari ayat-ayat pilihan dari Al Quran.

Qismuts Tsaalits (bagian ketiga), berjudul Ad’iyah Al Yaum wal Lailah (doa-doa sehari-hari siang dan malam), seperti doa bangun tidur, doa berpakaian, dan lainnya.

Qismur Raabi’, (bagian keempat) berjudul Al Ad’iyah Al Ma’tsurah fi Haalat Mukhtalifah (doa-doa ma’tsur pada berbagai keadaan).

Bagian kelima, adalah Wirdul Ikhwan (wirid Al Ikhwan), yaitu wirid-wirid ma’t

sur yang anjurkan untuk dibaca oleh para aktifis Al Ikhwan Al Muslimun. Di dalamnya terdapat doa rabithah, dia bukan doa ma’tsur melainkan susunan Al Ustadz Hasan Al Banna sendiri, maka jangan sampai ada yang terkecoh.

Semua inilah Al Ma’tsurat itu. Cukup banyak dan panjang, dalam kitab aslinya –khususnya penerbit Maktabah At Taufiqiyah- ada pada hal. 371 – 413, alias memakan 42 halaman dari kitab Majmu’ah Rasail. Sedangkan Al Ma’tsurat yang saat ini beredar dipasaran adalah hanya pada qismul awwal (bagian pertama) saja, yakni terdapat pada halaman 379-388 (hanya sembilan halaman, sudah mencakup wazhifah sughra dan kubra). Oleh karena itu menjadi sangat janggal jika hanya karena beberapa hadits yang dhaif pada qismul awwal (yakni bagian Al Wazhiifah), membuat bagian lainnya yang begitu banyak menjadi hina dan tidak berharga, serta dibuang jauh dari hak umat untuk mengetahuinya.

Ada pun susunan yang beliau buat, tidak berarti itu suatu yang baku, dan beliau pun tidak pernah mengatakan demikian. Siapa saja boleh membacanya dengan urutan yang tidak sama dengan Al Ma’tsurat. Hal ini perlu kami tekankan, agar tidak ada lagi tuduhan terhadap Al Ustadz Al Banna bahwa beliau sengaja membuat urutan wirid tersendiri, yang dengan itu jatuhlah vonis bid’ah terhadapnya.

Sedangkan, tentang derajat hadits yang menganjurkan wirid Al Quran dan juga beberapa dzikir dari hadits pada Al Ma’tsurat, memang ada yang dhaif, munkar, bahkan maudhu’ (palsu). Walau ada juga yang kedhaifannya masih diperselisihkan para pakar hadits. Namun, jumlahnya tidak banyak dan ulama sebelum Al Ustadz Hasan Al Banna pun tidak sedikit yang melakukannya, dan kita menilainya sebagai kekhilafan yang manusiawi. Sungguh berlebihan jika ada yang menganggap bahwa adanya hadits-hadits dhaif tersebut adalah kesengajaan yang dibuat oleh penulisnya dengan niat buruk terhadap kemurnian agama. Haihaata haata …. (sungguh jauh sekali hal tersebut).

Ditambah lagi, sebagian besar ulama membolehkan menggunakan hadits dhaif untuk urusan fadha’ilul a’mal, dan urusan stimulus untuk membaca ini dan itu dari kalimat doa dan dzikir merupakan bagian dari fadha’ilul a’mal. Bahkan Imam An Nawawi mengklaim telah disepakati kebolehannya, dan kebolehan itu mesti dengan syarat-syarat. Ada pun yang benar adalah kebolehan menggunakan hadits dhaig untuk fadhailul a’mal diperselisihkan, bukan kesepakatan. Hal ini telah kami bahas di channel ini dahulu. Walau demikian, menggunakan riwayat yang shahih adalah lebih utama dan lebih selamat untuk diamalkan. Dan, kita bisa memilah pada Al Ma’tsurat antara yang shahih dan dhaif, sesuai penjelasan para ulama.

📌 Fatwa Ulama

Berikut ini adalah fatwa yang kami ambil dari Fatawa Asy Syabkah Al Islamiyah, fatwa No. 23832, 8 Sya’ban 1423H:

السؤال
ما حكم قراءة المأثورات للشهيد حسن البنا جماعة بصوت واحد أو فرادى؟ جزاكم الله خيراً…….
الفتوى
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد:
فلا بأس في قراءة كتاب المأثورات للشيخ حسن البنا وغيره من كتب الأذكار، وقد بينا ضوابط ذلك في الفتوى رقم: 8381 .
وفيها أن الذكر الجماعي بصوت واحد من البدع المحدثات.
والله أعلم.
المفتي: مركز الفتوى بإشراف د.عبدالله الفقيه

Pertanyaan:
Apa hukum membaca Al Ma’tsurat-nya Asy Syahid Hasan Al Banna secara berjamaah dengan satu suara atau satu persatu? Jazakumullah khairan …

Fatwa:

Alhamdulillah Ash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi, amma ba’d:

Tidak apa-apa membaca kitab Al Ma’tsurat-nya Syaikh Hasan Al Banna dan lainnya yang termasuk kitab-kitab dzikir. Dan, kami telah menjelaskan dhawabith(rambu-rambu)nya pada fatwa no. 8381. Di dalamnya disebutkan bahwa dzikir jama’i dengan satu suara termasuk bid’ah. Wallahu A’lam

📕 Mufti: Markaz Fatwa (Pusat Fatwa), penanggung jawab: Asy Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih

🌴🍃🌾🌸🌺🌷☘🌻

✏ Farid Nu’man Hasan

Iqamah Buat Shalatnya Wanita

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum, Ustad. Apakah setiap sholat, saya (perempuan) harus iqomat terlebih dahulu, walaupun sholat munfarid. Terima kasih atas penjelasan Ustad.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah, Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was zsalamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:

Untuk iqamah kaum wanita, dijelaskan oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berikut ini:

أذان النساء واقامتهن: قال ابن عمر رضي الله عنهما: ليس على النساء أذان ولا إقامة.
رواه البيهقي بسند صحيح وإلى هذا ذهب أنس، والحسن، وابن سيرين، والنخعي والثوري، ومالك، وأبو ثور، وأصحاب الرأي.
وقال الشافعي وإسحاق: إن أذن وأقمن فلا بأس. وروي عن أحمد: إن فعلن فلا بأس، وإن لم يفعلن فجائز.
وعن عائشة: (أنها كانت تؤذن وتقيم وتؤم النساء، وتقف وسطهن) رواه البيهقي.

Adzan dan Iqamah Kaum Wanita

📌 Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma: “Kaum wanita tidak adzan dan iqamah.” Itu diriwayatkan Al Baihaqi dengan sanad shahih. Dan ini menjadi pendapat Anas, Al Hasan, Ibnu Sirin, Ats Tsauri, An Nakha’i, Malik, Abu Tsaur, dan Ashhabur Ra’yi (Hanafiyah).

📌 Asy Syafi’i dan Ishaq mengatakan: Jika wanita adzan dan iqamah maka tidak apa-apa.

📌 Diriwayatkan dari Ahmad: Jika mereka melakukannya tidak apa-apa, jika tidak melakukannya juga boleh.

📌 Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha: Dahulu dia (‘Aisyah) pernah adzan, iqamah, dan menjadi imam kaum wanita, dan posisinya di tengah mereka. Diriwayatkan Al Baihaqi. (Selesai dari Fiqhus Sunnah)

Adapun dalam kitab Al Mausu’ah:

اتفق الفقهاء على عدم جواز أذان المرأة وإقامتها لجماعة الرجال ، لأن الأذان في الأصل للإعلام ، ولا يشرع لها ذلك ، والأذان يشرع له رفع الصوت ، ولا يشرع لها رفع الصوت ، ومن لا يشرع في حقه الأذان لا يشرع في حقه الإقامة .
وأما إذا كانت منفردة أو في جماعة النساء ففيه اتجاهات .
الأول : الاستحباب . وهو قول المالكية والشافعية ، وهي رواية عند الحنابلة .
الثاني : الإباحة . وهي رواية عن أحمد .
الثالث : الكراهة . وهو قول الحنفية .

📌 Ahli Fiqih semua sepakat bahwa wanita tidak boleh adzan dan iqamah untuk jamaah kaum laki-laki

📌 Karena adzan pada dasarnya adalah pemberitahuan, dan hal itu tidak disyariatkan bagi wanita.

📌 Adzan adzan itu disyariatkan meninggikan suara, dan kaum wanita tidak disyariatkan meninggikan suara

📌 Siapa yang tidak berhak adzan maka dia juga tidak berhak iqamah

📌 Sedangkan jika shalatnya sendiri atau jamaah kaum wanita saja, maka ada beberapa pendapat:

🍃 Pertama: disukai (sunnah), ini pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan juga sebuah riwayat dari Hambaliyah.

🍃 Kedua: boleh, ini salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal.

🍃 Ketiga: makruh, ini adalah pendapat Hanafiyah.

(Selesai)

📖 Kesimpulan:

– Jika iqamahnya untuk jamaah laki-laki, sepakat para ulama itu tidak boleh

– Jika untuk shalat sendiri atau jamaah kaum wanita, maka umumnya fuqaha tidak melarang, kecuali Hanafiyah yang memakruhkan, juga sebagian sahabat nabi.

📚 Sumber: Fiqhus Sunnah, 1/120, Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 6/9

🍃🌴☘🌺🌷🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

KEDUDUKAN DAN MAKNA HADITS TASYABBUH BIL KUFFAR (MENYERUPAI ORANG KAFIR)

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Asslm… saya mau bertanya pada ustadz Farid tentang:

1. Kedudukan hadits
“من تشبه بقوم فهو منهم”

2. Bagaimana aplikasi hadits diatas dlm keseharian kita. Apakah HANYA menyangkut aqidah? Fiqih? Mu’amalah? Atau SEMUA sisi kehidupan kita?
Karena, hampir sebagian hidup kita banyak mengadopsi kebudayaan non muslim seperti makanan, pakaian, teknologi, bahasa, hiburan dll.
جزاكم الله خيرا….

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’Alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

📕Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.” (HR. Abu Daud No. 4031, Ahmad No. 5115, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No.33016, dll) (1)

📘Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Bukan golongan kami orang yang menyerupai selain kami, janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani.(HR. At Tirmdizi No. 2695, Al Qudha’i, Musnad Asy Syihab No. 1191) (2) (Keshahihan hadits ini lihat pada catatan kaki)

Ketika menjelaskan hadits-hadits di atas, Imam Abu Thayyib mengutip dari Imam Al Munawi dan Imam Al ‘Alqami tentang hal-hal yang termasuk penyerupaan dengan orang kafir:

“Yakni berhias seperti perhiasan zhahir mereka, berjalan seperti mereka, berpakaian seperti mereka, dan perbuatan lainnya.” (Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim, ‘Aunul Ma’bud, 11/51)

Imam Abu Thayyib Rahimahullah juga mengatakan:

Lebih dari satu ulama berhujjah dengan hadits ini bahwa dibencinya segala hal terkait dengan kostum yang dipakai oleh selain kaum muslimin. (Ibid, 11/52)

Demikianlah keterangan para ulama bahwa berhias dan menggunakan pakaian yang menjadi ciri khas mereka –seperti topi Sinterklas, kalung Salib, topi Yahudi, peci Rabi Yahudi- termasuk makna tasyabbuh bil kuffar – menyerupai orang kafir yang begitu terlarang dan dibenci oleh syariat Islam.

Ada pun pakaian yang bukan menjadi ciri khas agama, seperti kemeja, celana panjang, jas, dasi, dan semisalnya, para ulama kontemporer berbeda pendapat apakah itu termasuk menyerupai orang kafir atau bukan. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah menganggap kostum-kostum ini termasuk menyerupai orang kafir, maka ini hal yang dibenci dan terlarang, bahkan menurutnya termasuk jenis kekalahan secara psikis umat Islam terhadap bangsa-bangsa penjajah. Sedangkan menurut para ulama di Lajnah Daimah kerajaan Saudi Arabia seprti Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, dan lainnya, menganggap tidak apa-apa pakaian-pakaian ini. Sebab jenis pakaian ini sudah menjadi biasa di Barat dan Timur. Bukan menjadi identitas agama tertentu.

Pendapat kedua inilah yang lebih tepat, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam riwayat shahih, pernah memakai Jubah Romawi yang sempit. Sebutan “Jubah Romawi” menunjukan itu bukan pakaian kebiasaannya, dan merupakan pakaian budaya negeri lain (Romawi), bukan pula pakaian simbol agama, dan Beliau memakai jubah Romawi itu walau agama bangsa Romawi adalah Nasrani.

Dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakai jubah Romawi yang sempit yang memiliki dua lengan baju.(HR. At Tirmidzi No. 1768, katanya: hasan shahih. Ahmad No. 18239. Al Baghawi, Syarhus Sunnah No. 3070. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Al Albani, dan lainnya)

Sementara dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengenakan Jubbah Syaamiyah (Jubah negeri Syam). Riwayat ini tidak bertentangan dengan riwayat Jubbah Rumiyah. Sebab, saat itu Syam termasuk wilayah kekuasaan Romawi.

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan:

Banyak terdapat dalam riwayat Shahihain dan lainnya tentang Jubbah Syaamiyah, ini tidaklah menafikan keduanya, karena Syam saat itu masuk wilayah pemerintahan kerajaan Romawi. (Tuhfah Al Ahwadzi, 5/377)

Syaikh Al Mubarkafuri menerangkan, bahwa dalam keterangan lain, saat itu terjadi ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang safar. Ada pun dalam riwayat Malik, Ahmad, dan Abu Daud, itu terjadi ketika perang Tabuk, seperti yang dikatakan oleh Mairuk. Menurutnya hadits ini memiliki pelajaran bahwa bolehnya memakai pakaian orang kafir, sampai-sampai walaupun terdapat najis, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakai Jubah Romawi tanpa adanya perincian (apakah baju itu ada najis atau tidak). (Ibid)

📌Mengambil Ilmu Dari Mereka (Orang Kafir) Bukan Termasuk Tasyabbuh (penyerupaan)

Begitu pula mengambil ilmu dan maslahat keduniaan yang berasal dari kaum kuffar, maka ini boleh. Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menggunakan cara Majusi dalam perang Ahzab, yaitu dengan membuat Khandaq (parit) sekeliling kota Madinah. Begitu pula penggunakaan stempel dalam surat, ini pun berasal dari cara kaum kuffar saat itu, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengikutinya.

Oleh karena itu, memakai ilmu keduniaan dari mereka, baik berupa penemuan ilmiah, fasilitas elektronik, transportasi, software, militer, dan semisalnya, tidak apa-apa mengambil manfaat dari penemuan mereka. Ini bukan masuk kategori menyerupai orang kafir. Sebab ini merupakan hikmah (ilmu) yang Allah Ta’ala titipkan melalui orang kafir, dan seorang mu’min lebih berhak memilikinya dibanding penemunya sendiri, di mana pun dia menjumpai hikmah tersebut.

Jadi, tidak satu pun ketetapan syariat yang melarang mengambil kebaikan dari pemikiran teoritis dan pemecahan praktis non muslim dalam masalah dunia selama tidak bertentangan dengan nash yang jelas makna dan hukumnya serta kaidah hukum yang tetap. Oleh karena hikmah adalah hak muslim yang hilang, sudah selayaknya kita merebutnya kembali. Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan –dengan sanad dhaif- sebuah kalimat, “Hikmah adalah harta dari seorang mu’min, maka kapan ia mendapatkannya, dialah yang paling berhak memilikinya.”

Meski sanadnya dhaif, kandungan pengertian hadits ini benar. Faktanya sudah lama kaum muslimin mengamalkan dan memanfaatkan ilmu dan hikmah yang terdapat pada umat lain. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr, bahwa Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu pernah berkata, “Ilmu merupakan harta orang mu’min yang hilang, ambil-lah walau dari orang-orang musyrik.” (3) Islam hanya tidak membenarkan tindakan asal comot terhadap segala yang datang dari Barat tanpa ditimbang di atas dua pusaka yang adil, Al Qur’an dan As Sunnah.

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

🌴🌻🌺☘🌷🌸🌾🍃

✏ Farid Nu’man Hasan


🌿🌿🌿🌿🍃🍃🍃🍃

Catatan Kaki:

1] Imam As Sakhawi mengatakan ada kelemahan dalam hadits ini, tetapi hadits ini memiliki penguat (syawahid), yakni hadits riwayat Al Bazzar dari Hudzaifah dan Abu Hurairah, riwayat Al Ashbahan dari Anas bin Malik, dan riwayat Al Qudha’i dari Thawus secara mursal. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 215).

Sementara, Imam Al ‘Ajluni mengatakan, sanad hadits ini shahih menurut Imam Al ‘Iraqi dan Imam Ibnu Hibban, karena memiliki penguat yang disebutkan oleh Imam As Sakhawi di atas. (Imam Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa, 2/240). Imam Ibnu Taimiyah mengatakan hadits ini jayyid (baik). Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan sanadnya hasan.(Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim, Aunul Ma’bud, 11/52). Syaikh Al Albani mengatakan hasan shahih. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4031)

2] Sebagaimana kata Imam AtTirmidzi, Pada dasarnya hadits ini dhaif, karena dalam sanadnya terdapat Ibnu Luhai’ah seorang perawi yang terkenal kedhaifannya. Namun, hadits ini memiliki berapa syawahid (penguat), sehingga Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menghasankan hadits ini dalam berbagai kitabnya. (Shahihul Jami’ No. 5434, Ash Shahihah No. 2194). Begitu pula yang dikatakan Syaikh Abdul Qadir Al Arna’uth, bahwa hadits ini memiliki syawahid yang membuatnya menjadi kuat. (Raudhatul Muhadditsin No. 4757)

3] Hadits: “Hikmah adalah kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja dia menemukannya maka dialah yang paling berhak memilikinya.”

Hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi dalam sunannya, pada Bab Maa Ja’a fil Fadhli Fiqh ‘alal ‘Ibadah, No. 2828. Dengan sanad: Berkata kepada kami Muhammad bin Umar Al Walid Al Kindi, bercerita kepada kami Abdullah bin Numair, dari Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi, dari Sa’id Al Maqbari, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: …. ( lalu disebut hadits di atas).

Imam At Tirmidzi mengomentari hadits tersebut: “Hadits ini gharib (menyendiri dalam periwayatannya), kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini. Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi adalah seorang yang dhaif fil hadits (lemah dalam hadits).”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Kitab Az Zuhud Bab Al Hikmah, No. 4169. Dalam sanadnya juga terdapat Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi.

Imam Ibnu Hajar mengatakan, bahwa Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi adalah Abu Ishaq Al Madini, dia seorang yang Fahisyul Khatha’ (buruk kesalahannya). (Al Hafizh Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 1/14. Mawqi’ Al Warraq). Sementara Imam Yahya bin Ma’in menyebutnya sebagai Laisa bi Syai’ (bukan apa-apa). (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 1/105. Mawqi’ Ya’sub)

Sederetan para Imam Ahli hadits telah mendhaifkannya. Imam Ahmad mengatakan: dhaiful hadits laisa biqawwifil hadits (haditsnya lemah, tidak kuat haditsnya). Imam Abu Zur’ah mengatakan: dhaif. Imam Abu Hatim mengatakan: dhaifulhadits munkarulhadits (hadisnya lemah dan munkar). Imam Al Bukhari mengatakan: munkarul hadits. Imam An Nasa’imengatakan: munkarul hadits, dia berkata ditempat lain: tidak bisa dipercaya, dan haditsnya tidak boleh ditulis. Abu Al Hakim mengatakan: laisa bil qawwi ‘indahum (tidak kuat menurut mereka/para ulama). Ibnu ‘Adi mengatakan: dhaif dan haditsnya boleh ditulis, tetapi menurutku tidak boleh berdalil dengan hadits darinya.

Ya’qub bin Sufyan mengatakan bahwa hadits tentang “Hikmah” di atas adalah hadits Ibrahim bin Al Fadhl yang dikenal dan diingkari para ulama. Imam Ibnu Hibban menyebutnya fahisyul khatha’ (buruk kesalahannya). Imam Ad Daruquthni mengatakan: matruk (haditsnya ditinggalkan), begitu pula menurut Al ‘Azdi. (Lihat semua dalam karya Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 1/131 .DarulFikr. Lihat juga Al Hafizh Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 2/43.Muasasah ArRisalah. Lihat juga Imam Adz Dzahabi, Mizan Al I’tidal, 1/52.Darul Ma’rifah. Lihat juga Imam Abu Hatim ArRazi, Al JarhwatTa’dil, 2/122. Dar Ihya AtTurats. Lihat juga Imam Ibnu ‘Adi Al Jurjani, Al Kamil fidh Dhu’afa, 1/230-231. Darul Fikr. Imam Al ‘Uqaili, Adh Dhuafa Al Kabir, 1/60. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Syaikh Al Albani pun telah menyatakan bahwa hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), lantaran Ibrahim ini. (Dhaiful Jami’ No. 4302. Dhaif Sunan At Tirmidzi, 1/320)

Ada pula yang serupa dengan hadits di atas:

“Hikmah adalah kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja seorang mukmin menemukan miliknya yang hilang, maka hendaknya ia menghimpunkannya kepadanya.”

Imam As Sakhawi mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Al Qudha’i dalam Musnadnya, dari hadits Al Laits, dari Hisyam bin Sa’ad, dari Zaid bin Aslam, secara marfu’. Hadits ini mursal. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, 1/105. Imam Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa’, 1/363)

Ringkasnya, hadits mursal adalah hadits yang gugur di akhir sanadnya, seseorang setelah tabi’in. Kita lihat, riwayat Al Qudha’i ini, Zaid bin Aslam adalah seorang tabi’in, seharusnya dia meriwayatkan dari seorang sahabat nabi, namun sanad hadits ini tidak demikian, hanya terhenti pada Zaid bin Aslam tanpa melalui sahabat nabi. Inilah mursal. Jumhur (mayoritas) ulama dan Asy Syafi’i mendhaifkan hadits mursal.

Ada pula dengan redaksi yang agak berbeda, bukan menyebut Hikmah, tetapi Ilmu. Diriwayatkan oleh Al ‘Askari, dari‘Anbasah bin Abdurrahman, dari Syubaib bin Bisyr, dari Anas bin Malik secara marfu’:

“Ilmu adalah barang mukmin yang hilang, dimana saja dia menemukannya maka dia mengambilnya.”

Riwayat ini juga dhaif. ‘Anbasah bin Abdurrahman adalah seorang yang matruk (ditinggal haditsnya), dan Abu Hatim menyebutnya sebagai pemalsu hadits.(Taqribut Tahdzib, 1/758)

Ibnu Abi Hatim bertanya kepada ayahnya (Abu Hatim)

tentang ‘Anbasah bin Abdurrahman, beliau menjawab: matruk dan memalsukan hadits. Selain itu, Abu Zur’ahjuga ditanya, jawabnya: munkarul hadits wahil hadits (haditsnya munkar dan lemah). (Al Jarh wat Ta’dil, 6/403)

Ada pun Syubaib bin Bisyr, walau pun Yahya bin Ma’in menilainya tsiqah (bisa dipercaya), namun Abu Hatimdan lain-lainnya mengatakan: layyinulhadits. (haditsnya lemah). (Imam Adz Dzahabi, MizanulI’tidal, 2/262)

Ada pula riwayat dari Sulaiman bin Mu’adz, dari Simak, dari ‘ikrimah, dariIbnu Abbas, di antara perkataannya:
“Ambillah hikmah dari siapa saja kalian mendengarkannya, bisa jadi ada perkataan hikmah yang diucapkan oleh orang yang tidak bijak, dan dia menjadi anak panah yang bukan berasal dari pemanah.” Ucapan ini juga dhaif. Lantaran kelemahan Sulaiman bin Muadz.

Yahya bin Ma’in mengatakan tentang dia: laisa bi syai’ (bukan apa-apa). Abbas mengatakan, bahwa Ibnu Main mengatakan: dia adalah lemah. Abu Hatim mengatakan: laisa bil matin (tidak kokoh). Ahmad menyatakannya tsiqah (bisa dipercaya).Ibnu Hibban mengatakan: dia adalah seorang rafidhah (syiah) ekstrim, selain itu dia juga suka memutar balikan hadits. An Nasa’i mengatakan: laisa bil qawwi (tidak kuat). (Mizanul I’tidal, 2/219)

📝Catatan:

Walaupun ucapan ini dhaif, tidak ada yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun, secara makna adalah shahih. Orang beriman boleh memanfaatkan ilmu dan kemajuan yang ada pada orang lain, sebab hakikatnya dialah yang paling berhak memilikinya. Oleh karena itu, ucapan ini tenar dan sering diulang dalam berbagai kitab para ulama. Lebih tepatnya, ucapan ini adalah ucapan dari beberapa para sahabat dan tabi’in dengan lafaz yang berbeda-beda.

Dari Al Hasan bin Shalih, dari ‘Ikrimah, dengan lafaznya:

“Ambil-lah hikmah dari siapa pun yang engkau dengar, sesungguhnya ada seorang laki-laki yang berbicara dengan hikmah padahal diabukan seorang yang bijak, dia menjadi bagaikan lemparan panah yang keluar dari orang yang bukan pemanah.” (Al Maqashid Al Hasanah, 1/105)

Ucapan ini adalah shahih dari ‘Ikrimah, seorang tabi’in senior, murid Ibnu Abbas. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, Al Hasan bin Shalih bin Shalih bin Hay adalah seorang tsiqah, ahli ibadah, faqih, hanya saja dia dituduh tasyayyu’ (agak condong ke syi’ah). (Taqribut Tahdzib, 1/205)

Waki’ mengatakan Al Hasan bin Shalih adalah seseorang yang jika kau melihatnya kau akan ingat dengan Said bin Jubeir. Abu Nu’aim Al Ashbahani mengatakan aku telah mencatat hadits dari 800 ahli hadits, dan tidak satu pun yang lebih utama darinya. Abu Ghasan mengatakan, Al Hasan bin Shalih lebih baik dari Syuraik. Sedangkan Ibnu ‘Adi mengatakan, sebuah kaum menceritakan bahwa hadits yang diriwayatkan dari nya adalah mustaqimah, tak satu pun yang munkar, dan menurutnya Al Hasan bin Shalih adalah seorang yang ahlushshidqi (jujur lagi benar). Ibnu Hibban mengatakan, Al Hasan bin Shalih adalah seorang yang faqih, wara’, pakaiannya lusuh dan kasar, hidupnya diisi dengan ibadah, dan agak terpengaruh syi’ah (yakni tidak meyakini adanya shalatJumat). Abu Nu’aim mengatakan bahwa Ibnul Mubarak mengatakan Al Hasan bin Shalih tidak shalat Jumat, sementara Abu Nu’aim menyaksikan bahwa beliau shalat Jum’at. Ibnu Sa’ad mengatakan dia adalah seorang ahli ibadah, faqih, dan hujjah dalam hadits shahih, dan agak tasyayyu’. As Saji mengatakan Al Hasan bin Shalih adalah seorang shaduq (jujur). Yahya bin Said mengatakan, tak ada yang sepertinya di Sakkah. Diceritakan dari Yahya bin Ma’in, bahwa Al Hasan bin Shalih adalah tsiqatun tsiqah (kepercayaannya orang terpercaya). (Tahdzibut Tahdzib, 2/250-251)

Hanya saja Sufyan Ats Tsauri memiliki pendapat yang buruk tentangnya. Beliau pernah berjumpa dengan Al Hasan bin Shalih di masjid pada hari Jum’at, ketika Al Hasan bin Shalih sedang shalat, Ats Tsauri berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari khusyu’ yang nifaq.” Lalu dia mengambil sendalnya dan berlalu. Hal ini lantaran Al Hasan bin Shalih –menurut At Tsauri- adalah seseorang yang membolehkan mengangkat pedang kepada penguasa (memberontak). (Ibid, 2/249)

Namun, jarh (kritik)

ini tidak menodai ketsiqahannya, lantaran ulama yang menta’dil (memuji) sangat banyak.

Selain itu, telah shahih dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

“Ilmu adalah barang mukmin yang hilang, maka ambil-lah walau berada di tangan orang-orang musyrik, dan janganlah kalian menjauhkan diri untuk mengambil hikmah itu dari orang-orang yang mendengarkannya.” (Ibnu Abdil Bar, Jami’ Bayan Al ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/482. Mawqi’ Jami Al Hadits)

Selesai.

 

Dalam Politik yang Ada Adalah Kepentingan Abadi?

▫▪▫▪▫▪▫▪

📌 Dahulu, pada awal Islam, Nabi ﷺ dan para sahabatnya mendapatkan bantuan dari Bani Khuza’ah yg musyrik

📌 Bukankah kita dilarang menjadikan orang kafir sebagai WALI? Dan salah satu maknanya adalah penolong?

📌 perlu diketahui, saat itu masa-masa lemah dan sedikit bagi kaum muslimin. Sehingga para ulama, seperti Imam Ibnul Qayyim mengatakan bolehnya mengambil bantuan dari non muslim dimasa-masa lemah dan sedikit

📌 Belasan tahun kemudian, tepatnya tahun 8 Hijriyah, bulan Syawwal, belum sebulan dari Fathul Makkah, terjadilah perang Hunain.

📌 Perang Hunain ini, diantara motornya -dan kemudian menjadi musuh umat Islam- adalah Bani Khuza’ah!

📌 Dulunya Bani Khuza’ah membantu, berkoalisi, .. tapi kemudian menjadi lawan.

📌 Demikianlah .., sejarah mengajarkan bahwa memang tiada yang abadi dalam pertemanan dengan yang berbeda ideologi dan kepentingan.

📌 Dahulu Nabi ﷺ dan para sahabat ada kepentingan: menyelematkan da’wah Islam disaat masih kecil

📌 Kemudian, perang Hunain, juga menyelamatkan kepentingan yang sama: da’wah Islam disaat sudah besar.

📌 Maka, jika “kepentingan” yang dimaksud adalah kepentingan Islam dan da’wahnya, kepentingan umat dan eksistensinya, maka fokuslah dan konsistenlah atas hal itu, walau konsekuensinya harus berganti teman. Pergantian itu bukan aib dan cela, kecuali bagi yang tidak memahami tabiat perjuangan.

📌 Begitulah perjalanan hidup manusia terbaik mengajarkan

📌 Apalagi dalam politik, menjaga kepentingan Islam itu tidak mudah.

📌 Siap-siaplah dituduh bahwa Anda menjual agama untuk kepentingan politik, karena para penuduh tidak mengenal Anda, tidak tahu ketulusan, dan keikhlasan perjuangan Anda. Mereka hanya melihat dari luar dan memukul rata.

📌 Sementara mereka yang baru merapat ke agama, ke masjid, ke ulama, ke pesantren, dan tiba-tiba berjilbab, saat menjelang tahun politik saja .. aman dari sebutan “menjual agama”, padahal mereka inilah para penipu dan penjual agama. Beragama hanya saat ada maunya.

📌 Sementara aktifis Islam, .. yg tetap komitmen berislam dalam keadaan apa pun, ada atau tidak ada tahun politik, tetap ke masjid, pengajian, dekat dengan ulama, pesantren, dan isu-isu keislaman .. Insya Allah kalianlah pejuang .. walau para penuduh tetap menuduh, karena mereka tidak bisa membedakan mana loyang mana emas ..

Wallahul Musta’an

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top