Muslimah Setor Hafalan Al Quran ke Laki-Laki Bukan Mahramnya

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum Ustad,
Bagaimana jika akhwat menyetorkan hafalan Al-Qur’an dan tahsin dgn yg bukan muhrimnya? dgn Via telfon atau secara langsung..

Jazakalloh.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam warahmatullah .. Bismillah wal Hamdulillah..

Pada prinsipnya tidak apa-apa, sebab suara wanita bukanlah aurat menurut mayoritas ulama, kecuali menurut Imam Abu Hanifah. Tapi, jika sudah sampai memancing syahwat laki2 atau fitnah lainnya, maka itu terlarang.

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah berkata:

صوت المرأة عند الجمهور ليس بعورة؛ لأن الصحابة كانوا يستمعون إلى نساء النبي صلّى الله عليه وسلم لمعرفة أحكام الدين، لكن يحرم سماع صوتها بالتطريب والتنغيم ولو بتلاوة القرآن، بسبب خوف الفتنة

Suara wanita menurut mayoritas ulama bukanlah aurat karena dahulu para sahabat Nabi ﷺ mendengarkan dari istri-istri Nabi ﷺ untuk mempelajari hukum-hukum agama, tetapi diharamkan mendengarkan suara wanita jika melahirkan gairah dan mendayu-dayu walau pun membaca Al Quran, disebabkan khawatir lahirnya fitnah. (Al Fiqhu Al Islami wa Adillatuhu, 1/665)

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz juga memfatwakan demikian, bolehnya wanita membaca Al Quran dan didengarkan laki-laki yang bukan mahram, asalkan aman dari fitnah.

Namun demikian, jalan terbaik dan paling aman adalah sebaiknya kepada guru muslimah juga.

Wallahu A’lam

🍃🍃🍃🍃🍃

✏ Farid Nu’man Hasan

Hukum, Tata Cara, dan Doa Sholat Jenazah

▪▫▪▫▪▫▪▫

I. Hukumnya

Shalat jenazah termasuk fardhu kifayah.

Syaikh Abdurrahman Al Jaziriy Rahimahullah mengatakan:

هي فرض كفاية على الأحياء، فإذا قام بها البعض ولو واحدا سقطت عن الباقين، فلا يكلفون بها، ولكن ينفرد بثوابها من قام بها منهم

Itu adalah fardhu kifayah atas yang hidup, seandainya sudah dilakukan sebagian orang walau hanya satu orang saja maka gugur kewajiban atas yg lainnya, mereka tidak dibebankannya. Tetapi, pahalanya hanya bagi seorang diri yang shalat di antara mereka.

(Al Fiqhu ‘alal Madzahib Al Arba’ah, 1/478)

Sebagian ulama, yaitu sebagian Malikiyah, mengatakan “sunnah kifayah”, sebagaimana keterangan berikut:

ذهب جمهور الفقهاء إلى أن الصلاةعلى الجنازة فرض على الكفاية، واختلف فيه قول المالكية فقال ابن عبد الحكم: فرض على الكفاية وهو قول سحنون، وعليه الأكثر وشهره الفاكهاني، وقال أصبغ: سنة على الكفاية

Mayoritas ahli fiqih mengatakan shalat jenazah adalah fardhu kifayah. Ada pendapat dari Malikiyah yang menyelisihinya. Ibnu Abdil Hakam mengatakan: “Fardhu kifayah, ini adalah perkataan Sahnun dan ini dianut oleh mayoritas dan ditenarkan oleh Al Fakihaniy. Asbagh berkata: Sunnah Kifayah.”

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/17-18)

II. Syarat-Syaratnya

Syarat sahnya shalat jenazah sama dengan shalat lainnya, kecuali masalah waktu.

Dalam Al Mausu’ah disebutkan:

يشترط لصحة صلاة الجنازة ما يشترط لبقية الصلوات من الطهارة الحقيقية بدنا وثوبا ومكانا، والحكمية، وستر العورة، واستقبال القبلة، والنية، سوى الوقت

Disyaratkan bagi keabsahan shalat jenazah syarat yang sama sebagaimana shalat lainnya, yaitu: suci secara hakiki baik badan, pakaian, dan tempat, dan suci secara hukmiyah (bebas dari hadats kecil dan besar), menutup aurat, menghadap kiblat, niat, kecuali masalah waktu. (Al Mausu’ah, 16/18)

Syarat lainnya yg sudah pasti adalah mayit harus muslim, Allah Ta’ala berfirman tentang mayit munafiq:

ولا تصل على أحد منهم مات أبدا

Janganlah engkau shalatkan atas mereka yang mati selamanya.(QS. At Taubah: 84)

III. Rukun-Rukun

Syaikh Hasan bin Ahmad bin Muhammad Al Kaaf mengatakan dalam kitabnya Al Ahamm, bahwa rukun shalat jenazah ada TUJUH:

1. Niat, berdasarkan hadits: Innamal a’malu bin niyyat – sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.

Wajib meniatkan shalat untuk mayit, walau dengan bahasa umum, tidak wajin dengan penjelasan rinci. Cukup dia mengatakan “Saya shalat untuk mayit ini”, atau “untuk zaid”, atau “untuk mayit yg ada di mihrab”.

2. Empat kali takbir, yaitu termasuk juga takbiratul ihram. Seandainya ditambah menjadi lima maka itu tidak mengapa karena itu adalah dzikir, namun jika imam takbir yang kelima, maka makmum tidak usah mengikutinya.

3. Berdiri bagi yg mampu, karena itu fardhu kifayah, namun boleh duduk bagi yg lemah

4. Membaca Al Fatihah, boleh dilakukan setelah takbir pertama, atau kedua, atau ketiga atau keempat. Tidak harus setelah takbir pertama.

5. Shalawat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam, setelah takbir kedua. Minimal “Alluhumma Shalli ‘Ala Muhammad”.

Disunnahkan menggabungkan salam ke dalam shalawat, hamdalah sebelumnya, juga doa untuk kaum mu’minin setelahnya.

6. Berdoa untuk mayit setelah takbir ketiga. Syaratnya adalah doa yg spesifik buat mayit, tidak cukup dgn doa yang umum, demikian juga doa untuk kedua orang tua menurut Imam Ibnu Hajar. (Macam-macam doanya akan kami lampirkan diseri yang ketiga)

Disunnahkan pula berdoa setelah takbir keempat:

اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا تَفْتِنَّا بَعْدَهُ واغفر لنا و له

Allahumma laa Tahrimnaa ajrahu walaa taftinnaa ba’dahu waghfir lanaa walahu

“Ya Allah, janganlah Engkau hilangkan pahalanya dan janganlah engkau fitnah kami setelahnya dan ampunilah kami dan dia.”

Lalu bershalawat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam.

7. Salam pertama, ada pun salam kedua adalah sunnah. Disunnahkan tambahan “wa Barakatuh” menurut Imam Ibnu Hajar.

(Demikian uraian Syaikh Hasan bin Ahmad bin Muhammad Al Kaaf dalam kitab Al Ahamm fi Fiqhi Thalibil ‘Ilmi, Hal. 212-215)

Apa yg tertera di atas adalah rukun shalat jenazah dalam konteks madzhab Syafi’iy, yang umumnya dianut kaum muslimin Indonesia.

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah juga menyebutkan hal mirip dengan di atas walau dgn penjelasan yg lebih banyak dalam beberapa hal. (Lihat Al Fiqhu Asy Syafi’iyyah Al Muyassar, 1/306-308)

Dalam madzhab yang lain rukun shalat jenazah lebih sedikit, misalnya Hanafiyah hanya takbir yang empat dan berdiri.

Sementara Malikiyah ada lima: 1. niat, 2. empat takbir, 3. doa diantara mereka, ada pun setelah takbir empat berdoa silahkan dan tidak berdoa juga tidak apa, 4. Salam yang pertama dgn suara yg cukup di dengar, 5. Berdiri bagi yg mampu.

Sementara Hambaliyah: 1. Berdiri bagi yg mampu, 2. Empat takbir, 3. membaca Al Fatihah untuk selain makmum, shalawat kepada nabi, dan doa buat mayit. 4. Salam, 5. Tertib berurut.

(Lihat dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/18)

IV. Beberapa Doa

Berikut ini adalah doa-doa yang bisa dibaca setelah takbir ketiga, di antaranya:

PERTAMA.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَنَازَةٍ فَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِسْلَامِ اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا تُضِلَّنَا بَعْدَهُ

Dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam penah menshalati jenazah kemudian beliau mengucapkan: ALLAAHUMMAGHFIR LIHAYYINAA WA MAYYITINA, WA SHAGHIIRINAA WA KABIIRINAA WA DZAKARINAA WA UNTSAANAA, WA SYAHIDINAA WA GHAAIBINAA. ALLAAHUMMA, MAN AHYAITAHU MINNAA FA AHYIHI ‘ALAL IIMAAN WA MAN TAWAFFAITAHU MINNAA FATAWAFFAHU ‘ALAL ISLAAM. ALLAHUMMA LAA TAHRIMAN AJRAHU WA LAA TUDHILLANAA BA’DAHU (ya Allah, ampunilah orang-orang yang masih hidup diantara kami, dan yang telah mati, anak kecil dan yang dewasa kami, laki-laki kami dan wanita kami, orang-orang yang hadir diantara kami dan yang tidak hadir. Ya Allah, siapapun diantara kami yang Engkau hidupkan maka hidupkanlah di atas keimanan dan siapapun diantara kami yang Engkau wafatkan maka wafatkanlah dalam keadaan beragama Islam, ya Allah, janganlah Engkau halangi kami dari mendapatkan pahalanya dan janganlah Engkau sesatkan kami setelah kematiannya!”

(HR. Abu Daud no. 3201, Ahmad no. 8809. Shahih, seperti dikatakan oleh Syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh al Albaniy)

KEDUA.

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ يَقُولُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَاعْفُ عَنْهُ وَعَافِهِ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِمَاءٍ وَثَلْجٍ وَبَرَدٍ وَنَقِّهِ مِنْ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَقِهِ فِتْنَةَ الْقَبْرِ وَعَذَابَ النَّارِ

Dari ‘Auf bin Malik Al Asyja’i ia berkata; Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca do’a dalam shalat jenazah: “ALLAHUMMAGHFIR LAHU WARHAMHU WA’FU ‘ANHU WA ‘AAFIHI WA AKRIM NUZULAHU WA WASSI’ MUDKHALAHU WAGHSILHU BILMAA`I WATS TSALJI WAL BARADI WA NAQQIHI MINAL KHATHAAYAA KAMAA YUNAQQOTS TSAUBUL ABYADLU MINAD DANASI WA ABDILHU DAARAN KHAIRAN MIN DAARIHI WA AHLAN KHAIRAN MIN AHLIHI WA ZAUJAN KHAIRAN MIN ZAUJIHI WA QIHI ‘ADZABAL QOBRI WA ‘ADZABAN NAARI.” (“Ya Allah, Ampunilah dia (mayat) berilah rahmat kepadanya, maafkanlah dia dan selamatkanlah dia (dari beberapa hal yang tidak disukai), dan tempatkanlah di tempat yang mulia (Surga), luaskan kuburannya, mandikan dia dengan air salju dan air es. Bersihkan dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang putih dari kotoran, berilah rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), berilah keluarga (atau istri di Surga) yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada istrinya (atau suaminya), dan masukkan dia ke Surga, jagalah dia dari siksa kubur dan Neraka lindungilah ia dari siksa kubur atau siksa api neraka”)

(HR. Muslim no. 963)

Doa-doa ini boleh diambil yang kita mampu atau hapal membacanya tidak wajib semuanya.

V. Apakah Boleh Shalat Jenazah Seorang Diri?

Ya, demikianlah menurut mayoritas ulama. Berjamaah bukanlah syarat sahnya shalat jenazah.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

ونص الحنفية والشافعية والحنابلة على أن الجماعة ليست شرطا لصحة الصلاة علىالجنازة وإنما هي سنة. وقال المالكية: من شرط صحتها الجماعة كصلاة الجمعة، فإن صلي عليها بغير إمام أعيدت الصلاة ما لم يفت ذلك

Perkataan Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah (Hambaliyah), bahwa berjamaah itu bukan syarat sahnya shalat jenazah. Itu sunnah saja.

Ada pun Malikiyah mengatakan berjamaah adalah syarat sahnya, seperti shalat Jumat. Siapa hang shalat tidak bersama imam hendaknya dia ulangi selama belum kehilangan momennya.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/18)

Bersambung …

Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

“Maaf, Dia Bukan Ustadz Sunnah”

Sangat menarik melihat perkembangan da’wah Islam di Indonesia. Semarak dan sangat massif. Banyak sekali perkembangan termasuk perkembangan media da’wahnya. Di antaranya penggunaaan medsos. Tapi, ada yang unik jika kita perhatikan, yaitu polarisasi dan kubu-kubuan antar harakah, jamaah, dan majelis ta’lim semakin terasa. Sehingga tipis perbedaan antara aset positif ataukah bahaya laten. Barang kali ini sisi lain dari maraknya da’wah medsos tersebut. Sangat nampak jelas dan telanjang.

Termasuk di antaranya, penggunaan istilah-istilah untuk menunjukkan identifikasi, misalnya sebutan “ustadz sunnah, pengajian sunnah, radio sunnah,” dan semisalnya. Ini identifikasi yang bagus jika untuk menyemangati para penuntut ilmu agar mencintai, mempelajari, dan menjalankan sunnah Nabi dan tidak salah dalam mengambil ilmu agama. Tapi, kenyataan yang berkembang istilah ini menjadi sebuah sandi atau kode hizbiyyah (fanatisme) segolongan umat Islam atas kelompoknya, dan peremehan atas yang lainnya. Ustadz mana pun yang sudah masuk lingkup “Ustadz Sunnah” -entah apa baromaternya istilah ini- maka posisinya aman; nasihatnya akan didengar, kajiannya akan dihadiri, faidah darinya akan diapresiasi, walau kapasitas ilmiyahnya biasa saja.

Ada pun yang tidak masuk dalam lingkup “Ustadz Sunnah” dalam ukuran mereka, maka dia tereliminasi, dipandang sebelah mata, ditinggalkan, padahal dulunya bisa jadi dia begitu diminati, walau dia termasuk seorang ustadz yang memiliki kafa’ah syar’iyah yang luar biasa. Kenapa bisa begitu? Ya itu tadi, dia bukan (lagi) “Ustadz Sunnah,” barang kali dia ustadz mubah, bahkan ustadz makruh.

Semoga Allah ﷻ lindungi kita dari fanatisme tercela ini .., dan mampu memandang sesama muslim, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sebagai saudara dan teman seperjuangan.

Wallahu A’lam

🍃🌾🌸🌴🌺🌷☘🌻

✏ Farid Nu’man Hasan

Akhir Zaman Riba Menyebar Seperti Debu

💦💥💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assamualakum ustadz saya mau bertanya ustadz…. Sebelumya tolong dikoreksi kalo hadist yanf saya tanyakan ini salah. Bigini ustadz saya pernah dapat postingan dari group facebook yang kurang lebih begini bunyinya. ” Di akhir zaman nanti orang2 akan terbiasa makan dengan riba dan kalo pun mereka tidak makan dengan riba setidaknya mereka akan terkena debu2 dari riba tersebut ” mohon maaf saya lupa riwayat hadistnya. Shohih kah? (0838-1697-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam, Bismillah wal Hamdulillah

Haditsnya sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَأْكُلُونَ الرِّبَا فَمَنْ لَمْ يَأْكُلْهُ أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Akan datang zamannya kepada manusia, saat itu mereka memakan riba. Kalau pun dia tidak makan secara langsung, dia akan terkena debunya.” (HR. Nasa’i No. 4455, Abu Daud No. 3333, Ibnu Majah Nol 2277, Al Bazzar, 9526. Al Hakim No. 2162)

Hadits ini dinilai shahih oleh Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 2162, menurutnya jika Al Hasan mendengarkan hadits ini dari Abu Hurairah maka hadits ini shahih, dan ternyata hadits ini Al Hasan mendengarkan dari Abu Hurairah.
Tapi dinilai dhaif oleh Syaikh Al Albani dalam banyak kitabnya, karena hadits ini munqathi’ (terputus) sanadnya. Terlepas dari perbedaan pendapat ulama dalam menilai keshahihan hadits ini. Tetapi secara makna hadits ini memang shahih, sbb debu riba hari ini memang sangat sulit dihindari. Riba sudah menggurita di banyak sisi hidup kita. Maka berusahalah menjauhinya, semoga Allah Ta’ala memberikan kekuatan dan mengampuni kesalahan kita. Amiin.

Wallahu A’lam

🍃🌻☘🌷🌺🌾🌸🌴

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top