Imam Sholat Membaca Surat yang Panjang

▫▪▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum…ustad bagmn hukum imam yg sll memanjangkan bacaanny pdhl sdh d ksh masukan dan bahkan bnyk jamaah yg protes tetapi imamnya ttp dg keyakinannya membiasakan sprti Rasul bacaan hrs panjang… (+62 813-3400-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah ..

Ini imam yg justru meninggalkan Sunnah. Jika shalat bersama manusia yang beragam usia dan kemampuan justru sunahnya adalah ringankan bacaan, berbeda dengan jika shalat sendiri atau berjamaah bersama orang-orang yang siap shalat lama, silahkan lama seperti yang Nabi ﷺ lakukan bersama Hudzaifah bin Yaman Radhiyallahu ‘Anhu.

Berikut ini dalilnya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ مِنْهُمْ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالْكَبِيرَ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika seseorang dari kalian memimpin shalat orang banyak, hendaklah dia meringankannya. Karena di antara mereka ada orang yang lemah, orang yang sakit dan orang berusia lanjut. Namun bila dia shalat sendiri silahkan dia panjangkan sesukanya.”

(HR. Muttafaq ‘Alaih)

Nabi ﷺ pernah memarahi Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu, yg terlalu lama meng-imami shalat, sehingga ada jamaah yg berat dan memisahkan diri. Nabi ﷺ menyebut apa yang dilakukan Mu’adz Radhiyallahu ‘Anhu adalah FITNAH.

Berikut ini riwayatnya:

كَانَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ الْعِشَاءَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى قَوْمِهِ بَنِي سَلَمَةَ فَيُصَلِّيهَا بِهِمْ وَأَنَّ رَسُول اللَّهِ أَخَّرَ الْعِشَاءَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَصَلاَّهَا مُعَاذٌ مَعَهُ ثُمَّ رَجَعَ فَأَمَّ قَوْمَهُ فَافْتَتَحَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ فَتَنَحَّى رَجُلٌ مِنْ خَلْفِهِ فَصَلَّى وَحْدَهُ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالُوا : نَافَقْتَ يَا فُلاَنُ . فَقَال : مَا نَافَقْتُ وَلَكِنِّي آتِي رَسُول اللَّهِ فَأُخْبِرُهُ . فَأَتَى النَّبِيَّ فَقَال : يَا رَسُول اللَّهِ ، إِنَّكَ أَخَّرْتَ الْعِشَاءَ الْبَارِحَةَ ، وَإِنَّ مُعَاذًا صَلاَّهَا مَعَكَ ثُمَّ رَجَعَ فَأَمَّنَا فَافْتَتَحَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَتَنَحَّيْتُ فَصَلَّيْتُ وَحْدِي وَإِنَّمَا نَحْنُ أَهْل نَوَاضِحَ نَعْمَل بِأَيْدِينَا .فَالْتَفَتَ رَسُول اللَّهِ إِلَى مُعَاذٍ فَقَال : أَفَتَّانٌ أَنْتَ يَا مُعَاذُ ؟ أَفَتَّانٌ أَنْتَ ؟ اقْرَأْ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّك الأْعْلَى وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوجِ وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَاللَّيْل إِذَا يَغْشَى وَنَحْوِهَا

Dahulu, Muadz bin Jabal shalat Isya’ bersama Rasulullah ﷺ kemudian pulang ke kaumnya, Bani Salamah, dan shalat lagi mengimami mereka. Suatu ketika Rasulullah ﷺ mengakhirkan shalat Isya’ dan Muadz ikut shalat berjamaah, kemudian dia pulang untuk mengimami kaumnya.

Mu’adz mulai membaca surat Al Baqarah, sehingga seseorang yang berada di belakang mengundurkan diri lalu shalat sendirian. Usai shalat, orang-orang menuduhnya, “Kamu telah berbuat nifak”. Orang itu menjawab, “Saya bukan munafik, tetapi saya mendatangi Rasulullah ﷺ dan melaporkan kepada beliau”.

Orang itu mendatangi Rasulullah ﷺ untuk mengadu, “Ya Rasulullah, Anda telah mengakhirkan shalat Isya’ tadi malam. Dan Muadz ikut shalat bersama Anda. Kemudian dia kembali dan mengimami kami. Tetapi dia membaca surat Al-Baqarah, sehingga Aku mengundurkan diri dan shalat sendirian. Hal itu karena kami kaum pekerja yang menggunakan kedua tangan kami (maksudnya mereka sangat lelah).

Maka Rasulullah ﷺ pun menoleh kepada Mu’adz sambil bertanya, “Apakah kamu membuat fitnah wahai Muadz? Apakah kamu membuat fitnah? Cukup bagimu sabbihisma rabbikal a’la, wassama’i wath-thariq, wassama’i dzatil buruj, wasy-syamsi wadhuhaha, wallaili idza yaghsya dan semisalnya.

(HR. Muttafaq ‘Alaih)

Menurut Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, batasan “ringan” atau “berat” adalah kebiasaan yang dialami pada sebuah kaum, sebagaimana nasihat Nabi ﷺ kepada Utsman bin Abi Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu:

أَنْتَ إِمَامُ قَوْمِكَ وَاقْدِرِ الْقَوْمَ بِأَضْعَفِهِمْ

Kamu adalah imam kaummu, standarkankah mereka dengan yang paling lemah di antara mereka. (HR. Abu Daud, An Nasa’i).

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: sanadnya HASAN.

(Fathul Bari, 2/199)

Jadi, hendaknya imam jangan ukur masyarakat dengan dirinya sendiri, tapi hendaknya standarnya dengan yang paling lemah di antara mereka.

Imam Abu Bakar Al Kasaniy Rahimahullah berkata:

وأمّا في زماننا فالأفضل أن يقرأ الإمام على حسب حال القوم،
فيقرأ قدْرَ ما لايُنفرُّهم عن الجماعة،
لأنّ تكثير الجماعة أفضل من تطويل القراءة

Di zaman kita sekarang, lebih utama bagi imam untuk membaca surat dengan memperhatikan kondisi jamaah. Hendaknya dia membaca seukuran yang tidak membuat jamaah lari dari shalat jamaah, karena memperbanyak jamaah lebih utama dibanding sekedar bacaan yang panjang.

(Bada’i Ash Shana’i, 3/150)

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Tetaplah Bersama Jamaah, Jangan Berpecah Belah!

▪▫▪▫▪▫▪▫

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

يا أيها الناس عليكم بالطاعة والجماعة ، فإنها حبل الله عز وجل الذي أمر به ، وما تكرهون في الجماعة خير مما تحبون من الفرقة

Wahai Manusia ! Hendaknya kalian tetap taat dan berjamaah, karena tali agama Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan itu. Apa yang kalian benci pada jamaah itu masih lebih baik dibanding apa yang kalian suka tapi pada perpecahan.

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

📚 Atsar SHAHIH, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam (Al Mushannaf no. 37337), Al Hakim dalam (Al Mustadrak no. 8663), Abu Nu’aim dalam (Al Hilyah, 9/249). Al Haitsami mengatakan: “Dalam sanadnya terdapat Tsabit bin Quthbah, aku tidak mengenalnya, tapi perawi selainnya terpercaya semua.” (Lihat Majma’ Az Zawaid, 5/268)

Al ‘Ijliy mengatakan: “Tsabit bin Quthbah adalah sahabat dr Ibnu Mas’ud, dia tsiqah.” (Ats Tsiqat, no. 192). Ibnu Sa’ad mengatakan: “Dia terpercaya dan banyak haditsnya.” (Ath Thabaqat Al Kubra, 6/179)

Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Hukum Memanfaatkan Uang Haram/Syubhat

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum, afwan ust ada yg nanya, kalo kita mengambil beasiswa dari bank konvensional boleh gak ya ?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Ada dua pandangan tentang bolehkah memanfaatkan uang “panas” baik haram dan syubhat, yang diperoleh dari pihak/orang lain.

1. Tidak boleh dipakai

Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam bersabda:

ان الله طيب لا يقبل الا طيبا

Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali dari yang baik-baik. (HR. Muslim)

Syaikh Utsaimin berkata dalam Syarh Al Arbain:

والطيب من الأموال: ما اكتسب عن طريق حلال، وأما ما اكتسب عن طريق محرّم فإنه خبيث

Baik dalam harta adalah apa-apa yang diperoleh dari jalan halal, ada pun yang didapat dari jalan haram maka itu buruk. (selesai) Dan ini merupakan pencampuran haq dan batil. (selesai)

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ

Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil. (QS. Al Baqarah: 42)

Imam Al Ghazali Rahimahullah berkata:

…أو يبنى مدرسة أو مسجد أو رباطا بمال حرام و قصده الخير فهذا كله جهل و النية لا تؤثر فى إخراجه عن كونه ظلما و عدوانا و معصية

.. atau membangun sekolah, masjid, menggunakan harta yang haram dan maksudnya kebaikan. Maka semua ini adalah kebodohan, dan niat yang baik tidaklah berdampak pada mengeluarkannya dari lingkup zalim, pelanggaran, dan maksiat. (Ihya ‘Ulumuddin, 4/357)

2. Pihak yang membolehkan

Dengan alasan uang haram itu hakikatnya uang “tak bertuan”, maka dia boleh dipakai untuk anak yatim, masjid, maslahat kaum muslimin (tentu beasiswa termasuk), juga kepentingan umum seperti jalan, jembatan, dan semisalnya. Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid menjelaskan:

وأما المحرم لكسبه فهو الذي اكتسبه الإنسان بطريق محرم كبيع الخمر ، أو التعامل بالربا ، أو أجرة الغناء والزنا ونحو ذلك ، فهذا المال حرام على من اكتسبه فقط ، أما إذا أخذه منه شخص آخر بطريق مباح فلا حرج في ذلك ، كما لو تبرع به لبناء مسجد ، أو دفعه أجرة لعامل عنده ، أو أنفق منه على زوجته وأولاده ، فلا يحرم على هؤلاء الانتفاع به ، وإنما يحرم على من اكتسبه بطريق محرم فقط

Harta haram yang dikarenakan usaha memperolehnya, seperti jual khamr, riba, zina, nyanyian, dan semisalnya, maka ini haram hanya bagi yang mendapatkannya saja. Tapi, jika ada ORANG LAIN yang mengambil dari orang itu dengan cara mubah, maka itu tidak apa-apa, seperti dia sumbangkan untuk masjid dengannya, bayar gaji pegawai, nafkah buat anak dan istri, hal-hal ini tidak diharamkan memanfaatkan harta tersebut. Sesungguhnya yang diharamkan adalah bagi orang mencari harta haram tersebut.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 75410)

Imam Ibnu Taimiyah mengatakan:

إذا كانت الأموال قد أخذت بغير حق وقد تعذر ردها إلى أصحابها ككثير من الأموال السلطانية (أي التي غصبها السلطان) ; فالإعانة على صرف هذه الأموال في مصالح المسلمين كسداد الثغور ونفقة المقاتلة ونحو ذلك : من الإعانة على البر والتقوى..

Jika harta diperoleh dengan cara yang tidak benar, dan harta tersebut sulit dikembalikan kepada yang berhak, seperti harta yang ada pada penguasa (yaitu yang dirampas penguasa dari rakyatnya), maka bantuan untuk manfaatkan harta ini adalah dengan memanfaatkannya bagi maslahat kaum muslimin seperti penjaga perbatasan, biaya perang, dan semisalnya; sebab ini termasuk pemanfaatan dalam kebaikan dan taqwa. (As Siyaasah Asy Syar’iyah, Hal. 35)

Pemahaman kelompok kedua ini juga yang dilakukan para salaf, bahwa keharaman adalah bagi orang yang menghasilkannya. Adapun saat dia memberikan ke orang lain maka orang lain tersebut tidak kena keharaman tersebut. Dzar bin Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhuma bercerita:

جاء إليه رجل فقال : إن لي جارا يأكل الربا ، وإنه لا يزال يدعوني ،
فقال : مهنأه لك ، وإثمه عليه

Ada seseorang yang mendatangi Ibnu Mas’ud lalu dia berkata: “Aku punya tetangga yang suka makan riba, dan dia sering mengundangku untuk makan.” Ibnu Mas’ud menjawab; Untukmu bagian enaknya, dan dosanya buat dia. (Imam Abdurrazzaq, Al Mushannaf, no. 14675)

Salman Al Farisi Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

إذا كان لك صديق
عامل، أو جار عامل أو ذو قرابة عامل، فأهدى لك هدية، أو دعاك إلى طعام، فاقبله، فإن مهنأه لك، وإثمه عليه.

“Jika sahabatmu, tetanggamu, atau kerabatmu yang pekerjaannya haram, lalu dia memberi hadiah kepadamu atau mengajakmu makan, terimalah! Sesungguhnya, kamu dapat enaknya, dan dia dapat dosanya.” (Ibid, No. 14677)

Demikian. Wallahu a’lam.

🍃🌻🌿🌷🌸🌾🌳☘

✏ Farid Nu’man Hasan

Khawatir Hilang, Bolehkah Bawa Al Qur’an saat ke WC?

▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Ustad, bila di dalam tas ada alquran dan kita perlu ke toilet namun tidak bisa meninggalkan tas di luar toilet. Bagaimana hukumnya ustad membawa quran dalam toilet(+62 812-5653-xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Bismillahirrahmanirrahim ..

Pada dasarnya terlarang membawa Al Qur’an ke toilet, kecuali udzur, seperti khawatir hilang dicuri jika diletakkan di luar.

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah mengatakan:

أما دخول الحمام بالمصحف فلا يجوز إلا عند الضرورة ، إذا كنت تخشى عليه أن يسرق فلا بأس

Ada pun masuk ke toilet dengan membawa mushaf tidaklah dibolehkan kecuali keadaan darurat, khawatir dicuri, maka ini tidak apa-apa. (Majmu’ Fatawa, 10/30)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizahullah mengatakan:

الدخول بالمصحف إلى المرحاض والأماكن القذرة صرح العلماء بأنه حرام ، لأن ذلك ينافي احترام كلام الله سبحانه وتعالى ، إلا إذا خاف أن يسرق لو وضعه خارج المرحاض ، أو خاف أن ينساه فلا حرج أن يدخل به لضرورة حفظه

Masuk ke tempat-tempat kotor sambil membawa mushaf dijelaskan para ulama bahwa itu diharamkan. Sebab hal itu menunjukkan tidak hormat thdp firman Allah Ta’ala. Kecuali jika khawatir mushaf itu dicuri jika ditaruh di tempat tersebut, atau kelupaan, maka tidak apa-apa membawanya karena adanya kebutuhan mendesak untuk menjaganya.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 42061)

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

scroll to top