Hukum Memakai Sandal Hanya Sebelah

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Apa hukumnya di dalam Islam memakai sandal sebelah? Dan apa pula hukumnya dalam Islam memakai sandal yang berbeda warna, ukuran maupun bentuk???

📬 JAWABAN

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Man waalah wa ba’d:

Ada dua pertanyaan, kami akan jawab satu persatu.

📌Pertanyaan Pertama, memakai sandal sebelah saja, bolehkah?

Ini mungkin pernah kita lihat ketika seseorang kehilangan sandalnya sebelah, akhirnya dari pada dia nyeker (telanjang kaki) dia tetap mengenakan sandalnya walau sebelah saja.
Sehingga kita lihat dia akan jalan terpincang, tidak seimbang, dan juga tidak enak dilihat, bahkan berkurangnya wibawa.

Perbuatan tersebut adalah terlarang, berdasarkan riwayat berikut:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا يَمْشِي أَحَدُكُمْ فِي نَعْلٍ وَاحِدَةٍ لِيُحْفِهِمَا جَمِيعًا أَوْ لِيُنْعِلْهُمَا جَمِيعًا

Janganlah kalian berjalan dengan memakai satu sandal, hendaknya dia melepaskan keduanya, atau memakai keduanya. (HR. Bukhari No. 5856 dan Muslim No. 2097)

Dalam riwayat lain Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا انْقَطَعَ شِسْعُ أَحَدِكُمْ فَلَا يَمْشِ فِي الْأُخْرَى حَتَّى يُصْلِحَهَا

Jika tali sandal kalian putus maka janganlah dia berjalan dengan sandal yang satunya sampai dia memperbaiki dulu sandalnya (yang putus) itu. (HR. Muslim No. 2098)

Bagaimanakah nilai larangan ini? Secara zhahir larangan menunjukkan haram, tetapi apakah demikian? Ataukah makruh, atau larangan adab saja?

Imam Muslim memaknainya sebagai perkara yang dimakruhkan saja. Beliau membuat Bab dalam kitab Shahih-nya:

بَاب اسْتِحْبَابِ لُبْسِ النَّعْلِ فِي الْيُمْنَى أَوَّلًا وَالْخَلْعِ مِنْ الْيُسْرَى أَوَّلًا وَكَرَاهَةِ الْمَشْيِ فِي نَعْلٍ وَاحِدَةٍ

Bab disukainya memakai sandal pertama kalinya kanan dulu dan ketika melepaskannya kiri dulu dan dimakruhkan berjalan dengan satu sandal.

Begitu pula Imam An Nawawi Rahimahullah, beliau berkata:

يكره المشى فى نعل واحدة أو خف واحد أومداس واحد لا لعذر ودليله هذه الأحاديث التى ذكرها مسلم

Dimakruhkan berjalan dengan satu sandal aja, atau satu selop, atau satu sepatu, tidak apa-apa jika karena ‘udzur. Dalilnya adalah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/75).

Imam An Nawawi menyebutkan bahwa telah terjadi ijma’ bahwa memakai kedua sandal adalah hal yang disukai (sunah), bukan kewajiban. (Ibid)

Kemakruhannya juga dikatakan Imam Al Munawi. (At Taisir, 1/163, 2/921), juga Imam Az Zarqani. (Syarh Al Muwaththa’, 4/363), juga Al Abhari dan lainnya. (Imam Ibnul Baththal, Syarh Shahih Al Bukhari, 9/127).

Sementara Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah menyebutnya sebagai larangan bernilai adab dan pendidikan saja, bukan larangan haram. Beliau menyebutkan adanya ijma’ ulama bahwa hal ini bukan haram, dan jumhur mengatakan bahwa pelakunya bukan pembangkang jika dia tahu adanya larangan, sedangkan menurut golongan Ahli Zhahir pelakunya adalah pembangkang jika dia tahu larangannya. (Imam Ibnu Abdil Bar, Al Istidzkar, 8/312).

Beliau juga berkata:

ونهيه صلى الله عليه وسلم عن المشي في نعل واحدة نهي أدب لا نهي تحريم

Larangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang berjalan dengan satu sandal adalah larangan bernilai adab, bukan larangan pengharaman. (At Tamhid, 18/178)

Sementara Imam Al Baghawi (Syarhus Sunnah, 12/78) meriwayatkan tentang rukhshah (keringanan) untuk memakai satu sandal. Dari Abdurrahman bin Al Qasim, dari ayahnya, bahwa ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha pernah berjalan dengan satu sandal, dan riwayat ini diriwayatkan oleh At Tsauri dan lainnya dari Abdurrahman, dan dimarfu’kan oleh Laits dari Abdurrahman, namun yang benar adalah riwayat ini mauquf (hanya sampai sahabat).

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa Beliau memakai satu sandal ketika melewati tengah jalan. Abdullah bin Dinar mengatakan: “Aku melihat Ibnu Umar berjalan dengan satu sandal.” Dan Ibnu Sirrin berpendapat hal itu tidak apa-apa.” (selesai dari Imam Al Baghawi)

Diriwayatkan dari Waki’, dari Sufyan, dari Abdullah bin Dinar, katanya:

انقطع شسع نعل عبد الله بن عمر فمشى أذرعًا فى نعل واحدة

Tali sandal Abdullah bin Umar putus, lalu dia berjalan dengan cepat-cepat memakai satu sandal. (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Al Bukhari, 9/127)

Kenapa dilarang? Para ulama seperti Imam Al Baihaqi, Imam An Nawawi, Imam Al Khathabi, Imam Ibnul ‘Arabi, Imam As Suyuthi, dan lainnya menyebutkan beberapa alasan hikmah pelarangan ini, yakni:

– Menyerupai cara jalannya syetan

– Menghilangkan keseimbangan ketika berjalan sehingga tidak enak dilihat

– Menurunkan wibawa

– Membuatnya menjadi pusat perhatian karena apa yang dipakainya

– Membahayakan dirinya sendiri, baik bisa terjatuh, atau menjadi tidak terlindung dari duri dan semisalnya. (Lihat semuanya dalam Al Minhaj, 14/71, Fathul Bari, 1/309, At Taisir, 1/163, Syarh As Suyuthi ‘Ala Muslim, 5/140, Syarh As Suyuthi ‘Ala An Nasa’i, 8/217, dll)

Selesai pertanyaan pertama.

📌Pertanyaan kedua, bolehkah memakai sandal yang berbeda warna dan ukuran?

Tidak ada larangan dalam hal ini, baik dalam Al Quran dan As Sunnah, hanya saja hal tersebut bisa saja melanggar kepantasan yang terjadi di masyarakat. Selain juga bisa membahayakan pemakainya, dan dirinya menjadi perhatian orang lain. Tentunya hal ini bukan perilaku yang baik juga, maka sebaiknya dihindari. Tetapi, jika memiliki alasan yang benar tentu tidak apa-apa memakainya, apalagi jika tidak ada pilihan sandal lainnya.

Sekian. Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam.
Wallahu A’lam.

🍃🌾🌸🌻🌴🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Aturan Pembagian Hewan Kurban

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum.afwan ustadz ana msh blm faham tentang pembagian qurban.dtmpt ana ad sistem patungan satu ekor sapi unt 7 0rang.setelah dipotong dagingnya pun dibagi 7. Misal satu ekor sapi dagingnya 70 kg.dbg 7 jd perorang dpt 10 kg.nanti yg dpt 10 kg dbg 1/3 .jd yg qur an hany mengambil 1/3 (krg lbh 3kg) unt dmakan dan disimpan. sisanya dibagikan/dsedekahkn k kaum krabat/tetangga masing2.Ini bagaimana ustadz .. apakah sdh sesuai kententuan dlm berqurban.Jazaakallah khairan

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah .., Bismillah wal Hamdulillah ..

Tidak ada pembagian yang lugas dan rinci dalam Al Quran dan As Sunnah mengenai hal ini, kecuali yang tertera dalam Al Quran yaitu untuk shahibul qurban dan faqir miskin.

Ada pun tentang berapa bagiannya, apakah 1/3, 1/2, dan lainnya adalah ijtihadiyah saja dari para ulama. Ini bisa disesuaikan sesuai kebiasaan yang lama berlangsung di sebuah negeri.

Pemilik hewan kurban (shahihul qurban) berhak mendapatkannya dan memakannya. Hal ini berdasarkan perintah dari Allah Ta’ala sendiri:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“.. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj (22): 28)

Ayat ini menunjukkan bahwa pemilik hewan kurban berhak memakannya, lalu dibagikan untuk orang sengsara dan faqir, mereka adalah pihak yang lebih utama untuk mendapatkannya. Selain mereka pun boleh mendapatkannya, walau bukan prioritas.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah memaparkan cara pembagian sebagai berikut:

للمهدي أن يأكل من هديه الذي يباح له الاكل منه أي مقدار يشاء أن يأكله، بلا تحديد، وله كذلك أن يهدي أو يتصدق بما يراه. وقيل: يأكل النصف، ويتصدق بالنصف .وقيل: يقسمه أثلاثا، فيأكل الثلث، ويهدي الثلث، ويتصدق بالثلث

“Si pemiliki hewan kurban dibolehkan makan bagian yang dibolehkan baginya sesuai keinginannya tanpa batas. Dia pun boleh menghadiahkan atau mensedekahkan sesuka hatinya. Ada pula yang mengatakan dia boleh memakannya setengah dan mensedekahkan setengah. Dan dikatakan: dibagi tiga bagian, untuknya adalah sepertiga, dihadiahkan sepertiga, dan disedekahkan sepertiga.” (Fiqhus Sunnah, 1/742-743)

Demikian. Wallahu a’lam

🍃🌺🌴🌻🌾🌸☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Sekilas Biografi Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Beliau adalah Jundub bin Junadah bin Sufyan bin ‘Ubaid bin Haram bin Ghifar bin Malil bin Dhamrah bin Bakr bin ‘Abdu Manat bin bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Al Ilyas bin Mudhar. (Usadul Ghabah, Hal. 190)

Para ahli telah berbeda pendapat tentang nama asli Abu Dzar dengan perbedaan yang banyak. Imam Ibnul Atsir Rahimahullah mengatakan:

أبو ذر الغفاري. اختلف في اسمه اختلافاً كثيراً، فقيل: جندَب بن جنادة، وهو أَكثر وأَصح ما قيل فيه. وقيل: برير بن عبد الله، وبُرَير بن جنادة، وبريرة بن عِشرِقة، وقيل: جندَب بن عبد الله، وقيل: جندب بن سَكن. والمشهور جُندَب بن جنادة بن قيس بن عمرو بن مليل بن صَعَير بن حَرَامِ بن غِفَار. وقيل: جندَب بن جنادة بن سفيان ابن عبيد بن حَرَام بن غفار بن مليل بن ضَمرة بن بكر بن عبد مناة بن كنانة بن خزيمة بن مدرِكَةَ الغفاري. وأمه رملة بنت الوقيعة. من بني غِفَار أَيضاً

Abu Dzar Al Ghifari. Banyak perbedaan pendapat tentang namanya. Ada yang mengatakan: Jundub bin Junadah, itulah yang paling banyak dan paling benar dalam hal ini. Ada yang mengatakan: Barir bin Abdullah, Burair bin Junadah, Barirah bin ‘Isyriqah. Ada juga yang mengatakan: Jundab bin Abdullah. Dikatakan pula: Jundub bin Sakan. Yang terkenal adalah Jundab bin Junadah bin Qais bin ‘Amru bin Malil bin Sha’air bin Haram bin Ghifar. Ada yang mengatakan: Jundab bin Junadah bin Sufyan bin ‘ubaid bin Haram bin Ghifar bin Malil bin Dhamrah bin Bakr bin Abdu Manat bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah Al Ghifari. Ibunya adalah Ramlah binti Al Waqi’ah, juga dari Bani Ghifar. (Ibid, Hal. 1169) Ada pula yang menyebutnya Yazid bin Junadah.

Beliau adalah seorang yang tinggi dan besar, jenggotrnya lebat.

Di antara keutamaan Abu Dzar adalah beliau termasuk generasi awal Islam, ada yang menyebutnya sebagai orang keempat, ada juga yang menyebut orang kelima yang masuk Islam. Tentang kisah keislaman Beliau, Imam Al Bukhari telah menceritakannya dalam riwayat yang sangat panjang dalam Shahih Al Bukhari, pada Kitab Al Manaqib Bab Islamu Abi Dzar Al Ghifari Radhiallahu ’Anhu No hadits. 3861. Juga Imam Muslim dalam Shahihnya, pada Kitab Fadhail Ash Shahabah Bab Min Fadhail Abi Dzar Radhiallahu ‘Anhu No hadits. 2473, 2474.

Ketika beliau masuk Islam, Beliau langsung kembali ke kaumnya untuk mendakwahi mereka seperti yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam perintahkan. Beliau ikut hijrah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mengiringinya, dan berjihad bersamanya di Badar, Uhud, dan Khandaq. Namun menurut Abu Daud dia tertinggal saat perang Badar.

Imam Adz Dzahabi menceritakan bahwa Abu Dzar seorang pemimpinnya para zahid (orang yang zuhud), jujur, berilmu dan mengamalkan ilmunya, tidak takut celaan orang yang mencelanya dalam menjalankan ajaran Allah Ta’ala, dan ikut menyaksikan penaklukan Baitul Maqdis pada zaman Umar.

Ali Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:

وعى أَبو ذر علماً عجز الناس عنه، ثم أَوكى عليه فلم يخرِج منه شيئاً

Abu Dzar telah mengumpulkan ilmu yang membuat manusia merasa lemah darinya, kemudian dia mengikatnya lalu dia tidak melepaskannya sedikit pun. (Ibid, Hal. 1170)

Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :

أَبُو ذَرٍّ يَمْشِي فِي الْأَرْضِ بِزُهْدِ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَام

Abu Dzar berjalan di muka bumi dengan kezuhudan Isa bin Maryam ‘Alaihissalam. (Sunan At Tirmidzi No. 3802, Usadul Ghabah, Hal. 190, Jami’ Al Ushul No. 6593)

Yahya bin Aktsam bermimpin dalam tidurnya, bahwa Abu Dzar telah diampuni Allah Ta’ala dan dimasukkan ke dalam surga.

Dia wafat tahun 32 H. As Siraj mengatakan dalam Tarikh-nya, bahwa Abu Dzar wafat setelah usai menunaikan haji, pada hari Jumat, di Ar Rabdzah. Keponakannya menceritakan bahwa saat itu usiannya 83 tahun. Ibnu Mas’ud termasuk yang menyolatkannya.

Tentang wafatnya Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengisyaratkan bahwa akan ada seorang di antara sahabat yang wafat sendirian di padang pasir, yang mayatnya akan ditemukan oleh rombongan orang beriman yang lewat. Ternyata Beliau wafat seorang diri di padang pasir, dan dite

mukan oleh rombongan Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu. Sehingga Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu menangis melihat kondisi sulit yang dihadapi Abu Dzar, baik hidup dan wafatnya. Ia teringat dengan ucapan Nabi ketika perang Tabuk tentang Abu Dzar:

يرحم الله أبا ذر، يمشي وحده ويموت وحده ويحشر وحده

Semoga Allah merahmati Abu Dzar, dia berjalan seorang diri, dia akan mati seorang diri, dan dikumpulkan juga seorang diri.

Semoga Allah Ta’ala merahmati Abu Dzar dan memasukannya ke dalam surga firdaus yang tinggi dan mulia. Amiin.

(Selengkapnya lihat Imam An Nawawi, Tahdzibul Asma, 1/810. Imam Ibnul Atsir, Usadul Ghabah, hal. 190-191, dan hal. 1169-1170. Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, 2/46-78)

☘🌷🌺🌴🌻🍃🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Mencaci Maki Ulama dan Da’i dengan Alasan Al Jarh wat Ta’dil

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Sebagian orang ada yang punya hobi unik. Membongkar aib, mencela, dan memaki para ulama, da’i, dan muballigh, seakan itu amal shalih tertinggi dan seolah untuk itu mereka dilahirkan. Mereka melakukan legitimasi dengan berdalih bahwa itu termasuk ghibah yang diperbolehkan sebagaimana yang dirinci oleh Imam An Nawawi Rahimahullah dalam Riyadhushshalihin. Padahal para ulama, da’i, dan muballigh yang mereka cela itu tidak memenuhi syarat sedikit pun untuk dighibahi tapi dengan takalluf (maksain) perbuatan ini menjadi halal baginya.

Alasan lain, mereka anggap yang mereka lakukan adalah menilai manusia dengan kaidah dan prinsip al jarh wat ta’dil, yaitu prinsip yang dipakai para imam hadits untuk meneliti kelayakan seorang perawi hadits dalam membawa hadits, berita, dan riwayat. Ketika seorang ulama, da’i, dan muballigh, memiliki kesalahan –dan pastinya setiap manusia punya salah- mereka anggap itu adalah jarh (kritik-cacat) padanya yang membuatnya tidak boleh lagi didengar kajiannya, perkataannya, bukunya, dan apa pun yang berasal darinya, walau pun ada manusia lain memujinya (ta’dil). Mereka anggap, cacat yang ada pada da’i ini lebih dipertimbangkan dibanding pujian manusia baginya, apalagi jika pujian tersebut masih umum sementara pencacatan tentangnya lebih rinci dan banyak. Istilahnya al jarh al mufassar muqaddamun ‘alat ta’dilil ‘aam – kritikan yang terperinci lebih didahulukan dibanding pujian yang masih umum.

Apakah bisa dibenarkan apa yang mereka lakukan ini? Yakni menggunakan kaidah Al Jarh wat Ta’dil untuk menilai para ulama, da’i, dan muballigh zaman ini, yang dengan itu mereka bisa diambil ilmunya atau tidak. Akhirnya, mereka menolak ilmu dari ulama mana pun, hanya mau menerima dari golongannya saja, dengan alasan bahwa yang lainnya tidak selamat dari jarh. Lucunya, pihak yang melakukan jarh (ahlut tajrih) juga di jarh oleh yang lainnya.

Mereka tolak para ulama dan du’at seperti Al Banna, Quthb bersaudara, Sayyid Sabiq, Al Qaradhawi, Salman Al ‘Audah, ‘Aidh Al Qarni, Safar Al Hawali, Mutawalli Asy Sya’rawi, Abdul Hamid Kisyk, Abul A’la Al Maududi, Abul Hasan An Nadwi, Jasim Al Muhalhil, Abdul Fattah Abu Ghuddah, Ahmad Ar Rasyid, Taufiq Al Wa’i, Abdurrahman Abdul Khaliq, Sulaiman Asyqar, dan sebagainya, apalagi sekadar ulama nusantara –NU, Muhammadiyah, Persis, Dll- yang dianggap tidak ada ulama di Indonesia, karena dianggap bukan ulama bagi mereka, dan sudah di jarh oleh masyayikh mereka. Si fulan begini, si fulan begitu, ustadz anu begini, ustadz anu begitu ….., dan seterusnya, hanya mau memuji dan mendengar ulama, da’i, ustadz, muballigh dari kelompoknya saja. Sangat fanatik dengan kelompoknya. Anehnya, sesama masyayikh mereka pun juga saling jarh, saling tabdi’ (membid’ahkan), tafsiq (memfasikan), dan sebagainya. Padahal di antara syarat seseorang boleh melakukan jarh adalah dia sendiri tidak terkena jarh, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Ajaj Al Khatib dalam Ushulul Hadits-nya. Lebih parah lagi jika yang men-jarh adalah orang awam, bukan ulama tapi begitu jumawa men-jarh para ulama.

Sungguh jika gaya berpikir mereka dipakai, niscaya tidak ada satu pun di muka bumi ini baik ulama, da’i, ustadz, dan muballigh yang selamat dan kita bisa ambil ilmunya. Sebab, adakah manusia yang sama sekali tidak punya kesalahan, ketergelinciran, dan lalai? Maka, yang mereka lakukan bukanlah al jarh wat ta’dil tetapi ghibah (gunjing), namimah (adi domba), dan sibaabul muslim (mencela muslim), kesemuanya ini buruk dan berdosa.

Oleh karena itu, ada baiknya kita perhatikan komentar para ulama tentang orang-orang yang menyalahgunakan kaidah Al Jar wat Ta’dil untuk mencela para da’i dan ulama.

📌Syaikh Hasan bin Falah Al Qahthani berkata:

“Besar sekali bedanya antara Ilmu Al Jarh wat Ta’dil yang dipraktikkan oleh para ulama salaf dalam kitab-kitab dan karya-karya mereka, dengan pelecehan terhadap para ulama dan da’i, pencemaran nama baik, dan penyebaran aib serta kesalahan seseorang dengan mengatasnamakan Al Jarh wat Ta’dil yang terjadi sekarang ini.” (Syaikh Hasan bin Falah Al Qahthani, An Naqd; Adabuhu wa Dawafi’uh, Hlm. 34. Cet. 1, 1993M-1414H, Dar Al Humaidhi, Riyadh)

📌 Syaikh Shalih Al Fauzan Hafizhahullah menyatakan itu bukan al jarh wat ta’dil tapi ghibah dan namimah:

سماحة الشيخ من هم علماء الجرح والتعديل في عصرنا الحاضر ؟

الجواب :
والله ما نعلم أحداً من علماء الجرح والتعديل في عصرنا الحاضر ، علماء الجرح والتعديل في المقابر الآن ، ولكن كلامهم موجود في كتبهم كتب الجرح والتعديل والجرح والتعديل في علم الإسناد وفي رواية الحديث ، وماهو الجرح والتعديل في سبِّ الناس وتنقصهم ، وفلان فيه كذا وفلان فيه كذا ، ومدح بعض الناس وسب بعض الناس ، هذا من الغيبة ومن النميمة وليس هو الجرح والتعديل

Penanya: Syaikh yang mulia, siapakah yang dimaksud dengan ulama al jarh wat ta’dil pada masa kita sekarang ini?

Syaikh: Demi Allah, kami tidak mengetahui seorang pun ulama al jarh wat ta’dil pada saat ini. Sekarang ini para ulama al jarh wat ta’dil telah berada di dalam kubur. Akan tetapi, perkataan mereka tetap ada di dalam kitab-kitab mereka, kitab al jarh wat ta’dil. Al jarh wat Ta’dil itu hanya ada dalam ilmu sanad dan riwayat hadits. Dan mencela manusia serta menjatuhkannya bukanlah bagian dari ilmu al jarh wat ta’dil. Mengatakan si fulan begini… si fulan begitu… memuji sebagian orang dan mencela sebagian yang lain adalah ghibah dan namimah. Dan itu bukan al jarh wat ta’dil.

(Lihathttp://www.almanhaj.com/vb/showthread.php?t=1471&page=8&p=34223#post34223)

📌 Syaikh Abdul ‘Aziz Ar Rajihi ditanya:

هل يوجد في هذا الزمان علماء جرح وتعديل وهل يوجد تفريق بينهم ؟

الشيخ :
علم الجرح والتعديل إنتهى ، لإنه دوّنت الآن الكتب والأحاديث في الصحاح والسنن والمسانيد والمعاجم …. فلا يوجد جرح وتعديل ، والجرح والتعديل للمحدثيين إنتهى

Apakah ada di zaman ini ulama jarh wa ta’dil dan apakah ada perbedaan di antara mereka?

Syaikh menjawab: “Ilmu al jarh wat ta’dil sudah selesai, sebab ilmu tersebut saat ini sudah terlembagakan dalam buku-buku dan hadits-hadits baik dalam shahih, sunan, musnad dam mu’jam. Maka, tidak ada lagi jarh wa ta’dil, dan al jarh wat ta’dil adalah haknya para ahli hadits. Selesai.” (Ibid)

📌 Syaikh Abdullah Al Ghudyaan Hafizhahullah ditanya:

السائل : يا شيخ هل هذا صحيح هناك من يقول أنه يوجد علماء الجرح و التعديل في هذا الزمان ! ، فهل هذا صحيح ؟
الشيخ : والله يا أخي علم الجرح والتعديل موجود في الكتب

.السائل : في وقتنا هذا هل يوجد ؟

الشيخ : لا ، علم الجرح والتعديل عن علماء الحديث الذين نقلوا لنا الأحاديث بالأسانيد موجود في كتب الجرح والتعديل فما نحتاج إلى أحد الحين

السائل : يا شيخ هناك من يقول أن الدكتور ربيع بن هادي المدخلي حامل لواء الجرح والتعديل ؟!!
الشيخ : لا ، أنا لو يصادفني في الطريق ما عرفته يمكن ، ما عليّ من أحد

Penanya: Wahai Syaikh, apakah benar ada pihak yang mengatakan ada ulama jarh wa ta’dil di zaman ini, apakah ini benar?

Syaikh: Demi Allah ya akhi, ilmu al jarh wat ta’dil ada dalam kitab-kitab.

Penanya: Di zaman kita adakah?

Syaikh: “Tidak ada, ilmu al jarh wat ta’dil itu tentang ulama hadits yang menukilkan hadits kepada kita beserta sanad-sanadnya, adanya dalam kitab-kitab al jarh wat ta’dil, jadi saat ini kita tak lagi membutuhkan seorang pun (karena ilmu tersebut sudah selesai, pen).”

Penanya: “Syaikh, ada yang bilang bahwa Dr. Rabi’ Al Madkhali adalah pembawa bendera Al Jarh wat Ta’dil?”

Syaikh: “Tidak, seandainya dia ketemu saya di jalan mungkin saya tidak mengenalnya, saya tidak ada masalah dengan seorang pun.” ((Lihat https://www.youtube.com/watch?v=3GY10B9B_ec, menit ke 01:45-02:35)

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌸🌾🌷🌿🌳🍁🌻

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top