Serial Kepahlawanan Para Ulama Menghadapi Pemimpin Zalim (Bag 4)

💥💦💥💦💥💦💥

📝 Sepenggal kisah Imam Sa’id bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu

Kita putar sejarah masa silam. Masa tabi’in yang gemilang dan cemerlang. Kisah Imam Sa’id bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu kepada Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi, gubernur Zalim di Iraq.

Tentang kecaman keras Sa’id bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap gubernur zalim ini, sangat terkenal, bahkan akhir hayatnya pun diujung pedang Al Hajjaj. Beliau berkata tentang Hajjaj bin Yusuf dan pasukannya, sebagai berikut:

عن أبي اليقظان قال: كان سعيد بن جبير يقول يوم دير الجماجم وهم يقاتلون: قاتلوهم على جورهم في الحكم وخروجهم من الدين وتجبرهم على عباد الله وإماتتهم الصلاة واستذلالهم المسلمين. فلما انهزم أهل دير الجماجم لحق سعيد بن جبير بمكة فأخذه خالد بن عبد الله فحمله إلى الحجاج مع إسماعيل بن أوسط البجلي

“Dari Abu Al Yaqzhan, dia berkata: Said bin Jubeir pernah berkata ketika hari Dir Al Jamajim, saat itu dia sedang berperang (melawan pasukan Hajjaj):

“Perangilah mereka karena kezaliman mereka dalam menjalankan pemerintahan, keluarnya mereka dari agama, kesombongan mereka terhadap hamba-hamba Allah, mereka mematikan shalat dan merendahkan kaum muslimin.”

Ketika penduduk Dir Al Jamajim kalah, Said bin Jubeir melarikan diri ke Mekkah. Kemudian dia dijemput oleh Khalid bin Abdullah, lalu dbawanya kepada Hajjaj bersama Ismail bin Awsath Al Bajali.” (Imam Muhammad bin Sa’ad, Thabaqat Al Kubra, 6/265. Dar Al Mashadir, Beirut)

📌📌📌📌📌

Demikianlah salah satu kecaman keras terhadap pemimpin Iraq nan zalim, oleh seorang ulama fiqih dan tafsir, salah satu murid terbaik Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, yakni Imam Sa’id bin Jubeir Rahimallahu ‘Anhu.

Dia adalah imamnya para imam pada zamannya, dan manusia paling ‘alim saat itu. Dia tidak mengatakan: “Aku akan pergi ke Al Hajjaj dan akan menasihatinya empat mata!” Tidak, dan tak satu pun ulama saat itu dan setelahnya, menjulukinya sebagai khawarij, sebagaimana tuduhan segelintir manusia saat ini terhadap siapa pun yang mengkritik penguasa secara terbuka. Lalu dengan ceroboh mereka menyamakan antara menasihati dengan pemberontakan. Sungguh ini jauh sekali dan teramat jauh.

Tentang Imam Sa’id bin Jubeir, berkata Abdussalam bin Harb, dari Khushaif, katanya:

كان أعلمهم بالقرآن مجاهد، وأعلمهم بالحج عطاء، وأعلمهم بالحلال والحرام طاووس، وأعلمهم بالطلاق سعيد بن المسيب، وأجمعهم لهذه العلوم سعيد بن جبير

“Yang paling tahu tentang Al Quran adalah Mujahid, yang paling tahu tentang Haji adalah ‘Atha, yang paling tahu tentang halal dan haram adalah Thawus, yang paling tahu tentang thalaq adalah Sa’id bin Al Musayyib, dan yang mampu mengkombinasikan semua ilmu-ilmu ini adalah Sa’id bin Jubeir.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, 4/341. Muasasah Ar Risalah, Beirut)

Sementara Ali Al Madini berkata:

ليس في أصحاب ابن عباس مثل سعيد بن جبير. قيل: ولا طاووس ؟ قال: ولا طاووس ولا أحد

“Di antara sahabat-sahabat Ibnu Abbas tidak ada yang seperti Sa’id bin Jubeir.” Ada yang berkata: “Tidak pula Thawus?” Ali Al Madini menjawab: “Tidak pula Thawus, dan tidak pula yang lainnya.” (Ibid)

Selesai. Wallahu A’lam

📓📕📗📘📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan

Tanya Jawab Seputar Puasa Ramadhan Bag. 3

Tanya Jawab Seputar Puasa Ramadhan (Bag. 2)

Tanya Jawab Seputar Puasa Ramadhan (Bag. 1)

◽◼◽◼◽◼◽◼

3⃣2⃣ Sakit seperti apa yang boleh berbuka puasa?

Ada dua pendapat dalam hal ini.

Pertama. Semua keadaan sakit baik berat atau ringan. Selama itu dikatakan sakit.

Imam Ath Thabariy Rahimahullah berkata:

وهو كل مرض يسمى مرضا

Yaitu semua sakit yang dinamakan “keadaan sakit”. (Tafsir Ath Thabariy, 2/915)

Bahkan walau sekedar penyakit dijari jemari. Padahal ini penyakit yang ringan. Imam Ath Thabariy Rahimahullah menceritakan dari Tharif bin Syihab Al ‘Atharidiy:

أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، فِي رَمَضَانَ وَهُوَ يَأْكُلُ فَلَمْ يَسْأَلْهُ، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ: إِنَّهُ وَجِعَتْ إِصْبَعِي هَذِهِ

Bahwa dia (Tharif) masuk ke rumah Muhammad bin Sirin di bulan Ramadhan, dan Muhammad bin Sirin sedang makan dan dia tidak menanyakannya. Tatkala selesai makan, Ibnu Sirin berkata: “Jariku yang ini sakit.”

(Ibid. Imam Al Qurthubi juga menceritakan dalam tafsirnya, 2/276)

Sebagian salaf mengikuti pendapat ini seperti ‘Atha bin Abi Rabah, Imam Bukhari, dan lainnya. Juga didukung oleh kelompok zhahiriyah (tekstualis), seperti Imam Daud, dan Imam Ibnu Hazm.

Syaikh Muhammad ‘Ali Ash Shabuniy Hafizhahullah berkata:

قال أهل الظاهر: مطلق المرض و السفر يبيح الافطار حتى لو كان السفر قصيرا و المرض يسيرا حتى من وجع الاصبع و الضرس و روى هذا عن عطاء و ابن سيرين

Kelompok Tekstualis (ahli zhahir) mengatakan, secara mutlak (umum) penyakit dan safar itu membolehkan untuk berbuka puasa walau jenis perjalanan yang dekat dan sakit yang ringan, sampai-sampai rasa sakit di jari dan gigi geraham. Hal ini diriwayatkan dari ‘Atha dan Ibnu Sirin.

(Rawa’i Al Bayan, 1/156)

Kedua. Sakit yang berat, yang jika berpuasa maka semakin payah atau semakin lama sembuhnya.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

فَالْمَرِيضُ الَّذِي يَخَافُ زِيَادَةَ مَرَضِهِ بِالصَّوْمِ أَوْ إِبْطَاءَ الْبُرْءِ أَوْ فَسَادَ عُضْوٍ، لَهُ أَنْ يُفْطِرَ، بَل يُسَنُّ فِطْرُهُ، وَيُكْرَهُ إِتْمَامُهُ، لأَِنَّهُ قَدْ يُفْضِي إِلَى الْهَلاَكِ، فَيَجِبُ الاِحْتِرَازُ عَنْهُ

Maka, sakit yang dikhawatirkan bertambah sakitnya karena puasa, atau semakin lama sembuhnya, atau rusaknya organ tubuh, maka dia boleh berbuka, bahkan disunnahkan berbuka, dimakruhkan melanjutkan puasanya sebab itu membawanya pada kebinasaan, maka wajib baginya mencegah hal itu. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 28/45)

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وَأَمَّا الْمَرَضُ الْيَسِيرُ الَّذِي لاَ يَلْحَقُ بِهِ مَشَقَّةٌ ظَاهِرُهُ فَلَمْ يَجُزْ لَهُ الْفِطْرُ، بِلاَ خِلاَفٍ عِنْدَنَا، خِلاَفًا لأَِهْل الظَّاهِرِ

Ada pun penyakit yang ringan, yang tidak membawa kepayahan secara zahir baginya, maka tidak boleh dia berbuka, ini tidak ada perbedaan pendapat diantara kami, berbeda dengan golongan zhahiriyah (Tekstualis).

(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/258)

Imam Ibnu Juzay Rahimahullah berkata:

الأُْولَى: أَنْ لاَ يَقْدِرَ عَلَى الصَّوْمِ أَوْ يَخَافَ الْهَلاَكَ مِنَ الْمَرَضِ أَوِ الضَّعْفَ إِنْ صَامَ، فَالْفِطْرُ عَلَيْهِ وَاجِبٌ.
الثَّانِيَةُ: أَنْ يَقْدِرَ عَلَى الصَّوْمِ بِمَشَقَّةٍ، فَالْفِطْرُ لَهُ جَائِزٌ، وَقَال ابْنُ الْعَرَبِيِّ: مُسْتَحَبٌّ.
الثَّالِثَةُ: أَنْ يَقْدِرَ بِمَشَقَّةٍ، وَيَخَافَ زِيَادَةَ الْمَرَضِ، فَفِي وُجُوبِ فِطْرِهِ قَوْلاَنِ.
الرَّابِعَةُ: أَنْ لاَ يَشُقَّ عَلَيْهِ، وَلاَ يَخَافُ زيادة المرض فلا يفطر عند الجمهور خلافا لابن سيرين

Pertama. Tidak mampu berpuasa atau khawatir kebinasaan dirinya karena sakit atau lemah jika berpuasa, maka berbuka baginya adalah wajib.

Kedua. Dia mampu berpuasa dengan susah payah, maka tidak berpuasa baginya adalah boleh. Ibnul ‘Arabiy mengatakan: hal yg disukai.

Ketiga. Dia mampu berpuasa dengan susah payah tapi khawatir sakitnya bertambah, maka ada dua pendapat tentang wajibnya berbuka baginya.

Keempat. Dia tidak berat berpuasa, tidak pula khawatir semakin bertambah sakitnya maka ini tidak boleh berbuka menurut mayoritas ulama, berbeda dengan pendapatnya Ibnu Sirin.

(Al Qawaanin Al Fiqhiyah, Hal. 82)

3⃣3⃣ Sakit dibulan Ramadhan lalu wafat, apakah puasa yang ditinggalkannya selama sakit itu wajib diqadha atau difidyah?

Dalam pendapat yg dipilih madzhab Syafi’iy, keluarga orang tersebut mesti berpuasa atas namanya. Hal ini berdasarkan hadits:

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Barang siapa yang wafat dan dia masih ada kewajiban puasa maka wali-nya berpuasa atas namanya.

(HR. Bukhari no. 1952)

Syaikh Mushthafa Dieb Al Bugha Hafizhahullah berkata:

(عَلَيْهِ صِيَامٌ) واجب من قضاء أو نذر أو كفارة (وليه) كل قريب له ولو كان غير وارث

(Kewajiban puasa) kewajiban berupa qadha, nadzar, kafarat. (Walinya) yaitu setiap kerabat dekatnya walau bukan ahli warisnya. (Syarh Al Bukhari, 3/35)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah :

فذهب جمهور العلماء، منهم أبو حنيفة، ومالك، والمشهور عن الشافعي إلى أن وليه لا يصوم عنه ويطعم عنه مدا، عن كل يوم
والمذهب المختار عند الشافعية: أنه يستحب لوليه أن يصوم عنه، ويبرأ به الميت، ولا يحتاج إلى طعام عنه.
والمراد بالولي، القريب، سواء كان عصبة، أو وارثا، أو غيرهما.
ولو صام أجنبي عنه، صح، إن كان بإذن الولي، وإلا فإنه لا يصح.
واستدلوا بما رواه أحمد، والشيخان، عن عائشة: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” من مات وعليه صيام صام عنه وليه ” زاد البزار لفظ: إن شاء
وروى أحمد وأصحاب السنن: عن ابن عباس رضى الله عنهما أن رجلا جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم: فقال: يا رسول الله، إن أمي ماتت وعليها صيام شهر أفأقضيه عنها؟ فقال: ” لو كان على أمك دين أكنت قاضيه؟ ” قال: نعم. قال: ” فدين الله أحق أن يقضى ” قال النووي: وهذا القول هو الصحيح المختار الذي نعتقده وهو الذي صححه محققو أصحابنا الجامعون بين الفقه والحديث لهذه الاحاديث الصحيحة الصريحة

Menurut mayoritas ulama seperti Abu Hanifah, Malik, dan yang masyhur dari Asy Syafi’i, bahwa walinya tidaklah berpuasa qadha untuknya, tetapi memberikan makan sebanyak satu mud untuk setiap harinya.

Tapi, madzhab yang DIPILIH oleh Syafi’iyyah adalah dianjurkan bagi walinya untuk berpuasa qadha baginya, yang dengan itu mayit sudah bebas, dan tidak perlu lagi memberikan makanan (fidyah).
Yang dimaksud dengan WALI adalah kerabatnya, sama saja baik dia ‘ashabah, atau ahli warisnya, atau selain mereka. Bahkan seandainya orang lain pun tetap sah, jika izin ke walinya, jika tidak maka tidak sah.

Mereka berdalil seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Syaikhan (Al Bukhari dan Muslim), dari Aisyah, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

“Barang siapa yang wafat dan dia ada kewajiban puasa maka hendaknya walinya berpuasa untuknya.” Dalam riwayat Al Bazzar ada tambahan: “Jika dia mau.”

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ashabus Sunan, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Rasulullah ﷺ:

“Wahai Rasulullah, ibuku telah wafat dan dia ada kewajiban puasa, bolehkah saya yang mengqadha-nya?” Nabi ﷺ menjawab: “Apa pendapatmu jika ibumu memiliki hutang, apakah kamu akan membayarkannya?” Laki-laki itu menjawab: “Ya.” Lalu Nabi ﷺ bersabda: “Maka, hutang kepada Allah lebih layak kamu bayar.”

Imam An Nawawi berkata: “Pendapat ini adalah pendapat yang benar lagi terpilih, dan kami meyakininya dan telah dishahihkan para peneliti dari para sahabat kami (Syafi’iyah) yang telah menggabungkan antara hadits dan fiqih, karena hadits-hadits ini adalah shahih dan begitu jelas.
( Fiqhus Sunnah, 1/471. Darul Kitab Al ‘Arabi)

3⃣4⃣ Safar saat puasa, baiknya ambil buka saja atau tetap berpuasa?

Dalam masalah ini, mengambil rukhshah pada dasarnya adalah baik, dan tidak mengambilnya tidak apa-apa. Dengan kata lain jika dia memilih tidak berpuasa maka itu lebih baik sebagaimana perkataan Nabi ﷺ sendiri, sebagaimana riwayat berikut:

Dari Hamzah bin Amru Al Aslami Radhiallahu Anhu, katanya:

يا رسول الله: أجد بي قوة على الصيام في السفر. فهل علي جناح ؟، فقال رسول الله صلى عليه وسلم: “هي رخصة من اللهّ فمن أخذ بها فحسن. ومن أحب أن يصوم فلا جناح عليه “.

“Wahai Rasulullah, saya punya kekuatan untuk berpuasa dalam safar, apakah salah saya melakukannya? Maka Rasulullah ﷺ menjawab: Itu adalah rukhshah dari Allah, barang siapa yang mau mengambilnya (yakni tidak puasa) maka itu baik, dan barang siapa yang mau berpuasa maka tidak ada salahnya. (HR. Muslim No. 1121)

Dalam hadits ini, Nabi ﷺ menyebut baik bagi yang tidak berpuasa, ada pun bagi yang berpuasa Beliau hanya mengatakan tidak ada salahnya, tidak apa-apa, tidak ada halangan. Tentu kata “baik” dan “tidak ada salahnya”, lebih bagus baik. Ini pada dasarnya, khususnya bagi yang merasa punya kekuatan, masih diberikan izin tidak mengambil rukhshah walau mengambil rukhshah adalah lebih baik.

Namun, masalah ini kenyataannya tidak sederhana. Syariat sangat memperhatikan kondisi masing-masing orang yang tidak sama. Tidak semua musafir punya kekuatan seperti laki-laki di atas (Hamzah bin Amru Al Aslami) . Maka, bagi yang kepayahan dalam safarnya, mengambil rukhshah jauh lebih baik baginya.

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أن رسول اللّ صلى اللّ عليه وسلم خرج إلى مكة عام الفتح في رمضان فصام حتى بلغ كراع الغميم فصام الناس معه فقيل له يا رسول اللّ إن الناس قد شق عليهم الصيام فدعا بقدح من ماء بعد العصر فشرب والناس ينظرون فأفطر بعض الناس وصام بعض فبلغه أن ناسا صاموا فقال أولئك العصاة

“Bahwa Rasulullah ﷺ keluar pada tahun Fath (penaklukan) menuju Mekkah pada saat Ramadhan. Dia berpuasa hingga sampai pinggiran daerah Ghanim. Manusia juga berpuasa bersamanya. Dikatakan kepadanya: Wahai Rasulullah, nampaknya manusia kepayahan berpuasa. Kemudian Beliau meminta segelas air setelah asar, lalu beliau minum, dan manusia melihatnya. Maka sebagian manusia berbuka, dan sebagian lain tetap berpuasa. Lalu, disampaikan kepadanya bahwa ada orang yang masih puasa. Maka Beliau bersabda: “Mereka durhaka.” (HR. Muslim No. 1114)

Bahkan Nabi ﷺ pernah mengkritik orang yang berpuasa dalam keadaan safar dan orang itu kesusahan karenanya.

كان رسول اللّ صلى اللّ عليه وسلم في سفره. فرأى رجلا قد اجتمع الناس عليه. وقد ضلل عليه. فقال: “ماله ؟” قالوا:رجل صائم. فقال رسول اللّ عليه وسلم: “ليس من البر أن تصوموا في السفر “.

“Rasulullah ﷺ tengah dalam perjalanannya. Dia melihat seseorang yang dikerubungi oleh manusia. Dia nampak kehausan dan kepanasan. Rasulullah ﷺ bertanya: “Kenapa dia?” Meeka menjawab: “Seseorang yang puasa.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada kebaikan kalian berpuasa dalam keadaan safar.” (HR. Muslim No. 1115)

Jika diperhatikan berbagai dalil ini, maka dianjurkan tidak berpuasa ketika dalam safar, apalagi perjalanan diperkirakan melelahkan. Oleh karena itu, para imam hadits mengumpulkan hadits-hadits ini dalam bab tentang anjuran berbuka ketika safar atau dimakruhkannya puasa ketika safar. Contoh: Imam At Tirmidzi membuat Bab Maa Jaa fi Karahiyati Ash Shaum fi As Safar (Bab Tentang makruhnya puasa dalam perjalanan), bahkan Imam Ibnu Khuzaimah menuliskan dalam Shahihnya:

باب ذكر خبر روي عن النبي صلى اللّ عليه وسلم في تسمية الصوم في السفر عصاة من غير ذكر العلة التي أسماهم
بهذا الاسم توهم بعض العلماء أن الصوم في السفر غير جائز لهذا الخبر

“Bab tentang khabar dari Nabi ﷺ tentang penamaan berpuasa saat safar adalah DURHAKA tanpa menyebut alasan penamaan mereka dengan nama ini. Sebagian ulama menyangka bahwa berpuasa ketika safar adalah TIDAK BOLEH karena hadits ini.”

Tetapi, jika orang tersebut kuat dan mampu berpuasa, maka boleh saja dia berpuasa sebab berbagai riwayat menyebutkan hal itu, seperti riwayat Hamzah bin Amru Al Aslami Radhiallahu Anhu di atas.

Ini juga dikuatkan oleh riwayat lainnya, dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma, katanya:

لا تعب على من صام ولا من أفطر. قد صام رسول اللّ صلى اللّ عليه وسلم، في السفر، وأفطر

“Tidak ada kesulitan bagi orang yang berpuasa, dan tidak ada kesulitan bagi yang berbuka. Rasulullah ﷺ telah berpuasa dalam safar dan juga pernah berbuka.” (HR. Muslim No. 1113)

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma juga:

سافر رسول اللّ صلى اللّ عليه وسلم في رمضان. فصام حتى بلغ عسفان. ثم دعا بإنء فيه شراب. فشربه نهارا. ليراه
الناس. ثم أفطر. حتى دخل مكة . قال ابن عباس رضي اللّ عنهما: فصام رسول اللّ صلى اللّ عليه وسلم وأفطر. فمن شاء صام، ومن شاء أفطر

“Rasulullah ﷺ mengadakan perjalanan pada Ramadhan, dia berpuasa singga sampai ‘Asfan. Kemudian dia meminta sewadah air dan meminumnya siang-siang. Manusia melihatnya, lalu dia berbuka hingga masuk Mekkah. Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma berkata: Maka Rasulullah ﷺ berpuasa dan berbuka. Barang siapa yang mau maka dia puasa, dan bagi yang mau buka maka dia berbuka. (Ibid)

Dengan mentawfiq (memadukan) berbagai riwayat yang ada ini, bisa disimpulkan bahwa anjuran dasar bagi orang yang safar adalah berbuka. Namun, bagi yang kuat dan sanggup untuk berpuasa maka boleh saja berbuka atau tidak berpuasa sejak awalnya. Namun bagi yang sulit dan lelah, maka lebih baik dia berbuka saja. Wallahu A’lam

Maka, dalam konteks ‘boleh buka dan boleh puasa’ bagi yang sanggup, lalu manakah yang lebih utama?

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah meringkas sebagai berikut:

فرأى أبو حنيفة، والشافعي، ومالك: أن الصيام أفضل، لمن قوي عليه، والفطر أفضل لمن لا يقوى على الصيام .وقال أحمد: الفطر أفضل .وقال عمر بن عبد العزيز: أفضلهما أيسرهما، فمن يسهل عليه حينئذ، ويشق عليه قضاؤه بعد ذلك، فالصوم في حقه أفضل .وحقق الشوكاني، فرأى أن من كان يشق عليه الصوم، ويضره، وكذلك من كان معرضا عن قبول الرخصة، فالفطر أفضل وكذلك من خاف على نفسه العجب أو الرياء – إذا صام في السفر – فالفطر في حقه أفضل .وما كان من الصيام خاليا عن هذه الامور، فهو أفضل من الافطار

“Menurut Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, puasa adalah lebih utama bagi yang kuat menjalankannya, dan berbuka lebih utama bagi yang tidak kuat. Ahmad mengatakan: berbuka lebih utama. Sedangkan Umar bin Abdul Aziz berkata: Yang paling utama dari keduanya adalah yang paling mudah. Barangsiapa yang lebih mudah puasa saat itu, dan mengqadha setelahnya justru berat, maka berpuasa baginya adalah lebih utama.”

Imam Asy Syaukani melakukan penelitian, dia berpendapat bahwa bagi yang berat berpuasa dan membahayakannya, dan juga orang yang tidak mau menerima rukhshah, maka berbuka lebih utama. Demikian juga bagi orang yang khawatir pada dirinya ada ujub dan riya jika puasa dalam perjalanan- maka berbuka lebih utama. Ada pun jika puasanya sama sekali bersih dari perkara ini semua, maka puasa lebih utama. (Fiqhus Sunnah, 1/443. Nailul Authar, 4/225)

3⃣5⃣ Berapa jauhkah Jarak safar Yang Sudah Boleh untuk tidak berpuasa ?

Tidak ada keterangan khusus tentang hal ini. Kasus ini sama halnya dengan jarak dibolehkannya Qashar, juga tidak ada keterangan khusus. Sedangkan Imam Ibnul Mundzir menyebutkan ada 20 pendapat lebih tentang jarak untuk dibolehkannya qashar. Oleh karena itu, jarak yang sudah dibolehkan bagi seseorang untuk berbuka adalah sebagaimana dibolehkannya untuk qashar. Inilah pendapat para ulama muhaqqiq (peneliti).

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

والسفر المبيح للفطر، هو السفر الذي تقصر الصلاة بسببه، ومدة الاقامة التي يجوز للمسافر أن يفطر فيها، هي المدة التي يجوز له أن يقصر الصلاة فيها. وتقدم جميع ذلك في مبحث قصر الصلاة ومذاهب العلماء وتحقيق ابن القيم

“Safar yang membolehkan berbuka adalah safar yang membuatnya boleh pula qashar shalat. Begitu pula rentang waktu waktu yang membolehkan untuk berbuka bagi seorang musafir, yaitu selama jangka waktu dibolehkan pula mengqashar. Semua pembahasan ini telah kami bahas sebelumnya dalam pembahasan qashar shalat, pandangan para ulama, dan tahqiq dari Ibnul Qayyim. (Fiqhus Sunnah, 1/444)

Dan Qashar, menurut jumhur ulama adalah 4 Burd, yaitu 88,656km.

3⃣6⃣ Apakah safar dengan pesawat (sejuk, cepat, tidak lelah) membuat rukhshah teranulir?

Tidak. Kecanggihan teknologi yang membuat safar menjadi ringan, tidaklah menghapuskan rukhshah (keringanan) selama memang jaraknya sudah terpenuhi. Sebab, munculnya rukhshah itu karena safar itu sendiri, bukan karena adanya kesulitan dibalik safarnya. Benar bahwa hikmah adanya rukhshah adalah untuk menghilangkan kesulitan, tapi kesulitan bukankah ‘illat (sebab), yang menjadi sebab adalah safar itu sendiri sebagaimana yang disebutkan Al Qur’an:

… أو على سفر فعدة من ايام اخر

… Atau karena perjalanan (safar) maka hendaknya diganti dihari-hari yang lain

Syaikh Muhammad bin Haail Madhajiy Hafizhahullah berkata:

فيجوز الفطر للمسافر، ولو كان مسافراً على طائرة أو سيارة مكيفة، أو في وقت الشتاء، ويجوز للمسافر بالطائرة أن يفطر و يقصر في سفر ساعة واحدة أو أقل من ساعة، إذا كان يسمى سفراً، وقطع مسافة القصر

Maka, dibolehkan berbuka bagi musafir walau dia menggunakan pesawat terbang atau mobil ber-AC, atau diwaktu musim dingin, dan dibolehkan bagi musafir yang menggunakan pesawat terbang untuk berbuka atau Qashar dalam perjalanan yang hanya menempuh waktu 1 jam saja atau kurang dari 1 jam, jika memang itu dinamakan safar dan jaraknya sudah pantas untuk Qashar. (Ahkam An Nawaazil fi Ash Shiyam)

Syaikh Utsaimin Rahimahullah berkata:

نعم في السفر يجوز له أن يفطر سواء في الطائرة أو في الباخرة أو في السيارة، إذا كان سفرًا يعتبر سفرًا فإن له الإفطار

Ya, disaat safar boleh baginya berbuka puasa, baik safarnya dengan pesawat terbang, kapal laut, atau mobil, jika memang safar tersebut layak disebut dengan “safar”, maka dia boleh berbuka.

(Fatawa Nuur ‘Alad Darb no. 256)

3⃣7⃣Tarawih di rumah bagi laki-laki sendirian bolehkah?

Boleh, Berkata Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

قيام رمضان يجوز أن يصلى في جماعة كما يجوز أن يصلى على انفراد، ولكن صلاته جماعة في المسجد أفضل عند الجمهور

Qiyam Ramadhan boleh dilakukan secara berjamaah sebagaimana boleh pula dilakukan secara sendiri, tetapi dilakukan secara berjamaah adalah lebih utama menurut pandangan jumhur (mayoritas) ulama. (Fiqhus Sunnah, 1/207)

Dari Aisyah Radhiallahu Anha, bahwa Rasulullah ﷺ shalat di masjid, lalu manusia mengikutinya, keesokannya shalat lagi dan manusia semakin banyak, lalu pada malam ketiga atau keempat mereka berkumpul namun Rasulullah ﷺ tidak keluar bersama mereka, ketika pagi hari beliau bersabda:

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ

“Aku melihat apa yang kalian lakukan, dan tidak ada yang mencegahku keluar menuju kalian melainkan aku khawatir hal itu kalian anggap kewajiban.” Itu terjadi pada bulan Ramadhan. (HR. Bukhari No. 1129, Muslim No. 761)

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

فَفِيهِ : جَوَاز النَّافِلَة جَمَاعَة ، وَلَكِنَّ الِاخْتِيَار فِيهَا الِانْفِرَاد إِلَّا فِي نَوَافِل مَخْصُوصَة وَهِيَ : الْعِيد وَالْكُسُوف وَالِاسْتِسْقَاء وَكَذَا التَّرَاوِيح عِنْد الْجُمْهُور كَمَا سَبَق

“Dalam hadits ini, menunjukkan bolehnya shalat nafilah dilakukan berjamaah, tetapi lebih diutamakan adalah sendiri, kecuali shalat-shalat nafilah tertentu (yang memang dilakukan berjamaah, pen) seperti: shalat Ied, shalat gerhana, shalat minta hujan, demikian juga tarawih menurut pandangan jumhur, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/41)

Ada pun muslimah boleh di masjid dan lebih utamanya di rumah.

3⃣8⃣ Tarawih bagusnya berapa rakaat?

Semua baik dan bagus, baik itu 11, 23, atau 39 rakaat.

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:

وَالصَّوَابُ أَنَّ ذَلِكَ جَمِيعَهُ حَسَنٌ كَمَا قَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الْإِمَامُ أَحْمَد رَضِيَ اللَّهُ عَنْه

“Yang benar adalah bahwa itu semua adalah baik, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam Ahmad Radhiallahu ‘Anhu.” (Majmu’ Al Fatawa, 23/112)

Beliau juga berkata:

وَالْأَفْضَلُ يُخْتَلَفُ بِاخْتِلَافِ أَحْوَالِ الْمُصَلِّينَ، فَإِنْ كَانَ فِيهِمْ احْتِمَالٌ لِطُولِ الْقِيَامِ، فَالْقِيَامُ بِعَشْرِ رَكَعَاتٍ وَثَلَاثٍ بَعْدَهَا.
كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي لِنَفْسِهِ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ هُوَ الْأَفْضَلُ، وَإِنْ كَانُوا لَا يَحْتَمِلُونَهُ فَالْقِيَامُ بِعِشْرِينَ هُوَ الْأَفْضَلُ، وَهُوَ الَّذِي يَعْمَلُ بِهِ أَكْثَرُ الْمُسْلِمِينَ، فَإِنَّهُ وَسَطٌ بَيْنَ الْعَشْرِ وَبَيْنَ الْأَرْبَعِينَ، وَإِنْ قَامَ بِأَرْبَعِينَ وَغَيْرِهَا جَازَ ذَلِكَ وَلَا يُكْرَهُ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ.
وَقَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْأَئِمَّةِ كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ.
وَمَنْ ظَنَّ أَنَّ قِيَامَ رَمَضَانَ فِيهِ عَدَدٌ مُوَقَّتٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُزَادُ فِيهِ وَلَا يَنْقُصُ مِنْهُ فَقَدْ أَخْطَأَ

Dan yang paling utama adalah disesuaikan kondisi jamaah yang shalat, jika mereka kuat lama berdirinya maka lakukan 13 rakaat seperti yang dilakukan Nabi ﷺ untuk dirinya dan orang lain di bulan Ramadhan, maka itu lebih utama.

Jika mereka tidak kuat lama maka shalat 20 rakaat lebih utama (dengan bacaan pendek, pen). Jumlah inilah yang dilakukan mayoritas kaum muslimin. Jumlah itu pun pertengahan antara 10 dan 40 rakaat. Memilih 40 rakaat atau lainnya diperbolehkan, tidak ada masalah. Lebih dari satu imam yang menyatakan hal itu seperti Imam Ahmad dan lainnya.

Siapa yang menyangka bahwa Qiyam Ramadhan terdapat jumlah rakaat tertentu dari Nabi ﷺ , tidak boleh ditambah dan dikurangi, itu adalah sangkaan yang salah.

(Imam Ibnu Taimiyah, Al Fatawa Al Kubra, 2/120)

Imam Az Zurqaniy Rahimahullah menceritakan sejarah perubahan jumlah rakaat tarawih, sebagai berikut:

وذكر ابن حبان أن التراويح كانت أولا إحدى عشرة ركعة، وكانوا يطيلون القراءة فثقل عليهم فخففوا القراءة وزادوا في عدد الركعات فكانوا يصلون عشرين ركعة غير الشفع والوتر بقراءة متوسطة، ثم خففوا القراءة وجعلوا الركعات ستا وثلاثين غير الشفع والوتر، ومضى الامر على ذلك

“Ibnu Hibban menyebutkan bahwa shalat Tarawih dahulunya adalah 11 rakaat, mereka membaca surat yang panjang dan itu memberatkan bagi mereka, lalu mereka meringankan bacaan namun menambah rakaat, maka mereka shalat 20 rakaat belum termasuk witir dengan bacaan yang sedang-sedang, kemudian mereka meringankan lagi bacaannya dan rakaatnya menjadi 36 rakaat belum termasuk witir, dan perkara ini telah berlangsung sejak lama. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/206, cat kaki no. 2)

Yang tidak bagus adalah yang masih meributkan masalah ini apalagi dia juga tidak shalat tarawih.

3⃣9⃣ Tarawih berjamaah, boleh tidak dirakaat 8 memisahkan diri? Witirnya mau di rumah saja.

Idealnya dan Afdhalnya tuntaskan bersama imam.

Selesaikan dimasjid bersama imam lebih utama, Nabi ﷺ bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَاقَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ بَقِيَّةُ لَيْلَتِهِ

Sesungguhnya jika seseorang shalat malam bersama imam sampai selesai, maka dia dihitung seperti shalat sepanjang malam.

(HR. Ahmad no. 21447, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: SHAHIH sesuai syarat Imam Muslim. Ta’liq Musnad Ahmad no. 21447)

4⃣0⃣ Bangun tidur kesiangan lewat subuh, dan dalam keadaan junub, gimana nih puasanya?

Langsung saja mandi wajib, lalu shalat subuh, dan puasalah. Tidak apa-apa.

‘Aisyah dan Ummu Salamah Radhiallahu ‘Anhuma menceritakan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ

“Adalah Rasulullah ﷺ memasuki fajar dalam keadaan junub karena berhubungan dengan isterinya, lalu dia mandi dan berpuasa.” (HR. Bukhari No. 1925, Muslim No. 1109)

Imam Ibnu Hajar mengatakan:

قَالَ الْقُرْطُبِيّ : فِي هَذَا فَائِدَتَانِ ، إِحْدَاهُمَا أَنَّهُ كَانَ يُجَامِع فِي رَمَضَان وَيُؤَخِّر الْغُسْل إِلَى بَعْد طُلُوع الْفَجْر بَيَانًا لِلْجَوَازِ . الثَّانِي أَنَّ ذَلِكَ كَانَ مِنْ جِمَاع لَا مِنْ اِحْتِلَام لِأَنَّهُ كَانَ لَا يَحْتَلِم إِذْ الِاحْتِلَام مِنْ الشَّيْطَان وَهُوَ مَعْصُوم مِنْهُ

“Berkata Al Qurthubi: “Hadits ini ada dua faidah. Pertama, bahwa beliau berjima’ pada Ramadhan (malamnya) dan mengakhirkan mandi hingga setelah terbitnya fajar, merupakan penjelasan bolehnya hal itu.

Kedua, hal itu (junub) dikarenakan jima’ bukan karena mimpi basah, karena beliau tidaklah mimpi basah, mengingat bahwa mimpi basah adalah dari syetan, dan beliau ma’shum dari hal itu.” (Fathul Bari, 4/144)

4⃣1⃣ Safar yang bagaimanakah yang boleh tidak berpuasa?

Safar yang sudah boleh untuk mengqashar shalat, maka dia boleh untuk tidak berpuasa dan diganti di hari lain. Walau pun dalam safarnya itu dia tidak kelelahan, misal safar dengan pesawat, kereta api yang nyaman ber-AC tanpa kemacetan. Sebab yang menjadi dasar bukanlah itu, tetapi jarak tempuh safar itu sendiri. Sarana safar tidaklah menganulir adanya keringanan untuk tidak berpuasa.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

والسفر المبيح للفطر، هو السفر الذي تقصر الصلاة بسببه، ومدة الاقامة التي يجوز للمسافر أن يفطر فيها، هي المدة التي يجوز له أن يقصر الصلاة فيها

Safar yang membuat bolehnya tidak puasa adalah safar yang juga menyebabkan boleh qasharnya shalat. Rentang waktunya pun sama dengan rentang waktu dibolehkannya qashar.

(Fiqhus Sunnah, 1/444)

Syaikh Muhammad bin Haail Madhajiy Hafizhahullah berkata:

فيجوز الفطر للمسافر، ولو كان مسافراً على طائرة أو سيارة مكيفة، أو في وقت الشتاء، ويجوز للمسافر بالطائرة أن يفطر و يقصر في سفر ساعة واحدة أو أقل من ساعة، إذا كان يسمى سفراً، وقطع مسافة القصر

Maka, dibolehkan berbuka bagi musafir walau dia menggunakan pesawat terbang atau mobil ber-AC, atau diwaktu musim dingin, dan dibolehkan bagi musafir yang menggunakan pesawat terbang untuk berbuka atau Qashar dalam perjalanan yang hanya menempuh waktu 1 jam saja atau kurang dari 1 jam, jika memang itu dinamakan safar dan jaraknya sudah pantas untuk Qashar. (Ahkam An Nawaazil fi Ash Shiyam)

Dalam rujukan yang lain:

نعم في السفر يجوز له أن يفطر سواء في الطائرة أو في الباخرة أو في السيارة، إذا كان سفرًا يعتبر سفرًا فإن له الإفطار

Ya, disaat safar boleh baginya berbuka puasa, baik safarnya dengan pesawat terbang, kapal laut, atau mobil, jika memang safar tersebut layak disebut dengan “safar”, maka dia boleh berbuka.

(Fatawa Nuur ‘Alad Darb no. 256)

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Membasuh Tangan Saat Wudhu bagi Muslimah di Tempat Terbuka, Bagaimana Solusinya?

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz. Ana mau bertanya soal wudhu yg sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Ana punya teman,kalau wudhu pas bagian membasuh tangan, beliau tdk membasuh sampai siku. Cuma pergelangan tangan sedikit ke atas. Alasannya karena tempat wudhu yg ada di tempat kerja kami berada di area sedikit terbuka dan memungkinkan seseorg yg bukan muhrim utk melihat. Jd bagaimana tata cara wudhu yg syar’i buat kami yg akhwat. Jazakillah khairan katsiro ustadz.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal Hamdulillah wash shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Ba’d:

Membasuh tangan sampai siku termasuk fardhunya wudhu, yang jika tidak dilakukan maka tidak sah. Berdasarkan ayat berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan SIKU, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki .. (QS. Al Maidah: 6)

Makna dari ilal maraafiq (sampai ke siku) adalah ma’al maraafiq (bersama siku), artinya siku termasuk bagian tangan yang mesti dibasahi dan dicuci juga. Inilah yang shahih, dan merupakan pegangan mayoritas ulama. Dan orang-orang Arab memaknai kata “yadun” (tangan) yaitu dari ujung jari jemari sampai pangkal tangan. (Imam Al Qurthubi, Al Jaami’ Li Ahkamil Qur’an, 6/86, secara ringkas)

Dalam hadits pun sangat banyak keterangan tentang wudhunya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa Beliau mencuci tangannya sampai kedua sikunya.

Dari Humran –pelayannya Utsman bin Affan-, Beliau melihat Utsman Radhiallahu ‘Anhu meminta diambilkan bejana:

فَأَفْرَغَ عَلَى كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مِرَارٍ، فَغَسَلَهُمَا، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِي الإِنَاءِ، فَمَضْمَضَ، وَاسْتَنْشَقَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا، وَيَدَيْهِ إِلَى المِرْفَقَيْنِ ثَلاَثَ مِرَارٍ

Lalu Beliau memenuhi kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali lalu dia mencuci keduanya, kemudian memasukan tangan kanannya ke bejana (untuk ambil air), lalu dia berkumur-kumur, lalu istinsyaq, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, dan kedua tangannya sampai ke siku sebanyak tiga kali, …. (HR. Bukhari No. 159, Muslim No. 226)

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:

قَوْلُهُ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ أَيْ كُلُّ وَاحِدَةٍ كَمَا بَيَّنَهُ الْمُصَنِّفُ فِي رِوَايَةِ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ فِي الصَّوْمِ وَكَذَا لِمُسْلِمٍ مِنْ طَرِيقِ يُونُسَ وَفِيهَا تَقْدِيمُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى

Ucapannya: “Dan kedua tangannya sampai sikunya” yaitu masing-masing tangan, sebagaimana dijelaskan oleh penyusun kitab ini, dalam riwayat Ma’mar, dari Az Zuhri, tentang shaum, demikian juga dalam riwayat Muslim, dari jalan Yunus, dan di dalamnya terdapat keterangan mendahulukan tangan kanan sebelum tangan kiri. (Fathul Bari, 1/260)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan tentang di antara kewajiban dalam wudhu:

(الفرض الثالث) غسل اليدين إلى المرفقين، والمرفق هو المفصل الذي بين العضد والساعد، ويدخل المرفقان فيما يجب غسله وهذا هو المضطرد من هدي النبي صلى الله عليه وسلم، ولم يرد عنه صلى الله عليه وسلم أنه ترك غسلهما

(Fardhu yang ketiga) mencuci kedua tangan sampai ke siku. Siku adalah batasan antara lengan atas dan lengan bawah (hasta). Dua siku termasuk bagian yang wajib dibasuh, hal ini terdapat dalam petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tidak ada satu pun riwayat yang menunjukkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkannya. (Fiqhus Sunnah, 1/43)

Demikian. Hal ini berlaku baik muslim dan muslimah. Lalu, bagaimana membasuh tangan jika di tempat terbuka, di mana terlihat oleh kaum laki-laki yang bukan mahramnya. Bukankah menampakkan sampai siku tidak boleh karena itu aurat?

Ada beberapa hal yang mesti diupayakan seorang muslimah.

1. Tetap usahakan berwudhu di tempat tertutup, sehingga kegelisahan masalah ini tidak terjadi.

2. Jika tidak ada maka wudhu di kamar mandi atau WC, adalah pilihan yang paling “mending”. Selama WC tersebut disiram dulu sampai benar-benar bersih. Madharatnya lebih ringan dibanding menampakkan auratnya di depan banyak laki-laki. Perlu diingat, para ulama membolehkan wudhu di WC atau kamar mandi, hanya saja bagi yang mengatakan wudhu itu wajib membaca bismillah, maka makruh wudhu di WC tapi tetap sah. Makruh karena WC tempat dilarang dzikir, dan bismillah termasuk dzikir.
Tapi, bagi yang mengatakan Bismillah adalah sunnah, tidak ada masalah tanpa membacanya. Sehingga wudhu di kamar mandi juga tidak apa-apa.

3. Jika ini tidak bisa juga karena memang tidak tersedia, maka usaplah sejauh kemampuan tangan mencapainya. Fattaqullah mastatha’tum .. bertaqwalah kalian kepada Allah semampu kalian ..

Wallahu a’lam. Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam.

🍃🌴🌺☘🌻🌷🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Kapan Seorang Dikatakan Bodoh?

▫▪▫▪▫▪▫▪

Abdullah bin Al Mubarak Rahimahullah berkata:

لا يزال المرء عالماً ما طلب العلم، فإذا ظنَّ أنه قد علم فقد جهل

Seseorang senantiasa berilmu selama dia masih mencari ilmu, namun saat dia menyangka dirinya sudah berilmu maka dia telah bodoh.

📚 Al Majalisah wa Jawaahir Al ‘Ilmi, 2/186

📔📗📙📘📒📕📓

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top