Sudah Pikun, Bagaimana Shalatnya?

▪▫▪▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Bagaimana hukum sholat orang tua lansia 84 tahun yang sudah lupa waktu sholat dan bacaan sholat. Sekarang dalam keadaan sakit dan kemarin sempat masuk rumah sakit. Bagaimana kami sebagai putra-putrinya? Apakah sholatnya kami gantikan atau bagaimana? (‪+62 817-9320-xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah wash shalatu wa salamu ‘ala rasulillah wa ba’d:

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ : عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ ، وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

Pena diangkat dari 3 gol:

1. Org tidur sampai dia bangun
2. Anak kecil sampai dia mimpi basah (baligh)
3. Orang gila sampai dia berakal.

(HR. Abu Daud no. 4403 At Tirmidzi no. 1423. Shahih)

Semua gol dalam hadits ini punya kesamaan yaitu sama-sama tidak berfungsinya akal. Maka, orang pikun juga mengalaminya, sehingga pikun yg dominan dalam kehidupan seseorang membuatnya terangkat kewajiban baginya, alias ketentuan syariat tidak dibebankan kepadanya.

Bahkan bisa jadi pikun ini lebih berat, sebab: anak-anak akan dewasa, org tidur akan bangun, orang gila bisa disembuhkan. Berbeda dgn orang pikun yang biasanya dialami sampai wafat.

Oleh karena itu Imam As Subki mengatakan -seperti yg dikutip Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim:

وَالْمُرَادُ بِهِ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ الَّذِي زَالَ عَقْلُهُ مِنْ كِبَرٍ فَإِنَّ الشَّيْخَ الْكَبِيرَ قَدْ يَعْرِضُ لَهُ اخْتِلَاطُ عَقْلٍ يَمْنَعُهُ مِنَ التَّمْيِيزِ وَيُخْرِجُهُ عَنْ أَهْلِيَّةِ التَّكْلِيفِ وَلَا يُسَمَّى جُنُونًا لِأَنَّ الْجُنُونَ يَعْرِضُ مِنْ أَمْرَاضٍ سَوْدَاوِيَّةٍ وَيَقْبَلُ الْعِلَاجَ وَالْخَرَفُ بِخِلَافِ ذَلِكَ

Yg dimaksud dengan pikun adalah orang jompo yang akalnya hilang karena ketuaannya. Orang jompo yg mengalami kekacauan dalam akalnya sehingga tidak bisa lagi mampu membedakan apa-apa dan mengeluarkannya dr lingkup kepantasan menerima beban syariat (mukallaf).

Ini tidak dinamakan gila, sebab gila itu salah satu jenis penyakit dan masih bisa diobati, hal itu berbeda dengan pikun.

(‘Aunul Ma’bud, 12/52)

Jadi, sdh tidak wajib shalat dimasa-masa pikunnya.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

والحاصل أن من وصل إلى مرحلة الخرف ، وأصبح لا يدرك الوقت ، ولا يميز بين الصلوات ، فهذا لا تجب عليه الصلاة

Kesimpulannya, orang yg sdh sampai taraf pikun, yang membuatnya tidak mengerti waktu, tidak mampu membedakan waktu-waktu shalat, maka ini tidak wajib shalat.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 90189)

Demikian. Wallahu A’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Shalat Kelebihan Rakaat

▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Ardi Fadhil:
Assalamu alaikum warah matullahi wabarakatuh
Afwan ustad tanya kalau kita shalat berjamaah terus imam nya kelebihan rakaat terus tak ada yg tegur ,setelah selesai baru dikasih tau,,bagaimana setatus shalat berjammaahnya,,syukran

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍂

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Shalatnya tetap Sah, tapi mesti ditutup dgn sujud sahwi dua kali ..

Kelebihan jumlah rakaat shalat. Ini juga menyebabkan seseorang wajib menjalankan sujud sahwi.

Dalilnya adalah:
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ خَمْسًا فَقِيلَ لَهُ أَزِيدَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ وَمَا ذَاكَ قَالَ صَلَّيْتَ خَمْسًا فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَ مَا سَلَّمَ

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat zhuhur lima rakaat. Lalu ada orang yang berkata kepadanya: “Apakah memang rakaat shalat ditambah?” Beliau bersabda: “Memang kenapa?” orang itu menjawab: “Engkau shalat lima rakaat.” Maka Nabi pun sujud dua kali setelah salam.” (HR. Bukhari No. 1168 dan Muslim No. 572)

Riwayat ini, menunjukkan sujud sahwi Beliau lakukan setelah salam. Sujud sahwi setelah salam dilakukan karena kesalahan tersebut diketahui dan diingat setelah usai shalat (setelah salam).

Demikian. Wallahu a’lam

🍀☘🌿🍄💐🌷🌸🌱

✍ Farid Nu’man Hasan

Pembagian Bid’ah: Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyiah

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📌 Imam Asy Syafi’i dan Imam As Suyuthi Rahimahumallah

Berkata Imam As Suyuthi Rahimahullah sebagai berikut:

والحوادث تنقسم إلى: بدعة مستحسنة، وإلى بدع مستقبحة، قال الإمام الشافعي رضي الله عنه: البدعة بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم. واحتج بقول عمر رضي الله عنه: نعمت البدعة هذه. وقال الإمام الشافعي أيضاً رضي الله تعالى عنه: المحدثات في الأمور ضربان: أحدهما ما حدث يخالف كتاباً أو سنة أو أثراً أو إجماعاً فهذه البدعة الضلالة. والثاني: ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا فهي محدثة غير مذمومة

“Perkara-perkara yang baru terbagi atas bid’ah yang baik dan bid’ah yang buruk. Berkata Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu: “Bid’ah itu ada dua; bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Maka, apa-apa saja yang sesuai dengan sunah maka itu terpuji, dan apa-apa saja yang menyelisihi sunah maka itu tercela.” Beliau beralasan dengan ucapan Umar Radhiallahu ‘Anhu: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.” Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu juga berkata: “Hal-hal yang baru itu ada dua segi; pertama, apa-apa saja yang menyelisihi Al Quran, As Sunnah, Atsar, Ijma’, maka inilah bid’ah dhalalah (sesat). Kedua, apa-apa saja perbuatan baru yang baik, yang tidak menyelisihi satu saja dari sumber itu, maka perkara baru tersebut tidaklah tercela.” (Imam As Suyuthi, Al Amru ‘bil Ittiba’ wan Nayu ‘anil Ibtida’, Hal. 6. Juga Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 13/253. Darul Fikr)

📌 Imam Izzudin bin Abdussalam , dalam Kitab Qawa’idul Ahkam fii Mashalihil Anam berkata:

فَصْلٌ فِي الْبِدَعِ الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَصْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .
وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إلَى : بِدْعَةٌ وَاجِبَةٌ ، وَبِدْعَةٌ مُحَرَّمَةٌ ، وَبِدْعَةٌ مَنْدُوبَةٌ ، وَبِدْعَةٌ مَكْرُوهَةٌ ، وَبِدْعَةٌ مُبَاحَةٌ ، وَالطَّرِيقُ فِي مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ : فَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْإِيجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ التَّحْرِيمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَنْدُوبِ فَهِيَ مَنْدُوبَةٌ ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَكْرُوهِ فَهِيَ مَكْرُوهَةٌ ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌ ، وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌ .
أَحَدُهَا : الِاشْتِغَالُ بِعِلْمِ النَّحْوِ الَّذِي يُفْهَمُ بِهِ كَلَامُ اللَّهِ وَكَلَامُ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَذَلِكَ وَاجِبٌ لِأَنَّ حِفْظَ الشَّرِيعَةِ وَاجِبٌ وَلَا يَتَأَتَّى حِفْظُهَا إلَّا بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ ، وَمَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ .
الْمِثَالُ الثَّانِي : حِفْظُ غَرِيبِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مِنْ اللُّغَةِ .
الْمِثَالُ الثَّالِثُ : تَدْوِينُ أُصُولِ الْفِقْهِ .
الْمِثَالُ الرَّابِعُ : الْكَلَامُ فِي الْجُرْحِ وَالتَّعْدِيلِ لِتَمْيِيزِ الصَّحِيحِ مِنْ السَّقِيمِ ، وَقَدْ دَلَّتْ قَوَاعِدُ الشَّرِيعَةِ عَلَى أَنَّ حِفْظَ الشَّرِيعَةِ فَرْضُ كِفَايَةٍ فِيمَا زَادَ عَلَى الْقَدْرِ الْمُتَعَيَّنِ ، وَلَا يَتَأَتَّى حِفْظُ الشَّرِيعَةِ إلَّا بِمَا ذَكَرْنَاهُ .

Pembahasan tentang Macam bid’ah-bid’ah

Bid’ah adalah perbuatan yang belum pernah ada pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Bid’ah terbagi atas: bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunah), bid’ah makruh, dan bid’ah mubah. Untuk memahami ini, kita mengembalikannya sebagaimanan kaidah-kaidah syar’iyyah; jika bid’ah itu masuk prinsip kaidah kewajiban maka dia wajib, jika dia masuk prinsip kaidah pengharaman maka dia haram, jika dia masuk prinsip kaidah anjuran maka dia sunah, jika dia masuk prinsip kaidah kemakruhan maka dia makruh, jika dia masuk prinsip kaidah pembolehan maka dia mubah.

Contoh bid’ah wajib adalah pertama, menyibukkan dari dalam ilmu nahwu yang dengannya kita bisa memahami firman Allah dan perkataan Rasulullah, demikian itu wajib karena menjaga syariat adalah wajib, dan tidak bisa menjaga syariat kecuali dengan memahami hal itu (nahwu). Tidaklah sempurna kewajiban kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib.

Kedua, menjaga perbendarahaan kata asing pada Al Quran adan As Sunnah. Ketiga, pembukuan disiplin ilmu usuhl fiqih. Keempat, perkatan dalam ilmu jarh wa ta’dil, yang dengannya bisa membedakan mana hadits yang shahih dan cacat. Kaidah-kaidah syar’iyyah telah menunjukkan bahwa menjaga syariat adalah fardhu kifayah, sejauh bekal dan kemampuan masing-amsing secara khusus. Dan tidaklah mudah urusan penjagaan syariah kecuali dengan apa-apa yang telah kami sebutkan.

Sedangkan bid’ah yang haram contohnya adalah pemikiran qadariyah, jabriyah, murji’ah, dn mujassimah, semuanya adalah lawan dari bid’ah wajib.

Adapun bid’ah yang sunah, contohnya adalah menciptakan jalur penghubung, sekolah-sekolah, dan jembatan, termasuk juga semua kebaikan yang belum ada pada masa awal, seperti shalat tarawuih, perkataan hikmah para ahli tasawwuf, dan perkataan yang mampu mengikat beragam perhimpunan dan bisa menjelaskan berbagai permasalahan, jika dimaksudkan karena Allah Ta’ala semata.

Adapun bid’ah makruhah (dibenci), contohnya adalah menghias mesjid, menghias Al Qur’an, dan sedangkan melagukan Al Qur’an sehingga merubah lafazh, maka yang benar adalah itu bid’ah yang haram. Sedangkan bid’ah mubahah (boleh), contohnya adalah bersalaman setelah shalat subuh dan ashar, juga memperluas kesenangan dalam urusan makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal, pakaian kebesaran ulama, dan melebarkan lengan baju. Telah terjadi perselishan dalam hal ini, sebagian ulama ada yang memakruhkan, sebagian lain mengatukan bahwa itu adalah kebiasaan yang sudah dikerjakan pada masa Rasulullah dan setelahnya, perseleisihan ini seperti masalah pembacaan isti’adzah dan basmalah dalam shalat. (Imam Izzudin bin Abdussalam, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/380-384. Mawqi’ Al Islam)

📌 Imam Al Ghazali Ath Thusi Rahimahullah

Berkata Hujjatul Islam Imam Al Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin:

فكم من محدث حسن كما قيل في إقامة الجماعات في التراويح إنها من محدثات عمر رضي الله عنه وأنها بدعة حسنة. إنما البدعة المذمومة ما يصادم السنة القديمة أو يكاد يفضي إلى تغييرها

“Maka, betapa banyak perbuatan baru yang baik, sebagaimana dikatakan tentang berjamaahnya shalat tarawih, itu adalah di antara perbuatan barunya Umar Radhiallahu ‘Anhu, dan itu adalah bid’ah hasanah. Sesungguhnya bid’ah tercela itu hanyalah apa-apa yang bertentangan dengan sunah terdahulu atau yang membawa kepada perubahan terhadap sunah.”(Imam Al Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, 1/286, Mawqi’ Al Warraq)

📌Imam An Nawawi Rahimahullah

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas:

وَفِي هَذَا الْحَدِيث تَخْصِيص قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” كُلّ مُحْدَثَة بِدْعَة وَكُلّ بِدْعَة ضَلَالَة ” ، وَأَنَّ الْمُرَاد بِهِ الْمُحْدَثَات الْبَاطِلَة وَالْبِدَع الْمَذْمُومَة ، وَقَدْ سَبَقَ بَيَان هَذَا فِي كِتَاب صَلَاة الْجُمُعَة ، وَذَكَرْنَا هُنَاكَ أَنَّ الْبِدَع خَمْسَة أَقْسَام : وَاجِبَة وَمَنْدُوبَة وَمُحَرَّمَة وَمَكْرُوهَة وَمُبَاحَة

“Pada hadits ini terdapat takhsis (spesifikasi/pengkhususan/penyempitan) dari hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” Yang dimaksud oleh hadits ini adalah hal-hal baru yang batil dan bid’ah tercela. Telah berlalu penjelasan tentang ini pada pembahasan “Shalat Jum’at”. Kami menyebutkan di sana , bahwa bid’ah ada lima bagian: Wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah.” (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/461. Mawqi’ Ruh Al Islam)

📌 Imam Al Qurthubi Rahimahullah

Berkata Imam Al Qurthubi Al Maliki Rahimahullah tentang hadits Imam Muslim di atas:

وهذا إشارة إلى ما ابتدع من قبيح وحسن، وهو أصل هذا الباب، وبالله العصمة والتوفيق، لا رب غيره

“Ini adalah isyarat bahwa apa-apa yang baru (bid’ah), di antaranya ada yang buruk dan ada yang baik, dan itulah asal dari masalah ini. Dan kepada Allah memohon penjagaan dan taufiq, dan Tiada Rabb selainNya.” (Imam Al Qurthubi, Jami’ul Ahkam, 2/87. Dar Ihya’ At Turats Al ‘Arabi)

📌 Imam Abul Hasan As Sindi Rahimahullah

Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi, penulis Hasyiah ‘ala Ibni Majah, ketika mengomentari hadits Kullu bid’atin dhalalah sebagai berikut ini:

قِيلَ أُرِيد بِهَا مَا لَيْسَ لَهُ أَصْل فِي الدِّين وَأَمَّا الْأُمُور الْمُوَافِقَة لِأُصُولِ الدِّين فَغَيْر دَاخِلَة فِيهَا وَإِنْ أُحْدِثَتْ بَعْده صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْت هُوَ الْمُوَافِق لِقَوْلِهِ وَسُنَّة الْخُلَفَاء فَلْيَتَأَمَّلْ

“Dikatakan, yang dikehendaki oleh hadits ini adalah apa-apa yang tidak memiliki dasar dalam agama, sedangkan perkara yang bersesuaian dengan dasar-dasar agama bukanlah termasuk di dalam maksud hadits tersebut, walau pun hal itu baru ada setelah masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Aku berkata: hal itu sesuai dengan sunahnya dan sunah al Khulafa’, maka perhatikanlah.” (Imam Abul Hasan As Sindi, Hasyiah ‘ala Ibni Majah, No. 42. Mawqi’ Ruh Al Islam)

📌 Imam Al lusi Rahimahullah berkata:

وقال صاحب جامع الأصول : الابتداع من المخلوقين إن كان في خلاف ما أمر الله تعالى به ورسوله صلى الله عليه وسلم فهو في حيز الذم والإنكار وإن كان واقعاً تحت عموم ما ندب الله تعالى إليه وحض عليه أو رسوله صلى الله عليه وسلم فهو في حيز المدح وإن لم يكن مثاله موجوداً كنوع من الجود والسخاء وفعل المعروف ، ويعضد ذلك قول عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه في صلاة التراويح : نعمت البدعة هذه

Berkata penulis Jami’ al Ushul: “Perkara baru yang diada-adakan oleh manusia, jika berselisih dengan apa-apa yang Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam perintahkan, maka itu tercela dan harus diingkari. Namun, jika masih bersesuaian dengan keumuman apa-apa yang Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam anjurkan, maka itu termasuk terpuji, walau pun belum ada yang semisalnya, yang mendukung hal itu adalah ucapan Umar bin al Khathab Radhiallahu ‘Anhu tentang shalat tarawih: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.” (Imam Al Alusi, Ruhul Ma’ani, 20/346 Mawqi’ At Tafasir)

Sementara itu tidak sedikit ulama lain yg tidak setuju dengan pembagian ini, bagi mereka bid’ah hanya satu yaitu dhalalah (sesat), seperti pendapat Ibnu Umar, Malik, Ibnu Taimiyah, Al Qaradhawiy, dll.

Wallahu A’lam

🌷🌺🌴🍃🌸🌾🌻☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Di antara Adab Bicara; Jangan Tinggikan Suaramu!

▫▪▫▪▫▪▫▪

Imam Hasan Al Banna Rahimahullah berkata:

لا ترفع صوتك أكثر مما يحتاج إليه السامع فإنه رعونة وايذاء

Jangan meninggikan suaramu melebihi yang dibutuhkan pendengarnya karena hal itu mengganggu dan menyakitkan.

(Al Washaya Al ‘Asyr No. 7)

Syaikh Ahmad Asy Syuqairiy berkata:

من ضعفت حجته أثناء الحوار استعاض عنها برفع الصوت

Orang yang lemah argumentasinya saat dialog, akan menutupinya dengan meninggikan suaranya.

(Aqwaal As Salaf Ash Shalih no. 25)

☘🌻🌿🌸🍃🍄🌷💐


🍃🌸 Bicara Sebutuhnya, Bicara Sepantasnya🌸🍃

💢💢💢💢💢💢

Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu Berkata:

إياكم وفضول الكلام حسب امرئ ما بلغ حاجته. وقال: : ما حدثت قومًا حديثًا قط لم تبلغه عقولهم إلا كان فتنة على بعضهم

Takutlah kalian terhadap melebih-lebihkan pembicaraan, cukuplah seseorang berbicara sejauh apa yang dibutuhkannya.

Beliau juga berkata: “Tidaklah engkau berbicara kepada sebuah kaum sedikit pun yang tidak sampai dijangkau akal mereka, melainkan lahirnya fitnah pada sebagian mereka.

📚 Jawaahir min Aqwaalis Salaf No. 114

🌴🍄🌷🌱🌸🌾🌵🍃

🖋 Farid Nu’man Hasan

scroll to top