Beberapa Permasalahan Umroh Bagi Wanita yang Haid

💢💢💢💢💢💢💢

📌 Mau Umroh tapi haid, gimana nih?

– Tetap ikut miqot bersama jamaah lain. Yg didahului oleh mandi dan berihrom.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

الحائض إذا مرت على الميقات وهي تريد الحج أو العمرة وجب عليها أن تحرم من الميقات ولا يجوز لها تأخير الإحرام حتى تصل إلى مكة وتطهر

Wanita haid jika melewati miqot dan dia hendak haji atau umroh, maka WAJIB baginya berihrom di miqot, dan TIDAK BOLEH baginya menunda ihromnya sampai ke Mekkah dan suci.

وقد دلت السنة وإجماع العلماء على أن الحيض لا ينافي الإحرام ، فتحرم المرأة وهي حائض ثم لا تؤدي العمرة حتى تطهر وتغتسل

Hal ini ditunjukkan oleh Sunnah dan Ijma’ (konsensus) ulama, bahwa HAID tidaklah menafikan ihrom, maka wanita haid hendaknya berihrom lalu dia tidak umroh dulu sampai suci dan mandi.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 49992)

Dalilnya:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فِي حَدِيثِ أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ حِينَ نُفِسَتْ بِذِي الْحُلَيْفَةِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَأَمَرَهَا أَنْ تَغْتَسِلَ وَتُهِلَّ

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu’Anhuma, yakni terkait dengan hadits Asma binti Umais saat ia melahirkan di Dzulhulaifah (Bir Ali) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu, agar ia (Asma) mandi (untuk ihrom) dan berniat Ihrom.

(HR. Muslim no. 1210)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

وَفِيهِ : صِحَّة إِحْرَام النُّفَسَاء وَالْحَائِض , وَاسْتِحْبَاب اِغْتِسَالهمَا لِلإِحْرَامِ اهـ

Dalam hadits ini menunjukkan SAH-nya ihrom bagi wanita nifas dan haid, dan disunnahkan bagi mereka MANDI IHROM.

(Syarh Shahih Muslim, 8/133)

Kemudian, kalau sudah suci barulah dia mandi, lalu lanjutkan umrohnya tanpa miqot lagi .. , jadi tinggal thawaf, sa’i, dan tahallul.

📌 Bagaimana Kalau Haidnya Muncul menjelang Thawaf atau Pas Thawaf?

Dia tahan thawafnya, sampai nanti suci lalu mandi dr haidnya itu, barulah ia thawaf setelah mandi dari haidnya.

Dalilnya, Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata:

فَقَدِمْتُ مَكَّةَ وَأَنَا حَائِضٌ لَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ وَلَا بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فَشَكَوْتُ ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ انْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي وَأَهِلِّي بِالْحَجِّ وَدَعِي الْعُمْرَةَ

Setibanya aku di Makkah, kebetulan aku haid, sehingga aku tidak thawaf di Baitullah dan tidak sa’i antara Shafa dan Marwa. Hal itu kulaporkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau pun bersabda: “Lepas sanggulmu dan bersisirlah. Kemudian teruskan ihrammu untuk haji dan tinggalkan umrah.” (HR. Muslim no. 1211)

Dalam hadits lain:

الْحَائِضُ وَالنُّفَسَاءُ إِذَا أَتَتَا عَلَى الْوَقْتِ تَغْتَسِلَانِ وَتُحْرِمَانِ وَتَقْضِيَانِ الْمَنَاسِكَ كُلَّهَا غَيْرَ الطَّوَافِ بِالْبَيْتِ

“Wanita yang mengalami haidh atau nifas apabila mendatangi miqat maka mereka mandi dan melakukan ihram serta melaksanakan seluruh ibadah haji kecuali thawaf di Ka’bah.

(HR. Abu Daud no.1744, shahih)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

فِي هَذَا دَلِيل عَلَى أَنَّ الْحَائِض وَالنُّفَسَاء وَالْمُحْدِث وَالْجُنُب يَصِحّ مِنْهُمْ جَمِيع أَفْعَال الْحَجّ وَأَقْوَاله وَهَيْئَاته إِلا الطَّوَاف وَرَكْعَتَيْهِ , فَيَصِحّ الْوُقُوف بِعَرَفَاتٍ وَغَيْره كَمَا ذَكَرْنَا , وَكَذَلِكَ الأَغْسَال الْمَشْرُوعَة فِي الْحَجّ تُشْرَع لِلْحَائِضِ وَغَيْرهَا مِمَّنْ ذَكَرْنَا . وَفِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ الطَّوَاف لا يَصِحّ مِنْ الْحَائِض , وَهَذَا مُجْمَع عَلَيْهِ

Dalam hadits ini terdapat dalil, bahwa orang yang HAID, NIFAS, HADATS, JUNUB, adalah SAH melakukan semua aktifitas haji baik perkataan dan perbuatan, KECUALI thawaf dan shalat dua rakaat (di maqam Ibrahim). SAH pula wuquf di arafah sebagaimana yang telah kami sebutkan. Demikian juga disyariatkan mandi bagi yang haji, dan mandi bagi yg haid dan lainnya seperti yg kami sebutkan.

Dan ini menjadi dalil bahwa thawaf tidak sah bagi yang haid. Ini permasalahan yang telah disepakati ulama.

(Ibid, 8/146-147)

Demikian. Semoga bermanfaat ..

Wallahu a’lam

🌸🍃🌷🌿🌻💐🍄🍂

✍ Farid Nu’man Hasan

Memberikan Jarak Antara Adzan dan Iqamat adalah Sunah

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Sebagian manusia bertanya-tanya, kenapa ada sebagian mesjid jika adzan maghrib langsung diteruskan dengan qamat? Apakah ini dibenarkan syariat? Ataukah ini hanya masalah khilafiyah? Lalu bagaimanakah masalah ini menurut pandangan syariat?

Seorang ulama, Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

يطلب الفصل بين الاذان والاقامة بوقت يسع التأهب للصلاة وحضورها لان الاذان إنما شرع لهذا
وإلا ضاعت الفائدة منه

“Dituntut untuk memberikan jarak antara adzan dan iqamah dengan waktu yang lapang agar manusia bisa siap-siap menghadiri shalat, karena tujuan disyariatkannya adzan adalah untuk itu. Sebab, jika tidak demikian maka adzan menjadi tidak berfaedah.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 118. Darul Kitab Al ‘Araby. Beirut-Libanon)

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

قال ابن بطال: لا حد لذلك غير تمكن دخول الوقت واجتماع المصلين

“Berkata Imam Ibnu Bathal: Tidak ada batasan dalam hal jarak antara adzan dan iqamah, tetapi, yang pasti adalah mulai masuk waktu dan berkumpulnya jamaah.” (Fathul Bari, 2/106)

📌 Dalil-dalil

Pertama. Dari Jabir bin Samurah Radhiallahu ‘Anhu:

كَانَ مُؤَذِّنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُؤَذِّنُ ثُمَّ يُمْهِلُ فَلَا يُقِيمُ حَتَّى إِذَا رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ خَرَجَ أَقَامَ الصَّلَاةَ حِينَ يَرَاهُ

“Dahulu mu’adzin Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengumandangkan adzan, lalu dia berhenti dan tidak iqamah, sampai dia melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka ia pun mengumandangkan iqamah ketika melihat Rasulullah (datang ke mesjid).” (HR. Ahmad No. 20804. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: sanadnya hasan. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 20804. Mushannaf Abdurrazzaq No. 1837, menurutnya hadits ini hasan. Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 1912. Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 23278)

Kedua. Dari Abdullah bin Mughaffal Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ ثَلَاثًا لِمَنْ شَاءَ

“Antara dua adzan itu ada shalat sunnah! Antara dua adzan ada shalat sunnah!.” Ketika beliau bersabda ketiga kalinya, maka sabdanya diteruskan dengan, “bagi siapa saja yang menghendakinya.” (HR. Bukhari No. 624, Muslim No. 838)
Maksud dari ‘di antara dua adzan’ adalah di antara adzan dan iqamah.

Ketiga. Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Zubeir bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ما من صلاة مفروضة إلا وبين يديها ركعتان

“Tiada satu shalat fardu pun, melainkan pasti sebelumnya ada dua rakaat sunah.” (HR. Ath Thabarani dalam Musnad Asy Syamiyin No. 2265, Ibnu Hibban No. 2455, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 19336, Ad Daruquthni, 1/267. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 232)

Demikian dalil-dalil kesunahan shalat dua rakaat antara azan dan iqamah, lalu bagaimana dengan qabliyah maghrib?

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan:

ولم يختلف العلماء في التطوع بين الأذان والإقامة إلا في المغرب

Para ulama tidak berselisih pendapat tentang shalat sunah di antara adzan dan iqamah, kecuali pada shalat maghrib. (Fathul Bari, 2/106)

Imam At Tirmdzi Rahimahullah menjelaskan:

وَقَدْ اخْتَلَفَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصَّلَاةِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ فَلَمْ يَرَ بَعْضُهُمْ الصَّلَاةَ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ و قَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَقُ إِنْ صَلَّاهُمَا فَحَسَنٌ وَهَذَا عِنْدَهُمَا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ

Para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah berbeda pendapat tentang shalat sebelum maghrib. Sebagian mereka tidak menganggap adanya shalat sebelum maghrib. Telah diriwayatkan lebih dari satu sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa mereka melakukan shalat sebelum maghrib sebanyak dua rakaat di antara iqamat dan adzan. Berkata Imam Ahmad dan Imam Ishaq bin Rahawaih, jika melakukan dua rakaat itu adalah hal yang bagus, dan hal itu bagi mereka berdua adalah sunah (istihbab). (Sunan At Tirmidzi No. 185)

Namun pandangan yang lebih kuat adalah qabliyah maghrib itu sunnah, tetapi ghairu muakadah (tidak ditekankan). Namun sunah adalah sunah, yang seharusnya juga dilakukan dan memiliki nilai dan keutamaan untuk melakukannya.

Dari Abdullah bin Mughaffal Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Sallam bersabda:

صَلُّوا قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ كَرَاهِيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا النَّاسُ سُنَّةً

“Kerjakanlah shalat sebelum shalat maghrib.” Lalu ketiga kalinya ia bersabda: “(lakukanlah) bagi yang mau.” Beliau berkata demikian karena ditakutkan bahwa shalat tersebut akan dianggap sunah oleh umat Islam. (HR. Bukhari No. 1183, 7368, Abu Daud No. 1281, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3666, Ad Daruquthni, 1/265, Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar No. 4795)

Abu Tamim Al Jaisyani pernah shalat dua rakaat sebelum maghrib, ketika ia ditanya oleh ‘Uqbah bin Amir Al Juhani tentang shalat apa itu, ia menjawab:

هَذِهِ صَلَاةٌ كُنَّا نُصَلِّيهَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Ini adalah shalat yang kami lakukan pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. An Nasa’i No. 582, juga dalam As Sunan Al Kubra No. 374 Dalam kitab ini juga disebut Uqbah bin ‘Amir Al Juhani shalat dua rakaat sebelum maghrib. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 582)

Dari ‘Ashim, bahwa Ubai bin Ka’ab dan Abdurrahman bin ‘Auf ketika terbenam matahari mereka shalat doa rakaat sebelum maghrib. (Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 8456)

Imam Ibnu Abi Syaibah juga menyebutkan:

حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ ، عَنْ شُعْبَةَ ، عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ ، عَنْ أَبِي فَزَارَةَ ، قَالَ : سَأَلْتُ أَنَسًا ، عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ ، فَقَالَ : كُنَّا نَبْتَدِرُهُمَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم

Berkata kepada kami Ghundar, dari Syu’bah, dari Ya’la bin ‘Atha, dari Abu Fazarah, katanya: Aku bertanya kepada Anas tentang dua rakaat sebelum maghrib, dia menjawab: “Kami dahulu menyegerakan dua rakaat itu pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Al Mushannaf No. 8458)

Al Hakam menceritakan bahwa Ibnu Abi Laila melakukan dua rakaat sebelum maghrib. (Ibid, No. 8459)

Masih dari Imam Ibnu Abi Syaibah:

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ إبْرَاهِيمَ ، قَالَ : قَالَ تَمِيمُ بْنُ سَلاَّمٍ ، أَوْ سَلاَّمُ بْنُ تَمِيمٍ لِلْحَسَنِ : مَا تَقُولُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ ، فَقَالَ : حَسَنَتَانِ جَمِيلَتَانِ لِمَنْ أَرَاْدَ اللَّهُ بِهِمَا

Berkata kepada kami Waki’, dari Yazid bin Ibrahim, katanya: berkata Tamim bin Sallam, atau Sallam bin Tamim, kepada Al Hasan: “Apa pendapatmu tentang dua rakaat sebelum maghrib? Dia berkata: “Dua rakaat yang bagus dan indah, bagi siapa yang Allah kehendaki terhadap keduanya.” (Ibid, No. 8463)

Imam Ibnu Hibban menceritakan, bahwa Ibnu Buraidah melakukan shalat dua rakaat sebelum maghrib. (Shahih Ibnu Hibban No. 1559)

Imam Ibnu Hibban ada Bab khusus tentang ini berjudul:

ذكر البيان بأن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم كانوا يصلون الركعتين قبل المغرب والمصطفى صلى الله عليه وسلم حاضر فلم ينكر عليهم ذلك

Penjelasan bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua rakaat sebelum maghrib, dan Al Mushthafa (Nabi) Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada, dan dia tidak mengingkari mereka atas hal itu. (Shahih Ibnu Hibban, 4/458)

Dari Mukhtar bin Fulful: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang shalat dua rakaat setelah ashar, Dia menjawab:

كَانَ عُمَرُ يَضْرِبُ الْأَيْدِي عَلَى صَلَاةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ وَكُنَّا نُصَلِّي عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ فَقُلْتُ لَهُ أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّاهُمَا قَالَ كَانَ يَرَانَا نُصَلِّيهِمَا فَلَمْ يَأْمُرْنَا وَلَمْ يَنْهَنَا

Umar memukul tanganku lantaran shalat setelah ashar, dan kami pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua rakaat setelah terbenamnya matahari sebelum shalat maghrib. Aku (Muhtar) bertanya kepadanya: “Apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dua rakaat itu?” Beliau menjawab: “Dia melihat kami shalat, tidak memerintahkan dan tidak pula mencegah kami. (HR. Muslim No. 836)

Dari sekian banyak hadits, dan perilaku para salaf, berkatalah Imam Ash Shan’ani Rahimahullah:

وَهُوَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهَا تُنْدَبُ الصَّلَاةُ قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ إذْ هُوَ الْمُرَادُ مِنْ قَوْلِهِ ” قَبْلَ الْمَغْرِبِ ” لَا أَنَّ الْمُرَادَ قَبْلَ الْوَقْتِ لِمَا عُلِمَ مِنْ أَنَّهُ مَنْهِيٌّ عَنْ الصَّلَاةِ فِيهِ “وفي رواية لابن حبان” أي من حديث عبد الله المذكور “أن النبي صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم صلى قبل المغرب ركعتين” فثبت شرعيتهما بالقول والفعل

“Itu adalah dalil bahwa dianjurkan (sunah) shalat sebelum shalat maghrib, jika yang dimaksud adalah shalat qabla maghrib, bukannya shalat sebelum waktu maghrib yang telah diketahui bahwa itu memang termasuk waktu dilarang shalat. Dalam riwayat Ibnu Hibban, yaitu hadits dari Abdullah yang telah disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat sebelum maghrib sebanyak dua rakaat. Maka, telah pasti syariat shalat dua rakaat itu secara qaul (ucapan) dan fi’il (perkataan) nabi” (Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, 2/52. Lihat juga ‘Aunul Ma’bud, 4/113)

Syaikh Al Albani Rahimahullah mengatakan:

و الحق أن الحديث إنما يدل على مشروعية الصلاة بين يدي كل صلاة مكتوبة ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يفعل ذلك أو أمر به ، أو أقره ، كصلاة المغرب ، فقد صح في ذلك الفعل و الأمر و الإقرار

Yang benar adalah hadits ini menunjukkan bahwa disyariatkannya shalat setiap sebelum shalat wajib. Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan hal itu atau memerintahkannya, atau menyetujuinya, sebagaimana shalat maghrib. Telah shahih hal itu baik berupa perbuatan, perintah, dan persetujuannya. (As Silsilah Ash Shahihah, 1/411)

Demikianlah, banyak sekali dalil dan riwayat tentang shalat qabliyah, termasuk qabliyah maghrib yang dilakukan para sahabat dan salafus shalih, serta keterangan para ulama. Namun, keterangan ini kami kira sudah mencukupi.

Sekian. Wallahu Alam

🌾🌿🌷🌻🌸🌳☘🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

Adakah Dosa Warisan dalam Islam?

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Ust. Mau tny tentang dosa yg diwariskan dlm pandangan islam terkait dgn hadits yg menjelaskan siapa yg melakukan kebaikan dan diikuti oleh org lain maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak orang yg mengikutinya demikian pula keburukan

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah …

Pada prinsipnya Islam tidak mengenal dan tidak mengakui dosa warisan, sebagaimana ayat:

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۚ وَإِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَىٰ حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۗ إِنَّمَا تُنْذِرُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ ۚ وَمَنْ تَزَكَّىٰ فَإِنَّمَا يَتَزَكَّىٰ لِنَفْسِهِ ۚ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allahlah kembali(mu). (QS. Fathir: 18)

Tapi, Islam mengakui dampak dan hasil kebaikan sebuah amal yang terus berkesinambungan untuk seseorang, karena orang tersebut menjadi inisiator, teladan dalam kebaikan, lalu banyak yang mengikuti amalnya itu … atau sebaliknya dia menjadi inisiator kejahatan, maka dia akan mendapatkan dosa yang berkesinambungan, lalu banyak yang mengikuti amal jahatnya itu ..

Ini terdapat dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

من سن في الإسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له مثل أجر من عمل بها ولا ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة فعمل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها ولا ينقص من أوزارهم شيء

“Barangsiapa memulai suatu kebaikan dalam Islam, maka dia mendapatkan pahala kebaikan, dan pahala orang-orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka, dan barang siapa yang memulai amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 1017)

Jadi, “pewarisan” ini bukan ujug-ujug melainkan ada peran pelaku awalnya, lalu diikuti atau diteladani orang lain.

Misal, ada beberapa orang masuk ke masjid awalnya hanya seorang yang shalat tahiyatul masjid, lalu yang lain melihatnya sehingga mereka ikut tergerak dan tersadari untuk melakukannya, maka yang mengawali juga aman mendapatkan kebaikannya.

Begitu juga dalam kejahatan …

Wallahu a’lam

🌷☘🌺🌴🌻🍃🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

Apakah Boleh Adanya Kelompok-Kelompok Da’wah atau Ormas Islam?

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaykum, bagaimana hkumnya masuk ke dlm klmpok2 sperti NU Muhammadiyah dll.. sependek pengetahuan ana, bukankah kita tdk boleh hidup brkelompok klmpok sperti itu? Afwan umm kalo ana salah. Itu hkumnya gmn ya ? (Puji)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam warahmatullah .. Bismillah wal Hamdulillah ..

Tidak mengapa mendirikan organisasi-organisasi da’wah, selama bisa saling bekerja sama di atas kebenaran dan kebaikan. Tidak fanatik atas organisasi, sebab itu hanya wadah saja.

Dalil-Dalil:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali ‘Imran (3): 104)

Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:

“Maksud dari ayat ini adalah adanya firqah (kelompok) yang berorientasi dalam urusan ini, jika hal ini wajib bagi setiap orang maka ini sudah mencukupinya.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/91. Dar Ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)

Ayat lain:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انْفِرُوا جَمِيعًا

Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok (tsubaatin), atau majulah bersama-sama! (QS. An Nisa’ (4): 71)

Tafsir tentang kalimat ini: majulah berkelompok-kelompok

Berkata Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma: saraya mutafarriqin (pasukan yang berbeda-beda). Ini juga tafsir dari Mujahid, ‘Ikrimah, Qatadah, As Sudi, ‘Atha Al Khurasani, Adh Dhahak, Muqatil bin Hayyan, Al Khushaif Al Jazari. ( Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/357. Lihat juga Imam As Suyuthi, Ad Durul Mantsur, 3/166. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengatakan:

والمعنى : انفروا جماعات متفرقات

“Maknanya: majulah dengan jamaah (kelompok) yang berbeda-beda.”
(Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, 5/274. Dar ‘Alim Al Kutub – Riyadh. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 2/173)

Dalam Organisasi dakwah memaklumi adanya pemimpin atau tokoh sentral. Hal ini pun masyru’, dan bukan termasuk negara dalam negara.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إذا كان ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم

“Jika ada tiga orang melakukan perjalanan maka angkatlah salah seorang mereka sebagai pemimpin.” (HR. Abu Daud No. 2608, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No.10129. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 763)

Ucapan seperti ini juga ada secara mauquf sebagai ucapan Umar bin Al Khathab. (Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1623, katanya: shahih sesuai syarat syaikhan. Ibnu Khuzaimah No. 2541. Syaikh Al Albani mengatakan: isnadnya shahih mauquf dan rijalnya tsiqat. Lihat Shahih Ibnu Khuzaimah , 4/141)

Wajh Istidalal (sisi pendalilan)nya adalah jika dalam bepergian saja disyariatkan mengangkat seorang pemimpin, maka apalagi dalam hal yang lebih urgen dari itu seperti dakwah dan jihad. Ini diistilahkan dengan Qiyas Aula.

Hal ini diperkuat lagi oleh sirah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengirim berbagai tim ekspedisi yang berbeda-beda, dan masing-masing memiliki amir (pemimpin) yang mesti ditaati oleh pasukannya.

Dalam sirah nabawiyah kita mengenal ada Sariyah (satuan eskedisi/pleton) Abdullah bin Jahys, Sariyah Hamzah bin Abdul Muthalib, Sariyah ‘Ubaidah bin Al Harits, dan Sariyah Sa’ad bin Abi Waqash.

Dalam kelanjutan sejarah umat Islam, umat ini pun mengenal amirul haj (pemimpin haji), qaidul jaisy (komandan pasukan), dan lain-lain kepemimpinan selain khalifah al ‘uzhma.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah pernah ditanya tentang hal ini, maka jawabab Beliau sangat bagus dan juga nasihatnya. Silahkan diperhatikan:

هل تعتبر قيام جماعات إسلامية في البلدان الإسلامية لاحتضان الشباب وتربيتهم على الإسلام من إيجابيات هذا العصر؟

Apakah berdirinya jamaah-jamaah Islam di negeri-negeri Islam untuk mentarbiyah para pemuda terhadap Islam dapat dianggap sebagai fenomena positif pada zaman ini?

Beliau menjawab:

وجود هذه الجماعات الإسلامية فيه خير للمسلمين , ولكن عليها أن تجتهد في إيضاح الحق مع دليله, وأن لا تتنافر مع بعضها , وأن تجتهد بالتعاون فيما بينها , وأن تحب إحداهما الأخرى , وتنصح لها وتنشر محاسنها , وتحرص على ترك ما يشوش بينها وبين غيرها , ولا مانع أن تكون هناك جماعات إذا كانت تدعو إلى كتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم

“Keberadaan jamaah-jamaah Islam itu membawa kebaikan bagikaum Muslimin. Akan tetapi, hendaknya jamaah-jamaah tersebut bersungguh-sungguh dalam menjelaskan kebenaran beserta dalilnya dan jangan sampai membuat orang lari dari jamaah lainnya. Demikian pula, hendaknya mereka saling tolong-menolong antara jamaah satu dengan jamaah lainnya, saling mencintai saudara-saudaranya dari jamaah lain, memberikan nasihat kepada mereka, menyebarkan kebaikan-kebaikan mereka, dan meninggalkan perkara-perkara yang dapat merusak hubungan antara satu jamaah dengan jamaah lain. Tidak ada larangan atas keberadaan jamaah-jamaah apabila mereka mengajak kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
(Majmu’ Fatawa Ibn Baaz, 5/272)

Demikian. Wallahu A’lam

🌷☘🌺🌴🌻🍃🌾🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top