Cara Berwudhu Dengan Luka Diperban

▪▫▪▫▪▫▪▫

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

انْكَسَرَتْ إِحْدَى زَنْدَيَّ فَسَأَلْتُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَنِي أَنْ أَمْسَحَ عَلَى الْجَبَائِرِ

“Salah satu lengan tanganku retak, maka aku tanyakan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau memerintahkan kepadaku agar mengusap bagian atas kain pembalut luka.” (HR. Ibnu Majah no. 657, dhaif)

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

أحمد: إذا توضأ، وخاف على جرحه الماء، مسح على الخرقة

َImam Ahmad berkata: “Jika berwudhu, dan khawatir atas lukanya terkena air, maka dibasuh dibagian permukaan perbannya.”

(Al Mughniy, 1/205)

Beliau juga berkata:

وكذلك إن وضع على جرحه دواء، وخاف من نزعه، مسح عليه. نص عليه أحمد

Demikian pula jika ada olesan obat di lukanya, dan dia khawatir obatnya itu hilang, maka basuhlah atasnya. Demikian ucapan Imam Ahmad.

(Ibid)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

إذا وجد جرح في أعضاء الطهارة فله مراتب :

المرتبة الأولى : أن يكون مكشوفا ولا يضره الغسل ، ففي هذه المرتبة يجب عليه غسله إذا كان في محل يغسل

المرتبة الثانية : أن يكون مكشوفا ويضره الغسل دون المسح ، ففي هذه المرتبة يجب عليه المسح دون الغسل

المرتبة الثالثة : أن يكون مكشوفا ويضره الغسل والمسح ، فهنا يتيمم له

المرتبة الرابعة : أن يكون مستورا بلزقة أو شبهها محتاج إليها ، وفي هذه المرتبة يمسح على هذا الساتر ، ويغنيه عن غسل العضو ولا يتيمم

“Jika terdapat luka pada salah satu anggota bersuci, maka ada beberapa tingkatan:

1. Lukanya terbuka dan tidak berbahaya jika di-ghusl (dibasahkan/mandikan/dibasuh). Dalam hal ini maka dia wajib dibasuh jika dia merupakan anggota yang wajib dibasuh.

2. Lukanya terbuka tapi berbahaya jika di-ghusl dan tidak berbahaya jika diusap. Dalam tingkatan ini, yang diwajibkan adalah diusap, tidak dighusl .

3. Lukanya terbuka dan berbahaya jika dibasuh dan diusap. Maka jika begitu keadaannya, dia bertayammum untuk mengganti basuhan anggota wudhu tersebut.

4. Lukanya tertutup oleh perban dan semacamnya dan hal itu dibutuhkan. Dalam tingkatan seperti ini, cukup baginya mengusap di atasnya. Hal itu sudah menggantikan basuhan dan usapan di atasnya.

(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Ibnu Utsaimin, 11/121)

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Menyentuh Najis yang Telah Kering

▫▪▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum. Ustadz jika najis dalam bentuk kering (misalnya: kotoran kucing kering), apakah harus dicuci jika tersentuh kulit? Apakah jika dalam kondisi basah saja najis tersebut harus dicuci?
Jazakallahu Khairan

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Kalau sama-sama kering; najisnya kering, kulitnya juga kering maka itu tidak membuatnya jadi najis.

Imam As Suyuthi Rahimahullah berkata:

قال القمولي في الجواهر: النجس إذا لاقي شيئاً طاهراً وهما جافان لا ينجسه

Berkata Al Qamuliy dalam Al Jawahir: “Najis jika bertemu sesuatu yang suci dan keduanya kering maka tidak menajiskannya.”

(Al Asybah wan Nazhaair, 1/432)

Syaikh Ibnu Jibrin Rahimahullah mengatakan:

لا يضر لمس النجاسة اليابسة بالبدن والثوب اليابس…؛ لأن النجاسة إنما تتعدى مع رطوبتها

Tidak apa-apa sentuhan najis yang sudah kering dgn badan, pakaian, .., karena kenajisan itu terus berlangsung selama dia basah.

(Fatawa Islamiyyah, 1/194)

Jadi, kalau sama-sama kering tidak usah dicuci. Tapi, kalau ingin tetap dicuci juga tentu bagus, untuk menghilangkan was was. Kalau najisnya masih basah, barulah dicuci sampai bersih.

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Seputar Sujud Syukur: Sebab, Hukum, dan Caranya

▫▪▫▪▫▪▫▪

✅ Sebab Apa Sujud Syukur?

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

ذهب جمهور العلماء إلى استحباب سجدةالشكر لمن تجددت له نعمة تسره أو صرفت عنه نقمة

Mayoritas ulama mengatakan disunnahkannya sujud syukur bagi siapa yang mendapatkan nikmat yang membahagiakannya atau karena hilangnya musibah darinya.

(Fiqhus Sunnah, 1/224)

Dalam Al Mausu’ah disebutkan:

هو سجدة يفعلها الإنسان عند هجوم نعمة، أو اندفاع نقمة

Sujud yang dilakukan manusia di saat gencar datangnya kenikmatan atau terhindar dari keburukan.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 24/246)

Ada pun untuk nikmat yang tidak terputus seperti nikmat kesehatan, nikmat bernafas, nikmat penglihatan, maka ini tidak perlu sujud syukur. Tertulis dalam Al Mausu’ah:

ثُمَّ إِنَّهُ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ: لاَ يُشْرَعُ السُّجُودُ لاِسْتِمْرَارِ النِّعَمِ لأَِنَّهَا لاَ تَنْقَطِعُ

Kemudian, menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah bahwa tidak disyariatkan sujud syukur untuk nikmat yang terus menerus karena itu tidak terputus.

(Ibid, 24/248)

Hukumnya

Mayoritas ulama mengatakan SUNNAH, seperti yang disebutkan Syaikh Sayyid Sabiq di atas.

Tapi, sebagian lain mengatakan BOLEH, dan ada pula yang mengatakan MAKRUH.

Dalam hal ini disebutkan:

مذهب الشافعية والحنابلة في حكم سجود الشكر عند وجود سببه أنه سنة، لما ورد من الأحاديث الدالة على أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يفعله.
وقد أفاد الزرقاني – على القول بمشروعيته عند المالكية – أنه على هذا القول غير مطلوب، أي ليس مستحبا، ولكنه جائز فقط.
ومشهور مذهب المالكية أن سجود الشكر مكروه، وهو نص مالك، والظاهر أنها عنده كراهة تحريم.
ومذهب أبي حنيفة الكراهة، إلا أنهم صرحوا بما يدل على أنها كراهة تنزيه، فعبارة الفتاوى الهندية: سجدة الشكر لا عبرة بها، وهي مكروهة عند أبي حنيفة لا يثاب عليها، وتركها أولى.

Menurut madzhab Syafi’iyyah dan Hanabilah (Hambaliyyah) tentang hukum sujud syukur di saat ada sebabnya adalah SUNNAH. Berdasarkan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ melakukannya.

Sementara, Az Zarqaniy menjelaskan maksud perkataan Malikiyyah yang mengatakan bahwa sujud syukur itu disyariatkan, bahwa maknanya adalah ghairu mathlub (tidak diperintah), yaitu tidak sunnah, tetapi boleh saja.

Sedangkan yang terkenal dalam madzhab Malikiyyah adalah sujud syukur itu makruh, dan itulah perkataan Imam Malik, dan yang benar menurutnya adalah makruh tahrim (makruh mendekati haram).

Ada pun madzhabnya Imam Abu Hanifah hal itu makruh, penjelasan mereka menunjukkan bahwa itu makruh tanzih. Referensi dalam Al Fatawa Al Hindiyah: “Sujud syukur itu tidak ada, itu makruh menurut Abu Hanifah dan tidak diberikan pahala, dan meninggalkannya lebih utama.”

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 24/247)

Dalil-Dalilnya

Berikut ini dalil-dalil sujud syukur, dan ini sekaligus mengkoreksi pihak yang memakruhkan sujud syukur.

Pertama:

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ أَمْرٌ فَسُرَّ بِهِ فَخَرَّ لِلَّهِ سَاجِدًا

Dari Abu Bakrah bahwa Nabi ﷺ jika datang kepadanya perkara yang membuatnya senang maka dia tersungkur untuk sujud kepada Allah Ta’ala.

(HR. At Tirmidzi no. 1503, Imam At Tirmidzi mengatakan: hasan)

Kedua:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَوَجَّهَ نَحْوَ صَدَقَتِهِ فَدَخَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَخَرَّ سَاجِدًا فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ قَبَضَ نَفْسَهُ فِيهَا فَدَنَوْتُ مِنْهُ فَجَلَسْتُ فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ مَنْ هَذَا قُلْتُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ قَالَ مَا شَأْنُكَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ سَجَدْتَ سَجْدَةً خَشِيتُ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ قَبَضَ نَفْسَكَ فِيهَا فَقَالَ إِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَام أَتَانِي فَبَشَّرَنِي فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ مَنْ صَلَّى عَلَيْكَ صَلَّيْتُ عَلَيْهِ وَمَنْ سَلَّمَ عَلَيْكَ سَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَسَجَدْتُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ شُكْرًا

Dari Abdurrahman bin Auf berkata; Suatu ketika Rasulullah ﷺ keluar menuju ke arah tempat shalatnya, setelah beliau masuk, beliau menghadap kiblat dan tersungkur sujud. Beliau memanjangkan sujudnya sampai saya mengira bahwa Allah Azza Wa Jalla telah mencabut nyawa beliau pada saat itu. Maka aku pun mendekati beliau dan duduk, tiba-tiba beliau mengangkat kepalanya dan bertanya: “Siapa kamu?” aku menjawab; “Abdurrahman bin Auf.” Beliau bertanya; “Ada apa?” aku menjawab; “Wahai Rasulullah, anda melakukan sujud yang saya khawatir bahwa Allah telah mencabut nyawa anda pada saat itu.” Beliau bersabda: “Jibril ‘Alaihis salam mendatangiku dan menyampaikan kabar gembira kepadaku, dia berkata bahwa Allah telah berfirman; ‘Barangsiapa bershalawat kepadamu niscaya Aku akan bershalawat kepadanya, dan barangsiapa yang mengucapkan salam kepadamu niscaya aku akan mengucapkan salam kepadanya.’ Maka saya bersujud syukur kepada Allah Azza Wa Jalla.”

(HR. Ahmad no. 1664. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, no. 1664. Semetara Syaikh Ahmad Syakir mengatakan: Shahih. Imam Al Hakim mengatakan: Shahih. Lihat Al Mustadrak, no. 2019)

Ketiga:

Ka’ab bin Malik sujud syukur saat dia diberitahu bahwa Allah Ta’ala menerima taubatnya, setelah dia dihukum oleh Nabi ﷺ didiamkan selama 50 hari karena dia dan dua sahabat yg lainnya tidak ikut perang Tabuk.

Ka’ab bin Malik Radhiallahu ‘Anhu berkata:

فَخَرَرْتُ سَاجِدًا وَعَرَفْتُ أَنَّهُ قَدْ جَاءَ الْفَرَجُ وَآذَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِتَوْبَةِ اللَّهِ عَلَيْنَا حِينَ صَلَّى صَلاَةَ الْفَجْرِ ….

Maka aku tersungkur sujud, dan aku tahu bahwa telah datang ketenangan, dan Rasulullah ﷺ memberitahu taubat dari Allah Ta’ala atas kami saat Beliau shalat subuh …

(HR. Bukhari no. 4418, Muslim no. 2769)

Belum lagi perilaku para sahabat, seperti Abu Bakar Ash Shiddiq aujud syukur saat terbunuhnya nabi palsu Musailimah Al Kadzdzab, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Al Baihaqiy, dll. Juga Ali bin Abi Thalib sujud syukur saat terbunuhnya tokoh-tokoh khawarij.

Semua ini menjadi hujjah yang kuat disyariatkannya sujud syukur.

Tata caranya

Haruskah berwudhu dulu?

Tidak harus, karena sebab terjadinya sujud syukur yaitu datangnya nikmat atau hilangnya bahaya bisa terjadi kapan saja baik saat kita suci dan berhadats.

Imam Asy Syaukaniy Rahimahullah mengatakan:

وليس في أحاديث الباب ما يدل على اشتراط الوضوء وطهارة الثياب والمكان لسجود الشكر

Dalam hadits tidak ada pembahasan yg menunjukkan syarat mesti wudhu, suci, pakaian, dan tempat, untuk sujud syukur. (Nailul Authar, 3/127)

Tapi, kalau mau wudhu tentu itu lebih baik. Bahkan Abul Abbas, Muayyid Billah, An Nakha’iy, dan Syafi’iyyah, mengatakan syarat sujud syukur sama dengan syaratnya shalat, sebagaimana dikutip oleh Imam Asy Syaukaniy. (Ibid)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin mengatakan:

أما سجود الشكر، فاشتراط الطهارة له ضعيف، لأن سجود الشكر سببه تجدد النعم أو تجدد اندفاع النقم، وهذا قد يأتي الإنسان وهو محدث، فإن قلنا: لا تسجد حتى تتوضأ فربما يطول الفصل، والحكم المعلق بسبب إذا تأخر عن سببه سقط

Ada pun sujud syukur, pensyaratan mesti suci adalah lemah. Sebab sujud syukur itu muncul karena adanya nikmat dan terhindarnya bahaya. Ini bisa dialami manusia saat dia sedang berhadats.

Jika kita katakan: “Jangan sujud sampai anda berwudhu” maka ini bisa membuat jeda waktu yang lama, hukum sujud syukur itu terikat oleh sebabnya maka jika sebabnya sudah begitu diundur maka gugur syariat sujud syukur.

(Majmu’ Fatawa wa Rasail, Jilid. 11, Nawaqidhul Wudhu)

Mestikah menghadap kiblat?

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Bagi yang mengatakan syarat sujud syukur itu sama dengan sujud shalat, tentu wajib menghadap kiblat.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

لا يشترط لسجود الشكر ما يشترط للصلاة من الطهارة وستر العورة واستقبال القبلة، وغير ذلك من الشروط ولو مع العلم بها والقدرة عليها

Tidaklah disyaratkan bagi sujud syukur syarat sebagaimana shalat, baik berupa bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, dan syarat lainnya, walau dia mampu melalukan itu dan mengetahui hal itu. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 175854)

Pendapat kedua lebih kuat, tapi pendapat pertama lebih afdhal.

Mestikah pakai takbir?

Ini juga diperselisihkan. Dalam madzhab Syafi’iy dan Hambaliy disebutkan:

وإذا أراد أن يسجد للشكر لله تعالى يستقبل القبلة ويكبر

Jika hendak sujud dalam rangka syukur kepada Allah, hendaknya menghadap kiblat dan bertakbir… (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 24/248)

Namun, Imam Asy Syaukaniy Rahimahullah mengatakan:

وليس في أحاديث الباب أيضا ما يدل على التكبير في الشكر وفي البحر أنه يكبر

Dalam masalah ini tidak ada pula hadits-hadits yang menunjukkan bertakbir dalam sujud syukur, ada pun dalam kitab Al Bahr hendaknya bertakbir. (Nailul Authar, 3/127)

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albaniy Rahimahullah berkata:

سجدة الشكر واحدة ، ولا يشترط لها أي شيء مما يشترط للصلاة، فهي كسجود التلاوة هما في الحكم سواء ، لا يشترط لأي منهما أي شرط كالطهارة واستقبال القبلة والتكبير والتسليم ونحو ذلك ، وإنما إذا فوجئ بنعمة سجد فورا كما هو وحمد الله بما تيسر له على ما أولاه من تلك النعمة شكرا له

Sujud syukur itu sekali, tidak disyaratkan baginya syarat apa pun seperti syarat shalat. Dia seperti sujud tilawah, keduanya dalam masalah hukum sama. Tidak disyaratkan apa pun bagi keduanya seperti mesti suci, menghadap qiblat, takbir, salam, dan semisalnya. Tapi, saat dia mendapat nikmat segeralah bersujud, sama dgn dia memuji Allah (bertahmid) saate dapatkan nikmat sebagai bentuk syukur baginya. (Fatawa Syaikh Al Albaniy)

Apa yang dibaca saat sujud syukur?

Tidak ada redaksi bacaan khusus sujud syukur yang tertera dalam sunnah. Tapi, sebagaimana namanya hendaknya banyak memuji dan bertasbih kepada Allah Ta’ala.

Sebagaimana keterangan berikut:

ويسجد سجدة يحمد الله تعالى فيهاويسبحه

Sujud syukur itu dengan bertahmid kepada Allah (ucapan Alhamdulillah) dan bertasbih .. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 24/248)

Ada pula yang mengatakan, bacaannya seperti bacaan sujud dalam shalat dan ditambah doa-doa yang baik lainnya.

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah mengatakan:

وسجود التلاوة، وسجود الشكر، وسجود السهو، كله يقال فيه ما يقال في سجود الصلاة: سبحان ربي الأعلى، سبحان ربي الأعلى، سبحانك اللهم ربنا وبحمدك، اللهم اغفر لي، سبوح قدوس رب الملائكة والروح، ويدعو فيه بما يسر الله من الدعوات الطيبة، ويشكر الله في سجود الشكر زيادة، يشكر الله على النعمة التي بلغته ..

Sujud tilawah, sujud syukur, dan sujud sahwi, semuanya sama dengan bacaan pada sujud shalat: “Subhana Rabbiyal A’la, Subhana Rabbiyal A’la, Subhanakallahumma Rabbana wa bihamdika Allahummaghfirliy, subbuhun quddus rabbul malaaikati war ruuh” Dia juga boleh berdoa dengan doa-doa yang mudah baginya dan baik-baik. Bersyukur kepada Allah dalam sujud syukur adalah tambahan, bersyukur atas nikmat yang sampai kepadanya …

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 237949)

Demikian. Wallahu a’lamj

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Ambisi Kekuasaan, Antara Hina dan Mulia

▫▪▫▪▫▪▫▪

📌 Berambisi menjadi penguasa karena dorongan mencari kekayaan, ini hina ..

📌 Berambisi menjadi penguasa, karena untuk kejayaan suku, ormas, dan partainya, padahal ormas dan partai hanya sarana, ini hina ..

📌 Berambisi jadi penguasa, padahal lemah, tidak mampu, ini juga hina .. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pun menolak keinginan Abu Dzar Radhiyallahu ‘Anhu saat meminta jabatan karena dia seorang yg lemah

📌 TAPI, Berambisi menjadi penguasa dan menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk amar ma’ruf nahi munkar, Ini mulia ..

‘Utsman Radhiallahu ‘Anhu berkata:

إنَّ اللَّهَ لَيَزَعُ بِالسُّلْطَانِ مَا لَا يَزَعُ بِالْقُرْآنِ

Sesungguhnya, Allah akan benar-benar menghilangkan kemungkaran melalui tangan penguasa, apa-apa yang tidak bisa dihilangkan oleh Al Quran. (Al Hisbah, Hal. 326)

📌 Berambisi menjadi Penguasa, karena mampu, kuat, dan ada kecakapan, maka ini bagus ..

Utsman bin Abu Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْنِي إِمَامَ قَوْمِي قَالَ أَنْتَ إِمَامُهُمْ وَاقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا

Wahai Rasulullah jadikanlah aku sebagai pemimpin bagi kaumku! Beliau bersabda: “Engkau adalah pemimpin bagi mereka, perhatikanlah orang yang paling lemah di antara mereka, ….” (HR. Abu Daud No. 531, Al Hakim No. 715, katanya: shahih sesuai syarat Imam Muslim. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad No. 17906)

📌 Berambisi jadi penguasa bukan untuk mencari kekayaan, tapi mengabdi dan melayani masyarakat sebaik-baiknya .. Ini mulia ..

📌 Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah berkata:

فَقَدْ قَالَ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ إنَّ التَّنَازُعَ فِيهَا لَا يَكُونُ قَدْحًا مَانِعًا وَلَيْسَ طَلَبُ الْإِمَامَةِ مَكْرُوهًا

“Sebagian fuqaha mengatakan bahwa memperebutkan jabatan kepemimpinan tidaklah tercela dan terlarang, dan mengincar jabatan imamah bukan suatu yang dibenci.” (Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 7)

📌 Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah berkata:

فطلب رضي الله عنه إمامة قومه للمصلحة الشرعية، ولتوجيههم للخير وتعليمهم وأمرهم بالمعروف، ونهيهم عن المنكر، مثلما فعل يوسف عليه الصلاة والسلام

قال العلماء : إنما نهي عن طلب الإمرة والولاية ، إذا لم تدع الحاجة إلى ذلك؛ لأنه خطر ، كما جاء في الحديث: النهي عن ذلك ، لكن متى دعت الحاجة والمصلحة الشرعية إلى طلبها جاز ذلك ، لقصة يوسف عليه الصلاة والسلام ، وحديث عثمان رضي الله عنه المذكور

Beliau (Utsman) Radhiallahu ‘Anhu meminta jabatan sebagai pemimpin karena pertimbangan maslahat syar’i, dalam rangka mengantarkan manusia kepada kebaikan, mengajarkan mereka, dan memerintahkan yang baik, dan mencegah kemungkaran, sebagaimana yang dilakukan Yusuf ‘Alaihissalam.

Berkata para ulama: bahwasanya meminta jabatan adalah perkara yang terlarang, jika memang tidak ada keperluan untuk itu karena hal itu berbahaya sebagaimana diterangkan dalam hadits yang menyebutkannya. Tetapi jika karena didorong oleh keperluan dan maslahat yang syar’i untuk memintanya maka hal itu dibolehkan, berdasarkan kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam dan hadits ‘Utsman (bin Abu Al ‘Ash) Radhiallahu ‘Anhu tersebut.

(Majmu’ Fatawa Ibni Baaz, 7/232)

📌 Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah:

فهل يجوز طلب الإمامة؟ والجواب: إذا كان يترتب على ذلك مصلحة فلا بأس به؛ لأن الإمامة قربة وعبادة

Maka, bolehkah meminta menjadi seorang pemimpin? Jawabannya: jika hal itu membawa kepada maslahat tidaklah apa-apa, karena kepemimpinan adalah termasuk qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) dan ibadah.

(Syarh Sunan Abi Daud, 3/404)

📌 Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan:

الحديث يدل على جواز طلب الإمامة في الخير وقد ورد في أدعيت عباد الرحمن الذين وصفهم الله بتلك الأوصاف أنهم يقولون {وََاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً} وليس من طلب الرياسة المكروهة

Hadits ini menunjukkan kebolehan meminta jabatan kepemimpinan dalam kebaikan. Telah ada di antara doa-doa para ibadurrahman, di mana Allah Ta’ala menyifati mereka dengan sifat tersebut, bahwa mereka berkata (Dan jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang bertaqwa), dan meminta jabatan itu bukanlah merupakan hal yang dibenci. (Subulus Salam, 1/128)

✔ Maka, jika Anda tulus, bersih dari ambisi jelek, punya kecakapan, penuh dengan tujuan mulia, maka rebutlah kekuasaan itu semoga Allah Ta’ala membantu Anda.

✔ Tapi, jika tujuan Anda buruk, ambisi pribadi, tidak mampu, tapi begitu keras ingin menjadi pejabat, maka itu

kebinasaan dan menjadi fitnah besar.

Wallahu A’lam walillahil ‘Izzah

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

scroll to top