Mendirikan Serikat Pekerja Sama dengan Pemberontakan?

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Assalaamu’alaikum wr wb. Ust Farid, ini ada pertanyaan dari teman kantor di perusahaan lain.
Nah, di kantor, saya menemukan kasus nyata yang perlu pendapat ustadz. Kami mendirikan organisasi serikat pekerja sebagai partner perusahaan sesuai UU no 13 thn 2003. Namun teman teman kajian salaf di kantor menolak dan menyebut itu sebagai tindak pemberontakan/bughats dan menganjurkan karyawan utk tdk jadi anggota. Menurutnya ini sesuai dg fatwa ulama Saudi. Saya jadi heran juga karena kantor saya ini jelas kantor swasta dengan pemimpin orang Australia beragama katolik. Usaha swasta asing 100% juga bisnis dg akunting non syariah. CEO nya juga dipilih atasannya di level Asia Pacific. Apakah bisa bule non muslim yg jadi CEO ini dianggap jadi ulil amri dan bikin serikat pekerja di kantor saya ini dianggap melawan “ulil amri” tsb? Tadi nya sy kira ini bergurau, ternyata kemaren baru tahu bahwa itu serius.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumus Salam wa Rahmatullah ..

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Ba’d:

Ada kekeliruan yang fatal dari cara berfikir orang-orang ini. Sayangnya kesalahan itu dianggap begitulah manhaj salaf. Entah salaf mana yang diikutinya, padahal lebih tepat ini adalah penistaan terhadap manhaj salaf yang mulia.

📌 Pemimpin non muslim adalah “Ulil Amri”?

Ini pemahaman menyimpang yang amat jauh, melawan Al Quran dan As Sunnah, serta pemahaman para salaf.

“Ulil Amri” dalam penjelasan ulama salaf adalah ulama, ahli fiqh, dan ahli agama. Seperti penjelasan dari Imam Ibnu Katsir berikut ini:

وقال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس: { وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ } يعني: أهل الفقه والدين. وكذا قال مجاهد، وعطاء، والحسن البصري، وأبو العالية: { وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ } يعني: العلماء

Berkata Ali bin Thalhah, dari Ibnu Abbas; (Dan ulil amri di antara kalian), yakni Ahli Fiqih dan agama. Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid, ‘Atha, Al Hasan Al Bashri, dan Abul ‘Aliyah: (Dan ulil amri di antara kalian), yakni para ulama. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/345)

“Ulil Amri” juga bisa bermakna pemimpin urusan dunia. Imam Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad, biasa dikenal Imam Al Baidhawi, berkata dalam tafsirnya, ketika mengomentari surat An Nisa’, ayat 59 (Athi’ullaha wa athi’ur rasul wa ulil amri minkum), bahwa yang dimaksud dengan ‘pemimpin’ di sini adalah para pemimpin kaum muslimin sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sesudahnya, seperti para khalifah, hakim, panglima perang, di mana manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah diperintah untuk berbuat adil, wajib mentaati mereka selama mereka di atas kebenaran (maa daamuu ‘alal haqqi). (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, 1/466)

Tentunya mereka adalah muslim, sebab Allah Ta’ala menyebut: “WAHAI ORANG-ORANG BERIMAN, ta’atlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan Ulil Amri DI ANTARA KAMU.”

Apa maksud ‘minkum” (di antara kamu)? Yakni kembali kepada “Wahai-wahai orang-orang beriman”, bukan untuk pemimpin orang kafir.

Ketaatan kepada mereka, selama mereka masih mentaati Kitabullah dan As Sunnah, itulah pemimpin yang adil, berkata Al Hafizh Ibnu Hajar:

وأحسن ما فسر به العادل أنه الذي يتبع أمر الله بوضع كل شيء في موضعه من غير إفراط ولا تفريط

Tafsir terbaik tentang pemimpin yang adil adalah orang yang mengikuti perintah Allah dengan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya tanpa berlebihan dan menguranginya. (Fathul Bari, 2/145, 1379H. Darul Ma’rifah Beirut)

Maka, tidak pada tempatnya alias zalim, menyebut pemimpin kafir sebagai “Ulil Amri”.

📌 Serikat Pekerja = Pemberontakan (Bughat)?

Ini merupakan gagal paham yang sangat serius. Berdirinya Serikat Pekerja adalah SAH menurut UU negara, sesuai Undang – Undang No. 21 Tahun 2000, yang disahkan oleh presiden Republik Indonesia saat itu, Abdurrahman Wahid.

Bagaimana mungkin ini dianggap pemberontakan (Bughat), padahal negara mengakuinya? Apakah mungkin negara membolehkan dan menge-sah-kan pemberontakan atas dirinya sendiri?

Negara membolehkan hal ini karena memang fungsi serikat pekerja bukan untuk memberontak, tapi check and balance, sebagai tawashau bil haq wa tawashau bish shabr, sarana untuk menyampaikan nasihat agar tidak liar maka dibuatlah wadahnya.

Dalam sejarah, Al Husein Radhiallahu ‘Anhuma, telah melakukan perlawanan kepada Yazid bin Mu’awiyah (padahal ini khalifah Muslim), Al Husein terbunuh di Karbala dan para ulama menyebutnya syahid, bukan pendosa, apalagi khawarij dan bukan bughat (pemberontakan).

Al ‘Allamah Ibnu Khaldun Rahimahullah menjelaskan:

وأما غير الحسين من الصحابة الذين كانوا بالحجاز ومع يزيد بالشام، والعراق ومن التابعين لهم، فرأوا أن الخروج على يزيد وإن كان فاسقاً لا يجوز لما ينشأ عنه من الهرج والدماء فأقصروا عن ذلك ولم يتابعوا الحسين، ولا أنكروا عليه، ولا أثموه، لأنه مجتهد وهو أسوة المجتهدين

Ada pun manusia selain Al Husein, dari kalangan sahabat nabi yang tinggal di Hijaz, dan di Syam bersama Yazid, di Iraq, dan para tabi’in, mereka berpendapat bahwa berontak melawan Yazid walau dia fasiq adalah tidak boleh, karena hal itu bisa menimbulkan huru hara dan pertumpahan darah, maka mereka menahan dari dari itu dan tidak mengikuti Al Husein, namun mereka juga tidak mengingkari Al Husein, dan tidak menganggapnya berdosa, karena dia seorang mujtahid, dan dia seorang teladan para mujtahid. (Tarikh Ibnu Khaldun, 1/217, Cet. 4, Darul Ihya At Turats, Beirut)

Maka, jika perlawanan bersenjata kepada penguasa muslim yang zalim saja tidak disebut bughat oleh sebagian ulama, maka apalagi sekedar membuat wadah Sarikat Pekerja pada perusahaan yang dipimpin non muslim.

Untuk “pemberontakan” tentu ada pembahasan lain, bukan di jawaban ini pembahasannya.

📌Lihatlah Situasi Di Negerimu, Bukan Situasi Negara Lain

Sayangnya orang-orang ini mendasarkan pendapatnya berdasarkan fatwa negara lain, yang memang UU di sana melarang itu berdasarkan fatwa para ulama di sana.

Sedangkan di Indonesia, baik ulama dan umara-nya tidak mempermasalahkan itu, karena situasi kita tidak sama, dan sistem negaranya pun berbeda. Pelarangan mereka ini – meminjam istilah Imam Al Qarrafi- adalah kejahilan terhadap agama dan bentuk kesesatan, lantaran hanya melihat teks fatwa tanpa melihat kondisi dan situasi sedang di mana kita berada.

Perhatikan nasihat Imam Al Qarafi Rahimahullah ketika berkata:

فمهما تجدد في العرف اعتبره ومهما سقط أسقطه ولا تجمد على المسطور في الكتب طول عمرك بل إذا جاءك رجل من غير أهل إقليمك يستفتيك لا تجره على عرف بلدك واسأله عن عرف بلده وأجره عليه وأفته به دون عرف بلدك ودون المقرر في كتبك فهذا هو الحق الواضح والجمود على المنقولات أبدا ضلال في الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين

“Bagaimanapun yang baru dari adat istiadat perhatikanlah, dan yang sudah tidak berlaku lagi tinggalkanlah. Jangan kamu bersikap tekstual kaku pada tulisan di kitab saja sepanjang hayatmu.

Jika datang kepadamu seorang dari luar daerahmu untuk meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu memberikan hukum kepadanya berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di daerahmu, tanyailah dia tentang adat kebiasaan yang terjadi di daerahnya dan hargailah itu serta berfatwalah menurut itu, bukan berdasarkan adat kebiasaan di daerahmu dan yang tertulis dalam kitabmu. Itulah sikap yang benar dan jelas.

Sedangkan sikap selalu statis pada teks adalah suatu KESESATAN dalam agama dan KEBODOHAN tentang tujuan para ulama Islam dan generasi salaf pendahulu.” (Imam Al Qarrafi, Al Furuq, 1/1776-177)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah, membuat pasal dalam kitabnya I’lamul Muwaqi’in, berbunyi:

في تغير الفتوى واختلافها يحسب تغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والنيات والعوائد

“Pasal tentang perubahan fatwa dan perbedaannya yang disebabkan perubahan zaman, tempat, kondisi, niat, dan tradisi.”

Lalu Beliau berkata:

هذا فصل عظيم النفع جدا وقع بسبب الجهل به غلط عظيم على الشريعة أوجب من الحرج والمشقة وتكليف ما لا سبيل إليه ….

Ini adalah pasal yang sangat besar manfaatnya, yang jika bodoh terhadal pasal ini maka akan terjadi kesalahan besar dalam syariat, mewajibkan sesuatu yang sulit dan berat, serta membebankan apa-apa yang tidak pantas dibebankan … ” (I’lamul Muwaqi’in, 3/3)

Demikian jawaban saya. Wallahu A’lam

🌷🌺☘🌴🌻🍃🌸🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Menshalatkan Orang yang Mati Bunuh Diri

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Dari Jabir bin Samurah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ

Dihadapkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seorang laki-laki yang membunuh dirinya dengan menggunakan Masyaaqis, lalu Beliau tidak menshalatkannya. (HR. Muslim No. 978, At Tirmidzi No. 1068, Abu Daud No. 3185, Ahmad No. 20816, 20848)

Hadits ini menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mau menshalatkan orang yang bunuh diri. Apakah sikap Beliau menunjukkan larangan menshalatkannya? Ataukah bermakna sekedar tidak suka? Ataukah itu bermakna hilangnya syafaat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk orang tersebut? Ataukah itu merupakan sikap peringatakan bagi yang lainnya agar tidak melakukan hal serupa?

Sebagian ulama mengatakan bahwa secara mutlak orang bunuh diri tidak boleh dishalatkan. Sebagian lain mengatakan orang bunuh diri tetap dishalatkan, sebab perbuatan nabi hanyalah peringatan dan pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukannya. Ada pula yang mengatakan, imam kaum muslimin tidak usah menshalatkan adapun selainnya boleh menshalatkan.

Imam At Tirmidzi menerangkan:

واختلف أهل العلم في هذا فقال بعضهم يصلي على كل من صلى إلى القبلة وعلى قاتل النفس وهو قول الثوري و إسحق وقال أحمد لا يصلي الإمام على قاتل النفس ويصلي عليه غير الإمام

Para ulama telah berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian mereka mengatakan tetap dishalatkan untuk orang yang masih melaksanakan shalat menghadap kiblat dan bagi orang yang membunuh dirinya. Inilah pendapat Sufyan Ats Tsauri dan Ishaq. Sedangkan Ahmad berpendapat bahwa Imam tidak usah menyolatkan orang yang bunuh diri, dan selain Imam boleh menshalatkannya. (Sunan At Tirmidzi No. 1068)

Tertulis dalam Al Bahr Az Zakhar – Musnad Al Bazzar:

وإنما ترك النبي صلى الله عليه وسلم الصلاة عليه عندنا والله أعلم عقوبة لئلا يعود غيره فيصنع مثل ذلك بنفسه

Menurut kami, Sesungguhnya Nabi Shallallahu “Alaihi wa Sallam tidak mau menshalatkannya -wallahu a’lam- sebagai hukuman agar tidak ada orang lain yang mengulangi perbuatan itu, melakukan itu terhadap dirinya sendiri.” (Al Bahr Az Zakhar, No. 4278, pada Bab Musnad Jabir bin Samurah)

Hal serupa juga dikatakan Imam An Nawawi Rahimahullah:

وَفِي هَذَا الْحَدِيث دَلِيل لِمَنْ يَقُول : لَا يُصَلَّى عَلَى قَاتِل نَفْسه لِعِصْيَانِهِ ، وَهَذَا مَذْهَب عُمَر بْن عَبْد الْعَزِيز وَالْأَوْزَاعِيِّ ، وَقَالَ الْحَسَن وَالنَّخَعِيُّ وَقَتَادَةُ وَمَالِك وَأَبُو حَنِيفَة وَالشَّافِعِيّ وَجَمَاهِير الْعُلَمَاء : يُصَلَّى عَلَيْهِ ، وَأَجَابُوا عَنْ هَذَا الْحَدِيث بِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ بِنَفْسِهِ زَجْرًا لِلنَّاسِ عَنْ مِثْل فِعْله ، وَصَلَّتْ عَلَيْهِ الصَّحَابَة

Pada hadits ini terdapat dalil bagi pihak yang mengatakan: “Orang yang bunuh diri tidaklah dishalatkan karena kedurhakaannya.” Inilah madzhab Umar bin Abdul Aziz dan Al Auza’i. Sedangkan Al Hasan, An Nakha’i, Qatadah, Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan mayoritas ulama mengatakan: “Dia dishalatkan.” Mereka memberikan jawaban terhadap hadits ini bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menyolatkannya sebagai peringatakan bagi manusia dari perbuatan semisal itu, dan para sahabat menshalatkannya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/405. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Begitu pula dikatakan oleh Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah:

حملوه على أنه صلى عليه غيره والله أعلم وذهبوا إلى أن كل من كان من أهل القبلة لا تترك الصلاة عليه وعلى هذا جماعة العلماء إلا أبا حنيفة وأصحابه فإنهم خالفوا في البغاة وحدهم فقالوا لا نصلي عليهم

Mereka menafsirkannya bahwa selainnya (Nabi, pen) menshalatkannya. Wallahu A’lam. Mereka berpendapat bahwa semua ahli kiblat tidaklah ditinggalkan shalat atasnya, dan atas inilah pendapat jamaah para ulama, kecuali Abu Hanifah dan para sahabatnya. Mereka berbeda pendapat tentang pemberontak, kata mereka: Kami tidak menshalatkan mereka (para pemberontak). (Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 24/131. Muasasah Al Qurthubah)

📌 Manakah pendapat yang kuat?

Pendapat yang lebih rajih (kuat) adalah orang bunuh diri tetap dishalatkan, sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Sebab, disebutkan dalam riwayat lain bahwa ada beberapa keadaan manusia yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mau shalatkan, ternyata walau Beliau tidak menshalatkan, Beliau tetap memerintahkan sahabatnya untuk menshalatkan.

Dari Zaid bin Khalid Al Juhni Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوُفِّيَ يَوْمَ خَيْبَرَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَتَغَيَّرَتْ وُجُوهُ النَّاسِ لِذَلِكَ فَقَالَ إِنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ لَا يُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ

Bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat pada perang Khaibar, mereka melaporkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu Beliau bersabda: “Shalatlah kalian terhadap sahabat kalian.” Maka berubahlah wajah manusia karena itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya sahabat kalian ini berkhianat dalam jihad fisabilillah, maka kami menggeledah perhiasannya, lalu kami menemukan kharazan (susunan permata) dari orang Yahudi, yang tidak setara dengan dua dirham.” (HR. Abu Daud No. 2710, Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Ahkamul Janaiz, Hal. 79, No. 58)

Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُصَلِّي عَلَى رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَأُتِيَ بِمَيِّتٍ فَقَالَ أَعَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا نَعَمْ دِينَارَانِ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ

Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menshalatkan laki-laki yang memiliki hutang. Lalu didatangkan mayit ke hadapannya. Beliau bersabda: “Apakah dia punya hutang?” Mereka menjawab: “Ya, dua dinar.” Beliau bersabda: “Shalatlah untuk sahabat kalian.” (HR. Abu Daud No. 3343, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3343)

Tentu, jika menshalatkan mereka adalah perbuatan terlarang sama sekali pasti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga akan melarang para sahabatnya untuk menshalatkan. Faktanya, justru Beliau memerintahkan para sahabatnya untuk shalat jenazah kepada mayit tersebut. Ini menunjukkan bolehnya menshalatkan orang yang berbuat curang dalam jihad, berhutang, dan –dengan jalan qiyas- juga orang yang bunuh diri. Ada pun Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri tidak mau menshalatkan, hal itu bermakna sebagai peringatan bagi orang lain agar tidak melakukan hal serupa dan ketidaksukaannya terhadap perbuatan itu.

Wallahu A’lam

🌷🌺🌴☘🌻🍃🌸🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

Syarah Bulughul Maram Kitab Ath Thaharah (bersuci) Bab Al Miyah (Tentang Air)

💢💢💢💢💢💢💢💢

Muqaddimah

Bulughul Maram min Adillatil Ahkam (Tercapainya keinginan melalui dalil-dalil hukum), itulah judul kitabnya. Disusun oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah, seorang ulama madzhab Syafi’i, yang hidup abad ke 8 Hijriyah.

Kitab ini sangat terkenal di dunia Islam, dipakai hampir di semua pesantren di Indonesia. Telah banyak ulama yang memberikan syarah (penjelasan), seperti Imam Ash Shan’ani dengan judul: Subulus Salam, KH. Muhammad Muhajirin Amsar dengan judul Misbahuzh Zhalam, dan lainnya.

Kitab ini dimulai dengan tema Thaharah (Kitab ath Thaharah), lalu tema-tema standar dalam fiqih seperti shalat, puasa, dan lainnya. Namun, di dalam kiyab ini juga ada tema akhlak dan adab, yaitu dalam Kitab al Jaami’, tentang silaturrahim, zuhud, wara’, dzikir, dan doa.

💦💦💦💦💦💦💦

1⃣ Kitab Ath Thaharah (bersuci) – Bab Al Miyah (Bab Tentang Air)

Hadits 1:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِي اَلْبَحْرِ: – هُوَ اَلطُّهُورُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ – أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ

Dari Abi Hurairah Radhiallahu ‘Anhu dia berkata, berkata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang air laut:

“Dia (Air laut) suci airnya, halal bangkainya.”

Dikeluarkan oleh Al Arba’ah, Ibnu Abi Syaibah, dan lafaz ini adalah miliknya, dishahihkan oleh Ibnu khuzaimah dan At Tirmidzi.

📌 Takhrij Hadits:

– Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 69
– Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 83
– Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 386
– Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 7233, 8735, 15012, 23096
– Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 131
– Imam Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 321, 8657
– Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 1243, 1244, 5258
– Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 111, 112
– Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shaghir No. 187, 3065
– Imam An Nasai dalam As Sunan Al Kubra No. 58, 4862
– Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 491, 192, 498, 499, 500
– Imam Ath Thabarani dalam Al Mujam Al Kabir No. 1759
– Imam Ad Daruquthni dalam Sunannya, 1/34, 35, 36, 37
– Imam Ad Darimi dalam Sunannya No. 729, 2011
– Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 281
Dll

📌 Status hadits:

– Hadits ini SHAHIH, sebagaimana dikatakan oleh Imam al Bukhari. (Imam Ibnul Mulaqin, Al Khulashah, 1/7), Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Ibnu Hibban, memasukkanya dalam kitab Shahih mereka masing-masing.
Imam Ibnul Mulqin mengatakan: Shahih. (Al Badrul Munir, 1/348)
Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: Shahih. (Taliq Musnad Ahmad No. 7233)

📌 Latar Belakang Hadits (Asbabul wurud):

Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bercerita:

سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam: Wahai Rasulullah, kami sedang berlayar di lautan, kami membawa sedikit air. Jika kami pakai air itu buat wudhu, maka kami akan kehausan, apakah boleh kami wudhu pakai air laut? lalu Beliau bersabda: Dia suci airnya, halal bangkainya. (kisah ini juga disebutkan dalam sumber takhrij di atas)

📌 Kandungan Hadits secara global:

1. Imam Ibnu Hajar memulai kitabnya ini, dengan Kitab Ath Thaharah (Bersuci).

Masalah thaharah ini sangat penting untuk sah tidaknya ibadah, oleh karenanya selalu di bahas pada bab pertama di semua kitab fiqih.

Thaharah ada dua macam:

– Ath Thaharah Al Qalb (bersuci hati), yaitu mensucikan hati dari semua bentuk syirik, penyakit hati seperti; hasad, suuzn zhan, dan semisalnya.

– Ath Thaharah Al Jism (bersuci badan), ini juga dibagi menjadi dua:

— Ath Thaharah minal Ahdaats, bersuci dari berbagai hadats, hadats besar dengan mandi besar (mandi janabah/mandi wajib) , sedangkan hadats kecil dengan wudhu.

— Ath Thaharah minal anjas wal aqdzaar, bersuci dari najis dan kotoran seperti air kencing, tinja, liur anjing, dan semisalnya. Dengan cara menghilangkannya secara syar’i. Jika kena air kencing atau tinja, maka cukup dibersihkan dan dicuci dengan air suci hingga bersih tak berbau dan tak berbekas. Air liur anjing dengan dicuci memakai air tujuh kali, salah satunya dengan tanah.

2. Hadits ini menunjukkan bahwa air laut adalah suci dan mensucikan, istilah lainnya: air mutlak.

Air ada empat macam:

– Thahur, yakni air suci dan mensucikan, seperti air tanah, air sungai, air hujan, air embun, air laut.

– Thahir, yakni air suci tapi tidak bisa mensucikan, seperti air kopi, sirup, kuah sayur, dan semisalnya.

– Air najis, yakni air yang secara zat adalah najis seperti air kencing, air madzi, air wadi, dan semisalnya.

– Air mutanajis, yakni air suci yang bercampur dengan najis, dia najis jika telah berubah bau, rasa, dan warna.

Tentang sucinya air laut juga diisyaratkan oleh ayat:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu (QS. Al Baqarah: 29)

Imam At Tirmidzi Rahimahullah menjelaskan tentang hadits ini:

وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَابْنُ عَبَّاسٍ لَمْ يَرَوْا بَأْسًا بِمَاءِ الْبَحْرِ وَقَدْ كَرِهَ بَعْضُ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوُضُوءَ بِمَاءِ الْبَحْرِ مِنْهُمْ ابْنُ عُمَرَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو هُوَ نَارٌ

Ini (yang menyatakan sucinya air laut, pen) adalah mayoritas ahli fiqih dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, di antaranya: Abu Bakar, Umar, dan Ibnu Abbas, menurut mereka tidak apa-apa dengan air laut. Sebagian sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada yang memakruhkan, di antaranya: Ibnu Umar dan Abdullah bin Amru. Dan, Abdullah bin Amru berkata: Itu adalah api. (Sunan At Tirmidzi No. 69)

3. Hadits ini juga menunjukkan bahwa bangkai laut yakni ikan adalah halal.

Hal ini juga ditegaskan dalam ayat:

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu.” (QS. Al Maidah (5):96)

Juga oleh hadits lain:
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

أحلت لنا ميتتان ودمان: فأما الميتتان فالجراد والحوت، وأما الدمان فالطحال والكبد

“Dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah; ada pun dua bangkai yakni belalang dan ikan, dan dua darah adalah hati dan limpa.” (HR. Ibnu majah No. 3314, Ahmad No. 5723. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan; hasan, sebenarnya sanad hadits ini dhaif karena Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, seorang rawi yang dhaif. Namun, hadits ini banyak jalur lain yang menguatkannya)

Bagaimana dengan ikan yang buas seperti hiu? Apakah haram?

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhu, dia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْر

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang memakan semua binatang buas yang memiliki taring, dan burung yang memiliki cakar. (HR. Muslim No. 1934)

Imam Ibnul Mundzir Rahimahullah mengatakan:

وأجمع عوام أهل العلم أن كل ذي ناب من السباع حرام.

“Umumnya, para ulama telah ijma’(sepakat), bahwa semua yang memiliki bertaring dari binatang buas adalah haram.” (Kitabul Ijma’ No. 740)

Hadits dari Ibnu Abbas di atas adalah umum untuk semua hewan bertaring dan berkuku tajam dengan keduanya mereka mencabik mangsanya- adalah haram di makan, termasuk – misal- Hiu.

Tetapi, dengan adanya ayat: Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu. Juga oleh hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu Anhuma, katanya: Dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah; ada pun dua bangkai yakni belalang dan ikan, dan dua darah adalah hati dan limpa.

Maka, untuk hewan laut adalah pengecualian. Hal ini sesuai kaidah: hamlul mutlaq ila

l muqayyad, memahami dalil yang umum menurut dalil yang lebih khusus. Jadi, secara umum semua hewan bertaring adalah haram, kecuali hewan bertaring yang dilaut termasuk Hiu. Bukankah ikan tongkol, ikan kembung, dan tuna pun bergigi taring? Sehingga untuk Hiu, terjadi perbedaan pendapat ulama, dan umumnya adalah membolehkannya.

4. Hadits ini juga menunjukkan kebolehan memberikan jawaban melebihi keperluan si penanya. Sahabat hanya bertanya tentang air laut, tetapi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan tentang air dan bangkai laut sekaligus. Hal ini, dalam rangka penambah pemahaman dan kejelasan dari permasalahan.

Imam Ash Shan’ani mengatakan:

مِنْ مَحَاسِنِ الْفَتْوَى، أَنْ يُجَاءَ فِي الْجَوَابِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سُئِلَ عَنْهُ تَتْمِيمًا لِلْفَائِدَةِ

Di antara bagusnya sebuah fatwa adalah memberikan jawaban melebihi apa yang ditanyakan untuk menyempurnakan faidahnya.

(Subulus Salam, 1/21)

Wallahu Alam

🌺🌴🌵🌷🌿🌸🍃🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

KETIKA TAHALLUL BOLEHKAH MENCUKUR SENDIRI WALAU INI UMROH PERTAMA?

💢💢💢💢💢💢💢

السؤال
هل يجوز أن يقص الرجل شعره بنفسه للتحلل من العمرة وأيضا بالنسبة للمرأة ؟

Pertanyaan: Bolehkah seorg laki-laki memotong rambutnya sendiri saat tahallul umroh, begitu juga bagi kaum waniya?


نص الجواب

الحمد لله
يجوز للحاج والمعتمر أن يقص شعره بنفسه للتحلل من حجه أو عمرته ، سواء كان رجلا أو امرأة ، كما يجوز له أن يقص شعر غيره ممن يريد التحلل

Jawaban:

Dibolehkan bagi orang yang haji dan umroh memotong rambutnya sendiri untuk tahallul dari hajinya atau umrohnya. Sama saja, baik laki-laki atau perempuan. Sebagaimana dibolehkan pula dia memendekkan rambut orang lain yg hendak tahallul.

قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله : ” ويحلق هو بيده ، أو يكلف من يحلقه ، خلافاً لما قاله بعض العلماء : إنه إذا حلق نفسه بنفسه فعل محظوراً، فنقول : لم يفعل محظوراً ، بل حلق للنسك ” انتهى من “الشرح الممتع” (7/328)

Syaikh Utsaimin Rahimahullah mengatakan: “Dia (boleh) memotongnya dengan tangannya sendiri, atau dia menugasi orang lain yg memotongnya. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama: “Jika seorang mencukur dirinya sendiri maka dia melakukan perbuatan larangan (dalam Umroh).” Kami katakan: “Itu bukan perbuatan terlarang, tapi itu bagian dari nusuk (ibadah).” Selesai. (Syarhul Mumti’, 7/328)

وسئل رحمه الله : المرأة إذا قصرت شعرها بنفسها هل يلزمها شيء؟

Beliau Rahimahullah juga ditanya: Jika seorang wanita mencukur rambutnya sendiri apakah ada konsekuensi tertentu bagi dia?

فأجاب : “لا ، إذا قصرت المرأة شعرها بنفسها ، أو حلق الرجل رأسه بنفسه ، أو حلقه له مُحْرِم ، أو حلقه له مُحِلٌّ ، كل هذا جائز ” انتهى من “لقاء الباب المفتوح” (224/42)
والله أعلم 

Beliau menjawab: “Tidak ada, jika seorang wanita mencukur rambutnya sendiri. Atau seorang laki-laki mencukur rambutnya sendiri. Atau seorang yang Ihrom mencukurnya, atau orang yang tahallul yang mencukurnya, maka semua ini BOLEH.” Selesai.

(Liqoo Bab Al Maftuuh, 42/224)

📚 Sumber: Syaikh Muhammad Shalih al Munajjid, Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 104197

🌻🌴🍀🌷🌸🍃🌿

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top