Hukum Makan Kelinci dan Kangguru

▪▫▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Nawar Safura:
Assalamualaikum ust, mau bertanya, apa hukum memakan daging kelinci dan daging kangguru? Syukron ustadz

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Kelinci adalah halal menurut mayoritas ulama, berdasarkan hadits berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
مَرَرْنَا فَاسْتَنْفَجْنَا أَرْنَبًا بِمَرِّ الظَّهْرَانِ فَسَعَوْا عَلَيْهِ فَلَغَبُوا قَالَ فَسَعَيْتُ حَتَّى أَدْرَكْتُهَا فَأَتَيْتُ بِهَا أَبَا طَلْحَةَ فَذَبَحَهَا فَبَعَثَ بِوَرِكِهَا وَفَخِذَيْهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُ بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبِلَهُ

Dari Anas bin Malik dia berkata, “Pada suatu ketika kami lewat di Marru Zhahran (nama tempat), tiba-tiba kami dikagetkan oleh seekor kelinci, lalu kami kejar kelinci tersebut sampai mereka kelelahan.” Anas melanjutkan, “Saya juga turut mengejarnya sampai dapat, lantas saya membawanya kepada Abu Thalhah, kemudian dia menyembelihnya dan mengirimkan kedua pahanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku lalu membawanya ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau pun menerimanya.”

(HR. Muslim no. 1953)

Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

وَأَكْل الْأَرْنَب حَلَال عِنْد مَالِك وَأَبِي حَنِيفَة وَالشَّافِعِيّ وَأَحْمَد وَالْعُلَمَاء كَافَّة , إِلَّا مَا حُكِيَ عَنْ عَبْد اللَّه بْن عَمْرو بْن الْعَاصِ وَابْن أَبِي لَيْلَى أَنَّهُمَا كَرِهَاهَا . دَلِيل الْجُمْهُور هَذَا الْحَدِيث مَعَ أَحَادِيث مِثْله , وَلَمْ يَثْبُت فِي النَّهْي عَنْهَا شَيْء

Makan kelinci itu halal menurut Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’iy, Ahmad, dan semua ulama, kecuali apa yang diceritakan dari Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash dan Ibnu Abi Laila bahwa mereka berdua memakruhkannya. Dalil mayoritas ulama adalah hadits ini dan hadits lain yang semisalnya, dan tidak ada dalil shahih yang melarangnya.

(Syarh Shahih Muslim, 13/105)

Dalam Al Mausu’ah tertulis:

الأَْرْنَبُ حَلاَلٌ أَكْلُهَا عِنْدَ الْجُمْهُورِ. وَقَدْ صَحَّ عَنْ أَنَسٍ أَنَّهُ قَال

Makan kelinci itu halal menurut mayoritas ulama. Telah shahih dari Anas bin Malik bahwa dia berkata (disebut hadits di atas)..

Kemudian tertulis juga:

وَقَدْ أَكَلَهَا سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَرَخَّصَ فِيهَا أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ وَعَطَاءٌ وَابْنُ الْمُسَيَّبِ وَاللَّيْثُ وَأَبُو ثَوْرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ

Sa’ad bin Abi Waqash telah memakannya, ada pun Abu Sa’id Al Khudri, ‘Atha, Ibnul Musayyab, Al Laits, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir mereka telah memberikan keringanan dalam hal ini. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 5/132-133)

Bagaimana dgn Kangguru? Demikian juga kangguru, tidak ada dalil yang mengharamkannya. Dia juga bukan hewan buas, tidak bertaring, tidak mencabik mangsa, tidak khabaits (menjijikan), bukan jalaalah (pemakan kotoran), bukan termasuk hewan yang diperintah untuk dibunuh dan bukan pula yang dilarang untuk dibunuh.

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

فالأصل في حكم أكل لحم الحيوان أنه حلال ما لم يرد دليل يمنع من أكله، وحيث إن الكنغر ليس سبعاً، ولا يعدو بنابه، وإنما يأكل الأعشاب، فلا حرج في أكل لحمه
والله أعلم

Hukum dasar dari memakan daging hewan adalah halal selama tidak ada dalil yang melarang memakannya. Kangguru itu bukan termasuk hewan buas, tidak termasuk bertaring, dia herbivora, maka tidak apa-apa memakannya.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 9091)

Demikian. Wallahu A’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Perlukah Berwudhu Lagi Setelah Mandi Junub?

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Ustad,apakah boleh berwdhu stelah mandi wajib?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Jawaban:

Bismillah wal Hamdulillah …

Tidak perlu. Bahkan menurut Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma hal itu berlebihan. Berikut dalil-dalilnya:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak wudhu lagi setelah dia mandi (janabah).” (HR. An Nasa’i No. 252, 430, Ibnu Majah No. 579, At Tirmidzi No. 107, kata Imam At Tirmidzi: hasan shahih)

Dari Abu Ishaq, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma:

إني أتوضأ بعد الغسل قال : لقد تعمقت.

“Sesungguhnya saya berwudhu setelah mandi (janabah).” Ibnu Umar menjawab: “Engkau telah berlebihan.” (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 750)

Imam Abul Hasan bin Abdil Hadi As Sindi berkata tentang makna “Adalah Rasulullah tidak berwudu”:

أَيْ لِلصَّلَاةِ بَعْد الْغُسْل مِنْ الْجَنَابَة مَا لَمْ يُحْدِث أَوْ لَمْ يَرَ الْحَدَث فَيَكْتَفِي بِالْوُضُوءِ الْحَاصِل فِي ضِمْن غُسْل الْجَنَابَة أَوْ بِالْوُضُوءِ الْمُتَقَدِّم عَلَى الْغُسْل عَادَة

“Yaitu wudhu untuk shalat sesudah mandi janabah, selama belum berhadats atau selama belum melihat hadats, maka cukup baginya mandi janabah itu sebagai cakupan dari wudhunya, atau cukup dengan wudhu sebelumnya yang telah dia lakukan saat mandi.” (Hasyiyah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, 2/9)

Imam Asy Syaukani Rahimahullah berkata sebagai berikut:

وَرُوِيَ عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّهُ قَالَ : ” أَمَا يَكْفِي أَحَدَكُمْ أَنْ يَغْسِلَ مِنْ قَرْنِهِ إلَى قَدَمَيْهِ حَتَّى يَتَوَضَّأَ ؟ ” ، وَقَدْ رُوِيَ نَحْوُ ذَلِكَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ الصَّحَابَةِ وَمَنْ بَعْدَهُمْ حَتَّى قَالَ أَبُو بَكْر بْن الْعَرَبِيِّ : إنَّهُ لَمْ يَخْتَلِفْ الْعُلَمَاءُ أَنَّ الْوُضُوءَ دَاخِلٌ تَحْتَ الْغُسْلِ وَأَنَّ نِيَّةَ طَهَارَةِ الْجَنَابَةِ تَأْتِي عَلَى طَهَارَةِ الْحَدَثِ وَتَقْضِي عَلَيْهَا ؛ لِأَنَّ مَوَانِعَ الْجَنَابَةِ أَكْثَرُ مِنْ مَوَانِعِ الْحَدَثِ فَدَخَلَ الْأَقَلُّ فِي نِيَّةِ الْأَكْثَرِ وَأَجْزَأَتْ نِيَّةُ الْأَكْبَرِ عَنْهُ

Diriwayatkan dari Hudzaifah, bahwa dia berkata: “Apakah tidak cukup bagi kalian mandi janabah dari ubun-ubun hingga ke kedua kaki, sampai-sampai kalian berwudhu segala?” Perkataan seperti itu juga telah diriwayatkan dari jamaah para sahabat dan orang-orang setelah mereka, sampai Abu Bakar bin Al ‘Arabi berkata: “Bahwa para ulama tidak berselisih pendapat, bahwa wudhu telah masuk ke dalam cakupan mandi janabah, dan niat bersuci dari janabah juga berlaku bagi niat bersuci dari hadats, dan itu dapat menghilangkan hadats tersebut. Karena sesungguhnya halangan-halangan bagi orang yang janabah lebih banyak dari pada orang yang sekedar berhadats. Oleh karena itu, sesuatu yang lebih sedikit sudah masuk ke dalam niat yang besar, dan niat besar sudah mencakupi niat yang sedikit.” (Nailul Authar, 1/246-247)

Jadi, tidak usah wudhu lagi, kecuali dia melihat adanya hadats lagi pada dirinya.

Wallahu A’lam

🍃🌾🌸🌻🌴🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Batal Sholat, Bagaimana Cara Keluar dari Shaf?

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamu ‘alaikum. wr.wb. ‘Afwan ustadz, bagaimna caranya keluar dari shaf saat sholat berjama’ah yang ramai apabila sholat kita batal sementara kita berada pada shaf yang agak depan? Apakah boleh melewati orang yang sedang shalat? padahal ada hadits yang melarangnya.. Jazakallah khairan(Azhar)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Man Waalah, wa Ba’d.

Masalah ini sering menjadi pertanyaan banyak orang. Mereka bingung ketika ingin keluar dari jama’ah shalat karena batal. Sedangkan mereka berada dalam shaf depan. Apakah dibolehkan jalan melewati makmum? Bukankah nabi melarang kita lewat di depan orang shalat, sebagaimana hadits berikut ini:

Dari Abu Said Al Khudri Radhiyallahu ‘Anhu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلْيَدْرَأْهُ مَا اسْتَطَاعَ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ

“Jika kalian shalat maka jangan biarkan seorang pun lewat di hadapan kalian, cegahlah semampu kalian, jika dia menolak untuk dicegah maka bunuhlah, karena dia adalah seetan.” (HR. Muslim, 258/505)[1]

Para ulama’ memahami larangan ini berlaku untuk shalat sendiri dan shalatnya imam. Boleh saja melewati makmum, sebab larangan melewati depan orang shalat hanya berlaku bagi shalat sendiri atau shalatnya imam. Larangan hadits di atas masih mujmal (global) yang larangan tersebut di-takhshish (dibatasi) oleh hadits lainnya.

Berikut ini dalilnya:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَأَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى أَتَانٍ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلَامَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاس بِمِنًى فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ الصَّفِّ فَنَزَلْتُ فَأَرْسَلْتُ الْأَتَانَ تَرْتَعُ وَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيَّ أَحَدٌ

Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Aku datang dengan mengendarai keledai betina, saat itu aku telah bersih-bersih dari mimpi basah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di Mina, maka aku lewat di depan shaf lalu aku turun dari kendaraan keledai betina, lalu aku masuk ke shaf dan tak ada satu pun yang mengingkari perbuatan itu.” (HR. Muslim No. 504)

Hadits ini menunjukkan bahwa Ibnu Abbas berjalan di depan shaf makmum. Bahkan dia lewat sambil menunggangi untanya, dan tidak seorang pun mencegahnya. Artinya, larangan melewati (berjalan) di depan orang shalat, hanya berlaku jika melewati imam dan orang yang shalatnya sendiri. Menurut keterangan riwayat ini, melewati di depan makmum (karena ada keperluan) tidaklah mengapa. Kebolehan ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. Wallahu A’lam

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menulis dalam Fathul Baari:

وَقَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ : حَدِيثُ اِبْن عَبَّاس هَذَا يَخُصُّ حَدِيثٌ أَبِي سَعِيد ” إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَدَعُ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ ” فَإِنَّ ذَلِكَ مَخْصُوص بِالْإِمَامِ وَالْمُنْفَرِد ، فَأَمَّا الْمَأْمُومُ فَلَا يَضُرُّهُ مَنْ مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ لِحَدِيثِ اِبْن عَبَّاس هَذَا ، قَالَ : وَهَذَا كُلُّهُ لَا خِلَافَ فِيهِ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ

Berkata Ibnu Abdil Bar, “Hadits Ibnu Abbas ini menjadi takhsis (pembatas) bagi hadits Abu Said yang berbunyi, ‘Jika salah seorang kalian shalat maka janganlah membiarkan seorang pun lewat di hadapannya,’ sebabhadits ini dikhususkan untuk imam dan shalat sendiri. Ada pun makmum, maka tidak ada sesuatu pun yang memudharatkan siapa pun yang lewat di hadapannya, sebagaimana yang ditegaskan oleh hadits Ibnu Abbas ini. Semua ini tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama.”(Fathul Bari, 1/572)

Hanya saja bolehnya hal ini masyarakat kita masih banyak yang belum memahaminya, mungkin dianggap tidak sopan. Tp, yang jelas mereka mesti diedukasi hal ini agar tidak melarang apa-apa yang dibolehkan agama syariat.

Demikian. Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajma’in.

Wallahu A’lam.

🍃🍃🍃🍃🍃


[1] Apa maksud “bunuh” dalam hadits ini? Apakah dia dibunuh karena menolak dihalau? Imam Al Baghawi menjelaskan:

والمراد من المقاتلة الدفع بالعنف لا القتل

Yang dimaksud dengan “bunuh” adalah menahan dengan keras, bukan membunuhnya. (Syarhus Sunnah, 2/456)

Imam An Nawawi menjelaskan tentang hukum menghalau orang yang lewat di hadapan orang shalat:

وهو ندب متأكد ولا أعلم أحدا من العلماء أوجبه بل صرح أصحابنا وغيرهم بأنه مندوب غير واجب قال القاضي عياض واجمعوا على أنه لا يلزمه مقاتلته بالسلاح ولا ما يؤدي إلى هلاكه

Itu sunah yang ditekankan, dan aku tidak ketahui adanya seorang ulama pun yang mengatakan wajib. Bahkan para sahabat kami dan lainnya menjelaskan itu anjuran saja bukan kewajiban. Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan: “Mereka telah ijma’ bahwa itu bukan membunuhnya dengan senjata atau apa-apa yang membawa celaka baginya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 4/223)

🌾🌻🍃🌴🌺☘🌷🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

Mendoakan Non Muslim

▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

اسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ketika tetangga kita yang non muslim mendapatkan musibah dan dirawat di rumah sakit dan kita membesuknya.
Apa boleh kita mendoakan untuk kesembuhan atau doa apa yang sebaiknya kita panjatkan? Syukron Ustadz.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Bismillah al Hamdulillah ..

Mendoakan non muslim ada dua keadaan, saat mereka masih hidup dan sudah wafat. Kita rinci ya ..

1⃣ Saat masih hidup

– Boleh mendoakan agar mendapatkan hidayah

Hal ini sebagaimana hadits berikut:

Abdullah bin ‘Ubaid bercerita:

لَمَّا كُسِرَتْ رُبَاعِيَّةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشُجَّ فِي جَبْهَتِهِ فَجَعَلَتِ الدِّمَاءُ تَسِيلُ عَلَى وَجْهِهِ قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، ادْعُ اللهَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنَّ اللهَ تَعَالَى لَمْ يَبْعَثْنِي طَعَّانًا وَلَا لَعَّانًا، وَلَكِنْ بَعَثَنِي دَاعِيَةَ وَرَحْمَةٍ، اللهُمَّ اهْدِ قَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam patah gigi serinya dan berdarah keningnya sampai darahnya mengalir ke wajahnya, dia dikatakan kepadanya:

“Wahai Rasulullah, doalah kepada Allah untuk mereka!

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab;

“Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai pencela, pelaknat, tetapi aku diutus sebagai penyuru dan membawa rahmat, “Ya Allah berilah petunjuk kepada umatku karena mereka belum tahu.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 1376, Imam Al Baihaqi mengatakan bahwa hadits tersebut mursal, sehingga hadits ini dhaif)

Al Hafizh Adh Dhiya Al Maqdisi menceritakan dalam Al Ahadits Al Mukhtarah, bahwa peristiwa di atas terjadi di Mina saat musim haji, di sana kaum musyrikin Arab did’wahkan untuk bersyahadat agar mereka selamat, tetapi mereka baik laki-laki, wanita, anak-anak melempar dengan pasir dan batu. ( Al Ahadits Al Mukhtarah, 4/76)

Walau hadits ini dhaif, tapi secara makna Shahih dan sejalan dengan dalil-dalil lain yang banyak.

– Mendoakan agar diampuni, tapi ini hanya untuk kafir dzimmi

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى النَّبِيِّ يَحْكِي نَبِيًّا مِنَ الْأَنْبِيَاءِ ضَرَبَهُ قَوْمُهُ فَأَدْمَوْهُ وَهُوَ يَمْسَحُ الدَّمَ عَنْ وَجْهِهِ وَيَقُولُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Seakan saya melihat Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang mengkisahkan seorang Nabi di antara para Nabi, dipukuli kaumnya sampai membuatnya berdarah dan dia membasuh darah itu dari wajahnya dan berdoa: Ya Allah ampunilah kaumku karena mereka belum tahu. (HR. Al Bukhari no. 3477)

Sebagian ulama mengatakan, bahwa hadits ini bisa jadi ketika belum ada larangan mendoakan ampun bagi mereka.

Syaikh Abul ‘Ala Mubarkafuri Rahimahullah mengutip dari pengarang Fathul Bayan:

لأنه يمكن أن يكون ذلك قبل أن يبلغه تحريم الاستغفار لهم

Kemungkinan adanya doa itu sebelum sampai kepadanya pengharaman memohonkan ampun untuk mereka. (Tuhfah Al Ahwadzi, 8/401)

Imam Al ‘Aini Rahimahullah berkata;

بأن استغفاره لقومه مشروط بتوبتهم من الشرك كأنه أراد الدعاء لهم بالتوبة

Bahwasanya doa ampunan bagi kaumnya itu dengan syarat adanya taubat mereka dari kesyirikan, seakan Nabi mendoakan mereka agar mereka bertaubat. (‘Umdatul Qari, 13/53)

Artinya kebolehan mendoakan ampun bagi non muslim saat masih hidupnya diperselisihkan para ulama.

– Mendoakan kesembuhan saat mereka sakit

Dalam Shahih Al Bukhari, dikisahkan cukup panjang. Kami ringkas bahwa dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa sekelompok sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yg berjumpa perkampungan kabilah Arab yg salah seorang mereka yaitu kepala sukunya tersengat hewan berbisa, maka salah satu sahabat Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam meruqyahnya dengan Al Fatihah, dengan imbalan 10 ekor kambing. Para sahabat enggan memakan kambing tersebut, sampai mereka mereka mengkonsultasikan kpd Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam, jawab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah:

و ما يدريك أنها رقية ؟

Apakah kamu tidak tahu bahwa Al Fatihah adalah ruqyah? (HR. Al Bukhari no. 2276)

Ini menunjukkan kebolehan mendoakan non muslim dalam kesehatan dan hal-hal duniawi yang lainnya.

2⃣ Saat Sudah Wafat

Saat mereka sudah wafat, dalam keadaan kafir kepada Allah, Rasul Nya, dan agamaNya, maka tidak boleh mendoakan ampunan bagi mereka sebab itu tidak bermanfaat bagi mereka.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللَّهِ
وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ خَالِدِينَ فِيهَا لَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْظَرُونَ

Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para Malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalam laknat itu; tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh. (QS. Al Baqarah: 161-162)

Maka, tidak boleh mendoakan ampunan bagi mereka.

Allah Ta’ala berfirman:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (QS. At Taubah: 113)

Imam Ibnu Baththal Rahimahullah berkata:

فرض على جميع المؤمنين ، متعين على كل واحد منهم ألا يدعو للمشركين ، ولا يُستغفر لهم إذا ماتوا على شركهم

Allah mewajibkan kepada semua orang beriman, bahwa masing-masing mereka janganlah mendoakan orang musyrik, jangan memohonkan ampunan jika mereka wafat di atas kesyirikan mereka. (Syarh Shahih Al Bukhari, 3/351)

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

scroll to top