Untuk Para Da’i, Ustadz, dan Muballigh: Perhatikan Adat dan Kebiasaan Daerahmu

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Imam Al Qarafi Rahimahullah berkata:

فمهما تجدد في العرف اعتبره ومهما سقط أسقطه ولا تجمد على المسطور في الكتب طول عمرك بل إذا جاءك رجل من غير أهل إقليمك يستفتيك لا تجره على عرف بلدك واسأله عن عرف بلده وأجره عليه وأفته به دون عرف بلدك ودون المقرر في كتبك فهذا هو الحق الواضح والجمود على المنقولات أبدا ضلال في الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين

“Bagaimanapun yang baru dari adat istiadat perhatikanlah, dan yang sudah tidak berlaku lagi tinggalkanlah. Jangan kamu bersikap tekstual kaku pada tulisan di kitab saja sepanjang hayatmu.

Jika datang kepadamu seorang dari luar daerahmu untuk meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu memberikan hukum kepadanya berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di daerahmu, tanyailah dia tentang adat kebiasaan yang terjadi di daerahnya dan hargailah itu serta berfatwalah menurut itu, bukan berdasarkan adat kebiasaan di daerahmu dan yang tertulis dalam kitabmu. Itulah sikap yang benar dan jelas.

Sedangkan sikap selalu statis pada teks adalah suatu kesesatan dalam agama dan kebodohan tentang tujuan para ulama Islam dan generasi salaf pendahulu.” 1]

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah, membuat pasal dalam kitabnya I’lamul Muwaqi’in, berbunyi:

في تغير الفتوى واختلافها يحسب تغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والنيات والعوائد

“Pasal tentang perubahan fatwa dan perbedaannya yang disebabkan perubahan zaman, tempat, kondisi, niat, dan tradisi.”

Lalu Beliau berkata:

هذا فصل عظيم النفع جدا وقع بسبب الجهل به غلط عظيم على الشريعة أوجب من الحرج والمشقة وتكليف ما لا سبيل إليه ….

Ini adalah pasal yang sangat besar manfaatnya, yang jika bodoh terhadal pasal ini maka akan terjadi kesalahan besar dalam syariat, mewajibkan sesuatu yang sulit dan berat, serta membebankan apa-apa yang tidak pantas dibebankan … ” 2]

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, sangat perhatian tethadap kondisi manusia dalam fatwanya. Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Sa’ad bin ‘Ubaidah:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ : لِمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا تَوْبَةٌ ؟ قَالَ : لاَ ، إِلاَّ النَّارُ ، فَلَمَّا ذَهَبَ قَالَ لَهُ جُلَسَاؤُهُ : مَا هَكَذَا كُنْتَ تُفْتِينَا ، كُنْتَ تُفْتِينَا أَنَّ لِمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا تَوْبَةٌ مَقْبُولَةٌ ، فَمَا بَالُ الْيَوْمِ ؟ قَالَ : إِنِّي أَحْسِبُهُ رَجُلاً مُغْضَبًا يُرِيدُ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا ، قَالَ : فَبَعَثُوا فِي أَثَرِهِ فَوَجَدُوهُ كَذَلِكَ

Ada seorang datang kepada Ibnu Abbas dan bertanya: “Apakah seorang yang membunuh mu’min taubatnya bisa diterima?”

Ibnu Abbas menjawab: “Tidak, dia neraka!” Ketika orang itu pergi, orang-orang yang duduk disekitar Ibnu Abbas bertanya: “Dulu engkau menjawab kepada kami tidak seperti itu, kau katakan dulu taubat seorang pembunuh diterima, emang kenapa hari ini?”

Beliau menjawab: “Saya melihat dia sedang marah dan ingin membunuh seorang mu’min.” Lalu mereka memgikuti orang tersebut dan mereka mendapatkan demikian. 3]

Inilah Ibnu Abbas! Dengan pandangannya yang mendalam, beliau melihat kemarahan pada orang itu. Pertanyaan yang diajukannya hanyalah mencari jalan agar menjadi ringan membunuh seorang mu’min jika dijawab tobatnya diterima. Tetapi, dengan dijawab “tidak diterima” maka dia mengurungkan niatnya, dan terhindarlah orang itu dalam dosa dan kebinasaan yang besar.

Wallahu A’lam

🌷☘🌺🌴🌻🌾🌸🍃

✍ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Notes:

[1] Imam Al Qarafi, Al Furuq, Juz. 1, Hal. 176-177. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Beirut. 1418H-1989M. Tahqiq: Khalil Al Manshur

[2] Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, Juz. 3, Hal. 3. Maktabah Kulliyat Al Azhariyah. Kairo. 1388H-1968M. Tahqiq: Thaha Abdurrauf Sa’ad

[3] Imam Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, No. 28326. Darul Qiblah. Tahqiq: Muhammad ‘Awaamah.

Al Hafizh mengatakan: “para perawinya terpercaya.” (Lihat At Talkhish Al Habir, 4/454. Cet. 1. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Beirut. 1419H-1989M. )

 

Tafsir Para Ulama Tentang Al Maidah Ayat 51

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📌 Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata:

ينهى تعالى عباده المؤمنين عن موالاة اليهود والنصارى، الذين هم أعداء الإسلام وأهله، قاتلهم الله، ثم أخبر أن بعضهم أولياء بعض، ثم تهدد وتوعد من يتعاطى ذلك

Allah Ta’ala melarang hamba-hambaNya yang beriman memberikan loyalitasnya kepada Yahudi dan Nasrani, mereka adalah musuh Islam dan umatnya, semoga Allah memerangi mereka, lalu Allah mengabarkan bahwa sebagian mereka menjadi penolong atas lainnya, lalu Allah mengancam orang yang melakukan hal itu. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/132)

📌 Imam An Naisaburi menjelaskan status orang beriman yang ikut memilih dan mendukung mereka sebagai pemimpin:

الذين ظلموا أنفسهم بموالاة الكفرة فوضعوا الولاء في غير موضعه

Merekalah orang-orang yang menzalimi diri sendiri dengan memberikan kepemimpinan orang kafir, mereka meletakkan loyalitas bukan pada tempatnya. (Tafsir An Naisaburi, 3/174)

📌 Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu berkata kepada Abu Musa Al Asy’ari yang telah mengangkat salah satu Nashrani sebagai Kaatib (sekretaris) di propinsinya:

لا أكرمهم إذ أهانهم الله ، ولا أعزهم إذا أذلهم الله ، ولا أدنيهم إذ أبعدهم الله

Jangan hormati mereka saat Allah menghinakan mereka, jangan muliakan mereka saat Allah rendahkan mereka, dan jangan dekati mereka saat Allah menjauhkan mereka. (Ibid)

📌 Imam Al Qurthubi Rahimahullah berkata:

وهذا يدل على قطع الموالاة شرعا وقد مضى في آل عمران بيان ذلك ثم قيل : المراد به المنافقون المعنى يأيها الذين آمنوا بظاهرهم وكانوا يوالون المشركين ويخبرونهم بأسرار المسلمين

Ini menunjukkan terputusnya loyalitas kepada mereka menurut syariat. Telah berlalu penjelasan ini dalam surat Ali ‘Imran, dan dikatakan: maksud ayat ini adalah kepada kaum MUNAFIKIN, sedangkan makna “wahai orang-orang beriman” adalah secara lahiriyah mereka saja. Mereka telah menjadikan kaum musyrikin sebagai teman setianya dengan mengabarkan rahasia-rahasia kaum muslimin. (Tafsir Al Qurthubi, 6/203)

📌 Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syanqithi Rahimahullah menjelaskan:

قَوْلُهُ تَعَالَى: وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ذَكَرَ فِي هَذِهِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ، أَنَّ مَنْ تَوَلَّى الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ، فَإِنَّهُ يَكُونُ مِنْهُمْ بِتَوَلِّيهِ إِيَّاهُمْ، وَبَيَّنَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ أَنَّ تَوَلِّيَهُمْ مُوجِبٌ لِسُخْطِ اللَّهِ، وَالْخُلُودِ فِي عَذَابِهِ

Firman Allah Ta’ala: (Siapa yang menjadikan mereka sebagai pemimpin maka dia termasuk golongan mereka), ayat yang mulia ini menyebutkan bahwa kaum muslimin yang memberikan loyalitasnya kepada Yahudi dan Nasrani adalah termasuk bagian dari mereka karena loyalitasnya itu, dalam ayat yang lain disehutkan bahwa loyalitas ini mendatangkan murkanya Allah dan abadi di dalam siksaNya. (Adhwa’ul Bayan, 1/412)

Demikian. Wallahu A’lam

🌷☘🌺🌴🌾🌸🍃🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

Tangisan Muhammad bin Al Munkadir Rahimahullah

Imam Malik berkata:

كان محمد بن المنكدر لا يكاد أحد يسأله عن حديث إلا كان يبكي

“Muhammad bin Al Munkadir hampir selalu menangis saat ada orang bertanya kepadanya tentang hadits.”

Sementara itu ..

وقال أحمد بن إبراهيم الدورقي: حدثنا يحيى بن الفضل الانيسي، سمعت بعض من يذكر عن محمد بن المنكدر، أنه بينا هو ذات ليلة قائم يصلي إذ استبكى، فكثر بكاؤه حتى فزع له أهله، وسألوه، فاستعجم عليهم، وتمادى في البكاء، فأرسلوا إلى أبي حازم فجاء إليه، فقال: ما الذي أبكاك ؟ قال: مرت بي آية، قال: وما هي ؟ قال: (وبدا لهم من الله ما لم يكونوا يحتسبون) فبكى أبو حازم
معه، فاشتد بكاؤهما

Dari Ahmad bin Ibrahim Ad Dauruqi, berkata kepada kami Yahya bin Al Fadhl Al Unaisi, dia berkata:

“Aku mendengar sebagian orang yang bercerita tentang Muhammad bin Al Munkadir bahwa suatu malam dia bangun untuk shalat, dia nangis tesedu-sedu sampai-sampai keluarganya gundah karenanya.

Mereka bertanya kepadanya, keluarganya mengorek alasan kenala dia menangis, tapi dia tetap menangis menjadi-jadi.
Mereka akhirnya meminta Abu Hazim untuk menanyakannya, dan akhirnya Abu Hazim mendatanginya, lalu bertanya:

“Apa yang membuatmu menangis?”

Muhammad bin Al Munkadir menjawab: “Aku ingat dengan sebuah ayat?”

Abu Hazim bertanya: “Ayat yang mana?”

Muhammad bin Al Munkadir membaca:

وَبَدَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ

Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka sangka. (QS. Az Zumar: 47)

Maka, Abu Hazim juga ikut menangis bersamanya, dan tangisan mereka berdua semakin pilu.

📚 Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, 5/355. Cet. 9. Muasasah Ar Risalah. Beirut. 1413H/1993M.

🌷☘🌺🌴🌻🌾🌸🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

Keutamaan Bulan Muharram

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

1⃣ Termasuk Bulan-Bulan Haram (Asyhurul Hurum)

Bulan Muharram adalah salah satu bulan mulia, yang telah Allah Ta’ala sebutkan sebagai asyhurul hurum (bulan-bulan haram). Maksudnya, saat itu manusia dilarang (diharamkan) untuk berperang, kecuali dalam keadaan membela diri dan terdesak.

Allah ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah , dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram (syahral haram) …” (QS. Al Maidah (95): 2)

Ayat mulia ini menerangkan secara khusus keutamaan bulan-bulan haram, yang tidak dimiliki oleh bulan lainnya. Bulan yang termasuk Asyhurul hurum (bulan-bulan haram) adalah dzul qa’dah, dzul hijjah, rajab, dan muharam. (Sunan At Tirmidzi No. 1512)

Rasulullah ﷺ bersabda:

السنة اثنا عشر شهراً، منها أربعةٌ حرمٌ: ثلاثٌ متوالياتٌ ذو القعدة، وذو الحجة والمحرم، ورجب مضر الذي بين جمادى وشعبان”

“Setahun ada 12 bulan, di antaranya terdapat 4 bulan haram: tiga yang awal adalah Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharam. Sedangkan Rajab yang penuh kemuliaan antara dua jumadil dan sya’ban.” (HR. Bukhari No. 3025)

Namun sebagian ulama mengatakan, larangan berperang pada bulan-bulan haram ini telah mansukh (dihapus hukumnya) oleh ayat wa qaatiluuhum haitsu tsaqiftumuuhum (dan perangilah mereka di mana saja kamu jumpai mereka). Imam Ibnu Jarir lebih menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini mansukh. (Jami’ Al Bayan, 9/478-479. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah). Imam Ibnu Rajab mengatakan kebolehan berperang pada bulan-bulan haram adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama), pelarangan hanya terjadi pada awal-awal Islam. (Lathaif Al Ma’arif Hal. 116. Mawqi’ Ruh Al Islam)

2⃣ Larangan Berbuat Zalim

Secara umum berbuat zalim terlarang di semua bulan. Tapi, di bulan ini larangan tersebut semakin dikuatkan.

Allah ﷻ berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.. (QS. At Taubah: 36)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:

أي: في هذه الأشهر المحرمة؛ لأنه آكد وأبلغ في الإثم من غيرها، كما أن المعاصي في البلد الحرام تضاعف

Yaitu di bulan-bulan haram ini, karena hal itu lebih ditekankan lagi larangannya dan lebih berat dosanya dibanding selainnya, sebagaimana maksiat-maksiat di lakukan di tanah haram juga berlipat-lipat dosanya. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/148)

Zalim di sini seperti zalim kepada diri sendiri, yakni maksiat, zalim kepada makhluk yakni lisan dan tangan yang menyakiti, serta zalim kepada Allah Ta’la, yakni syirik.

3⃣ Anjuran banyak berpuasa secara umum

Hal ini bedasarkan riwayat berikut:

عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَا تَعْرِفُنِي قَالَ وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيُّ الَّذِي جِئْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلَّا بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِي فَإِنَّ بِي قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلَاثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا

Dari Mujibah Al Bahili, dari ayahnya, atau pamannya, bahwasanya dia memdatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi

wa Sallam, lalu dia pergi. Kemudian mendatangi lagi setelah satu tahun lamanya, dan dia telah mengalami perubahan baik keadaan dan penampilannya. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kau mengenali aku?” Nabi bertanya: “Siapa kamu?” Al Bahili menjawab: “Saya Al Bahili yang datang kepadamu setahun lalu.” Nabi bertanya:: “Apa yang membuatmu berubah, dahulu kamu terlihat baik-baik saja?” Al Bahili menjawab: “Sejak berpisah denganmu, saya tidak makan kecuali hanya malam.” Bersabda Rasulullah: “Kanapa kamu siksa dirimu?”, lalu bersabda lagi: “Puasalah pada bulan kesaabaran, dan sehari pada tiap bulannya.” Al Bahili berkata: “Tambahkan, karena saya masih punya kekuatan.” Beliau bersabda: “Puasalah dua hari.” Beliau berakata: “Tambahkan.” Beliau bersabda: “Puasalah tiga hari.” Al Bahili berkata: “Tambahkan untukku.” Nabi bersabda: “Puasalah pada bulan-bulan haram, dan tinggalkanlah (sebagiannya), Puasalah pada bulan-bulan haram, dan tinggalkanlah (sebagiannya), Puasalah pada bulan-bulan haram, dan tinggalkanlah (sebagiannya). Beliau berkata dengan tiga jari hemarinya, lalu menggenggamnya kemudian dilepaskannya. (HR. Abu Daud No. 2428, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 8209, juga Syu’abul Iman No. 3738. Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan: sanadnya jayyid. Lihat Fiqhus Sunnah, 1/453. Namun Syaikh Al Albani mendhaifkan dalam berbagai kitabnya)

Puasa di bulan Muharram juga ditunjukkan oleh riwayat lain. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم وأفضل الصلاة بعد الفريضة صلاة الليل

“Puasa paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharam.” (HR. Muslim No. 1163. Ad Darimi No. 1758. Ibnu Khuzaimah No. 2076. Ahmad No. 8534, dengan tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arna’uth)

4⃣ Anjuran Shaum ‘Asyura Secara Khusus

Keterangan detilnya sudah dijelaskan di tulisan berikut: Puasa Asyura Terbaik adalah 3 hari: 9, 10, 11 Muharam

5⃣ Bagaimana dengan “Lebaran Anak Yatim?”

Sebagian daerah di Nusantara, ada yang menjadikan bulan Muharram sebagai momen istimewa untuk menyanuni anak yatim, sampai mereka mengistilahkan “Lebaran/Hari raya Anak Yatim”. Hal ini tidak memiliki dasar shahih dalam Al Quran, As Sunnah, serta madzhab yang empat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ada memang yang menyebutkan itu sekumpulan riwayat-riwayat palsu. Tapi bukan berarti menyantuni anak yatim di bulan Muharram itu terlarang. Sebab secara umum memang kita dianjurkan menyantuni anak yatim, tapi tidak terikat oleh waktu yang mana. Menyantuni mereka bisa dilakukan di bulan Muharram, Shafar, Rabi’ul Awwal, Rabi’ul Akhir, dst. Semua waktu ini bisa dimanfaatkan untuk menyantuni mereka.

Dari Sahl Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

وَأَنَا وَكَافِلُاليَتِيمِ فِي الجَنَّةِ هَكَذَا» وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالوُسْطَى، وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا

Aku berasama orang yang menyantuni anak yatim seperti ini. (Nabi mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan tengah, dan diberikan celah sedikit). (HR. Al Bukhari No. 5304)

Maka, silahkan menyantuni anak yatim dan bisa kita lakukan di bulan Muharram, dan bulan-bulan lainnya, semua memiliki keutamaan yang sama.

Wallahu A’lam

🍃🌾🌻🌴🌺🌷🌴🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top