Sebab-Sebab Bolehnya Mufaraqah (Berpisah/Keluar) Dari Shalat Jama’ah

▪▫▪▫▪▫▪▫

Bismillahirrahmanirrahim ..

Pada dasarnya tidak boleh berpisah dengan imam, sebab Rasulullah ﷺ berabda:

إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا، وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا، وَإِنْ صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا

Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti. Jika dia bertakbir maka bertakbirlah, jika dia ruku’ maka ruku’lah, jika di sujud maka sujudlah, dan jika dia shalat berdiri maka berdirilah. (HR. Bukhari no. 378)

Tapi, ada kondisi atau sebab, dibolehkannya ma’mum berpisah dengan imam dan dia melanjutkan sendiri.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

وإن أحرم مأموما ثم نوى مفارقة الإمام وإتمامها منفردا لعذر جاز

Jika ma’mum sudah takbiratul ihram, lalu dia berniat mufaraqah (berpisah) dengan imam dan melanjutkan shalat sendiri karena adanya ‘UZUR, maka itu BOLEH. (Al Mughni, 2/171)

Bahkan, sebagian ulama menyatakan tetap sah shalatnya walau Mufaraqah-nya tanpa uzur.

Imam Husein Al Mahalliy Asy Syafi’iy Rahimahullah mengatakan:

ولو نوى المأموم مفارقة الإمام بلا عذر لم تبطل صلاته عند الشافعي، وأحمد

Seandainya ma’mum berniat memisahkan diri dari imam tanpa adanya ‘uzur, maka shalatnya tidak batal menurut Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad. (Mazid An Nimah, Hal. 136)

Apakah ‘uzur yang dimaksud?, Misal: Imam terlalu lama sedangkan ma’mum ada suatu keperluan atau sudah lemah, atau sebab lain yang memang ma’mum mengalami kesulitan, sehingga dia mesti berpisah.

Dari Jabir bin Abdillah Al Anshariy Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

اقْبَلَ رَجُلٌ بِنَاضِحَيْنِ وَقَدْ جَنَحَ اللَّيْلُ فَوَافَقَ مُعَاذًا يُصَلِّي فَتَرَكَ نَاضِحَهُ وَأَقْبَلَ إِلَى مُعَاذٍ فَقَرَأَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ أَوْ النِّسَاءِ فَانْطَلَقَ الرَّجُلُ وَبَلَغَهُ أَنَّ مُعَاذًا نَالَ مِنْهُ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَشَكَا إِلَيْهِ مُعَاذًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ أَوْ أَفَاتِنٌ ثَلَاثَ مِرَارٍ فَلَوْلَا صَلَّيْتَ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى فَإِنَّهُ يُصَلِّي وَرَاءَكَ الْكَبِيرُ وَالضَّعِيفُ وَذُو الْحَاجَةِ

“Seorang laki-laki datang dengan membawa dua unta yang baru saja diberinya minum saat malam sudah gelap gulita. Laki-laki itu kemudian tinggalkan untanya dan ikut shalat bersama Mu’adz. Dalam shalatnya Mu’adz membaca surah Al Baqarah atau surah An Nisaa’, sehingga laki-laki tersebut meninggalkan Mu’adz. Maka sampailah kepadanya berita bahwa Mu’adz mengecam tindakannya. Akhirnya laki-laki tersebut mendatangi Nabi ﷺ dan mengadukan persoalannya kepada beliau. Nabi ﷺ lalu bersabda: “Wahai Mu’adz, apakah kamu membuat fitnah?” Atau kata Beliau: “Apakah kamu menjadi pembuat fitnah? -Beliau ulangi perkataannya tersebut hingga tiga kali- “Mengapa kamu tidak membaca saja surat ‘Sabbihisma rabbika’, atau dengan ‘Wasysyamsi wa dluhaahaa’ atau ‘Wallaili idzaa yaghsyaa’? Karena yang ikut shalat di belakangmu mungkin ada orang yang lanjut usia, orang yang lemah atau orang yang punya keperluan.” (HR. Bukhari no. 705)

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan tentang kisah di atas:

وَلَمْ يَأْمُرْ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الرَّجُلَ بِالْإِعَادَةِ، وَلَا أَنْكَرَ عَلَيْهِ فِعْلَهُ، وَالْأَعْذَارُ الَّتِي يَخْرُجُ لِأَجْلِهَا، مِثْلُ الْمَشَقَّةِ بِتَطْوِيلِ الْإِمَامِ، أَوْ الْمَرَضِ، أَوْ خَشْيَةِ غَلَبَةِ النُّعَاسِ، أَوْ شَيْءٍ يُفْسِدُ صَلَاتَهُ، أَوْ خَوْفِ فَوَاتِ مَالٍ أَوْ تَلَفِهِ، أَوْ فَوْتِ رُفْقَتِهِ، أَوْ مَنْ يَخْرُجُ مِنْ الصَّفِّ لَا يَجِدُ مَنْ يَقِفُ مَعَهُ، وَأَشْبَاهُ هَذَا

Nabi ﷺ tidak memerintahkan laki-laki itu mengulangi shalatnya, dan tidak pula mengingkari perbuatannya. Ada pun berbagai ‘uzur yang menyebabkan bolehnya keluar dari jamaah adalah seperti rasa berat krn terlalu panjangnya bacaan imam, atau sakit, atau khawatir dikuasai oleh rasa kantuk, atau hal yang dapat merusak shalatnya, atau takut hartanya hilang atau rusak, atau ketinggalan teman seperjalanan, atau orang yang masuk shaf tapi tidak ada orang lain yang menemaninya, dan

lainnya yang semisal itu. (Al Mughniy, 2/171)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah juga mengatakan:

يجوز لمن دخل الصلاة مع الامام أن يخرج منها بنية المفارقة ويتمها وحده ذا أطال الامام الصلاة
ويلحق بهذه الصورة حدوث مرض أو خوف ضياع مال أو تلفه أو فوات رفقة أو حصول غلبة نوم، ونحو ذلك

Dibolehkan bagi yang shalat bersama imam, dia keluar jamaah dengan niat memisahkan diri dan menyempurnakannya seorang diri, karena imam begitu panjang shalatnya. Begitu pula jika terjadi berbagai kondisi lainnya, seperti sakit, atau khawatir kehilangan harta, atau kehancurannya, atau ketinggalan teman, atau ngantuk berat, dan semisalnya. (Fiqhus Sunnah, 1/238)

Bahkan dalam madzhab Syafi’iy, dibolehkan mufaraqah jika imam meninggalkan sunnah seperti imam yang tidak tasyahud awal dan tidak berqunut (dalam shalat subuh). Mereka mufaraqah lalu menjalankan sunah itu sendiri. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 38/245)

Demikian. Wallahu A’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Shaum Qadha, Haruskah Seizin Suami?

💦💥💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Asslm, mb admin mau konsultasi dg ustadz ya. Apakah seorg istri ktk mau mengqodlo puasa ramadhan d hari lsin harus minta izin jg ke suami ? Krn mengqodlo kan wajib. Yg saya tahu ktk istri mau puasa sunnah hrs ijin suami terlebih dl. Jazakilla mb 😍

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam warahmatullah .., Bismillah wal Hamdulillah ..

Shaum qadha bagi seorang istri, apakah mesti izin suaminya? Dalam hal ini ada dua keadaan:

1⃣ Istri sedang berpuasa qadha, suami minta dibatalkan sebab dia sedang ada hajat/kebutuhan kepada istrinya

Maka, ini tidak boleh. Tidak boleh bagi seseorang merusak amal wajibnya tanpa uzur syar’i, baik shaum qadha atau nadzar. Sebab Allah ﷻ berfirman:

“Wahai orang-orang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu batalkan amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 33)

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah. (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir No.381, Alauddin Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 14401, Al Khathib, 10/22. Imam Al Haitsami mengatakan: para perawinya Ahmad dalah para perawi shahih. Majma’ Az Zawaid, 5/407. Syaikh Muhammad bin Darwisy mengatakan: diriwayatkan Ahmad dan sanadnya shahih. Lihat Asnal Mathalib, No. 1713)

2⃣ Kondisi kedua, istri baru berencana mengqadha puasa esok hari misalnya

Ini pun tidak wajib izin, sebab wajib izin itu adalah pada shaum sunnah. Karena yang wajib tidak bisa dikalahkan oleh yang sunnah. Sebagaimana, kewajiban (hutang) kepada Allah ﷻ -seperti mengqadha shaum Ramadhan- tidak bisa dikalahkan oleh kewajiban kepada manusia. Oleh karena itu dia boleh mengqadha walau tanpa izin suami.

Tapi, meminta izin tentu juga baik, apalagi jika mengqadha Ramadhan merupakan aktifitas yang sebenarnya lapang (Al Waajib Al Muwassa’).

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

قضاء رمضان لا يجب على الفور، بل يجب وجوبا موسعا في أي وقت، وكذلك الكفارة

Mengqadha shaum Ramadhan tidak wajib secara segera, bahkan ini kewajiban yang lapang waktunya di waktu kapan pun, begitu pula dengan membayar kaffarat. (Fiqhus Sunnah, 1/470)

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, bahwa dia boleh tidak mengqadhanya secara berturut-turut, Imam Ibnul Mundzir mengatakan itulah pendapat mayoritas ulama, juga Ali dan ‘Aisyah. Sedangkan zhahiriyah (tekstualist) mengatakan wajib berturut-turut. (Fathul Bari, 4/189)

Dengan demikian, istri bisa berdiskusi dengan suaminya dan sebaliknya, sehingga ada jalan yang sama-sama maslahat bagi keduanya.

Wallahu A’lam

🌹🌺🌸☘🌿🌻🌷🍃🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Mengangkat Kedua Tangan Saat Doa, Bid’ahkah?

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Ada seorang yang bertanya kepada kami, apakah mengangkat kedua tangan saat berdoa itu bid’ah? Sebab Beliau membaca sebuah buku yang menyatakan seperti itu.

Tentang mengangkat tangan dalam berdoa telah dijelaskan dalam berbagai riwayat. Di antaranya.

📌 Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاء،ِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ ،وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وملبسه حرام وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لذلك

Lalu Beliau (Rasulullah) menyebutkan ada seorang laki-laki dalam sebuah perjalanan yang jauh, kusut dan berdebu, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit: “Wahai Rabb, wahai Rabb,” sedangkan makanannya haram, minumannnya haram, pakaiannya haram dan dia dikenyangkan dengan yang haram, bagaimana bisa doanya dikabulkan?” (HR. Muslim No. 1015)

📌 Dari Salman Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إنَّ ربكم تبارك وتعالى حَيِيٌّ كريم يستحي من عبده إذا رفع يديه إليه أن يردهما صفراً

“Sesungguhnya Rabb kalian Tabaraka wa Ta’ala yang Maha Pemalu, merasa malu terhadap hambaNya jika dia mengangkat kedua tangannya kepadaNya, dia mengembalikan kedua tangannya dalam keadaan kosong.” (HR. At Tirmidzi No. 3556, katanya: hasan gharib. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1830, katanya: sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 1757)

Masih banyak riwayat lainnya, sebagaimana nanti yang akan kami sebutkan. Semua ini menunjukkan menengadahkan kedua tangan ketika berdoa adalah suatu hal yang disyariatkan, bahkan termasuk dari adab berdoa yang dengannya doa bisa dikabulkan, dan jelas-jelas bukan bid’ah.

Syaikh Ibnul ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

ومد اليدين إلى السماء من أسباب إجابة الدعاء،كما جاء في الحديث: إنَّ اللهَ حَيِيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحِييْ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفعَ يَديْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرَاً

“Membentangkan kedua tangan ke langit termasuk sebab dikabulkannya doa, sebagaimana hadits: Sesungguhnya Allah Yang Maha Malu dan Mulia, merasa malu terhadap hambaNya jika dia mengangkat kedua tangannya kepadaNya lalu dia mengembalikan keduanya dalam keadaan kosong.” (Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 138)

📕 Kapankah Berdoa Dengan Mengangkat Kedua Tangan?

Berikut ini adalah berbagai riwayat tentang berdoa dengan mengangkat kedua tangan.

1⃣ Doa Menjelang Perang

Dalam Shahih Muslim, bahwa Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu menceritakan keadaan menjelang perang Badar, katanya:

لَمَّا كَانَ يَوْمُ بَدْرٍ نَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمُشْرِكِينَ وَهُمْ أَلْفٌ وَأَصْحَابُهُ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَتِسْعَةَ عَشَرَ رَجُلًا فَاسْتَقْبَلَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقِبْلَةَ ثُمَّ مَدَّ يَدَيْهِ فَجَعَلَ يَهْتِفُ بِرَبِّهِ اللَّهُمَّ أَنْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَنِي……

“Di hari ketika perang Badr, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memandangi kaum musyrikin yang berjumlah 1000 pasukan, sedangkan sahabat-sahabatnya 319 orang. Lalu Nabiyullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghadap kiblat, kemudian dia menengadahkan kedua tangannya lalu dia berteriak memanggil Rabbnya: Ya Allah! Penuhilah untukku apa yang Kau janjikan kepadaku …… (HR. Muslim No. 1763)

Al Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

وَفِيهِ : اِسْتِحْبَاب اِسْتِقْبَال الْقِبْلَة فِي الدُّعَاء وَرَفْع الْيَدَيْنِ فِيهِ ، وَأَنَّهُ لَا بَأْس بِرَفْعِ الصَّوْت فِي الدُّعَاء

“Dalam hadits ini DISUNNAHKAN menghadap ke kiblat ketika berdoa dan mengangkat kedua tangan, dan tidak apa-apa meninggikan suara ketika doa.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/213. Mawqi’ Ruh Al Islam)

2⃣ Doa Ketika Meminta Hujan (Istisqa’)

Dalam Shahih Bukhari, Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu berkata:

أَتَى رَجُلٌ أَعْرَابِيٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَدْوِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتْ الْمَاشِيَةُ هَلَكَ الْعِيَالُ هَلَكَ النَّاسُ فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ يَدْعُو وَرَفَعَ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ مَعَهُ يَدْعُون

“Datang seorang laki-laki Arab Pedalaman, penduduk Badui, kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari Jumat. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, ternak kami telah binasa, begitu pula famili kami dan orang-orang.” Maka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallm mengangkat kedua tangannya, dia berdoa, dan manusia ikut mengangkat kedua tangan mereka bersamanya ikut berdoa.” (HR. Bukhari No. 983)

Dalam hadits ini bisa dimaknai bahwa mengangkat kedua tangan ketika doa istisqa adalah sunah dan dicontohkan oleh nabi, lalu diikuti oleh manusia saat itu dengan juga mengangkat tangan mereka, tetapi juga bisa dimaknai bahwa hal ini terjadi secara umum dan mutlak, seperti mendatangi orang shalih atau ulama untuk mendoakan manusia tentang hajat mereka, karena dalam kisah ini tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa kebolehan mengangkat kedua tangan itu khusus untuk istisqa’.

Sementara sebagian ulama menyatakan mengangkat tangan tinggi dalam berdoa hanya khusus pada istisqa’ . Sementara, Imam Bukhari menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwa mengangkat kedua tangan ketika doa adalah MUTLAK dalam doa apa saja dan kapan saja.

Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri Rahimahullah:

قَالُوا هَذَا الرَّفْعُ هَكَذَا وَإِنْ كَانَ فِي دُعَاءِ الِاسْتِسْقَاءِ ، لَكِنَّهُ لَيْسَ مُخْتَصًّا بِهِ ، وَلِذَلِكَ اِسْتَدَلَّ الْبُخَارِيُّ فِي كِتَابِ الدَّعَوَاتِ بِهَذَا الْحَدِيثِ عَلَى جَوَازِ رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي مُطْلَقِ الدُّعَاءِ

“Mereka mengatakan bahwa mengangkat tangan yang seperti ini jika terjadi pada doa istisqa, tetapi hadits ini tidaklah mengkhususkannya. Oleh karenanya, Imam Bukhari berdalil dengan hadits ini dalam kitab Ad Da’awat atas kebolehan mengangkat kedua tangan secara mutlak (umum) ketika berdoa.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/201-202. Cet. 2. Maktabah As Salafiyah, Madinah Al Munawarah)

Jika melihat berbagai riwayat yang ada, maka telah menjadi fakta bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengangkat kedua tangan dalam berbagai kesempatan doa bukan hanya istisqa’, ada pun sebagian ulama menyebtkan bahwa mengangkat tangan tinggi-tinggi hingga terlihat putih ketiaknya, hanya terjadi pada istisqa’, dalilnya adalah hadits dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu.

Berkata Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ

“Adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah sedikit pun mengangkat tangan dalam berdoa kecuali ketika istisqa’, dia mengangkat tangannya sampai terlihat putih ketiaknya.” (HR. Bukhari No. 984)

Apa yang diceritakan oleh Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu ini, tidaklah menggugurkan fakta bahwa nabi pernah mengangkat tangan ketika doa lainnya. Ada pun berdoa sampai terlihat ketiaknya, menurut penuturan Anas bin Malik hanya terjadi pada doa istisqa’.

Tetapi, benarkah mengangkat tangan tinggi-tinggi ketika berdoa hanya ketika doa istisqa? nampaknya tidak demikian. Telah ada riwayat lain dengan sanad maushul (bersambung), yang tertera dalam Shahih Bukhari, bahwa Abu Musa Al Asy’ari pernah melihat nabi berdoa mengangkat tangan sampai terlihat ketiaknya, padahal itu bukan doa istisqa, melainkan doa ketika terbunuhnya paman Abu Musa Al Asy’ari.

Berikut ini tercatat dalam Shahih Bukhari, Kitab Ad Da’awat, sebagai berikut:

بَاب رَفْعِ الْأَيْدِي فِي الدُّعَاءِ وَقَالَ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ وَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ رَفَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ وَقَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ وَقَالَ الْأُوَيْسِيُّ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ وَشَرِيكٍ سَمِعَا أَنَسًا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ

Bab Mengangkat Kedua Tangan Ketika Doa. Berkata Abu Musa Al Asy’ari: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa lalu mengangkat kedua tangannya dan aku melihat ketiaknya yang putih.”

Berkata Ibnu Umar: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengangkat kedua tangannya dan berkata: “Ya Allah, aku bebaskan kepadamu dari apa-apa yang dilakukan Khalid (bin Walid).”

Berkata Abu Abdillah, bercerita kepadaku Al Ausi, bercerita kepadaku Muhammad bin Ja’far dari Yahya bin Sa’id dan Syarik, bahwa mereka berdua mendengar Anas bin Malik, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mengangkat kedua tangannya sampai saya melihat ketiaknya yang putih.” (Selesai kutipan dari Shahih Bukhari)

Dari riwayat ini, kita melihat bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengangkat tangan dalam berbagai momen sesuai hajatnya dia berdoa. Sehingga riwayat ini telah memperluas dan melengkapi apa yang dikatakan oleh Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya- bahwa nabi mengangkat tangan tinggi hingga terlihat ketiaknya hanya terjadi pada doa istisqa. Kenyataannya hal itu juga terjadi pada kesempatan lain.

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Al Fath tentang riwayat Abu Musa Al Asy’ari di atas:

هَذَا طَرَف مِنْ حَدِيثه الطَّوِيل فِي قِصَّة قَتْل عَمّه أَبِي عَامِر الْأَشْعَرِيّ ، وَقَدْ تَقَدَّمَ مَوْصُولًا فِي الْمَغَازِي فِي غَزْوَة حُنَيْنٍ

“Ini adalah akhir dari hadits yang panjang yang mengisahkan tentang terbunuhnya pamannya yang bernama Abu ‘Amir Al Asy’ari, dan telah dijelaskan bersambungnya sanad kisah ini dalam Al Maghazi, pada bahasan Ghazwah Hunain (Perang Hunain).” (Fathul Bari, 11/141)

Penuturan Al Hafizh Ibnu Hajar menunjukkan bahwa berdoa sampai terlihat ketiaknya yang putih, tidak hanya dilakukan nabi ketika istisqa’. Tetapi juga kesempatan yang lain. Wallahu A’lam

3⃣ Mengangkat tangan dalam berbagai kesempatan doa

✅ Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

قدم الطفيل بن عمرو الدوسي على رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال: يا رسول الله! إن دوساً قدعصت وأبت، فادع الله عليها! فاستقبل رسول الله صلى الله عليه وسلم القبلة ورفع يديه- فظن الناس أنه يدعو عليهم- فقال: “اللهم! اهدِ دوساً ….

“Ath Thufail bin Amru Ad Dausi datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dia berkata: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya suku Daus telah membangkang dan menolak, maka doakanlah mereka!” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya –manusia menyangka bahwa Beliau mendoakan mereka- dia berdoa: “Ya Allah, berikan petunjuk kepada suku Daus ….” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Lihat Shahih Adabul Mufrad, 478/611. Cet. 1, 1421H. Dar Ash Shiddiq)

✅ Dari Ath Thufail bin Amru, tentang kisah seorang laki-laki yang berhijrah bersamanya. Dalam kisah itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa:

اللهم وليديه فاغفر ورفع يديه

“Ya Allah, ampunilah kedua anaknya,” dan dia mengangkat kedua tangannya. (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 6963, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim. Ibnu Hibban No. 3017. Abu Ya’la No. 2175. Lihat juga Fathul Bari, 11/142. Al Hafizh mengatakan: sanadnya shahih. Tetapi Syaikh Al Albani mendhaifkan dalam Dhaif Adabil Mufrad, 1/215. Namun, Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya No. 116, tanpa menyebut: dia mengangkat kedua tangannya. Begitu pula dalam riwayat Ahmad No. 14982, juga Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 15613)

✅ Dari ‘Ikrimah :

أنها رأت النبي صلى الله عليه وسلم يدعو رافعا يديه يقول: اللهم إنما أنا بشر…

“Bahwa ‘Aisyah melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa sambil mengangkat kedua tangannya: “Ya Allah sesungguhnya saya ini hanyalah manusia …” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahih Adabil Mufrad, 1/214. Fathul Bari, 11/142. Al Hafizh mengatakan: shahihul isnad- isnadnya shahih)

Imam An Nasa’i juga meriwayatkan dari Az Zuhri bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika setelah melontar jumrah dengan tujuh kerikil, dia mengangkat kedua tangannya untuk berdoa. (HR. An Nasa’i No. 3083. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 3083. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 2972)

Dan masih banyak lagi doa nabi dengan mengangkat kedua tangannya. Al Hafizh Ibnu Hajar telah mengumpulkannya dalam Fathul Bari, di antaranya:

– doa ketika gerhana,
– doa nabi untuk Utsman,
– doa nabi untuk Sa’ad bin ‘Ubadah,
– doa nabi ketika Fathul Makkah,
– doa nabi untuk umatnya,
– doa nabi ketika memboncengi Usamah, dan lainnya.

Semuanya dengan sanad shahih dan jayyid, dan menyebutkan bahwa nabi mengangkat kedua tangannya ketika melakukan doa-doa tersebut. (Fathul Bari, 11/142)

Semua data ini menjadi hujjah yang kuat sunahnya mengangkat kedua tangan saat berdoa, dikondisi khusus dan umum, bukan hanya pada saat setelah shalat sunah rawatib sebagaimana yang dilakukan sebagian orang.

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌸🌾🌻🌴🌺☘🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Umrah Berkali-kali dalam Setahun

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Dibolehkan Umrah berkali-kali dalam setahun, kalau ada duit dan sehat ya … Ini adalah pendapat mayoritas ulama ..

نافع: اعتمر عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أعواما في عهد ابن الزبير، عمرتين في كل عام
وقال القاسم: إن عائشة رضي الله عنها اعتمرت في سنة ثلاث مرات
فسئل: هل عاب ذلك عليها أحد؟ قال: سبحان الله
أم المؤمنين؟!! وإلى هذا: ذهب أكثر أهل العلم
وكره مالك تكرارها في العام أكثر من مرة

Nafi’ berkata: Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhuma umrah bertahun-tahun di masa Abdullah bin Az Zubeir, dan dia dua kali umrah pada tiap tahunnya.

Al Qasim berkata: ” ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha umrah dalam setahun tiga kali.” Lalu dia ditanya: “Apakah ada yang mencela dia melakukan itu?” Al Qasim menjawab: “Subhanallah!! Ini ummul mu’minin!”

Dan inilah pendapat mayoritas ulama. Ada pun Imam Malik memakruhkan umrah lebih dari sekali dalam setahun. 1]

Emang hukumnya gimana sih?

ذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ وَأَكْثَرُ الْحَنَفِيَّةِ إِلَى أَنَّ الْعُمْرَةَ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ فِي الْعُمُرِ مَرَّةً وَاحِدَةً وَذَهَبَ بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ إِلَى أَنَّهَا وَاجِبَةٌ فِي الْعُمُرِ مَرَّةً وَاحِدَةً عَلَى اصْطِلاَحِ الْحَنَفِيَّةِ فِي الْوَاجِبِ
وَالأَظهَرُ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ وَهُوَ الْمَذْهَبُ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ أَنَّ الْعُمْرَةَ فَرْضٌ فِي الْعُمُرِ مَرَّةً وَاحِدَةً ، وَنَصَّ أَحْمَدُ عَلَى أَنَّ الْعُمْرَةَ لاَ تَجِبُ عَلَى الْمَكِّيِّ ؛ لأِنَّ أَرْكَانَ الْعُمْرَةِ مُعْظَمُهَا الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَهُمْ يَفْعَلُونَهُ فَأَجْزَأَ عَنْهُمُ

Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa umrah adalah sunnah muakkadah dilakukan sekali dalam seumur hidup. Sebagian Hanafiyah lainnya berpendapat wajib sekali dalam seumur hidup, dengan definisi wajib a la Hanafiyah. 2]

Dan pendapat yang benar menurut Syafi’iyah dan ini juga pendapat Hanabilah (Hambaliyah) bahwa umrah adalah fardhu dalam seumur hidup sekali.

Perkataan Imam Ahmad adalan bahwa umrah tidak wajib bagi penduduk Mekkah, sebab rukun utama bagi Umrah adalah thawaf di Baitullah, dan mereka sudah melaksanakannya dan itu sudah cukup. 3]

🍃🌷☘🌺🌴🌻🌸🌾

✍ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃

Notes:

[1] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/749

[2] Dalam definisi Madzhab Hanafi, kata Wajib bukanlah fardhu, tetapi lebih kuat dibanding sunnah muakkadah, tidak sampai fardhu

[3] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 30/314

 

scroll to top