Bolehkah Muslim Ke Gereja dan Mendukung Ibadah Mereka

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Numpang Tanya, di dalam Al-Qur’an , adakah ayat yang menjelaskan “apakah seorang Muslim boleh gereja atau tempat beribadah lain Hanya utk mendukung (support) orang lain. Bukan utk berdoa”
Terima kasih sebelumnya

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah ..

Maaf, Pertanyaannya belum terlalu jelas, apa maksud “boleh gereja”? Jika yang dimaksud adalah masukkah masuk ke gereja, dan gereja itu masih aktif dipakai utk ibadah, maka ini diperselisihkan ulama apa hukumnya.

Sebagian mengharamkan secara mutlak seperti Hanafiyah, sementara Malikiyah membolehkan secara mutlak, sdgkan Syafi’iyah mengharamkan jika di gereja tersebut ada gambar dan patung, sedangkan Hambaliyah memakruhkan jika ada gambar dan patung.

Kenapa ini bisa beda pendapat? Krn memang tidak ada keterangan yg lugas atas larangannya. Sehingga pendapat yg paling kuat adalah boleh sekedar masuk, bukan untuk membenarkan ibadah mereka, mendukung, apalagi sampai ikut ritualnya. Bagus jika masuknya itu untuk mendakwahkan Islam ke mereka.

Sebagian ulama bahkan membolehkan kita numpang shalat di sana. Syaikh Sayyid Sabiq berkata:

وقد صلى أبو موسى الاشعري وعمر بن عبد العزيز في الكنيسة
ولم ير الشعبي وعطاء وابن سيرين بالصلاة فيها بأسا
قال البخاري: كان ابن عباس يصلي في بيعة إلا بيعة فيها تماثيل

Abu Musa Al Asy’ary dan Umar bin Abdil ‘Aziz pernah shalat di gereja. Sedangkan Asy Sya’biy, ‘Atha, dan Ibnu Sirin, tidak mempermasalahkan shalat di dalam gereja. Al Bukhari berkata: Ibnu Abbas dulu pernah shalat di Sinagog kecuali jika di dalamnya ada patung-patung. (Fiqhus Sunnah, 1/254)

Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan:

عَنْ بَكْرٍ ، قَالَ : كَتَبْت إلَى عُمَرَ مِنْ نَجْرَانَ : لَمْ يَجِدُوا مَكَانًا أَنْظَفَ ، وَلاَ أَجْوَدَ مِنْ بَيْعَةٍ ؟ فَكَتَبَ : انْضَحُوهَا بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَصَلُّوا فِيهَا

Dari Bakr, dia berkata: Aku menulis surat kepada Umar dari Najran: “Kami tidak mendapatkan tempat yang lebih bersih dan rapi dibanding Sinagog.” Maka Umar menulis: “Perciklah dengan air dan daun Sidr, lalu shalatlah kalian di dalamnya.” (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 4896)

Sedangkan Syafi’iyah dan Hanafiyah memakruhkan secara mutlak shalat di sana. (Fiqhus Sunnah, 1/254)

Lalu, .. jika maksud “mensupport/mendukung umat lain” adalah mendukung ibadah mereka maka ini sangat terlarang, masuk dalam kerjasama dalam dosa. Allah Ta’ala juga melarang kita untuk mensupport kepada orang-orang zalim, sedangkan kafir itu zalim.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَان

Janganlah saling membantu dalam dosa dan permusuhan. (Qs. Al Maidah: 2)

Ayat lain:

وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim. (Qs. Al Baqarah: 254)

Dalam ayat lain:

وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ

Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka … (Qs. Huud: 113)

Adakah kezaliman tertinggi dibanding kekafiran ?

Lalu, Imam Ibnu Hajar Al Haitami ditanya sebagai berikut:

سئل : عن كافر ضل عن طريق صنمه فسأل مسلما عن الطريق إليه، فهل له أن يدل الطريق،

Ditanya tentang seorang kafir yang tersesat jalan ke berhalanya, lalu bertanya kepada seorang muslim, maka bolehkah ia menunjukkan jalan tersebut?

فأجاب بقوله: ليس له أن يدله لذلك لأنا لا نقر عابدي الأصنام على عبادتها فإرشاده للطريق إليه إعانة له على معصية عظيمة فحرم ذلك

Beliau menjawab: Muslim tersebut tidak boleh menunjukkan jalan itu, karena kita tidak boleh membiarkan penyembah berhala untuk menyembahnya. Menunjukkan jalan kepadanya berarti membantunya pada kemaksiatan yang besar, sehingga hal tersebut hukumnya haram. (Fatawa Imam Ibnu Hajar Al Haitami, 1/248.)

Demikian. Wallahu A’lam

🌷☘🌺🌴🍃🌸🌾🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

Mendirikan Partai Islam Di Negeri Sekuler: Boleh Menurut Syariat!

🐾🐾🐾🐾🐾

Berikut ini fatwa Al Lajnah Ad Daimah (semacam lembaga fatwa ulama) di Kerajaan Arab Saudi:

السؤال التاسع من الفتوى رقم ( 5651 )
س 9: هل يجوز إقامة أحزاب إسلامية في دولة علمانية وتكون الأحزاب رسمية ضمن القانون، ولكن غايتها غير ذلك، وعملها الدعوي سري؟
ج 9: يشرع للمسلمين المبتلين بالإقامة في دولة كافرة أن يتجمعوا ويترابطوا ويتعاونوا فيما بينهم سواء كان ذلك باسم أحزاب إسلامية أو جمعيات إسلامية؛ لما في ذلك من التعاون على البر والتقوى.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … نائب الرئيس … الرئيس
عبد الله بن قعود … عبد الله بن غديان … عبد الرزاق عفيفي … عبد العزيز بن عبد الله بن باز

Pertanyaan ke 9, fatwa No. 5651

“Apakah boleh mendirikan partai-partai Islam di negara sekuler, dan menjadi partai-partai legal yang dijamin UU, tapi tujuannya bukan itu, dan aktifitasnya berda’wah secara diam-diam?

Jawaban:

“Disyariatkan bagi kaum muslimin yang sedang diuji di negera kafir untuk berhimpun, menjalin hubungan, dan saling tolong menolong di antara mereka. Sama saja bentuknya, apakah itu partai-partai Islam atau jamaah-jamaah Islam. Karena, hal tersebut termasuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa.”

Wabillahit Taufiq. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam

Al Lajnah Ad Daaimah Lil Buhuuts Al ‘Ilmiyah wal Iftaa

Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
Wakil Ketua: Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifiy
Anggota: Syaikh Abdullah bin Ghudyaan
Anggota: Syaikh Abdullah bin Qu’ud

📓📕📗📘📙📔📒📘📗📕

✍ Farid Nu’man Hasan

Nikah Sirri (نِكَاحُ السِّرِّ)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Maksud dari nikah sirri (nikah diam-diam) di sini bukan dalam pengertian umumnya orang Indonesia, yaitu pernikahan tanpa dicatat oleh petugas KUA, yang secara agama telah SAH (ada penganten, mahar, saksi, wali, ijab, dan qabul), hanya saja belum tercatat dalam catatan sipil.

Tapi, maksud nikah sirri dipembahasan ini adalah menurut definisi ahli fiqih Islam.

Jadi, definisinya:

فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ : الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُوَالْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّ نِكَاحَ السِّرِّ هُوَ مَا لَمْ يَحْضُرْهُ الشُّهُودُ ، أَمَّا مَا حَضَرَهُ شَاهِدَانِ فَهُوَ نِكَاحُ عَلاَنِيَةٍ لاَ نِكَاحَ السِّرِّ ، إِذِ السِّرُّ إِذَا جَاوَزَ اثْنَيْنِ خَرَجَ مِنْ أَنْ يَكُونَ سِرًّا ، وَاسْتَدَلُّوا عَلَى صِحَّتِهِ بِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بَوْلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ

Mayoritas fuqaha berpendapat seperti Hanafiyah, Syafi’iyah, Hambaliyah, bahwa nikah sirri itu adalah jika pernikahan tidak dihadiri saksi. Ada pun pernikahan yang dihadiri dua orang saksi, maka itu nikah ‘alaniyah (terang-terangan) dan bukan sirri (diam-diam/rahasia). Mengingat sirri itu jika melewati dua orang maka sudah keluar lingkup sirri. Mereka berdalil SAHnya pernikahan dengan dua orang saksi, hadits yang berbunyi: “Tidak ada nikah tanpa wali dan tanpa dua orang saksi yang adil.” (Al Mausu’ah, 41/353)

Inilah makna nikah sirri dalam pandangan fuqaha umumnya yaitu pernikahan tanpa dihadiri saksi. Statusnya adalah BATAL alias TIDAK SAH. Berikut ini keterangannya:

يَرَى جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ بِنَاءً عَلَى حَقِيقَةِ نِكَاحِ السِّرِّ عِنْدَهُمْ أَنَّهُ نِكَاحٌ بَاطِلٌ لِعَدَمِ الإِْشْهَادِ عَلَيْهِ لِخَبَرِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا : لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ

Mayoritas fuqaha Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah berpendapat –dengan gambaran definisi nikah sirri yang mereka sampaikan- bahwa pernikahan tersebut BATAL karena ketiadaan saksi, berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha: “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (Ibid)

Ada pun makna “nikah sirri” made in indonesia adalah pernikahan tanpa dicatat oleh negara, walau secara agama sudah sah, bukan itu nikah sirri yang dimaksud para fuqaha Islam.

Wallahu ‘alam

🌷☘🌺🌴🍃🌸🌾🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Menikah

💢💢💢💢💢💢

Disyariatkannya pernikahan adalah berdasarkan Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’. Disebutkan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:

وأجمع المسلمون على أن النكاح مشروع ، ونص بعض الفقهاء على أن النكاح شرع من عهد آدم عليه السلام ، واستمرت مشروعيته ، بل هو مستمر في الجنة

Kaum muslimin telah ijma’ atas disyariatkannya pernikahan. Sebagian fuqaha menyebutkan bahwa nikah sudah disyariatkan sejak masa Adam ‘Alaihissalam dan syariatnya terus berlangsung, bahkan terus ada sampai di surga. (Al Mausu’ah, 41/209)

Hukum pernikahan pada dasarnya adalah sunah, sebagamana menurut Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iah, dan yang terkenal dari Hambaliyah, kecuali menurut Zhahiriyah yang mengatakan wajib. Sebab, menikah merupakan sunah para Nabi, sebagaimana ayat:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu). (QS. Ar Ra’du: 38)

Inilah madzhab mayoritas, ada pun Zhahiriyah, mengatakan hukum dasarnya adalah wajib bagi yang sudah mampu jima’ (hub badan).

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah berkata:

وفرض على كل قادر على الوطء إن وجد من أين يتزوج أو يتسرى أن يفعل أحدهما ولا بد، فإن عجز عن ذلك فليكثر من الصوم

“Wajib bagi lelaki yang mampu hubungan badan, jika dia memiliki harta untuk menikah, atau membeli budak wanita, untuk melakukan salah satunya (menikah atau memiliki budak wanita), dan itu harus. Jika dia tidak mampu, maka hendaknya dia memperbanyak puasa. (Al Muhalla, 9/3).

Dalam perkembangan fiqih, hukum fiqih terhadap pernikahan menurut para ulama tidak rigit. Tetapi, tergantung kondisi orangnya. Bisa wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram.

Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah mengatakan:

وقد قسم الفقهاء النكاح إلى الأحكام الخمسة أعني الوجوب: والندب والتحريم والكراهة والإباحة

Para ahli fiqih membagi hukum nikah menjadi lima macam: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. (Ihkamul Ahkam, Hal. 389)

A. Wajib

Yaitu jika nafsu mendesak, mampu menikah dan khawatir jatuh pada perzinahan.

Imam Asy Syaukani Rahimahullah berkata:

وأما وجوبه على من خشي الوقوع في المعصية فلأن اجنتاب الحرام واجب وإذا لم يتم الاجنتاب إلا بالنكاح كان واجبا وعلى ذلك تحمل الأحاديث المقتضية لوجوب النكاح

Ada pun wajibnya nikah bagi orang yang khawatir jatuh dalam maksiat, karena menjauhi perkara haram adalah wajib. Jika menjauhi itu tidak sempurna kecuali dengan nikah, maka nikah menjadi wajib. Seperti itulah makna hadits-hadits yang membicarakan ini, menunjukkan konsekuensi wajibnya nikah. (Imam Asy Syaukani, Ad Darariy Al Mudhiyah, 2/2012)

B. Sunnah

Yaitu jika nafsu tidak mendesak, mampu menikah dan tidak khawatir jatuh pada perzinahan. Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

وَفِي هَذَا الْحَدِيث : الْأَمْر بِالنِّكَاحِ لِمَنْ اِسْتَطَاعَهُ وَتَاقَتْ إِلَيْهِ نَفْسه ، وَهَذَا مُجْمَع عَلَيْهِ ، لَكِنَّهُ عِنْدنَا وَعِنْد الْعُلَمَاء كَافَّة أَمْر نَدْب لَا إِيجَاب ، فَلَا يَلْزَم التَّزَوُّج وَلَا التَّسَرِّي ، سَوَاء خَافَ الْعَنَت أَمْ لَا ، هَذَا مَذْهَب الْعُلَمَاء كَافَّة ، وَلَا يُعْلَم أَحَد أَوْجَبَهُ إِلَّا دَاوُد وَمَنْ وَافَقَهُ مِنْ أَهْل الظَّاهِر ، وَرِوَايَة عَنْ أَحْمَد فَإِنَّهُمْ قَالُوا : يَلْزَمهُ إِذَا خَافَ الْعَنَت أَنْ يَتَزَوَّج أَوْ يَتَسَرَّى ، قَالُوا : وَإِنَّمَا يَلْزَمهُ فِي الْعُمْر مَرَّة وَاحِدَة ، وَلَمْ يَشْرِط بَعْضهمْ خَوْف الْعَنَت ، قَالَ أَهْل الظَّاهِر : إِنَّمَا يَلْزَمهُ التَّزْوِيج فَقَطْ ، وَلَا يَلْزَمهُ الْوَطْء

Hadits ini menunjukkan perintah menikah bagi yang mampu dan nafsunya sudah menggebu-gebu. Ini telah disepakati hukumnya. Tetapi, bagi kami dan umumnya para ulama perintah ini menunjukkan sunah, bukan kewajiban. Maka, tidak mesti baginya menikah dan membeli budak, baik dalam keadaan takut maksiat atau tidak. Inilah pendapat ulama keseluruhan, tidak diketah

ui ada yang mengatakan wajib, kecuali Daud dan orang yang sepakat dengannya dari kelompok zhahiriyah, dan salah satu riwayat dari Ahmad. Mereka mengatakan, wajib baginya jika dia khawatir bermaksiat, baik dia menikah atau membeli budak wanita. Mereka mengatakan: kewajiban ini hanya sekali seumur hidup, sebagian mereka tidak mensyaratkan adanya kekhawatiran terhadap maksiat. Golongan zhahiriyah mengatakan wajib itu hanya nikah saja, bukan wajib hubungan badannnya. ( Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 9/174)

C. Mubah

Yaitu jika tidak ada alasan mendesak yang mewajibkannya menikah atau tidak alasan yang membuatnya haram menikah.

D. Makruh

Yaitu jika tidak mendesak, tidak mampu memberikan nafkah, namun istri tidak dirugikan.

Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah mengatakan:

وقد قالوا: من لم يقدر عليه فالنكاح مكروه في حقه وصيغة الأمر ظاهرة في الوجوب

Mereka mengatakan: Barang siapa yang tidak mampu menikah, maka nikah baginya makruh. Perintah dalam hadits ini, zhahirnya menunjukkan wajib (bagi yang mampu). ( Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdah Al Ahkam, Hal. 389)

E. Haram

Yaitu jika tidak mendesak, tidak mampu memberikan nafkah, dan istri pun dirugikan.

Allah ﷻ berfirman:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

Dan janganlah kamu melemparkan dirimu sendiri ke jurang kebinasaan. (QS. Al Baqarah: 195)

Wallahu A’lam

☘🍃🌾🌴🌻🌺🌿🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top