💢💢💢💢💢💢
Disyariatkannya pernikahan adalah berdasarkan Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’. Disebutkan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:
وأجمع المسلمون على أن النكاح مشروع ، ونص بعض الفقهاء على أن النكاح شرع من عهد آدم عليه السلام ، واستمرت مشروعيته ، بل هو مستمر في الجنة
Kaum muslimin telah ijma’ atas disyariatkannya pernikahan. Sebagian fuqaha menyebutkan bahwa nikah sudah disyariatkan sejak masa Adam ‘Alaihissalam dan syariatnya terus berlangsung, bahkan terus ada sampai di surga. (Al Mausu’ah, 41/209)
Hukum pernikahan pada dasarnya adalah sunah, sebagamana menurut Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iah, dan yang terkenal dari Hambaliyah, kecuali menurut Zhahiriyah yang mengatakan wajib. Sebab, menikah merupakan sunah para Nabi, sebagaimana ayat:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu). (QS. Ar Ra’du: 38)
Inilah madzhab mayoritas, ada pun Zhahiriyah, mengatakan hukum dasarnya adalah wajib bagi yang sudah mampu jima’ (hub badan).
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah berkata:
وفرض على كل قادر على الوطء إن وجد من أين يتزوج أو يتسرى أن يفعل أحدهما ولا بد، فإن عجز عن ذلك فليكثر من الصوم
“Wajib bagi lelaki yang mampu hubungan badan, jika dia memiliki harta untuk menikah, atau membeli budak wanita, untuk melakukan salah satunya (menikah atau memiliki budak wanita), dan itu harus. Jika dia tidak mampu, maka hendaknya dia memperbanyak puasa. (Al Muhalla, 9/3).
Dalam perkembangan fiqih, hukum fiqih terhadap pernikahan menurut para ulama tidak rigit. Tetapi, tergantung kondisi orangnya. Bisa wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram.
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah mengatakan:
وقد قسم الفقهاء النكاح إلى الأحكام الخمسة أعني الوجوب: والندب والتحريم والكراهة والإباحة
Para ahli fiqih membagi hukum nikah menjadi lima macam: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. (Ihkamul Ahkam, Hal. 389)
Daftar Isi
A. Wajib
Yaitu jika nafsu mendesak, mampu menikah dan khawatir jatuh pada perzinahan.
Imam Asy Syaukani Rahimahullah berkata:
وأما وجوبه على من خشي الوقوع في المعصية فلأن اجنتاب الحرام واجب وإذا لم يتم الاجنتاب إلا بالنكاح كان واجبا وعلى ذلك تحمل الأحاديث المقتضية لوجوب النكاح
Ada pun wajibnya nikah bagi orang yang khawatir jatuh dalam maksiat, karena menjauhi perkara haram adalah wajib. Jika menjauhi itu tidak sempurna kecuali dengan nikah, maka nikah menjadi wajib. Seperti itulah makna hadits-hadits yang membicarakan ini, menunjukkan konsekuensi wajibnya nikah. (Imam Asy Syaukani, Ad Darariy Al Mudhiyah, 2/2012)
B. Sunnah
Yaitu jika nafsu tidak mendesak, mampu menikah dan tidak khawatir jatuh pada perzinahan. Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:
وَفِي هَذَا الْحَدِيث : الْأَمْر بِالنِّكَاحِ لِمَنْ اِسْتَطَاعَهُ وَتَاقَتْ إِلَيْهِ نَفْسه ، وَهَذَا مُجْمَع عَلَيْهِ ، لَكِنَّهُ عِنْدنَا وَعِنْد الْعُلَمَاء كَافَّة أَمْر نَدْب لَا إِيجَاب ، فَلَا يَلْزَم التَّزَوُّج وَلَا التَّسَرِّي ، سَوَاء خَافَ الْعَنَت أَمْ لَا ، هَذَا مَذْهَب الْعُلَمَاء كَافَّة ، وَلَا يُعْلَم أَحَد أَوْجَبَهُ إِلَّا دَاوُد وَمَنْ وَافَقَهُ مِنْ أَهْل الظَّاهِر ، وَرِوَايَة عَنْ أَحْمَد فَإِنَّهُمْ قَالُوا : يَلْزَمهُ إِذَا خَافَ الْعَنَت أَنْ يَتَزَوَّج أَوْ يَتَسَرَّى ، قَالُوا : وَإِنَّمَا يَلْزَمهُ فِي الْعُمْر مَرَّة وَاحِدَة ، وَلَمْ يَشْرِط بَعْضهمْ خَوْف الْعَنَت ، قَالَ أَهْل الظَّاهِر : إِنَّمَا يَلْزَمهُ التَّزْوِيج فَقَطْ ، وَلَا يَلْزَمهُ الْوَطْء
Hadits ini menunjukkan perintah menikah bagi yang mampu dan nafsunya sudah menggebu-gebu. Ini telah disepakati hukumnya. Tetapi, bagi kami dan umumnya para ulama perintah ini menunjukkan sunah, bukan kewajiban. Maka, tidak mesti baginya menikah dan membeli budak, baik dalam keadaan takut maksiat atau tidak. Inilah pendapat ulama keseluruhan, tidak diketah
ui ada yang mengatakan wajib, kecuali Daud dan orang yang sepakat dengannya dari kelompok zhahiriyah, dan salah satu riwayat dari Ahmad. Mereka mengatakan, wajib baginya jika dia khawatir bermaksiat, baik dia menikah atau membeli budak wanita. Mereka mengatakan: kewajiban ini hanya sekali seumur hidup, sebagian mereka tidak mensyaratkan adanya kekhawatiran terhadap maksiat. Golongan zhahiriyah mengatakan wajib itu hanya nikah saja, bukan wajib hubungan badannnya. ( Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 9/174)
C. Mubah
Yaitu jika tidak ada alasan mendesak yang mewajibkannya menikah atau tidak alasan yang membuatnya haram menikah.
D. Makruh
Yaitu jika tidak mendesak, tidak mampu memberikan nafkah, namun istri tidak dirugikan.
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah mengatakan:
وقد قالوا: من لم يقدر عليه فالنكاح مكروه في حقه وصيغة الأمر ظاهرة في الوجوب
Mereka mengatakan: Barang siapa yang tidak mampu menikah, maka nikah baginya makruh. Perintah dalam hadits ini, zhahirnya menunjukkan wajib (bagi yang mampu). ( Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdah Al Ahkam, Hal. 389)
E. Haram
Yaitu jika tidak mendesak, tidak mampu memberikan nafkah, dan istri pun dirugikan.
Allah ﷻ berfirman:
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
Dan janganlah kamu melemparkan dirimu sendiri ke jurang kebinasaan. (QS. Al Baqarah: 195)
Wallahu A’lam
☘🍃🌾🌴🌻🌺🌿🌸
✍ Farid Nu’man Hasan