Syarah Bulughul Maram Kitab Ath Thaharah (bersuci) Bab Al Miyah (Tentang Air)

💢💢💢💢💢💢💢💢

Muqaddimah

Bulughul Maram min Adillatil Ahkam (Tercapainya keinginan melalui dalil-dalil hukum), itulah judul kitabnya. Disusun oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah, seorang ulama madzhab Syafi’i, yang hidup abad ke 8 Hijriyah.

Kitab ini sangat terkenal di dunia Islam, dipakai hampir di semua pesantren di Indonesia. Telah banyak ulama yang memberikan syarah (penjelasan), seperti Imam Ash Shan’ani dengan judul: Subulus Salam, KH. Muhammad Muhajirin Amsar dengan judul Misbahuzh Zhalam, dan lainnya.

Kitab ini dimulai dengan tema Thaharah (Kitab ath Thaharah), lalu tema-tema standar dalam fiqih seperti shalat, puasa, dan lainnya. Namun, di dalam kiyab ini juga ada tema akhlak dan adab, yaitu dalam Kitab al Jaami’, tentang silaturrahim, zuhud, wara’, dzikir, dan doa.

💦💦💦💦💦💦💦

1⃣ Kitab Ath Thaharah (bersuci) – Bab Al Miyah (Bab Tentang Air)

Hadits 1:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِي اَلْبَحْرِ: – هُوَ اَلطُّهُورُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ – أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ

Dari Abi Hurairah Radhiallahu ‘Anhu dia berkata, berkata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang air laut:

“Dia (Air laut) suci airnya, halal bangkainya.”

Dikeluarkan oleh Al Arba’ah, Ibnu Abi Syaibah, dan lafaz ini adalah miliknya, dishahihkan oleh Ibnu khuzaimah dan At Tirmidzi.

📌 Takhrij Hadits:

– Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 69
– Imam Abu Daud dalam Sunannya No. 83
– Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 386
– Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 7233, 8735, 15012, 23096
– Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 131
– Imam Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 321, 8657
– Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 1243, 1244, 5258
– Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 111, 112
– Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shaghir No. 187, 3065
– Imam An Nasai dalam As Sunan Al Kubra No. 58, 4862
– Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 491, 192, 498, 499, 500
– Imam Ath Thabarani dalam Al Mujam Al Kabir No. 1759
– Imam Ad Daruquthni dalam Sunannya, 1/34, 35, 36, 37
– Imam Ad Darimi dalam Sunannya No. 729, 2011
– Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 281
Dll

📌 Status hadits:

– Hadits ini SHAHIH, sebagaimana dikatakan oleh Imam al Bukhari. (Imam Ibnul Mulaqin, Al Khulashah, 1/7), Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Ibnu Hibban, memasukkanya dalam kitab Shahih mereka masing-masing.
Imam Ibnul Mulqin mengatakan: Shahih. (Al Badrul Munir, 1/348)
Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: Shahih. (Taliq Musnad Ahmad No. 7233)

📌 Latar Belakang Hadits (Asbabul wurud):

Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bercerita:

سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ مِنْ مَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam: Wahai Rasulullah, kami sedang berlayar di lautan, kami membawa sedikit air. Jika kami pakai air itu buat wudhu, maka kami akan kehausan, apakah boleh kami wudhu pakai air laut? lalu Beliau bersabda: Dia suci airnya, halal bangkainya. (kisah ini juga disebutkan dalam sumber takhrij di atas)

📌 Kandungan Hadits secara global:

1. Imam Ibnu Hajar memulai kitabnya ini, dengan Kitab Ath Thaharah (Bersuci).

Masalah thaharah ini sangat penting untuk sah tidaknya ibadah, oleh karenanya selalu di bahas pada bab pertama di semua kitab fiqih.

Thaharah ada dua macam:

– Ath Thaharah Al Qalb (bersuci hati), yaitu mensucikan hati dari semua bentuk syirik, penyakit hati seperti; hasad, suuzn zhan, dan semisalnya.

– Ath Thaharah Al Jism (bersuci badan), ini juga dibagi menjadi dua:

— Ath Thaharah minal Ahdaats, bersuci dari berbagai hadats, hadats besar dengan mandi besar (mandi janabah/mandi wajib) , sedangkan hadats kecil dengan wudhu.

— Ath Thaharah minal anjas wal aqdzaar, bersuci dari najis dan kotoran seperti air kencing, tinja, liur anjing, dan semisalnya. Dengan cara menghilangkannya secara syar’i. Jika kena air kencing atau tinja, maka cukup dibersihkan dan dicuci dengan air suci hingga bersih tak berbau dan tak berbekas. Air liur anjing dengan dicuci memakai air tujuh kali, salah satunya dengan tanah.

2. Hadits ini menunjukkan bahwa air laut adalah suci dan mensucikan, istilah lainnya: air mutlak.

Air ada empat macam:

– Thahur, yakni air suci dan mensucikan, seperti air tanah, air sungai, air hujan, air embun, air laut.

– Thahir, yakni air suci tapi tidak bisa mensucikan, seperti air kopi, sirup, kuah sayur, dan semisalnya.

– Air najis, yakni air yang secara zat adalah najis seperti air kencing, air madzi, air wadi, dan semisalnya.

– Air mutanajis, yakni air suci yang bercampur dengan najis, dia najis jika telah berubah bau, rasa, dan warna.

Tentang sucinya air laut juga diisyaratkan oleh ayat:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu (QS. Al Baqarah: 29)

Imam At Tirmidzi Rahimahullah menjelaskan tentang hadits ini:

وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَابْنُ عَبَّاسٍ لَمْ يَرَوْا بَأْسًا بِمَاءِ الْبَحْرِ وَقَدْ كَرِهَ بَعْضُ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوُضُوءَ بِمَاءِ الْبَحْرِ مِنْهُمْ ابْنُ عُمَرَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو هُوَ نَارٌ

Ini (yang menyatakan sucinya air laut, pen) adalah mayoritas ahli fiqih dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, di antaranya: Abu Bakar, Umar, dan Ibnu Abbas, menurut mereka tidak apa-apa dengan air laut. Sebagian sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada yang memakruhkan, di antaranya: Ibnu Umar dan Abdullah bin Amru. Dan, Abdullah bin Amru berkata: Itu adalah api. (Sunan At Tirmidzi No. 69)

3. Hadits ini juga menunjukkan bahwa bangkai laut yakni ikan adalah halal.

Hal ini juga ditegaskan dalam ayat:

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu.” (QS. Al Maidah (5):96)

Juga oleh hadits lain:
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

أحلت لنا ميتتان ودمان: فأما الميتتان فالجراد والحوت، وأما الدمان فالطحال والكبد

“Dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah; ada pun dua bangkai yakni belalang dan ikan, dan dua darah adalah hati dan limpa.” (HR. Ibnu majah No. 3314, Ahmad No. 5723. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan; hasan, sebenarnya sanad hadits ini dhaif karena Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, seorang rawi yang dhaif. Namun, hadits ini banyak jalur lain yang menguatkannya)

Bagaimana dengan ikan yang buas seperti hiu? Apakah haram?

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhu, dia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْر

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang memakan semua binatang buas yang memiliki taring, dan burung yang memiliki cakar. (HR. Muslim No. 1934)

Imam Ibnul Mundzir Rahimahullah mengatakan:

وأجمع عوام أهل العلم أن كل ذي ناب من السباع حرام.

“Umumnya, para ulama telah ijma’(sepakat), bahwa semua yang memiliki bertaring dari binatang buas adalah haram.” (Kitabul Ijma’ No. 740)

Hadits dari Ibnu Abbas di atas adalah umum untuk semua hewan bertaring dan berkuku tajam dengan keduanya mereka mencabik mangsanya- adalah haram di makan, termasuk – misal- Hiu.

Tetapi, dengan adanya ayat: Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu. Juga oleh hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu Anhuma, katanya: Dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah; ada pun dua bangkai yakni belalang dan ikan, dan dua darah adalah hati dan limpa.

Maka, untuk hewan laut adalah pengecualian. Hal ini sesuai kaidah: hamlul mutlaq ila

l muqayyad, memahami dalil yang umum menurut dalil yang lebih khusus. Jadi, secara umum semua hewan bertaring adalah haram, kecuali hewan bertaring yang dilaut termasuk Hiu. Bukankah ikan tongkol, ikan kembung, dan tuna pun bergigi taring? Sehingga untuk Hiu, terjadi perbedaan pendapat ulama, dan umumnya adalah membolehkannya.

4. Hadits ini juga menunjukkan kebolehan memberikan jawaban melebihi keperluan si penanya. Sahabat hanya bertanya tentang air laut, tetapi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan tentang air dan bangkai laut sekaligus. Hal ini, dalam rangka penambah pemahaman dan kejelasan dari permasalahan.

Imam Ash Shan’ani mengatakan:

مِنْ مَحَاسِنِ الْفَتْوَى، أَنْ يُجَاءَ فِي الْجَوَابِ بِأَكْثَرَ مِمَّا سُئِلَ عَنْهُ تَتْمِيمًا لِلْفَائِدَةِ

Di antara bagusnya sebuah fatwa adalah memberikan jawaban melebihi apa yang ditanyakan untuk menyempurnakan faidahnya.

(Subulus Salam, 1/21)

Wallahu Alam

🌺🌴🌵🌷🌿🌸🍃🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

KETIKA TAHALLUL BOLEHKAH MENCUKUR SENDIRI WALAU INI UMROH PERTAMA?

💢💢💢💢💢💢💢

السؤال
هل يجوز أن يقص الرجل شعره بنفسه للتحلل من العمرة وأيضا بالنسبة للمرأة ؟

Pertanyaan: Bolehkah seorg laki-laki memotong rambutnya sendiri saat tahallul umroh, begitu juga bagi kaum waniya?


نص الجواب

الحمد لله
يجوز للحاج والمعتمر أن يقص شعره بنفسه للتحلل من حجه أو عمرته ، سواء كان رجلا أو امرأة ، كما يجوز له أن يقص شعر غيره ممن يريد التحلل

Jawaban:

Dibolehkan bagi orang yang haji dan umroh memotong rambutnya sendiri untuk tahallul dari hajinya atau umrohnya. Sama saja, baik laki-laki atau perempuan. Sebagaimana dibolehkan pula dia memendekkan rambut orang lain yg hendak tahallul.

قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله : ” ويحلق هو بيده ، أو يكلف من يحلقه ، خلافاً لما قاله بعض العلماء : إنه إذا حلق نفسه بنفسه فعل محظوراً، فنقول : لم يفعل محظوراً ، بل حلق للنسك ” انتهى من “الشرح الممتع” (7/328)

Syaikh Utsaimin Rahimahullah mengatakan: “Dia (boleh) memotongnya dengan tangannya sendiri, atau dia menugasi orang lain yg memotongnya. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama: “Jika seorang mencukur dirinya sendiri maka dia melakukan perbuatan larangan (dalam Umroh).” Kami katakan: “Itu bukan perbuatan terlarang, tapi itu bagian dari nusuk (ibadah).” Selesai. (Syarhul Mumti’, 7/328)

وسئل رحمه الله : المرأة إذا قصرت شعرها بنفسها هل يلزمها شيء؟

Beliau Rahimahullah juga ditanya: Jika seorang wanita mencukur rambutnya sendiri apakah ada konsekuensi tertentu bagi dia?

فأجاب : “لا ، إذا قصرت المرأة شعرها بنفسها ، أو حلق الرجل رأسه بنفسه ، أو حلقه له مُحْرِم ، أو حلقه له مُحِلٌّ ، كل هذا جائز ” انتهى من “لقاء الباب المفتوح” (224/42)
والله أعلم 

Beliau menjawab: “Tidak ada, jika seorang wanita mencukur rambutnya sendiri. Atau seorang laki-laki mencukur rambutnya sendiri. Atau seorang yang Ihrom mencukurnya, atau orang yang tahallul yang mencukurnya, maka semua ini BOLEH.” Selesai.

(Liqoo Bab Al Maftuuh, 42/224)

📚 Sumber: Syaikh Muhammad Shalih al Munajjid, Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 104197

🌻🌴🍀🌷🌸🍃🌿

✍ Farid Nu’man Hasan

Beberapa Permasalahan Umroh Bagi Wanita yang Haid

💢💢💢💢💢💢💢

📌 Mau Umroh tapi haid, gimana nih?

– Tetap ikut miqot bersama jamaah lain. Yg didahului oleh mandi dan berihrom.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

الحائض إذا مرت على الميقات وهي تريد الحج أو العمرة وجب عليها أن تحرم من الميقات ولا يجوز لها تأخير الإحرام حتى تصل إلى مكة وتطهر

Wanita haid jika melewati miqot dan dia hendak haji atau umroh, maka WAJIB baginya berihrom di miqot, dan TIDAK BOLEH baginya menunda ihromnya sampai ke Mekkah dan suci.

وقد دلت السنة وإجماع العلماء على أن الحيض لا ينافي الإحرام ، فتحرم المرأة وهي حائض ثم لا تؤدي العمرة حتى تطهر وتغتسل

Hal ini ditunjukkan oleh Sunnah dan Ijma’ (konsensus) ulama, bahwa HAID tidaklah menafikan ihrom, maka wanita haid hendaknya berihrom lalu dia tidak umroh dulu sampai suci dan mandi.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 49992)

Dalilnya:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فِي حَدِيثِ أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ حِينَ نُفِسَتْ بِذِي الْحُلَيْفَةِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَأَمَرَهَا أَنْ تَغْتَسِلَ وَتُهِلَّ

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu’Anhuma, yakni terkait dengan hadits Asma binti Umais saat ia melahirkan di Dzulhulaifah (Bir Ali) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu, agar ia (Asma) mandi (untuk ihrom) dan berniat Ihrom.

(HR. Muslim no. 1210)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

وَفِيهِ : صِحَّة إِحْرَام النُّفَسَاء وَالْحَائِض , وَاسْتِحْبَاب اِغْتِسَالهمَا لِلإِحْرَامِ اهـ

Dalam hadits ini menunjukkan SAH-nya ihrom bagi wanita nifas dan haid, dan disunnahkan bagi mereka MANDI IHROM.

(Syarh Shahih Muslim, 8/133)

Kemudian, kalau sudah suci barulah dia mandi, lalu lanjutkan umrohnya tanpa miqot lagi .. , jadi tinggal thawaf, sa’i, dan tahallul.

📌 Bagaimana Kalau Haidnya Muncul menjelang Thawaf atau Pas Thawaf?

Dia tahan thawafnya, sampai nanti suci lalu mandi dr haidnya itu, barulah ia thawaf setelah mandi dari haidnya.

Dalilnya, Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata:

فَقَدِمْتُ مَكَّةَ وَأَنَا حَائِضٌ لَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ وَلَا بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فَشَكَوْتُ ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ انْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي وَأَهِلِّي بِالْحَجِّ وَدَعِي الْعُمْرَةَ

Setibanya aku di Makkah, kebetulan aku haid, sehingga aku tidak thawaf di Baitullah dan tidak sa’i antara Shafa dan Marwa. Hal itu kulaporkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau pun bersabda: “Lepas sanggulmu dan bersisirlah. Kemudian teruskan ihrammu untuk haji dan tinggalkan umrah.” (HR. Muslim no. 1211)

Dalam hadits lain:

الْحَائِضُ وَالنُّفَسَاءُ إِذَا أَتَتَا عَلَى الْوَقْتِ تَغْتَسِلَانِ وَتُحْرِمَانِ وَتَقْضِيَانِ الْمَنَاسِكَ كُلَّهَا غَيْرَ الطَّوَافِ بِالْبَيْتِ

“Wanita yang mengalami haidh atau nifas apabila mendatangi miqat maka mereka mandi dan melakukan ihram serta melaksanakan seluruh ibadah haji kecuali thawaf di Ka’bah.

(HR. Abu Daud no.1744, shahih)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

فِي هَذَا دَلِيل عَلَى أَنَّ الْحَائِض وَالنُّفَسَاء وَالْمُحْدِث وَالْجُنُب يَصِحّ مِنْهُمْ جَمِيع أَفْعَال الْحَجّ وَأَقْوَاله وَهَيْئَاته إِلا الطَّوَاف وَرَكْعَتَيْهِ , فَيَصِحّ الْوُقُوف بِعَرَفَاتٍ وَغَيْره كَمَا ذَكَرْنَا , وَكَذَلِكَ الأَغْسَال الْمَشْرُوعَة فِي الْحَجّ تُشْرَع لِلْحَائِضِ وَغَيْرهَا مِمَّنْ ذَكَرْنَا . وَفِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ الطَّوَاف لا يَصِحّ مِنْ الْحَائِض , وَهَذَا مُجْمَع عَلَيْهِ

Dalam hadits ini terdapat dalil, bahwa orang yang HAID, NIFAS, HADATS, JUNUB, adalah SAH melakukan semua aktifitas haji baik perkataan dan perbuatan, KECUALI thawaf dan shalat dua rakaat (di maqam Ibrahim). SAH pula wuquf di arafah sebagaimana yang telah kami sebutkan. Demikian juga disyariatkan mandi bagi yang haji, dan mandi bagi yg haid dan lainnya seperti yg kami sebutkan.

Dan ini menjadi dalil bahwa thawaf tidak sah bagi yang haid. Ini permasalahan yang telah disepakati ulama.

(Ibid, 8/146-147)

Demikian. Semoga bermanfaat ..

Wallahu a’lam

🌸🍃🌷🌿🌻💐🍄🍂

✍ Farid Nu’man Hasan

Memberikan Jarak Antara Adzan dan Iqamat adalah Sunah

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Sebagian manusia bertanya-tanya, kenapa ada sebagian mesjid jika adzan maghrib langsung diteruskan dengan qamat? Apakah ini dibenarkan syariat? Ataukah ini hanya masalah khilafiyah? Lalu bagaimanakah masalah ini menurut pandangan syariat?

Seorang ulama, Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

يطلب الفصل بين الاذان والاقامة بوقت يسع التأهب للصلاة وحضورها لان الاذان إنما شرع لهذا
وإلا ضاعت الفائدة منه

“Dituntut untuk memberikan jarak antara adzan dan iqamah dengan waktu yang lapang agar manusia bisa siap-siap menghadiri shalat, karena tujuan disyariatkannya adzan adalah untuk itu. Sebab, jika tidak demikian maka adzan menjadi tidak berfaedah.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 118. Darul Kitab Al ‘Araby. Beirut-Libanon)

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

قال ابن بطال: لا حد لذلك غير تمكن دخول الوقت واجتماع المصلين

“Berkata Imam Ibnu Bathal: Tidak ada batasan dalam hal jarak antara adzan dan iqamah, tetapi, yang pasti adalah mulai masuk waktu dan berkumpulnya jamaah.” (Fathul Bari, 2/106)

📌 Dalil-dalil

Pertama. Dari Jabir bin Samurah Radhiallahu ‘Anhu:

كَانَ مُؤَذِّنُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُؤَذِّنُ ثُمَّ يُمْهِلُ فَلَا يُقِيمُ حَتَّى إِذَا رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ خَرَجَ أَقَامَ الصَّلَاةَ حِينَ يَرَاهُ

“Dahulu mu’adzin Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengumandangkan adzan, lalu dia berhenti dan tidak iqamah, sampai dia melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka ia pun mengumandangkan iqamah ketika melihat Rasulullah (datang ke mesjid).” (HR. Ahmad No. 20804. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: sanadnya hasan. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 20804. Mushannaf Abdurrazzaq No. 1837, menurutnya hadits ini hasan. Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 1912. Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 23278)

Kedua. Dari Abdullah bin Mughaffal Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ ثَلَاثًا لِمَنْ شَاءَ

“Antara dua adzan itu ada shalat sunnah! Antara dua adzan ada shalat sunnah!.” Ketika beliau bersabda ketiga kalinya, maka sabdanya diteruskan dengan, “bagi siapa saja yang menghendakinya.” (HR. Bukhari No. 624, Muslim No. 838)
Maksud dari ‘di antara dua adzan’ adalah di antara adzan dan iqamah.

Ketiga. Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Zubeir bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ما من صلاة مفروضة إلا وبين يديها ركعتان

“Tiada satu shalat fardu pun, melainkan pasti sebelumnya ada dua rakaat sunah.” (HR. Ath Thabarani dalam Musnad Asy Syamiyin No. 2265, Ibnu Hibban No. 2455, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 19336, Ad Daruquthni, 1/267. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 232)

Demikian dalil-dalil kesunahan shalat dua rakaat antara azan dan iqamah, lalu bagaimana dengan qabliyah maghrib?

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan:

ولم يختلف العلماء في التطوع بين الأذان والإقامة إلا في المغرب

Para ulama tidak berselisih pendapat tentang shalat sunah di antara adzan dan iqamah, kecuali pada shalat maghrib. (Fathul Bari, 2/106)

Imam At Tirmdzi Rahimahullah menjelaskan:

وَقَدْ اخْتَلَفَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصَّلَاةِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ فَلَمْ يَرَ بَعْضُهُمْ الصَّلَاةَ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ و قَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَقُ إِنْ صَلَّاهُمَا فَحَسَنٌ وَهَذَا عِنْدَهُمَا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ

Para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah berbeda pendapat tentang shalat sebelum maghrib. Sebagian mereka tidak menganggap adanya shalat sebelum maghrib. Telah diriwayatkan lebih dari satu sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa mereka melakukan shalat sebelum maghrib sebanyak dua rakaat di antara iqamat dan adzan. Berkata Imam Ahmad dan Imam Ishaq bin Rahawaih, jika melakukan dua rakaat itu adalah hal yang bagus, dan hal itu bagi mereka berdua adalah sunah (istihbab). (Sunan At Tirmidzi No. 185)

Namun pandangan yang lebih kuat adalah qabliyah maghrib itu sunnah, tetapi ghairu muakadah (tidak ditekankan). Namun sunah adalah sunah, yang seharusnya juga dilakukan dan memiliki nilai dan keutamaan untuk melakukannya.

Dari Abdullah bin Mughaffal Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Sallam bersabda:

صَلُّوا قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ كَرَاهِيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا النَّاسُ سُنَّةً

“Kerjakanlah shalat sebelum shalat maghrib.” Lalu ketiga kalinya ia bersabda: “(lakukanlah) bagi yang mau.” Beliau berkata demikian karena ditakutkan bahwa shalat tersebut akan dianggap sunah oleh umat Islam. (HR. Bukhari No. 1183, 7368, Abu Daud No. 1281, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3666, Ad Daruquthni, 1/265, Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar No. 4795)

Abu Tamim Al Jaisyani pernah shalat dua rakaat sebelum maghrib, ketika ia ditanya oleh ‘Uqbah bin Amir Al Juhani tentang shalat apa itu, ia menjawab:

هَذِهِ صَلَاةٌ كُنَّا نُصَلِّيهَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Ini adalah shalat yang kami lakukan pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. An Nasa’i No. 582, juga dalam As Sunan Al Kubra No. 374 Dalam kitab ini juga disebut Uqbah bin ‘Amir Al Juhani shalat dua rakaat sebelum maghrib. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 582)

Dari ‘Ashim, bahwa Ubai bin Ka’ab dan Abdurrahman bin ‘Auf ketika terbenam matahari mereka shalat doa rakaat sebelum maghrib. (Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 8456)

Imam Ibnu Abi Syaibah juga menyebutkan:

حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ ، عَنْ شُعْبَةَ ، عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ ، عَنْ أَبِي فَزَارَةَ ، قَالَ : سَأَلْتُ أَنَسًا ، عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ ، فَقَالَ : كُنَّا نَبْتَدِرُهُمَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم

Berkata kepada kami Ghundar, dari Syu’bah, dari Ya’la bin ‘Atha, dari Abu Fazarah, katanya: Aku bertanya kepada Anas tentang dua rakaat sebelum maghrib, dia menjawab: “Kami dahulu menyegerakan dua rakaat itu pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Al Mushannaf No. 8458)

Al Hakam menceritakan bahwa Ibnu Abi Laila melakukan dua rakaat sebelum maghrib. (Ibid, No. 8459)

Masih dari Imam Ibnu Abi Syaibah:

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ إبْرَاهِيمَ ، قَالَ : قَالَ تَمِيمُ بْنُ سَلاَّمٍ ، أَوْ سَلاَّمُ بْنُ تَمِيمٍ لِلْحَسَنِ : مَا تَقُولُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ ، فَقَالَ : حَسَنَتَانِ جَمِيلَتَانِ لِمَنْ أَرَاْدَ اللَّهُ بِهِمَا

Berkata kepada kami Waki’, dari Yazid bin Ibrahim, katanya: berkata Tamim bin Sallam, atau Sallam bin Tamim, kepada Al Hasan: “Apa pendapatmu tentang dua rakaat sebelum maghrib? Dia berkata: “Dua rakaat yang bagus dan indah, bagi siapa yang Allah kehendaki terhadap keduanya.” (Ibid, No. 8463)

Imam Ibnu Hibban menceritakan, bahwa Ibnu Buraidah melakukan shalat dua rakaat sebelum maghrib. (Shahih Ibnu Hibban No. 1559)

Imam Ibnu Hibban ada Bab khusus tentang ini berjudul:

ذكر البيان بأن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم كانوا يصلون الركعتين قبل المغرب والمصطفى صلى الله عليه وسلم حاضر فلم ينكر عليهم ذلك

Penjelasan bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua rakaat sebelum maghrib, dan Al Mushthafa (Nabi) Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada, dan dia tidak mengingkari mereka atas hal itu. (Shahih Ibnu Hibban, 4/458)

Dari Mukhtar bin Fulful: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang shalat dua rakaat setelah ashar, Dia menjawab:

كَانَ عُمَرُ يَضْرِبُ الْأَيْدِي عَلَى صَلَاةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ وَكُنَّا نُصَلِّي عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ فَقُلْتُ لَهُ أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّاهُمَا قَالَ كَانَ يَرَانَا نُصَلِّيهِمَا فَلَمْ يَأْمُرْنَا وَلَمْ يَنْهَنَا

Umar memukul tanganku lantaran shalat setelah ashar, dan kami pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua rakaat setelah terbenamnya matahari sebelum shalat maghrib. Aku (Muhtar) bertanya kepadanya: “Apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dua rakaat itu?” Beliau menjawab: “Dia melihat kami shalat, tidak memerintahkan dan tidak pula mencegah kami. (HR. Muslim No. 836)

Dari sekian banyak hadits, dan perilaku para salaf, berkatalah Imam Ash Shan’ani Rahimahullah:

وَهُوَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهَا تُنْدَبُ الصَّلَاةُ قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ إذْ هُوَ الْمُرَادُ مِنْ قَوْلِهِ ” قَبْلَ الْمَغْرِبِ ” لَا أَنَّ الْمُرَادَ قَبْلَ الْوَقْتِ لِمَا عُلِمَ مِنْ أَنَّهُ مَنْهِيٌّ عَنْ الصَّلَاةِ فِيهِ “وفي رواية لابن حبان” أي من حديث عبد الله المذكور “أن النبي صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم صلى قبل المغرب ركعتين” فثبت شرعيتهما بالقول والفعل

“Itu adalah dalil bahwa dianjurkan (sunah) shalat sebelum shalat maghrib, jika yang dimaksud adalah shalat qabla maghrib, bukannya shalat sebelum waktu maghrib yang telah diketahui bahwa itu memang termasuk waktu dilarang shalat. Dalam riwayat Ibnu Hibban, yaitu hadits dari Abdullah yang telah disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat sebelum maghrib sebanyak dua rakaat. Maka, telah pasti syariat shalat dua rakaat itu secara qaul (ucapan) dan fi’il (perkataan) nabi” (Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, 2/52. Lihat juga ‘Aunul Ma’bud, 4/113)

Syaikh Al Albani Rahimahullah mengatakan:

و الحق أن الحديث إنما يدل على مشروعية الصلاة بين يدي كل صلاة مكتوبة ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يفعل ذلك أو أمر به ، أو أقره ، كصلاة المغرب ، فقد صح في ذلك الفعل و الأمر و الإقرار

Yang benar adalah hadits ini menunjukkan bahwa disyariatkannya shalat setiap sebelum shalat wajib. Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan hal itu atau memerintahkannya, atau menyetujuinya, sebagaimana shalat maghrib. Telah shahih hal itu baik berupa perbuatan, perintah, dan persetujuannya. (As Silsilah Ash Shahihah, 1/411)

Demikianlah, banyak sekali dalil dan riwayat tentang shalat qabliyah, termasuk qabliyah maghrib yang dilakukan para sahabat dan salafus shalih, serta keterangan para ulama. Namun, keterangan ini kami kira sudah mencukupi.

Sekian. Wallahu Alam

🌾🌿🌷🌻🌸🌳☘🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top