Hukum Berbicara Ketika Wudhu

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Tidak ada dalil larangan berbicara saat wudhu, hanya saja hal itu memang dapat meninggalkan keadaan yang lebih utama untuk dijaga, yaitu kekhusu’an saat wudhu. Sebab wudhu sendiri sebuah ibadah. Pemakruhan yang disampaikan sebagian ulama karena berbicara saat wudhu telah menyia-nyiakan yang lebih utama yaitu tenang saat berwudhu.

Syaikh Abdullah Al Faqih Haizhahullah berkata:

فيجوز الكلام أثناء الوضوء، ولم يرد ما يدل على النهي عن ذلك

Dibolehkan berbicara saat berwudhu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan larangan hal itu. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah, 11/934)

Tersebut dalam Al Mausu’ah:

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ التَّكَلُّمَ بِكَلاَمِ النَّاسِ بِغَيْرِ حَاجَةٍ أَثْنَاءَ الْوُضُوءِ خِلاَفُ الأَْوْلَى ، وَإِنْ دَعَتْ إِلَى الْكَلاَمِ حَاجَةٌ يَخَافُ فَوْتَهَا بِتَرْكِهِ لَمْ يَكُنْ فِيهِ تَرْكُ الأَْدَبِ

Mayoritas ali fiqih berpendapat bahwa berbicara dengan manusia saat wudhu dengan pembicaraan yang tidak diperlukan, adalah perbuatan yang menyelisihi hal yang utama. Jika memang ada keperluan yang membuatnya mesti berbicara, dan khawatir akan kehilangan hajatnya itu karena meninggalkannya, maka hal itu tidak termasuk meninggalkan adab. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 35/114)

Imam An Nawawi Rahimahullah menyebutkan sunah-sunah wudhu, di antaranya:

وأن لا يتكلم فيه لغير حاجة

Tidak berbicara tanpa adanya kebutuhan. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/465)

Maka, berbicara saat wudhu, sama juga meninggalkan salah satu sunah wudhu, walau itu bukan hal terlarang.

Imam An Nawawi juga berkata:

وقد نقل القاضي عياض في شرح صحيح مسلم أن العلماء كرهوا الكلام في الوضوء والغسل وهذا الذي نقله من الكراهة محمول علي ترك الاولى والا فلم يثبت فيه نهى فلا يسمي مكروها الا بمعنى ترك الاولى

Al Qadhi ‘Iyadh telah menukil pada Syarh Shahih Muslim, bahwa para ulama memakruhkan berbicara saat wudhu dan mandi. Pemakruhan ini dimaknai sebagai aktifitas yang meninggalkan perkata yang lebih utama, jika tidak maka belum ada larangan yang shahih dalam masalah ini, maka tidaklah dinamakan makruh kecuali dengan makna meninggalkan hal yang lebih utama. (Ibid, 1/466)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah berkata:

الكلام في أثناء الوضوء ليس بمكروه ، لكن في الحقيقة أنه يشغل المتوضئ ؛ لأن المتوضئ ينبغي له عند غسل وجهه أن يستحضر أنه يمتثل أمر الله ، وعند غسل يديه ومسح رأسه وغسل رجليه ، يستحضر هذه النية ، فإذا كلمه أحد وتكلم معه ، انقطع هذا الاستحضار وربما يشوش عليه أيضاً ، وربما يحدث له الوسواس بسببه ، فالأولى ألا يتكلم حتى ينتهي من الوضوء ، لكن لو تكلم ، فلا شيء عليه

Berbicara saat wudhu tidaklah makruh, hal itu pada kenyataannya dapat menyibukkan orang yang berwudhu. Sebab seorang yang sedang berwudhu hendaknya saat dia membasuh wajahnya dia menghadirkan hatinya untuk menjalankan perintah Allah, begitu pula saat dia mencuci tangan, membasuh kepala, dan mencuci kaki, hendaknya dia hadirkan niat tersebut. Jika ada yang berbicara dengannya, maka terputuslah hal itu dan bisa jadi dia juga hatinya terganggu, dan gara-gara itu dia jadi was was. Maka, lebih utama adalah tidak berbicara sampai dia selesai wudhunya. Tapi, jika dia berbicara, itu tidak apa-apa. (Fatawa Nuur ‘Alad Darb, Bab Ath Thaharah No. 326)

Wallahu A’lam

🌷☘🌺🌴🍃🌸🌻🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

Hadits Tentang Anjuran Mengkonsumsi garam

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum Ustadz Farid, apa benar ada hadist dan sunah Rasulullah mengkonsumsi garam ? Terimakasih

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam warahmatullah .. Bismillah wal Hamdulillah ..

Ya, hadits tentang anjuran mengkonsumsi garam memang ada, yaitu sebagai berikut:

يَا عَلِيُّ ، إِذَا أَكَلْتَ فَابْدَأْ بِالْمِلْحِ وَاخْتِمْ بِالْمِلْحِ فَإِنَّ الْمِلْحَ شُفَاءُ سَبْعِينَ دَاءٍ أَوْلُهَا : الْجُنُونُ ، وَالْجُذَامُ ، وَالْبَرَصُ ، وَوَجَعُ الأَضْرَاسِ ، وَوَجَعُ الْحَلْقِ ، وَوَجَعُ الْبَطْنِ

Wahai Ali, jika kamu makan mulailah dengan mencicipi garam dan akhirilah dengan garam pula. Karena garam itu obat 70 penyakit, seperti: gila, lepra, sakit gigi, sakit kerongkongan, sakit perut, … (Musnad Al Harits No. 462, Al Mathalib Al ‘Aliyah No. 2390).

Tapi, hadits ini tidak autentik dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Imam Al Bushiri mengatakan: “Isnad hadits ini rantaiannya adalah oarang-orang dha’if, seperti As Surri, Hammad, dan Abdurrahman.” (Al Ittihaf, 3/413)

Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini berkata:

وهذا إسنادٌ ساقطٌ، مسلسلٌ بالمجروحين، فشيخ الحارث بن أبي أسامة، قال الخطيب في «تاريخه» (11/85): «في حديثه مناكير، لأنها عن ضعفاء ومجاهيل»،

“Isnad hadits ini gugur, rantaiannya berisi orang-orang yang dijarh (dinilai cacat). Seperti guru dari Harits bin Abi Usamah, dalam Tarikh-nya Al Khathib (11/85) berkata: “Pada haditsnya banyak kemungkaran, karena dia mengambil dari orang-orang dha’if dan majhul (tdk dikenal).”

Lalu Beliau melanjutkan:

وحماد بن عمرو النصيبي كذبه الجوزجاني، وقال ابن حبان: «كان يضع الحديث وضعًا». ووهاه أبو زرعة. وتركه النسائي. وقال البخاريُّ: «منكرُ الحديث». والسُّري بنُ خالد قال الأزدي: «لا يحتج به». وقال الذهبي في «الميزان» (2/117): «لا يعرفُ»، وترجمه ابنُ أبي حاتم (2/1/284) ولم يذكر فيه جرحًا ولا تعديلاً

Hamad bin Amru An Nashibiy sebut sebagai pendusta oleh Al Jauzajaaniy. Ibnu Hibban mengatakan: dia pemalsu hadits. Abu Zur’ah menyenut lemah. An Nasa’i meninggalkan haditsnya. Al Bukhari berkata: haditsnya munkar. Al Azdiy berkata tentang As Surri, “tidak bisa dijadikan hujjah.”

Adz Dzahabi berkata dalam Al Mizaan (2/117): “Tidak dikenal.”
Ibnu Abi Hatim tidak mengkritik dan tidak memujinya.

Lalu Beliau juga mengatakan:

وقد أورد ابن الجوزي في «الموضوعات» (2/289) من وجهٍ آخر بعض هذا الحديث ثم قال: «هذا حديث لا يصح عن رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم، والمتهمُ به عبد الله بن أحمد بن عامر أو أبوه، فإنهما يرويان نسخةً عن أهل البيت كلُّها موضوعة»

Ibnul Jauzi menyebutkan hadits ini dari jalan lain dan berkata (Al Maudhu’at, 2/289): “Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Abdullah bin Ahmad bin Amir dan ayahnya dituduh sebagai pemalsu, mereka berdua meriwayatkan manuskrip dari Ahli Bait yang semuanya adalah palsu.” (Al Fatawa Al Haditsiyah, 1/496)

Namun, walau hadits ini dha’if, tentang manfaat garam memang diakui dunia kesehatan, selama tidak berlebihan, seperyi garam beryodium misalnya.

Demikian. Wallahu a’lam

🌷☘🌺🌴🍃🌸🌾🌻

✍ Farid Nu’man Hasan


🍃🌸 Keshahihan Hadits: Mulailah Makan Dengan Garam dan Akhirilah Dengan Garam 🌸🍃

💢💢💢💢💢💢💢💢

Hadits ini sering di share di medsos, bagaimanakah validitasnya?

عن علي بن أبي طالب -رضي الله عنه- عن النبي صلى الله عليه وسلم: إذا أكلت، فابدأ بالملح، واختم بالملح؛ فإن الملح شفاء من سبعين داء، أولها الجذام، والبرص، ووجع الحلق، والأضراس، والبطن. اهـ؟ وجزاكم الله خيرًا

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bersabda:

“Jika kamu makan maka mulailah dengan garam dan akhirilah dengan garam. Karena garam adalah obat 70 penyakit, yang pertama adalah kusta, lepra, sakit tenggorokan, sakit gigi, dan sakit perut.”

Hadits ini sangat panjang berupa nasihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, di atas adalah sebagian saja.

Hadits ini dikeluarkan oleh:

– Al Harits bin Abi Usamah dalam Musnad Al Harits, jilid. 1, hal. 526, no. 469

Sanadnya: Abdurrahim bin Waqid, Hammad bin ‘Amru, As Sarri bin Khalid, Ja’ far bin Muhammad, Muhammad bin Baqir, Husein bin Ali, Ali bin Abi Thalib.

Dalam sanadnya terdapat empat cacat atau penyakit.

1. Abdurrahim bin Waqid

Imam Khathib Al Baghdadi berkata tentang Abdurrahim bin Waqid, “Haditsnya banyak yang munkar, karena dia mengambilnya dari para perawi yang lemah dan tidak dikenal.”
(Tarikh Baghdad, 11/85)

Imam Adz Dzahabi berkata: “Abdurrahim bin Waqid dinyatakan dha’if oleh Al Khathib.” (Diwan ad Dhu’afa, hal. 249)

Imam Al Bushiri berkata: “Abdurrahim bin Waqid adalah dhaif.” (Ittihaf Al Khairah, jilid. 5, hal. 518)

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata:
“Ibnu Hibban memasukkannya dalam ats Tsiqat (orang-orang terpercaya).” (Lisanul Mizan, jilid. 4, hal. 10)

2. Hammad bin ‘Amru

Dia adalah Abu Ismail.

Yahya berkata: “Suka berbohong dan memalsukan hadits.” Al Bukhari berkata: “haditsnya munkar.” As Sa’di berkata: “Dia pendusta.” Amru bin Ali berkata: “Haditsnya matruk (ditinggalkan/tidak dipakai)”. (Adh Dhu’afa wal Matrukin, jilid. 1, hal. 234)

3. As Sarri bin Khalid bin Syaddad

Adz Dzahabi berkata: “Tidak dikenal.” Al Azdi berkata: “Tidak bisa dijadikan hujjah.” (Mizanul I’tidal, jilid. 2, hal. 117)

Hal serupa dikatakan Ibnu Hajar. (Lisanul Mizan, jilid. 3, hal. 12)

4. Sanadnya terputus, yaitu Muhammad bin Ali al Baqir tidak pernah bertemu dengan Husein bin Ali.

Oleh Karena itu,….

Imam Ibnu Hajar berkata tentang status hadits ini: “Dha’if Jiddan.” (Mathalib Al ‘Aliyah, jilid. 2, hal. 252)

Imam As Suyuthi berkata: “Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Ad Dalail, lalu dia berkata: ‘Ini adalah hadits panjang tentang raghaib (harapan-harapan) dan adab,’ dan dia berkata: Hadits PALSU.” (Al La’aliy Al Mashnu’ah, jilid. 2, hal. 312)

Al Bushiri berkata: “Sanad Hadits ini merupakan rangkaian orang-orang dha’if, yaitu As Sarri, Hammad, dan Abdurrahim.” (Ittihaf Al Khairah, jilid. 3, hal. 413)

Imam Ibnul Jauzi juga menyebutkan hadits serupa tapi dengan redaksi yang lebih pendek, juga berupa nasihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Ali Radhiyallahu ‘Anhu: “Hendaknya kamu makan garam karena garam adalah obat 70 penyakit: lepra, kusta, dan gila.”

Lalu Ibnul Jauzi berkata:

“Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan sebagai hadits yang muttaham (tertuduh palsu), Abdullah bin Ahmad bin Amir atau ayahnya adalah dua orang yang meriwayatkan naskah dari ahli bait, yang semuanya adalah batil.” (Al Maudhu’at, jilid. 2, hal. 289)

Imam Asy Syaukani berkata: “Palsu” (Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 161)

– Yang jelas, garam banyak manfaatnya bagi kesehatan jika digunakan secukupnya. Ini sudah sama-sama diketahui. Tapi, jika berlebihan juga tidak baik, yaitu dapat menimbulkan darah tinggi dan stroke.

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🍃🍀🌿🌸🌳🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

Mengkritik Kebijakan Pemimpin Yang Salah dan Berbahaya adalah Perbuatan KAUM SALAF dan Dibenarkan Syariat

💢💢💢💢💢💢💢

Belakangan ini muncul pemikiran “asing” dari segolongan manusia yang melarang aktifitas mengkritik kepada pemimpin yang keliru kebijakannya. Bagi mereka seburuk apa pun pemimpin tersebut berserta kebijakannya kita harus ridha, ikhlas, dan memandangnya sebagai takdir. Jadi, biarkan saja apa pun maunya pemimpin tersebut … , bahkan pihak yang mengkritisi disamakan (dituduh) dengan mencela pemimpin, pemberontak, dan khawarij.

Pemikiran ini sangat berbahaya, selain memang bukan berasal dari ajaran Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para salafush shalih, sehingga sangat jauh dari kebenaran.

📌 Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengkritik, mengancam, bahkan mendoakan buruk pemimpin yang kebijakannya bikin susah umat Islam

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ هَذِهِ أُمَّتِي شَيْئاً فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ. وَمَنْ شَقَّ عَلَيْهَا فَاشْفُقْ عَلَيْهِ. رواه مسلم

“Ya Allah, siapa saja yang memimpin/mengurus urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah ia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka SUSAHKANLAH DIA”.

(HR. Muslim no. 1828)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:

إن في جهنم واد ، في ذلك الوادي بئر يقال له هبهب ، حق على الله تعالى أن يسكنها كل جبار

“Sesungguhnya di neraka jahanam ada sebuah lembah, di lembah tersebut terdapat sumur yang dinamakan Hab Hab, yang Allah Ta’ala tetapkan sebagai tempat tinggal bagi setiap diktator.”

(HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Ausath, No. 3548, Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shaihihain, No. 8765, katanya: Shahih. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 34159, Imam Al Haitsami mengatakan sanadnya hasan. Lihat Majma’uz Zawaid, 5/197. Ini lafaz milik Al Hakim)

Dari Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu, RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

سَيَكُونُ أَئِمَّةٌ مِنْ بَعْدِي يَقُولُونُ وَلا يُرَدُّ عَلَيْهِمْ، يَتَقَاحَمُونَ فِي النَّارِ كَمَا تَتَقَاحَمُ الْقِرَدَةُ

Akan datang para pemimpin setelahku yang ucapan mereka tidak bisa dibantah, mereka akan masuk ke neraka berdesa-desakkan seperti kera yang berkerubungan.

(HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 925, Al Awsath No. 5311, Abu Ya’la, No. 7382, menurut Syaikh Husein Salim Asad: isnadnya shahih)

Inilah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika ada yang melarang mengkritik kebijakan pemimpin yang keliru, merugikan, … Maka mereka telah menyelisihi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan itu merupakan sikap yang amat jelek.

📌 Generasi para sahabat Nabi, Radhiallahu ‘Anhum, mereka pun mengkritik kebijakan pemimpin yang salah.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menceritakan, Ketika Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu menyampaikan khutbah di atas mimbar, dia menyampaikan bahwa dirinya hendak membatasi Mahar sebanyak 400 Dirham, sebab nilai itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika ada yang lebih dari itu maka selebihnya dimasukkan ke dalam kas negara. Hal ini diprotes langsung oleh seorang wanita, di depan manusia saat itu, dengan perkataannya: “Wahai Amirul mu’minin, engkau melarang mahar buat wanita melebihi 400 Dirham?” Umar menjawab: “Benar.” Wanita itu berkata: “Apakah kau tidak mendengar firman Allah: “ …. sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?.” (QS. An Nisa: 20)

Umar menjawab; “Ya Allah ampunilah, semua manusia lebih tahu dibanding Umar.” Maka umar pun meralat keputusannya.

(Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/244. Imam Ibnu katsir mengatakan: sanadnya jayyid qawi (baik lagi kuat). Sementara Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini menyatakan hasan li ghairih)

Imam Al Bukhari (hadits no. 957, versi penomoran Fathul Bari) meriwayatkan tentang perilaku gubernur Madinah, Marwan bin Hakam, di mushalla (lapangan tempat shalat Id), yang telah merubah tata cara salat Id. Beliau ingin mengubah tata cara shalat Id, yaitu mendahulukan khutbah dahulu, lalu shalat Id. Beliau naik mimbar sebelum shalat, lalu Abu Said Al Khudri menegurnya: “Ghayyartum Wallahi!” (Demi Allah kau telah merubah agama!).

Nah, kisah ini amat jelas merupakan nasihat tegas, kritikan keras, kepada pemimpin di depan umum yakni jamaah shalat Id saat itu. Dan, tak ada yang mengatakan hal itu ‘keliru’ apalagi khawarij kepada sahabat nabi, Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu. Ya, ini sangat jelas!

Inilah petunjuk para sahabat, maka jika ada yang melarang mengkritisi kesalahan pemimpin, apalagi kesalahan yang berdampak kepada agama dan orang banyak, .. itu adalah menyelisihi sunnahnya para sahabat dan sikap yang jelek.

📌 Para tabi’in juga mengkritisi pemimpin yang zalim dimasanya

Di antaranya:

✅ Imam Said bin Jubeir Rahimahullah

Tentang kecaman keras Said bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap gubernur zalim di Iraq, sangat terkenal.

Beliau berkata tentang Hajjaj bin Yusuf dan pasukannya, sebagai berikut:

عن أبي اليقظان قال: كان سعيد بن جبير يقول يوم دير الجماجم وهم يقاتلون: قاتلوهم على جورهم في الحكم وخروجهم من الدين وتجبرهم على عباد الله وإماتتهم الصلاة واستذلالهم المسلمين. فلما انهزم أهل دير الجماجم لحق سعيد بن جبير بمكة فأخذه خالد بن عبد الله فحمله إلى الحجاج مع إسماعيل بن أوسط البجلي

“Dari Abu Al Yaqzhan, dia berkata: Said bin Jubeir pernah berkata ketika hari Dir Al Jamajim, saat itu dia sedang berperang (melawan pasukan Hajjaj): “Perangilah mereka karena kezaliman mereka dalam menjalankan pemerintahan, keluarnya mereka dari agama, kesombongan mereka terhadap hamba-hamba Allah, mereka mematikan shalat dan merendahkan kaum muslimin.” Ketika penduduk Dir Al Jamajim kalah, Said bin Jubeir melarikan diri ke Mekkah. Kemudian dia dijemput oleh Khalid bin Abdullah, lalu dbawanya kepada Hajjaj bersama Ismail bin Awsath Al Bajali.”

(Imam Muhammad bin Sa’ad, Thabaqat Al Kubra, 6/265. Dar Al Mashadir, Beirut)

✅ Imam Amr Asy Sya’biy Rahimahullah

Beliau sezaman dengan Sa’id bin Jubeir, dan juga berhadapan dengan Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi, hanya saja dia tidak sampai melakukan perlawanan fisik.

Imam Adz Dzahabi juga menceritakan, bahwa Imam Amr Asy Sya’bi telah mengkritik penguasa zalim, Hajjaj bin Yusuf dan membeberkan aibnya di depan banyak manusia. Dari Mujalid, bahwa Asy Sya’bi berkata:

فأتاني قراء أهل الكوفة، فقالوا: يا أبا عمرو، إنك زعيم القراء، فلم يزالوا حتى خرجت معهم، فقمت بين الصفين أذكر الحجاج وأعيبه بأشياء، فبلغني أنه قال: ألا تعجبون من هذا الخبيث ! أما لئن أمكنني الله منه، لاجعلن الدنيا عليه أضيق من مسك جمل

“Maka, para Qurra’ dari Kufah datang menemuiku. Mereka berkata: “Wahai Abu Amr, Anda adalah pemimpin para Qurra’.” Mereka senantiasa merayuku hingga aku keluar bersama mereka. Saat itu, aku berdiri di antara dua barisan (yang bertikai). Aku menyebutkan Al Hajaj dan aib-aib yang telah dilakukannya.” Maka sampai kepadaku (Mujalid), bahwa dia berkata: “Tidakkah kalian heran dengan keburukan ini?! Ada pun aku, kalaulah Allah mengizinkan mengalahkan mereka, niscaya dunia ini akan aku lipat lebih kecil dari kulit Unta membungkusnya.”

(Ibid, 4/304)

✅ Imam Muhammad bin Sirin Rahimahullah

Beliau dikenal sebagai orang yang paling tegas terhadap orang-orang yang menyimpang dan penguasa yang zalim. Dia pun secara terang-terangan menegur penguasa zamannya –yakni Ibnu Hubairah- di depan orang lain. Sebenarnya, Ibnu hubairah adalah salah satu pejabat tinggi dalam pemerintahan Khalifah Marwan.

Berikut ini yang diceritakan Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani:

جعفر بن مرزوق، قال: بعث ابن هبيرة إلى ابن سيرين والحسن والشعبي، قال: فدخلوا عليه، فقال لابن سيرين: يا أبا بكر ماذا رأيت منذ قربت من بابنا، قال: رأيت ظلماً فاشياً، قال: فغمزه ابن أخيه بمنكبه فالتفت إليه ابن سيرين، فقال: إنك لست تسأل إنما أنا أسأل، فأرسل إلى الحسن بأربعة آلاف وإلى ابن سيرين بثلاثة آلاف، وإلى الشعبي بألفين؛ فأما ابن سيرين فلم يأخذها

Ja’far bin Marzuq berkata, “Ibnu Hubairah pernah memanggil Ibnu Sirin, Al Hasan (Al Bashri), dan Asy Sya’bi, dia berkata: “Masuklah kalian.” Maka dia bertanya kepada Ibnu Sirin: “Wahai Abu Bakar, apa yang kau lihat sejak kau mendekat pintu istanaku?” Ibnu Sirin menjawab: “Aku melihat kezaliman yang merata.” Perawi berkata: Maka saudaranya menganggukan tengkuknya, dan Ibnu Sirin pun menoleh kepadanya. Lalu dia berkata (kepada Ibnu Hubairah): “Bukan kamu yang seharusnya bertanya, tetapi akulah yang seharusnya bertanya.” Maka, Ibnu Hubairah akhirnya memberikan Al Hasan empat ribu dirham, Ibnu Sirin tiga ribu dirham, dan Asy Sya’bi dua ribu. Ada pun Ibnu Sirin dia tidak mengambil hadiah itu.” (Hilyatul Auliya’, 1/330. Mauqi’ Al Warraq)

Lihat, Imam Ibnu Sirin dengan berani mengatakan bahwa Istana dipenuhi kezaliman yang merata.

Imam Adz Dzahabi mengatakan:

قال هشام: ما رأيت أحدا عند السلطان أصلب من ابن سيرين

“Berkata Hisyam: Aku belum pernah melihat orang yang paling tegas terhadap penguasa dibanding Ibnu Sirin.” (Siyar A’lam An Nubala, 4/615)

✅ Imam Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu terhadap Khalifah Al Mahdi

Siapa yang tidak kenal dengan nama ini? Imam Ahlus Sunnah, muara para ulama pada zamannya. Di depan para sahabatnya, dia pun pernah secara terang-terangan menegur dan menasihati Khalifah Al Mahdi yang sedang bersama pengawalnya, bahkan membuatnya marah. Berikut ini ceritanya, sebagaimana diceritakan oleh Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani. Dari ‘Ubaid bin Junad, katanya:

عطاء بن مسلم، قال: لما استخلف المهدي بعث إلى سفيان، فلما دخل خلع خاتمه فرمى به إليه، فقال: يا أبا عبد الله هذا خاتمي فاعمل في هذه الأمة بالكتاب والسنة، فأخذ الخاتم بيده، وقال: تأذن في الكلام يا أمير المؤمنين. قال عبيد: قلت لعطاء: يا أبا مخلد قال له: يا أمير المؤمنين. قال: نعم، قال: أتكلم علي أني آمن. قال: نعم، قال: لا تبعث إلي حتى آتيك، ولا تعطني شيئاً حتى أسألك، قال: فغضب من ذلك وهم به فقال له كاتبه: أليس قد أمنته يا أمير المؤمنين. قال: بلى، فلما خرج حف به أصحابه، فقالوا: ما منعك يا أبا عبد الله وقد أمرك أن تعمل في هذه الأمة بالكتاب والسنة؟ قال: فاستصغر عقولهم ثم خرج هارباً إلى البصرة

’Atha bin Muslim berkata: “Ketika masa kekhalifahan Al Mahdi, dia berkunjung ke rumah Sufyan. Ketika dia masuk, dia melepaskan dan melemparkan cincinnya kepada Sufyan. Lalu dia berkata: “Wahai Abu Abdillah, inilah cincinku maka berbuatlah terhadap umat ini dengan Al Quran dan As Sunnah.” Maka Sufyan mengambil cincin itu dengan tangannya, lalu berkata: “Izinkan aku berbicara wahai amirul mu’minin.” Berkata ‘Ubaid: Aku berkata kepada ‘Atha bin Muslim: “Hai Abu Makhlad, dia (Sufyan) berkata kepada Al Mahdi: “Wahai Amirul mu’minin?” ‘Atha menjawab: “Ya.”

Sufyan berkata: “Apakah aku akan aman jika aku bicara?” Al Mahdi menjawab: :Ya.” Sufyan berkata: “Jangan kau kunjungi aku hingga akulah yang mendatangimu, dan janganlah memberiku apa-apa sampai aku yang memintanya kepadamu.” ‘Atha berkata: “Maka marahlah Al Mahdi karena itu, dan dia berangan ingin memukulnya karenanya. Maka, berkatalah sekretarisnya kepadanya: “Bukankah kau sudah mengatakan bahwa dia aman wahai Amirul Mu’minin?” Al Mahdi menjawab: “Tentu.” Maka, ketika dia keluar, maka para sahabat Sufyan mengelilinginya dan bertanya: “Apa yang dia larang kepadamu wahai Abu Abdillah, apakah dia memerintahkanmu untuk memperlakukan umat ini dengan Al Quran dan As Sunnah?” Sufyan menjawab: “Remehkanlah akal mereka.” Lalu Sufyan Ats Tsauri melarikan diri ke Bashrah.”

(Hilyatul Auliya’, 3/166. Mauqi’ Al Warraq)

Demikianlah Imam Sufyan Ats Tsauri, memberikan teguran yang mendalam, bahkan meminta agar para sahabatnya meremehkan akal/kecerdasan Al Mahdi dan pengikutnya.

Dan masih banyak lagi. Termasuk para ulama di abad pertengahan seperti:

  • Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam terhadap Sultan Najmuddin Ayyub
  • Imam An Nawawi terhadap Sultan Zhahirsyah
  • Imam Ibnu Taimiyah terhadap Sultan Ghazan

Dan lainnya.

Inilah jalan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, para salaf dan ulama Rabbaniy, begitu terang benderang tanpa kabut syubuhat hawa nafsu. Bahwa menasihati pemimpin yang keliru, mengkritisinya dengan baik, adalah hal yang benar dan disyariatkan.

Maka, keliru fatal dan ceroboh, pihak yang memerintahkan berpangku tangan dan membiarkan kesalahan penguasa apalagi sampai menuduhnya bughat dan khawarij.

Wallahu a’lam wal Musta’an

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Menjenguk Non Muslim yang Sakit

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Bolehkah menjenguk non muslim yang sakit? Apakah doanya sama juga dengan menjenguk muslim?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah ..

Tidak mengapa menjenguk non muslim yang sakit, apalagi jika dia masih ada hubungan famili atau tetangga. Ini masalah interaksi sosial yang Islam lapangkan. Khususnya bagi non muslim yang bukan kafir harbi.

Allah Ta’ala befirman:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Qs. Al Mumtahanah: 8)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan:

كان صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يعودُ مَنْ مَرِضَ من أصحابه، وعاد غلاماً كان يَخدِمه مِن أهل الكتاب، وعاد عمَّه وهو مشرك، وعرض عليهما الإِسلام، فأسلم اليهودي، ولم يسلم عمُّه

“Dahulu Nabi ﷺ menjenguk orang sakit dari kalangan sahabatnya, dan menjenguk seorang anak yang menjadi pelayannya yang seorang Ahli Kitab (Yahudi). Pernah juga menjenguk pamannya (Abu Thalib) dan dia musyrik. Keduanya diajak untuk masuk Islam. Maka, si Yahudi masuk Islam namun pamannya tidak.”

Lalu Beliau melanjutkan:

وكان يدنو من المريض، ويجلِسُ عند رأسه، ويسألُه عن حاله، فيقول: كيف تجدُك؟
وذكر أنه كان يسأل المريضَ عما يشتهيه، فيقول: “هَل تَشْتَهِي شَيئاً”؟ فإن اشتهى شيئاً وعلِم أنه لا يضرّه، أمر له به.وكان يمسح بيده اليُمنى على المريض، ويقول: ” اللهُمَّ رَبَّ النَّاس، أَذْهِبِ البأْسَ، واشْفِه أَنتَ الشَّافي، لا شِفَاءَ إلا شِفاؤكَ، شِفاءً لا يُغادر سفما

Beliau mendekati yang sakit, dan duduk di sisi kepala yang sakit. Beliau bertanya keadaanya: “Bagaimana keadaanmu?” Diceritakan bahwa Beliau juga menanyakan apa yang diingkankan oleh yang sakit.

Beliau bertanya: “Apakah kamu butuh sesuatu?” Jika yang sakit membutuhkan sesuatu dan Beliau tahu itu tidak membahayakan maka dia memerintahkan seseorang untuk mengambilnya.

Beliau juga mengusap tangan kanannya kepada yang sakit lalu berdoa:

“Allahumma Rabban Naas, Adzhibil Ba’sa, wasyfih anta syaafiy laa syifa’a illa syifaa’uka syifaa’an laa yughadiru saqama.”

(Zaadul Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibaad, 1/494. Cet. 27. 1994M/1415H. Muasasah Ar Risalah, Beirut)

Demikianlah yang Nabi ﷺ lakukan saat menjenguk orang sakit, termasuk non muslim. Wallahu A’lam

🌷☘🌺🌴🍃🌸🌾🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top