Nenek-nenek Boleh Buka Aurat Di Hadapan Laki-laki Bukan Mahram

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ust benarkah ada syarat wanita tidak wajib lagi berjilbab, yaitu perempuan tua yg suda tidak bisa punya anak dan tidak bergairah lagi bagi laki laki. Ada disalah satu ceramah sy dengar (+62 853-4932-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Tidak ada ulama yang mengatakan demikian. Itu keliru dan salah paham terhadap perkataan ulama.

Yang ada adalah, menurut para ulama yang mewajibkan cadar, mereka memberikan keringanan bagi wanita yg sdh tua untuk menampakkan wajahnya, bukan menampakkan auratnya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ ۖ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Dan para perempuan tua yang telah berhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak ingin menikah (lagi), maka tidak ada dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan; tetapi memelihara kehormatan adalah lebih baik bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

(QS. An-Nur, Ayat 60)

Imam Al Jashash Rahimahullah menjelaskan:

لا خلاف في أن شعر العجوز عورة لا يجوز للأجنبي النظر إليه كشعر الشابة , وأنها إن صلت مكشوفة الرأس كانت كالشابة في فساد صلاتها , فغير جائز أن يكون المراد وضع الخمار بحضرة الأجنبي . إنما أباح للعجوز وضع ردائها بين يدي الرجال بعد أن تكون مغطاة الرأس , وأباح لها بذلك كشف وجهها ويدها ; لأنها لا تشتهى

Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa rambut wanita tua (neneShalat kelihatan rambutnya maka shalatnya batal sebagaimana wanita muda. Maka TIDAK BOLEH memaksudkannya dengan menanggalkan Khimar (kerudungan) dihadapan laki-laki bukan mahramnya.

Sesungguhnya dibolehkannya dibuka dihadapan laki-laki bukan mahram adalah tangannya dan wajahnya, sedangkan kepalanya tetap tertutup. Karena dia tidak lagi bersyahwat.

(Ahkamul Quran, 3/485)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’diy Rahimahullah mengatakan:

فهؤلاء يجوز لهن أن يكشفن وجوههن لأمن المحذور منها وعليها ..

Maka, mereka (para wanita tua) boleh membuka wajahnya jika aman dari bahaya, baik bahaya karenanya dan bahaya atas dirinya..

(Tafsir As Sa’diy, Hal. 670)

Kesimpulannya, wanita tua dan muda sama-sama wajib menutup auratnya saat di hadapan laki-laki bukan mahram. Hanya saja bagi ulama yang berpendapat wajah wanita harus ditutup, mereka memberikan keringanan bagi wanita tua yang sudah tidak memiliki syahwat, untuk membuka wajahnya.

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Benarkah Mubahalah Tidak Boleh Untuk Sesama Muslim?

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Mubahalah, kata Imam Ibnu ‘Abidin adalah Al Mula’anah Al Masyru’ah (saling melaknat yg dibolehkan dalam syariat). (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2/541)

Wacana mubahalah kembali mencuat ketika salah satu kontributor Jaringan Islam Liberal, Ade Armando, terangan-terangan mengajak mubahalah kepada siapa saja yang tidak setuju dengan kepemimpinan non muslim. Akhirnya sangat banyak yang menyambut tantangan ini dan memintanya berjumpa langsung. Tp sayangnya yang bersangkutan tidak berani berjumpa langsung untuk bermubahalah, tapi hanya mau di medsos saja, .. Ini menunjukkan kebodohannya terhadap syariat mubahalah.

Namun ada sebagian orang yang memandang tidak boleh mubahalah dengan sesama muslim, sebab yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam contohkan adalah bermubahalah dengan Nasrani Bani Najran, sehingga menurut mereka mubahalah hanya boleh kepada non muslim.

Benarkah seperti itu ??

Berikut ini kami tampilkan fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta (Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa) di Arab Saudi.

Berikut ini fatwanya:

المباهلة التي حصلت بين الرسول صلى الله عليه وسلم والنصارى في عهده ، والتي وردت في قوله تعالى: { فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ } إلى آخر الآية الكريمة ، هل هي خاصة بالنبي صلى الله عليه وسلم ، وإن لم تكن كذلك فهل هي خاصة مع النصارى ؟

الحمد لله والصلاة والسلام على رسوله وآله وصحبه ، وبعد:
ج: ليست المباهلة خاصة بالرسول صلى الله عليه وسلم مع النصارى ، بل حكمها عام له ولأمته مع النصارى وغيرهم ، لأن الأصل في التشريع العموم ، وإن كان الذي وقع منها في زمنه صلى الله عليه وسلم في طلبه المباهلة من نصارى نجران ، فهذه جزئية تطبيقية لمعنى الآية لا تدل على حصر الحكم فيها .
وبالله وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

Pertanyaan:

Mubahalah yang terjadi antara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Nasrani di zamannya, yang telah di firmankan dalam ayatNya:

Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (QS. Ali ‘Imran: 61)

Apakah ini khusus buat nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saja? Jika tidak demikian, apakah ini juga khusus terhadap Nasrani saja?

Jawab:

Alhamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala rasulillah wa ba’d:

Mubahalah tidaklah khusus buat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap Nasrani saja, tapi itu berlaku umum bagi umatnya baik terhadap Nasrani dan selainnya. Sebab pada dasarnya pensyariatan itu berlaku umum, jika kenyataannya pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mubahalah terjadi terhadap Nasrani Bani Najran, itu hanyalah bagian dari penerapannya saja, hukum ayat tersebut tidak menunjukkan adanya pembatasan.

Wabillahit Taufiq wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

(Fatwa Al Lajnah Ad Daimah No. 6238)

🍃🌿🌾🌷🌻☘🌳🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

Mendirikan Serikat Pekerja Sama dengan Pemberontakan?

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Assalaamu’alaikum wr wb. Ust Farid, ini ada pertanyaan dari teman kantor di perusahaan lain.
Nah, di kantor, saya menemukan kasus nyata yang perlu pendapat ustadz. Kami mendirikan organisasi serikat pekerja sebagai partner perusahaan sesuai UU no 13 thn 2003. Namun teman teman kajian salaf di kantor menolak dan menyebut itu sebagai tindak pemberontakan/bughats dan menganjurkan karyawan utk tdk jadi anggota. Menurutnya ini sesuai dg fatwa ulama Saudi. Saya jadi heran juga karena kantor saya ini jelas kantor swasta dengan pemimpin orang Australia beragama katolik. Usaha swasta asing 100% juga bisnis dg akunting non syariah. CEO nya juga dipilih atasannya di level Asia Pacific. Apakah bisa bule non muslim yg jadi CEO ini dianggap jadi ulil amri dan bikin serikat pekerja di kantor saya ini dianggap melawan “ulil amri” tsb? Tadi nya sy kira ini bergurau, ternyata kemaren baru tahu bahwa itu serius.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumus Salam wa Rahmatullah ..

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Ba’d:

Ada kekeliruan yang fatal dari cara berfikir orang-orang ini. Sayangnya kesalahan itu dianggap begitulah manhaj salaf. Entah salaf mana yang diikutinya, padahal lebih tepat ini adalah penistaan terhadap manhaj salaf yang mulia.

📌 Pemimpin non muslim adalah “Ulil Amri”?

Ini pemahaman menyimpang yang amat jauh, melawan Al Quran dan As Sunnah, serta pemahaman para salaf.

“Ulil Amri” dalam penjelasan ulama salaf adalah ulama, ahli fiqh, dan ahli agama. Seperti penjelasan dari Imam Ibnu Katsir berikut ini:

وقال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس: { وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ } يعني: أهل الفقه والدين. وكذا قال مجاهد، وعطاء، والحسن البصري، وأبو العالية: { وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ } يعني: العلماء

Berkata Ali bin Thalhah, dari Ibnu Abbas; (Dan ulil amri di antara kalian), yakni Ahli Fiqih dan agama. Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid, ‘Atha, Al Hasan Al Bashri, dan Abul ‘Aliyah: (Dan ulil amri di antara kalian), yakni para ulama. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/345)

“Ulil Amri” juga bisa bermakna pemimpin urusan dunia. Imam Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad, biasa dikenal Imam Al Baidhawi, berkata dalam tafsirnya, ketika mengomentari surat An Nisa’, ayat 59 (Athi’ullaha wa athi’ur rasul wa ulil amri minkum), bahwa yang dimaksud dengan ‘pemimpin’ di sini adalah para pemimpin kaum muslimin sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sesudahnya, seperti para khalifah, hakim, panglima perang, di mana manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah diperintah untuk berbuat adil, wajib mentaati mereka selama mereka di atas kebenaran (maa daamuu ‘alal haqqi). (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, 1/466)

Tentunya mereka adalah muslim, sebab Allah Ta’ala menyebut: “WAHAI ORANG-ORANG BERIMAN, ta’atlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan Ulil Amri DI ANTARA KAMU.”

Apa maksud ‘minkum” (di antara kamu)? Yakni kembali kepada “Wahai-wahai orang-orang beriman”, bukan untuk pemimpin orang kafir.

Ketaatan kepada mereka, selama mereka masih mentaati Kitabullah dan As Sunnah, itulah pemimpin yang adil, berkata Al Hafizh Ibnu Hajar:

وأحسن ما فسر به العادل أنه الذي يتبع أمر الله بوضع كل شيء في موضعه من غير إفراط ولا تفريط

Tafsir terbaik tentang pemimpin yang adil adalah orang yang mengikuti perintah Allah dengan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya tanpa berlebihan dan menguranginya. (Fathul Bari, 2/145, 1379H. Darul Ma’rifah Beirut)

Maka, tidak pada tempatnya alias zalim, menyebut pemimpin kafir sebagai “Ulil Amri”.

📌 Serikat Pekerja = Pemberontakan (Bughat)?

Ini merupakan gagal paham yang sangat serius. Berdirinya Serikat Pekerja adalah SAH menurut UU negara, sesuai Undang – Undang No. 21 Tahun 2000, yang disahkan oleh presiden Republik Indonesia saat itu, Abdurrahman Wahid.

Bagaimana mungkin ini dianggap pemberontakan (Bughat), padahal negara mengakuinya? Apakah mungkin negara membolehkan dan menge-sah-kan pemberontakan atas dirinya sendiri?

Negara membolehkan hal ini karena memang fungsi serikat pekerja bukan untuk memberontak, tapi check and balance, sebagai tawashau bil haq wa tawashau bish shabr, sarana untuk menyampaikan nasihat agar tidak liar maka dibuatlah wadahnya.

Dalam sejarah, Al Husein Radhiallahu ‘Anhuma, telah melakukan perlawanan kepada Yazid bin Mu’awiyah (padahal ini khalifah Muslim), Al Husein terbunuh di Karbala dan para ulama menyebutnya syahid, bukan pendosa, apalagi khawarij dan bukan bughat (pemberontakan).

Al ‘Allamah Ibnu Khaldun Rahimahullah menjelaskan:

وأما غير الحسين من الصحابة الذين كانوا بالحجاز ومع يزيد بالشام، والعراق ومن التابعين لهم، فرأوا أن الخروج على يزيد وإن كان فاسقاً لا يجوز لما ينشأ عنه من الهرج والدماء فأقصروا عن ذلك ولم يتابعوا الحسين، ولا أنكروا عليه، ولا أثموه، لأنه مجتهد وهو أسوة المجتهدين

Ada pun manusia selain Al Husein, dari kalangan sahabat nabi yang tinggal di Hijaz, dan di Syam bersama Yazid, di Iraq, dan para tabi’in, mereka berpendapat bahwa berontak melawan Yazid walau dia fasiq adalah tidak boleh, karena hal itu bisa menimbulkan huru hara dan pertumpahan darah, maka mereka menahan dari dari itu dan tidak mengikuti Al Husein, namun mereka juga tidak mengingkari Al Husein, dan tidak menganggapnya berdosa, karena dia seorang mujtahid, dan dia seorang teladan para mujtahid. (Tarikh Ibnu Khaldun, 1/217, Cet. 4, Darul Ihya At Turats, Beirut)

Maka, jika perlawanan bersenjata kepada penguasa muslim yang zalim saja tidak disebut bughat oleh sebagian ulama, maka apalagi sekedar membuat wadah Sarikat Pekerja pada perusahaan yang dipimpin non muslim.

Untuk “pemberontakan” tentu ada pembahasan lain, bukan di jawaban ini pembahasannya.

📌Lihatlah Situasi Di Negerimu, Bukan Situasi Negara Lain

Sayangnya orang-orang ini mendasarkan pendapatnya berdasarkan fatwa negara lain, yang memang UU di sana melarang itu berdasarkan fatwa para ulama di sana.

Sedangkan di Indonesia, baik ulama dan umara-nya tidak mempermasalahkan itu, karena situasi kita tidak sama, dan sistem negaranya pun berbeda. Pelarangan mereka ini – meminjam istilah Imam Al Qarrafi- adalah kejahilan terhadap agama dan bentuk kesesatan, lantaran hanya melihat teks fatwa tanpa melihat kondisi dan situasi sedang di mana kita berada.

Perhatikan nasihat Imam Al Qarafi Rahimahullah ketika berkata:

فمهما تجدد في العرف اعتبره ومهما سقط أسقطه ولا تجمد على المسطور في الكتب طول عمرك بل إذا جاءك رجل من غير أهل إقليمك يستفتيك لا تجره على عرف بلدك واسأله عن عرف بلده وأجره عليه وأفته به دون عرف بلدك ودون المقرر في كتبك فهذا هو الحق الواضح والجمود على المنقولات أبدا ضلال في الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين

“Bagaimanapun yang baru dari adat istiadat perhatikanlah, dan yang sudah tidak berlaku lagi tinggalkanlah. Jangan kamu bersikap tekstual kaku pada tulisan di kitab saja sepanjang hayatmu.

Jika datang kepadamu seorang dari luar daerahmu untuk meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu memberikan hukum kepadanya berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di daerahmu, tanyailah dia tentang adat kebiasaan yang terjadi di daerahnya dan hargailah itu serta berfatwalah menurut itu, bukan berdasarkan adat kebiasaan di daerahmu dan yang tertulis dalam kitabmu. Itulah sikap yang benar dan jelas.

Sedangkan sikap selalu statis pada teks adalah suatu KESESATAN dalam agama dan KEBODOHAN tentang tujuan para ulama Islam dan generasi salaf pendahulu.” (Imam Al Qarrafi, Al Furuq, 1/1776-177)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah, membuat pasal dalam kitabnya I’lamul Muwaqi’in, berbunyi:

في تغير الفتوى واختلافها يحسب تغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والنيات والعوائد

“Pasal tentang perubahan fatwa dan perbedaannya yang disebabkan perubahan zaman, tempat, kondisi, niat, dan tradisi.”

Lalu Beliau berkata:

هذا فصل عظيم النفع جدا وقع بسبب الجهل به غلط عظيم على الشريعة أوجب من الحرج والمشقة وتكليف ما لا سبيل إليه ….

Ini adalah pasal yang sangat besar manfaatnya, yang jika bodoh terhadal pasal ini maka akan terjadi kesalahan besar dalam syariat, mewajibkan sesuatu yang sulit dan berat, serta membebankan apa-apa yang tidak pantas dibebankan … ” (I’lamul Muwaqi’in, 3/3)

Demikian jawaban saya. Wallahu A’lam

🌷🌺☘🌴🌻🍃🌸🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Menshalatkan Orang yang Mati Bunuh Diri

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Dari Jabir bin Samurah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ

Dihadapkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seorang laki-laki yang membunuh dirinya dengan menggunakan Masyaaqis, lalu Beliau tidak menshalatkannya. (HR. Muslim No. 978, At Tirmidzi No. 1068, Abu Daud No. 3185, Ahmad No. 20816, 20848)

Hadits ini menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mau menshalatkan orang yang bunuh diri. Apakah sikap Beliau menunjukkan larangan menshalatkannya? Ataukah bermakna sekedar tidak suka? Ataukah itu bermakna hilangnya syafaat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk orang tersebut? Ataukah itu merupakan sikap peringatakan bagi yang lainnya agar tidak melakukan hal serupa?

Sebagian ulama mengatakan bahwa secara mutlak orang bunuh diri tidak boleh dishalatkan. Sebagian lain mengatakan orang bunuh diri tetap dishalatkan, sebab perbuatan nabi hanyalah peringatan dan pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukannya. Ada pula yang mengatakan, imam kaum muslimin tidak usah menshalatkan adapun selainnya boleh menshalatkan.

Imam At Tirmidzi menerangkan:

واختلف أهل العلم في هذا فقال بعضهم يصلي على كل من صلى إلى القبلة وعلى قاتل النفس وهو قول الثوري و إسحق وقال أحمد لا يصلي الإمام على قاتل النفس ويصلي عليه غير الإمام

Para ulama telah berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian mereka mengatakan tetap dishalatkan untuk orang yang masih melaksanakan shalat menghadap kiblat dan bagi orang yang membunuh dirinya. Inilah pendapat Sufyan Ats Tsauri dan Ishaq. Sedangkan Ahmad berpendapat bahwa Imam tidak usah menyolatkan orang yang bunuh diri, dan selain Imam boleh menshalatkannya. (Sunan At Tirmidzi No. 1068)

Tertulis dalam Al Bahr Az Zakhar – Musnad Al Bazzar:

وإنما ترك النبي صلى الله عليه وسلم الصلاة عليه عندنا والله أعلم عقوبة لئلا يعود غيره فيصنع مثل ذلك بنفسه

Menurut kami, Sesungguhnya Nabi Shallallahu “Alaihi wa Sallam tidak mau menshalatkannya -wallahu a’lam- sebagai hukuman agar tidak ada orang lain yang mengulangi perbuatan itu, melakukan itu terhadap dirinya sendiri.” (Al Bahr Az Zakhar, No. 4278, pada Bab Musnad Jabir bin Samurah)

Hal serupa juga dikatakan Imam An Nawawi Rahimahullah:

وَفِي هَذَا الْحَدِيث دَلِيل لِمَنْ يَقُول : لَا يُصَلَّى عَلَى قَاتِل نَفْسه لِعِصْيَانِهِ ، وَهَذَا مَذْهَب عُمَر بْن عَبْد الْعَزِيز وَالْأَوْزَاعِيِّ ، وَقَالَ الْحَسَن وَالنَّخَعِيُّ وَقَتَادَةُ وَمَالِك وَأَبُو حَنِيفَة وَالشَّافِعِيّ وَجَمَاهِير الْعُلَمَاء : يُصَلَّى عَلَيْهِ ، وَأَجَابُوا عَنْ هَذَا الْحَدِيث بِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ بِنَفْسِهِ زَجْرًا لِلنَّاسِ عَنْ مِثْل فِعْله ، وَصَلَّتْ عَلَيْهِ الصَّحَابَة

Pada hadits ini terdapat dalil bagi pihak yang mengatakan: “Orang yang bunuh diri tidaklah dishalatkan karena kedurhakaannya.” Inilah madzhab Umar bin Abdul Aziz dan Al Auza’i. Sedangkan Al Hasan, An Nakha’i, Qatadah, Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan mayoritas ulama mengatakan: “Dia dishalatkan.” Mereka memberikan jawaban terhadap hadits ini bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menyolatkannya sebagai peringatakan bagi manusia dari perbuatan semisal itu, dan para sahabat menshalatkannya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/405. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Begitu pula dikatakan oleh Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah:

حملوه على أنه صلى عليه غيره والله أعلم وذهبوا إلى أن كل من كان من أهل القبلة لا تترك الصلاة عليه وعلى هذا جماعة العلماء إلا أبا حنيفة وأصحابه فإنهم خالفوا في البغاة وحدهم فقالوا لا نصلي عليهم

Mereka menafsirkannya bahwa selainnya (Nabi, pen) menshalatkannya. Wallahu A’lam. Mereka berpendapat bahwa semua ahli kiblat tidaklah ditinggalkan shalat atasnya, dan atas inilah pendapat jamaah para ulama, kecuali Abu Hanifah dan para sahabatnya. Mereka berbeda pendapat tentang pemberontak, kata mereka: Kami tidak menshalatkan mereka (para pemberontak). (Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 24/131. Muasasah Al Qurthubah)

📌 Manakah pendapat yang kuat?

Pendapat yang lebih rajih (kuat) adalah orang bunuh diri tetap dishalatkan, sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Sebab, disebutkan dalam riwayat lain bahwa ada beberapa keadaan manusia yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mau shalatkan, ternyata walau Beliau tidak menshalatkan, Beliau tetap memerintahkan sahabatnya untuk menshalatkan.

Dari Zaid bin Khalid Al Juhni Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوُفِّيَ يَوْمَ خَيْبَرَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَتَغَيَّرَتْ وُجُوهُ النَّاسِ لِذَلِكَ فَقَالَ إِنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ لَا يُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ

Bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat pada perang Khaibar, mereka melaporkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu Beliau bersabda: “Shalatlah kalian terhadap sahabat kalian.” Maka berubahlah wajah manusia karena itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya sahabat kalian ini berkhianat dalam jihad fisabilillah, maka kami menggeledah perhiasannya, lalu kami menemukan kharazan (susunan permata) dari orang Yahudi, yang tidak setara dengan dua dirham.” (HR. Abu Daud No. 2710, Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Ahkamul Janaiz, Hal. 79, No. 58)

Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُصَلِّي عَلَى رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَأُتِيَ بِمَيِّتٍ فَقَالَ أَعَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا نَعَمْ دِينَارَانِ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ

Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menshalatkan laki-laki yang memiliki hutang. Lalu didatangkan mayit ke hadapannya. Beliau bersabda: “Apakah dia punya hutang?” Mereka menjawab: “Ya, dua dinar.” Beliau bersabda: “Shalatlah untuk sahabat kalian.” (HR. Abu Daud No. 3343, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3343)

Tentu, jika menshalatkan mereka adalah perbuatan terlarang sama sekali pasti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga akan melarang para sahabatnya untuk menshalatkan. Faktanya, justru Beliau memerintahkan para sahabatnya untuk shalat jenazah kepada mayit tersebut. Ini menunjukkan bolehnya menshalatkan orang yang berbuat curang dalam jihad, berhutang, dan –dengan jalan qiyas- juga orang yang bunuh diri. Ada pun Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri tidak mau menshalatkan, hal itu bermakna sebagai peringatan bagi orang lain agar tidak melakukan hal serupa dan ketidaksukaannya terhadap perbuatan itu.

Wallahu A’lam

🌷🌺🌴☘🌻🍃🌸🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top