Syaikh Abdullah bin Hasan Al Qu’ud Rahimahullah: Menasihati Pemimpin Secara Terang-Terangan dan Tersembunyi Adalah Diperintahkan

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

سئل العلامة عبد الله بن قعود رحمه الله : ما هو منهج أهل السنة في نصح الحاكم ؟ هل هو الإعلان بإنكار المنكر أو الإسرار به ؟
فأجاب رحمه الله :
على كل حال أنا أرى أن الأمر فيه تفصيل :
أولاً المناصحة من حيث المبدأ جزء من الاعتقاد ، أخذت البيعة بها (وأن تناصحوا من ولاَّه الله أمركم) ، المناصحة جزء من عقيدة المسلم ، أخذت البيعة بها بأن يناصح من ولاه الله أمره ولا سيما إن كان ذا وجاهة أو ذا علم أو ذا مكانة ، هذا من حيث المبدأ .
بقي أسلوب المناصحة ، أسلوب المناصحة : أنا أرى أن الأمر يـختلف باختلاف الأحوال ، يـختلف باختلاف وضع الحاكم وتسلطه ، ويـختلف باختلاف قوة الناصح ومكانته ومواجهته وتـحصنه من الحاكم ، ويختلف باختلاف الأمر الذي سينصح به ، فأنا أرى إن كان هذا الأمر الذي سيُنصح به أمر ظاهر ومعلَن وواضح ، فالمنكر المعلن الواضح الظاهر أرى أنه لا حرج في أن يناصَح الحاكم من مواجهة أو من عمود صحيفة أو من منبر أو بأي أسلوب من الأساليب إذا كان المنكر واضح وواقع في الناس وعلني ، فالقاعدة السليمة أن ما ينكر إذا كان علناً عولج ونُصِح به علناً . أما إذا كان المنكر لم يظهر ، ولم يُعلَم للناس ولا يزال في مثل هذه الأمور ، خفي ، فهنا لا ، المفروض أن تكون المناصحة به سراً .
فأنا لست مع من يقول انصحوا سراً أو فرادى ، ولا مع من يقول لا ، نفسه انصحوا علناً ، وجماعة ، فالكل مطلوب لكن باختلاف الأحوال

المرجع : شريط ( وصايا للدعاة – الجزء الثاني) للشيخ عبد الله بن حسن القعود

Syaikh Al ‘Allamah Abdullah Al Qu’ud Rahimahullah ditanya:

“Bagaimanakah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam menasihati pemimpin?” Apakah mengingkari mereka dengan cara terang-terangan atau tertutup?”

Beliau – Rahimahullah- menjawab:

Bagaimana pun juga masalah ini menurutku perlu diperinci.

Pertama. Memberikan nasihat di sisi konsepsi merupakan bagian dari aqidah. Di antara isi dari bai’at adalah (Memberikan nasihat kepada orang yang Allah kuasakan kepadanya urusan kalian). Maka, nasihat adalah salah satu bagian dari aqidah muslim. Di mana bai’at pun juga terikat dengannya, yaitu memberikan nasihat kepada orang yang Allah berikan kuasa untuk mengurus urusan kalian. Apalagi bagi mereka yang memiliki kedudukan, ilmu, dan posisi. Ini dari sisi konsep dasarnya.

Ada pun dari sisi metode menasihati, menurutku ada perbedaan metode tergantung perbedaan situasi, baik perbedaan keadaan pemimpin dan jenis kekuasaannya, perbedaan kekuatan si pemberi nasihat dan kedudukannya, posisinya, dan daya tahannya terhadap pemimpin, juga tergantung perbedaan permasalahan yang membuatnya mesti memberikan nasihat kepadanya.

Aku berpendapat, jika permasalahannya adalah masalah yang memang nampak, terang, dan jelas, lalu dilakukan pengingkaran secera terang-terangan dan jelas pula, maka hal itu menurutku tidak apa-apa menasihati pemimpin baik secara langsung berhadapan, atau di media massa, atau di atas mimbar, atau cara apa pun, jika memang kemungkarannya jelas terjadi di tengah-tengah manusia dan terangan-terangan.

Maka, kaidah yang benar adalah kemungkaran yang terang-terangan maka nasihati dan berikan solusi secara terang-terangan. Ada pun kemungkaran yang tersembunyi dan tidak beredar di tengah-tengah manusia, dan tetap tersembunyi, maka wajib menasihatinya secara diam-diam.

Aku bukanlah orang yang bersama pihak yang mengatakan nasihat hanya diam-diam saja atau sendiri-sendiri, dan tidak pula bersama yang mengatakan “tidak”, yang hanya memberikan jalan keluar dengan nasihat secara terbuka dan beramai-ramai. Tetapi, semua ini cara yang diperintahkan, sesuai kondisinya masing-masing yang berbeda.

📚 Kaset: Washaya Lid Du’ah (Juz 2)

🌷☘🌺🌴🍃🌸🌾🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

Berdoa Setelah Shalat Wajib, Mestikah Diingkari?

🐾🐾🐾🐾🐾

Sebagian orang mengingkari adanya doa setelah shalat wajib. Mereka mengingkari saudara-saudaranya yang berdoa, dengan alasan tidak ada sunahnya berdoa setelah shalat, yang ada hanyalah berdzikir saja. Benarkah sikap seperti ini?

📌 Mayoritas Ulama Mengatakan Berdoa setelah Shalat Wajib itu SUNNAH

Imam Al Bukhari, dalam kitab Shahih-nya, – jauh sebelum Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan bahwa TIDAK ADA BERDOA SETELAH SHALAT- , telah menulis BAB AD DU’A BA’DA ASH SHALAH (Bab Tentang Doa Setelah Shalat).

📌 Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata tentang itu:

قوله: “باب الدعاء بعد الصلاة” أي المكتوبة، وفي هذه الترجمة رد على من زعم أن الدعاء بعد الصلاة لا يشرع

“Ucapannya (Al Bukhari), “Bab Tentang Doa Setelah Shalat” yaitu shalat wajib. Pada bab ini, merupakan bantahan atas siapa saja yang menyangka bahwa berdoa setelah shalat tidak disyariatkan.” (Bantahan lengkap beliau terhadap Imam Ibnul Qayyim, lihat di Fathul Bari, 11/133-135. Darul Fikr)

📌 Imam Ja’far Ash Shadiq Radhiallahu ‘Anhu -salah satu guru Imam Abu Hanifah- berkata:

الدعاء بعد المكتوبة أفضل من الدعاء بعد النافلة كفضل المكتوبة على النافلة

“Berdoa setelah shalat wajib lebih utama dibanding berdoa setelah shalat nafilah, sebagaimana kelebihan shalat wajib atas shalat nafilah.” (Fathul Bari, 11/134. Tuhfah Al Ahwadzi, 2/197. Darus Salafiyah. Lihat juga Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Bukhari, 10/94. Maktabah Ar Rusyd)

📌 Sementara Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri Rahimahullah juga mengatakan:

لا ريب في ثبوت الدعاء بعد الانصراف من الصلاة المكتوبة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قولاً وفعلاً، وقد ذكره الحافظ بن القيم أيضاً في زاد المعاد حيث قال في فصل: ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول بعد انصرافه من الصلاة ما لفظه: وقد ذكر أبو حاتم في صحيحه أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول عند إنصرافه من صلاته اللهم أصلح لي ديني الذي جعلته عصمة أمري ، واصلح لي دنياي التي جعلت فيها معاشي…

“Tidak ragu lagi, kepastian adanya berdoa setelah selesai shalat wajib dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam baik secara ucapan atau perbuatan. Al Hafizh Ibnul Qayyim telah menyebutkan juga dalam Zaadul Ma’ad ketika dia berkata dalam pasal: Apa-apa Saja yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Ucapkan Setelah selesai shalat. Demikian bunyinya: Abu Hatim telah menyebutkan dalam Shahih-nya, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata setelah selesai shalatnya: “Ya Allah, perbaikilah bagiku agamaku yang telah menjaga urusanku, dan perbaikilah bagiku duniaku yang aku hidup di dalamnya …” (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/197)

📌 Berkata Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi Rahimahullah :

“في دبر كل صلاة” : أي عقبها وخلفها أو في آخرها

“Pada dubur kulli ash shalah, yaitu setelah dan belakangnya, atau pada akhirnya.” (‘Aunul Ma’bud, 4/269. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

📌 Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah juga juga mengatakan:

واستحباب المواظبة على الدعاء المذكور عقيب كل صلاةٍ

“Dan disunahkan menekuni doa dengan doa tersebut pada setiap selesai shalat.” (Imam Al ‘Aini, Syarh Sunan Abi Daud, 5/433. Maktabah Ar Rusyd)

📌 Para ulama Kuwait, yang tergabung dalam Tim penyusun kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah mengatakan:

يُسْتَحَبُّ لِلإِْمَامِ وَالْمَأْمُومِينَ عَقِبَ الصَّلاَةِ ذِكْرُ اللَّهِ وَالدُّعَاءُ بِالأَْدْعِيَةِ الْمَأْثُورَةِ

“Disunnahkan bagi imam dan makmum setelah selesai shalat untuk berdzikir kepada Allah dan berdoa dengan doa-doa ma’tsur.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 6/214. Wizaratul Awqaf wasy Syu’un Al Islamiyah)

Dalam kitab yang sama juga disebutkan:

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ مَا بَعْدَ الصَّلاَةِ الْمَفْرُوضَةِ مَوْطِنٌ مِنْ مَوَاطِنِ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ

“Pendapat MAYORITAS fuqaha adalah bahwa waktu setelah shalat fardhu merupakan waktu di antara waktu-waktu dikabulkannya doa.” (Ibid, 39/227).

📌 Di halaman yang sama, dikutip perkataan Imam Mujahid sebagai berikut:

إِنَّ الصَّلَوَاتِ جُعِلَتْ فِي خَيْرِ الأَْوْقَاتِ فَعَلَيْكُم ْ بِالدُّعَاءِ خَلْفَ الصَّلَوَاتِ

“Sesungguhnya pada shalat itu, dijadikan sebagai waktu paling baik bagi kalian untuk berdoa, (yakni) setelah shalat.” (Ibid)

Demikianlah perkataan para imam kaum muslimin dan dalil-dalil yang sangat jelas tentang doa setelah shalat wajib, yang mereka sampaikan.

Maka, sangat tidak dibenarkan sikap sinis dan menyalahkan saudara sesama muslim yang meyakini dan melakukan doa setelah shalat wajib. Seharusnya dalam masalah ini kita berlapang dada.

Wallahu A’lam

🌿🌾🌷🌻🍃☘🌳🌸


 

🌸🍃 Benarkah Tidak Ada Doa Setelah Shalat Wajib, dan yang ada hanya dzikir? 🍃🌸

💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Tidak benar…, pernyataan itu bertentangan dengan sunnah yang shahih:

Pertama:

عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ
كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُونَ عَنْ يَمِينِهِ يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ قَالَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ رَبِّ قِنِي عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ أَوْ تَجْمَعُ عِبَادَكَ

Dari Al Barra` katanya; “Jika kami shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kami menyukai jika berada di sebelah kanan beliau, sehingga beliau menghadap kami dengan wajahnya.”

Al Barra` mengatakan; “Aku mendengar beliau mengucapkan doa “RABBI QINII ‘ADZAABAKA YAUMA TAB’ATSU AW TAJMA’U IBADAADAKA (Ya Tuhanku, jagalah aku dari siksa-Mu ketika Engkau bangkitkan atau ketika Engkau kumpulkan hamba-hamba-Mu).”

(HR. Muslim no. 709)

Kedua:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ إِذَا صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ يُسَلِّمُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا

Dari Ummu Salamah berkata, “Ketika salam dalam shalat SUBUH, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan; “ALLAHUMMA INNI AS`ALUKA ILMAN NAAFI’AN WA RIZQAN THAYYIBAN WA ‘AMALAN MUTAQABBALAN (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amal yang diterima). ”

(HR. Ibnu Majah no. 925, Ahmad no. 25506, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)

Hadits ini oleh Imam Ibnu Majah, dibuat bab berjudul Maa Yuqaal Ba’da Tasliim (Apa yang dibaca setelah salam).

Para ulama Arab Saudi pun membolehkan doa setelah shalat, hanya saja menurut mereka tidak sambil mengangkat tangan, dan hendaknya masing-masing.

Dalam Fatawa Al Lajnah Ad Daimah kerajaan Arab Saudi:

أما الدعاء بدون ذلك فلا بأس به ، لورود بعض الأحاديث في ذلك

Ada pun berdoa (setelah shalat) tanpa hal itu (mengangkat tangan dan berjamaah), adalah tidak apa-apa, karena adanya sebagian hadits tentang itu.

(Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 7/103)

Sedangkan masalah mengangkat tangannya dan berdoa berjamaah setelah shalat adalah perkara yang diperselisihkan ulama. Sebagian membid’ahkan contohnya para ulama di Al Lajnah Ad Daimah, sebagian membolehkan. Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah membahas ini cukup panjang dalam kitab Tuhfah al Ahwdzi, baik pihak yang kontra dan pro. Beliau sendiri membolehkan asalkan tidak menjadi kebiasaan, berdasarkan sejumlah dalil atas hal itu.

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🍀🍁🌿🌻🌸🌳🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

Memutar Badan Bagi Imam Setelah Selesai Shalat adalah Sunnah

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Dari Jabir bin Yazid bin Al Aswad, dari ayahnya, dia berkata:

شَهِدْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَّتَهُ فَصَلَّيْتُ مَعَهُ صَلَاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ قَالَ فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ وَانْحَرَف

“Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku shalat subuh bersamanya di masjid Al Khaif.” Ia berkata; “Ketika beliau selesai melakasanakan shalat subuh dan Beliau memutar badannya …. ” (Hr. At Tirmidzi No. 219, katanya: hasan shahih)

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah berkata:

قلت والظاهر أن المعنى انحرف عن القبلة وقال بن حجر أي جعل يمينه للمأمومين ويساره للقبلة كما هو السنة

Aku berkata: yang benar maknanya adalah berpaling dari kiblat. Ibnu Hajar berkata: yaitu menjadikan posisi sebelah kanan badan ke arah Ma’mun, dan bagian kiri ke arah kiblat. Sebagaimana itu adalah sunnah.

📚 Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 2/3. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah

🌷☘🌺🌴🍃🌸🌾🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

Mencerai Istri Melalui SMS/Whatsapp dan Saat Hamil

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:


Assalaamu’alaikum… Maaf ustadz, saya mau tanya.
Misalkan seorang suami bertengkar lewat sms..trs suami mengucapkan akan ku ceraikan kamu..sebanyak 3 kali sms..itu hukumnya bagaimana ya ust? apakah termasuk sdh talak 3?
Kejadiannya saat hamil.
sebelumnya terima kasih🙏🏽

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam .. Bismillah wal Hamdulillah ..

Ungkapan cerai, baik secara lisan dan tulisan, selama menggunakan kalimat yang sharih dan waadhih (jelas), maka jatuh cerai tersebut. Ada pun jika dengan bahasa kinaayah (kiasan/simbolik), mesti dibarengi oleh niat cerai.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

واللفظ قد يكون صريحا، وقد يكون كناية، فالصريح: هو الذي يفهم من معنى الكلام عند التلفظ به، مثل: أنت طالق ومطلقة، وكل ما اشتق من لفظ الطلاق.
وقال الشافعي رضي الله عنه: ألفاظ الطلاق الصريحة ثلاثة: الطلاق، والفراق، والسراح، وهي المذكورة في القرآن الكريم. وقال بعض أهل الظاهر: لا يقع الطلاق إلا بهذه الثلاث، لان الشرع إنما ورد بهذه الالفاظ الثلاثة، وهي عبادة، ومن شروطها اللفظ فوجب الاقتصار على اللفظ الشرعي الوارد فيها والكناية :
ما يحتمل الطلاق وغيره

Lafaz cerai bisa lugas bisa juga bahasa simbolik. Yang lugas itu adalah perkataan yang maknanya sesuai dengan makna lafaznya, seperti: “Engkau telah dicerai,” atau perkataan yang lain yang bermakna turunan dari lafz cerai.

Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Lafaz cerai yang lugas ada tiga: “Thalaq/cerai, Al firaaq/perpisahan, dan As Siraah/bubar. Semua ini disebutkan dalam Al Quran Al Karim. Sebagian golongan Zhahiriyah berkata: Tidak jatuh cerai kecuali dengan tiga hal ini, karena syariat hanya menyebutkan tiga bentuk kata ini, dan ini adalah ibadah, dan di antara syarat sahnya adalah adnaya lafaz, maka wajib mencukupkan diri atas lafaz yang datang dari syariat.
Sedangkan lafaz simbolik adalah lafaz yang bisa dimaknai cerai atau selainnya. (Fiqhus Sunnah, 2/253-254)

Seperti “Urusanmu ditangan kamus sendiri”, “engkau haram bagiku”, ini bisa bermakna cerai atau bermakna haram untuk menyakitinya.

Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan bahwa LAFAZ SHARIH (LUGAS) tanpa diniatkan pun sudah sah, seperti kalimat istriku sudah aku cerai, engkau sudah aku cerai. Sedangkan LAFAZ KINAYAH (SIMBOLIK) mesti dibarengi dengan niat cerai. (Ibid)

Ada pun cerai dengan tulisan, di zaman ini bisa dengan surat, SMS, WA, maka itu SAH menurut Syafi’iyah dan Malikiyah, sesuai kaidah: الكتابة تنزل منزلة القول – tulisan itu sepadan kedudukannya dengan perkataan. Bahkan ini menjadi pendapat umumnya ulama.

Para ulama mengatakan:

وَاتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ أَيْضًا عَلَى وُقُوعِ الطَّلاَقِ بِالْكِتَابَةِ ، لأَِنَّ الْكِتَابَةَ حُرُوفٌ يُفْهَمُ مِنْهَا الطَّلاَقُ ، فَأَشْبَهَتِ النُّطْقَ ؛ وَلأَِنَّ الْكِتَابَةَ تَقُومُ مَقَامَ قَوْل الْكَاتِبِ ، بِدَلِيل أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ مَأْمُورًا بِتَبْلِيغِ الرِّسَالَةِ ، فَبَلَّغَ بِالْقَوْل مَرَّةً ، وَبِالْكِتَابَةِ أُخْرَى .وَالْكِتَابَةُ الَّتِي يَقَعُ بِهَا الطَّلاَقُ إِنَّمَا هِيَ الْكِتَابَةُ الْمُسْتَبِينَةِ ، كَالْكِتَابَةِ عَلَى الصَّحِيفَةِ وَالْحَائِطِ وَالأَْرْضِ ، عَلَى وَجْهٍ يُمْكِنُ فَهْمُهُ وَقِرَاءَتُهُ . وَأَمَّا الْكِتَابَةُ غَيْرُ الْمُسْتَبِينَةِ كَالْكِتَابَةِ عَلَى الْهَوَاءِ وَالْمَاءِ وَشَيْءٍ لاَ يُمْكِنُ فَهْمُهُ وَقِرَاءَتُهُ ، فَلاَ يَقَعُ بِهَا الطَّلاَقُ

Para ulama sepakat juga atas sahnya cerai dengan tulisan, karena tulisan merupakan huruf-huruf yang bisa dipahami darinya sebagai perceraian, serupa dengan ucapan, dan karena tulisan itu kedudukannya sama dengan ucapan si pengucapnya. Dalilnya adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam pernah memerintahkan menyampaikan surat, jadi sekali menyampaikan dakwah dengan perkataan, dan dengan tulisan pada waktu lainnya.

Tulisan yang membuat jatuhnya cerai adalah tulisan yang terbaca jelas, seperti tulisan di atas lembaran, tembok, atau tanah, dan apa pun yang mungkin bisa dipahami bacaannya. ada pun tulisan yang tidak jelas, seperti tulisan di udara, air, dan sesuatu yang tidak mungkin untuk membacanya maka tidak sah cerai tersebut. (Al Mausu’ah, 12/216-217)

Bagaimana Cerai saat kondisi Hamil?

Jumhur ulama mengatakan bahwa menceraikan isteri pada saat hamil adalah boleh, bahkan Imam Ahmad menyebutnya cerai yang sejalan dengan sunnah. Hal ini berdasarkan hadits shahih berikut:

ثُمَّ لِيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَوْ حَامِلًا

“Kemudian, ceraikanlah dia pada waktu suci atau hamil.” (HR. Muslim No. 1471)

Imam An Nawawi memberikan komentar:

فِيهِ دَلَالَة لِجَوَازِ طَلَاق الْحَامِل الَّتِي تَبَيَّنَ حَمْلهَا وَهُوَ مَذْهَب الشَّافِعِيّ ، قَالَ اِبْن الْمُنْذِر وَبِهِ قَالَ أَكْثَر الْعُلَمَاء مِنْهُمْ طَاوُس وَالْحَسَن وَابْن سِيرِينَ وَرَبِيعَة وَحَمَّاد بْن أَبِي سُلَيْمَان وَمَالِك وَأَحْمَد وَإِسْحَاق وَأَبُو ثَوْر وَأَبُو عُبَيْد ، قَالَ اِبْن الْمُنْذِر : وَبِهِ أَقُول . وَبِهِ قَالَ بَعْض الْمَالِكِيَّة

“Di dalamnya terdapat dalil bagi bolehnya mencerai wanita yang jelas kehamilannya, itulah madzhab Asy Syafi’i. berkata Ibnul Mundzir: “Dengan ini pula pendapat mayoritas ulama, di antara mereka adalah Thawus, Al Hasan, Ibnu Sirin, Rabi’ah, Hammad bin Abi Sulaiman, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid.” Berkata Ibnu Mundzir: “Aku juga berpendapat demikian.” Dan dengan ini juga pendapat sebagian Malikiyah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 10/65)

Namun, sebagian Malikiyah lainnya mengharamkannya, dan Ibnul Mundzir meriwayatkan bahwa Al Hasan (Al Bashri) memakruhkan. Demikian keterangan lanjutan dari Imam An Nawawi, dalam kitabnya tersebut. Namun pendapat yang membolehkan adalah lebih sesuai dengan nash syariat. Selesai.

📌 Konteks Hukum Indonesia

Di Indonesia, sebagian kalangan menganggap perceraian baru dianggap sah jika disahkan oleh pengadilan. Misalnya, seperti majelis tarjih Muhammadiyah, ini agar meminimalisir angka perceraian. Ada pun MUI menganggap perceraian yang terjadi diluar persidangan mesti dilaporkan ke pengadilan untuk diputuskan sah atau tidaknya.

Namun, secara fiqih, sebagaimana yang sdh kami bahas jika syarat-syarat perceraian sudah terpenuhi, maka itu sah, walau belum disidangkan oleh pengadilan agama.

Wallahu A’lam

🌸🌴☘🌺🌾🌿🍃🌻

✍ PUSAT KONSULTASI SYARIAH-DEPOK

scroll to top