Kesedihan Umumnya Manusia

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Salah satu hukama (ahli hikmah) berkata:

أصحاب الغم والحزن في الدنيا ثلاثة، مُحب فارق حبيبه ووالد ضل ولده وغني فقد ماله

Orang-orang yang murung dan bersedih di dunia ada tiga:

1⃣ Orang yang bercinta berpisah dengan kekasihnya
2⃣ Orang tua yang kehilangan anaknya
3⃣ Orang kaya yang kehilangan hartanya

📚Aqwaalul Hukama ‘anil Hayah No. 7

Tapi bagi mu’minin yang membuatnya sedih adalah:

1⃣ Seseorang yang kehilangan cinta dan ridha Allah Ta’ala
2⃣ Orang tua yang kehilangan anak shalihnya
3⃣ Orang kaya yang kehilangan harta yang bermanfaat dan berkah

🍃🌸🌾🌻🌴🌺🌷☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Makan Ular

🍎🍏🍎🍏🍎🍏🍎

📨 PERTANYAAN:

Aslkm.w.w., Ust. Farid, afwan ganggu antum, ane mau tanya ringan saja, bolehkah makan sop ular kobra? (Dr. Supri)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh, .. Bismillah wal Hamdulillah

Mayoritas ulama melarang memakan hewan yang bertaring lagi buas dan menjijikan, dan ini merupakan pendapat umumnya ulama Islam.

Dari imam 4 mazhab, hanya Imam Malik yang mengatakan halal. Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ فِي حَشَرَاتِ الْأَرْضِ كَالْحَيَّاتِ وَالْعَقَارِبِ وَالْجِعْلَانِ وَبَنَاتِ وَرْدَانَ وَالْفَأْرَةِ وَنَحْوِهَا : مَذْهَبُنَا أَنَّهَا حَرَامٌ , وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ وَدَاوُد , وَقَالَ مَالِكٌ : حلاَل

Pendapat para ulama tentang berbagai hewan hasyarat di bumi, seperti ular, kalajengking, kumbang, kecoak, tikus, dan semisalnya, dan pendapat kami (Syafi’iyah) adalah HARAM. Inilah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, Daud, sedangkan Malik mengatakan: halal. ( Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 16/9-17)

Pendapat mayoritas ulama adalah pendapat yang lebih menenangkan hati dan lebih pas, berdasarkan dalil-dalil berikut:

📌 Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang memakan hewan bertaring lagi buas.

Abu Tsa’labah Al Khusyani Radhiallahu ‘Anhu berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang memakan setiap hewan yang bertaring dari kalangan hewan buas. (HR. Muttafaq ‘alaih)

📌 Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan membunuh ular

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اقتلوا الحيات …

Bunuhlah oleh kalian ular .. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Kaidahnya, setiap hewan yang diperintahkan dibunuh maka itu haram dimakan, seperti yang dikatakan Imam An Nawawi Rahimahullah.

📌 Ular termasuk hewan khabaaits; buruk, menjijikan dan tidak disukai oleh tabiat manusia yang bersih.

Allah Ta’ala berfirman:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

Dan menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan mengharamkan atas mereka yang khabaaits (Qs. Al A’raf: 157)

Olen karena itu Al Lajnah Ad Daimah memfatwakan:

لا يجوز أكل الفيران والثعابين والحنش السام والقردة ؛ لأن جنسها مما يفترس بنابه ، وقد نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن أكل كل ذي ناب من السباع ، ولأنها مستخبثة ، وقد قال تعالى في بيان صفة النبي صلى الله عليه وسلم : ( وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ )

Tidak boleh memakan tikus, ular, ular berbisa, kera, karena mereka memangsa dengan taringnya, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang memakan setiap hewan yang bertaring dari kalangan hewan buas. Dan juga karena ini hewan yang menjijikan. Allah Ta’ala telah berfirman: Dan menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan mengharamkan atas mereka yang khabaaits. ( Fatawa Al Lajnah Ad Daaimah, 22/292)

Demikian. Wallahu A’lam

🌱🍃☘🌸🌴🌺🌿🌻🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

Tegas Dalam Aqidah, Bijak Dalam Fiqih

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📌 Perbedaan ada dua macam: tadhadh (kontradiktif) dan tanawwu’ (variatif)

📌 Zona perbedaan kontradiktif adalah pada pokok-pokok agama yang aksiomatik dan pasti dalam Islam; di mana siapa pun yang mengingkarinya maka dia telah tersesat bahkan kafir, seperti :

– Mengingkari salah satu rukun Islam, apalagi seluruhnya
– Mengingkari rukun iman, apalagi seluruhnya
– Mencaci maki para sahabat nabi
– dll

📌 Perbedaan dalam zona ini disikapi tegas yaitu menyampaikan penyimpangannya agar mereka bertobat, atau/dan menyerahkan mereka kepada pemimpin Islam untuk menuntaskannya sebagaimana Khalifah Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu kepada para penolak zakat

📌 Perbedaan variatif adalah perbedaan dalam masalah fiqih yang derivat, seperti:

– Qunut dalam subuh; sunah menurut Syafi’iyah dan Malikiyah, tidak disyariatkan menurut Hanafiyah dan Hanabilah (Hambaliyah)

– Membaca Al Quran di kubur; boleh menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, makruh menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik

– Mengirim bacaan Al Quran (Al Fatihah, Yasin, dll) kepada mayit; sampai menurut Imam Ahmad, Imam Ibn Hajar Al Haitami, Imam Kamal bin Al Hummam, Imam Asy Syaukani, Imam Ibnu Taimiyah, dan ini pendapat yang dipilih (mukhtar) dalam madzhab Syafi’iy.

Sementara tidak sampai menurut Imam Asy Syafi’i, Imam Ibnu Katsir, dan ini pendapat yang terkenal (mayshur) dalam madzhab Syafi’iy, juga diikuti Hambaliyah kontemporer, seperti Bin Baaz, Utsaimin, Shalih Al Fauzan, dll

– Sayyidina dalam membaca shalawat di duduk tasyahud; sebagian menganjurkan dan menilai ya sebagai Adab menurut sebagian Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hambaliyah, dan sebagian mereka ada yg menolaknya.

– Berdzikir dengan biji tasbih: hampir semua ulama membolehkannya, bahkan Imam As Suyuthi mengatakan tidak ada yang memakruhkannya sejak zaman salaf dan khalaf. Sementara ulama kontemporer ada yg menolaknya seperti Syaikh Al Albani, Syaikh Bakr Abu Zaid, dan Syaikh Abdul Muhsin Al Badr.

– Isbal bagi laki2; mereka sepakat haram jk dibarengi sombong, tapi mereka berbeda pendapat jk tanpa sombong. Ada yang membolehkan seperti Umar bin Abdul Aziz, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, … Ada yang memakruhkan seperti Imam Syafi’iy, Imam An Nawawi, Imam Ibnu Abdil Bar, … ada yang mengharamkan seperti Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu Hajar, Imam Adz Dzahabi ..

– Melafazkan niat: Syaikh Wahbah Az Zuhaili mengatakan ini mandub (dianjurkan) menurut mayoritas ulama baik Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hambaliyah. Malikiyah memakruhkannyam sebagian Hambaliyah membid’ahkannyal

– Menjual alat musik; haram menurut 3 Imam madzhab, kecuali Imam Abu Hanifah, begitu pula Imam Ibnu Hazm. Sementara murid2 Abu Hanifah juga mengharamkan

– Qurban atas nama orang yang sudah wafat; boleh menurut Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanafiyah, tapi tidak boleh mwnurut Syafi’iyah kecuali jika sebelumnya dia berwasiat, waqaf atau nadzar.

– dan masih buuuuaanyak lagi

📌 Jika ada da’i yang menjelaskan masalah seperti ini hanya satu sudut pandang maka wajar akan terwujud murid-murid yang sempit pandangan

📌 Kemungkinan kenapa ada da’i-da’i seperti adalah mungkin kurang referensi. Semoga bukan karena menyembunyikan hakikat permasalahan, khilafiyah dianggap ijma’.

📌 Semoga para da’i, muballigh, mu’allim, Allah berikan kemudahan untuk memperdalam keilmuan tentang agama ini yang sangat luas, dan tidak sombong terhadap yang lainnya, agar mampu meneladani bijaksana dan akhlak para ulama terdahulu, bukan hanya mengambil ilmu ulama terdahulu.

Wallahu A’lam

☘🌷🌺🌴🍃🌸🌾🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

Talqin Mayit Di Kuburnya, Bid’ahkah atau Khilafiyah Para Imam Ahlus Sunnah?

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لقنوا موتاكم لا اله الا الله

Talqinkan “mautaakum” dengan Laa Ilaha Illallah. (Hr. Muslim No. 916, dari Abu Sa’id Al Khudri)

Untuk talqin sebelum wafat, tidak ada perselisihan bahwa hal itu dianjurkan agar akhir kalamnya adalah laa ilaha illallah. Makna “mautaakum” menurutnya umumnha ulama adalah ofang yang sedang menghadapi kematian di antara kamu. Istilah lainnya sakaratul maut.

Bagaimana dengan talqin bagi yang sudah dimakamkan? Jenis ini terjadi perselisihan para ulama, antara yang membolehkan (bahkan menganjurkan) dan melarangnya.

Kenyataan ini barangkali menjadi sesuatu yang mengagetkan bagi pihak yang terlanjur menyebut bid’ah hal tersebut. Dikiranya semua ulama melarang, padahal para ulama berbeda pendapat dengan hujjahnya masing-masing.

Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah menerangkan:

واستدل الشافعي بظاهر الحديث على أن التلقين بعد الدفن، وأصحابنا أولوه بمعنى: لقنوا من قرب إلى الموت لا إله إلا الله، لأن تلقين الميت لا يفيد

Imam Asy Syafi’i berdalil dengan zahirnya hadits, bahwa talqin dilakukan setelah penguburan, sementara sahabat-sahabat kami mentakwil dengan makna: talqinkanlah oleh kalian orang yang mendekati kematian dengan kalimat Laa Ilaha Illallah, karena talqin buat mayit tidak bermanfaat. (Syarh Sunan Abi Daud, 6/36)

Imam Al Munawi Rahimahullah juga menjelaskan:

أما التلقين بعد الموت وهو في القبر فقيل يفعل لغير نبي وعليه أصحابنا الشافعية ونسب إلى أهل السنة والجماعة وقيل لا يلقن وعليه أبو حنيفة تمسكا بأن السعيد لا يحتاج إليه والشقي لا ينفعه

Ada pun talqin setelah kematian, yaitu di kubur, dikatakan bahwa hal itu dilakukan untuk mayit selain Nabi ﷺ, itulah pendapat sahabat-sahabat kami Syafi’iyah, dan menyandarkan hal itu sebagai pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dikatakan, bahwa tidak ada talqin untuk yang sudah di kubur, inilah pendapat Abu Hanifah berdasarkan bahwa jika mayit ini bahagia maka dia tidak membutuhkannya, jika dia sengsara maka itu pun tidak bermanfaat baginya. (Faidhul Qadir, 5/281)

Nah, perbedaan ini sebagaimana yang Anda lihat dari uraian Imam Al ‘Aini dan Imam Al Munawi –sebagaimana perselisihan fiqih lainnya- tidak boleh membuat kaum muslimin saling bermusuhan dan mengecam satu sama lain. Sebab perselisihan ini sudah ada sejak lama, dan masing-masing pihak punya dasar, bahkan haditsnya sama, tapi beda dalam memahaminya.

📌 Pihak Yang Melarang

Bagi golongan ini, mentalqinkan mayit setelah di kubur tidak memiliki dasar dalam agama, baik Al Quran dan As Sunnah, dan perilaku para salaf. Hukumnya sama saja dengan membaca Al Quran di kubur, di mana Imam Malik dan Imam Abu Hanifah memakruhkannya. Bagi mereka talqin yang benar adalah sebelum wafatnya, yaitu dengan mengajarkan kalimat Laa Ilaha Illallahu agar akhir hayatnya dia mengucapkannya.

Berikut ini para ulama yang tidak menyetujui talqin setelah di kubur.

Imam Abul Hasan As Sindi mengatakan:

لقنوا مَوْتَاكُم المُرَاد من حَضَره الْمَوْت لَا من مَاتَ والتلقين أَن يذكر عِنْده لَا أَن يَأْمُرهُ بِهِ والتلقين بعد الْمَوْت قد جزم كثير أَنه حَادث وَالْمَقْصُود من هَذَا التَّلْقِين أَن يكون آخر كَلَامه لَا إِلَه إِلَّا الله وَلذَلِك إِذا قَالَ مرّة فَلَا يُعَاد عَلَيْهِ الا ان تكلم بِكَلَام آخر قَوْله

Talqinkan “mautaakum” maksudnya orang yang sedang menghadapi kematian bukan orang yang sudah mati, dan talqin itu adalah untuk mengingatkannya bukan memerintahkannya. Dan, talqin setelah kematian adalah sesuatu yang telah banyak terjadi, padahal maksud talqin ini adalah agar akhir dari ucapannya adalah laa ilaha illallah, oleh karena itu jika dia sudah ucapkan sekali maka jangan diulangi lagi kecuali jika dia mengucapkan kalimat lainnya lagi. (Hasyiah As Sindi ‘Ala Sunan An Nasa’i, 4/5)

Imam Abul Hasan Al Mubarkafuri mengatakan:

وفي الحديث دليل على مشروعية الاستغفار للميت عند الفراغ من دفنه، وسؤال التثبيت له، وأن دعاء الأحياء ينفع الأموات، وليس فيه دلالة على التلقين عند الدفن كما هو المعتاد في الشافعية، وليس فيه حديث مرفوع صحيح، وأما ما روي في ذلك من حديث أبي أمامة فهو ضعيف لا يقوم به حجة، عزاه الهيثمي للطبراني، وقال: فيه جماعة لم أعرفهم. وأما قوله – صلى الله عليه وسلم -: ((لقنوا موتاكم لا إله إلا الله)) ، فالمراد عند الموت لا عند دفن المبت

Dalam hadits ini merupakan dalil disyariatkannya memohonkan ampunan bagi mayit setelah selesai penguburan dan memohonkan tatsbit (peneguhan ketika ditanya oleh malaikat, pen) untuknya, dan bahwasanya doa orang hidup itu bermanfaat buat orang mati, tapi ini bukan dalil pembolehan talqin setelah dikubur sebagaimana kebiasaan golongan Syafi’iyah. Serta tidak ada pula hadits marfu’ shahih tentang itu. Ada pun hadits dari Abu Umamah adalah dhaif (lemah), dan tidak bisa dijadikan hujjah. Al Haitsami menguatkan riwayat Ath Thabarani dan mengatakan: “Dalam riwayat ini terdapat golongan manusia yang aku tidak kenal.” Ada pun hadits –talqinkan mautaakum laa ilaha illallaah, artinya ketika meghadapi kematian, bukan setelah mati. (Mir’ah Al Mafatih, 1/229)

Demikian pihak yang menolak dan alasan penolakannya.

📌 Pihak Yang Membolehkan

Bagi golongan ini tidak apa-apa mentalqinkan mayat setelah di kuburnya dan itu bermanfaat baginya, sebab mayat masih bisa mendengar di kuburnya, sebagaimana keterangan banyak hadits shahih.

Imam Ibnu ‘Allan mengatakan:

فاستحبو التلقين بعد الموت وبعد الدفن، وقد ألف فيه الحافظ السخاوي مؤلفاً نفيساً

Mereka (para imam) menyunnahkan talqin setelah kematian dan setalah penguburan, Al Hafizh As Sakhawi telah membuat buku berharga tentang hal ini. (Dalilul Falihin, 6/392)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah termasuk ulama yang membolehkan, berikut ini kami kutipkan dua fatwa Beliau ketika ditanya tentang hukum talqin setelah mayit dikubur:

أجاب: هذا التلقين المذكور قد نقل عن طائفة من الصحابة: أنهم أمروا به، كأبي أمامة الباهلي، وغيره، وروي فيه حديث عن النبي – صلى الله عليه وسلم – لكنه مما لا يحكم بصحته؛ ولم يكن كثير من الصحابة يفعل ذلك، فلهذا قال الإمام أحمد وغيره من العلماء: إن هذا التلقين لا بأس به، فرخصوا فيه، ولم يأمروا به. واستحبه طائفة من أصحاب الشافعي، وأحمد، وكرهه طائفة من العلماء من أصحاب مالك، وغيرهم. والذي في السنن «عن النبي – صلى الله عليه وسلم -: أنه كان يقوم على قبر الرجل من أصحابه إذا دفن، ويقول: سلوا له التثبيت، فإنه الآن يسأل» ، وقد ثبت في الصحيحين أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: «لقنوا أمواتكم لا إله إلا الله» . فتلقين المحتضر سنة، مأمور بها. وقد ثبت أن المقبور يسأل، ويمتحن، وأنه يؤمر بالدعاء له؛ فلهذا قيل: إن التلقين ينفعه، فإن الميت يسمع النداء. كما ثبت في الصحيح «عن النبي – صلى الله عليه وسلم – أنه قال: إنه ليسمع قرع نعالهم» وأنه قال: «ما أنتم بأسمع لما أقول منهم» ، وأنه أمرنا بالسلام على الموتى. فقال: «ما من رجل يمر بقبر الرجل كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا رد الله روحه حتى يرد عليه السلام» . والله أعلم

Beliau menjawab: “Talqin seperti itu telah dinukilkan dari segolongan para sahabat bahwa mereka memerintahkan hal ini, seperti Abu Umamah Al Bahili dan selainnya. Dan, diriwayatkan hadits dari Nabi ﷺ tetapi tidak bisa dihukumi shahih, dan perbuatan ini tidak dilakukan banyak sahabat nabi. Oleh karena itu Imam Ahmad dan selainnya dari kalangan ulama mengatakan bahwa talqin seperti ini tidak apa-apa, mereka memberikan keringanan padanya namun tidak memerintahkannya. Ada pun sekelompok Syafi’iyah menyunnahkannya, juga pengikut Ahmad, tetapi dimakruhkan oleh segolongan ulama Malikiyah dan lainnya.

Tertulis dalam kitab-kitab sunah, dari Nabi ﷺ bahwa Beliau berdiri di sisi kubur seorang sahabatnya saat dia dimasukan ke kubur, dan Beliau bersabda: “Berdoalah untuknya keteguhan, karena dia sedang ditanya sekarang.” Telah shahih dalam Shahihain bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Talqinkan orang yang sedang mebghadapi kematian di antara kamu dengan La Ilaha Illallah.” Maka, talqin ketika menghadapi kematian adalah sunah, dan diperintahkan. Telah shahih bahwa seorang yang dikubur akan ditanya dan mengalami ujian, dan dianjurkan untuk mendoakannya. Oleh karena itu, dikatakan bahwa talqin itu bermanfaat baginya, karena mayit mendengarkan panggilan. Sebagaimana hadits shahih: “Sesungguhnya mayit mendengar suara sandal kalian.” Dan hadits lain: “Tidaklah kalian lebih mendengar apa yang aku katakan dibanding mereka.” Serta perintah nabi kepada kita untuk mengucapkan salam kepada mereka. Nabi ﷺ bersabda: “Tidaklah seorang laki-laki melewati kubur seorang laki-laki yang dia kenal, lalu dia ucapkan salam, melainkan Allah akan mengembalikan ruhnya sehingga dia menjawab salamnya.” Wallah A’lam. (Al Fatawa Al Kubra, 3/24)

Demikian penjelasan Imam Ibnu Taimiyah mengenai alasan bolehnya talqin setelah dikubur, dan ini merupakan pendapat Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’, dan pengikutnya.

Dalam fatwanya yang lain Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan:

الجواب: تلقينه بعد موته ليس واجبا، بالإجماع. ولا كان من عمل المسلمين المشهور بينهم على عهد النبي – صلى الله عليه وسلم – وخلفائه. بل ذلك مأثور عن طائفة من الصحابة؛ كأبي أمامة، وواثلة بن الأسقع. فمن الأئمة من رخص فيه كالإمام أحمد، وقد استحبه طائفة من أصحابه، وأصحاب الشافعي. ومن العلماء من يكرهه لاعتقاده أنه بدعة. فالأقوال فيه ثلاثة: الاستحباب، والكراهة، والإباحة، وهذا أعدل الأقوال. فأما المستحب الذي أمر به وحض عليه النبي – صلى الله عليه وسلم – فهو الدعاء للميت. وأما القراءة على القبر فكرهها أبو حنيفة، ومالك، وأحمد في إحدى الروايتين. ولم يكن يكرهها في الأخرى. وإنما رخص فيها لأنه بلغه أن ابن عمر أوصى أن يقرأ عند قبره بفواتح البقرة، وخواتيمها. وروي عن بعض الصحابة قراءة سورة البقرة. فالقراءة عند الدفن مأثورة في الجملة، وأما بعد ذلك فلم ينقل فيه أثر. والله أعلم

Jawaban: Talqin setelah mati bukanlah kewajiban berdasarkan ijma’. Dan itu juga bukan perbuatan kaum muslimin pada masa Nabi ﷺ dan para khalifahnya, tetapi itu ma’tsur dari segolongan sahabat seperti Abu Umamah dan Watsilah bin Al Asqa’. Di antara para imam yang memberikan keringanan masalah ini seperti Imam Ahmad, segolongan sahabat menyunnahkannya, juga para pengikut Asy Syafi’i. Di antara ulama yeng memakruhkan meyakini itu adalah bid’ah. Jadi, pendapat dalam hal ini ada tiga: SUNAH, MAKRUH, DAN MUBAH, DAN INILAH PENDAPAT HANG PALING LURUS.

Ada pun yang yang sunah, yang dianjurkan oleh Nabi ﷺ adalah berdoa bagi mayit, sedangkan membaca Al Quran di kubur dimakruhkan oleh Abu Hanifah, Malik, Ahmad dalam salah satu di antara dua riwayat darinya, dan dia tidak memakruhkan pada riwayat yang lainnya.

Beliau memberikan keringanan hal ini lantaran telah sampai kepadanya bahwa Ibnu Umar mewasiatkan agar membaca di sisi kuburnya awal surat Al Baqarah dan bagian akhirnya. Juga diriwayatkan dari sebagian sahabat nabi ﷺ membaca surat Al Baqarah. Maka, membaca Al Quran q adalah ma’tsur (memiliki dasar) secara umum, ada pun setelah kelar di kubur tidak ada atsar-nya. Wallahu A’lam. (Ibid, 3/25)

Imam Asy Sya’biy Rahimahullah berkata:

كانت الأنصار إذا مات لهم الميت اختلفوا إلى قبره يقرءون عنده القرآن

Dahulu orang-orang Anshar jika ada yang wafat di antara mereka, mereka berkumpul di sisi kuburnya dan mereka membacakan Al Quran disisi kuburnya. (Imam Abu Bakar Al Khalal, Al Qiraah ‘inda al Qubur No. 7)

Demikian. wallahu a’lam

🍃🌸🌻🌷🌺☘🌾🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top