Sulit Menghadap Kiblat Karena Sakit, Bagaimana Shalatnya?

▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh. Ustadz apakah BLH ktk kita sdg sakit berat/uzur.ketika solat tdk menghadap kiblat.krn kondisinya TDK memungkinkan.misalnya ketika drmh skt.pasien sdng SKT sngt sulit untuk mengubah posisi.(+62 821-5613-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Menghadap kiblat adalah syarat sahnya shalat, baik sehat dan sakit.

Tapi, jika benar2 sulit, sudah diupayakan tapi tidak bisa juga karena kondisi sakitnya, maka tidak apa-apa ..

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

واعلم أن جدتك إذا كان يشق عليها استقبال القبلة مشقة شديدة ولم يكن معها من يوجهها للقبلة فلها أن تصلي على حالها، ويسقط عنها شرط استقبال القبلة لأنها عاجزة عنه، قال الله تعالى: {لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا} [لبقرة:286]،
وقال جل وعلا: {فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ} [التغابن:16]،
وقال سبحانه: {وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ} [الحج:78]

Jika nenek anda mengalami kesulitan yg sangat2 sulit untuk menghadap kiblat, dan juga tidak ada siapa-siapa yang membantunya untuk mengarah ke kiblat, maka shalatlah sesuai kondisi dirinya. Syarat harus menghadap kiblat telah gugur atas dirinya karena dia tidak mampu.

Allah Ta’ala berfirman: “Allah tidak bebani seseorang apa-apa kecuali sesuai kemampuannya.” (QS. Al Baqarah: 286)

Dalam ayat lain:
“Bertaqwalah kepada Allah semampu kamu”. (QS. At Thaghabun: 16)

Ayat lain: “Allah tidak menjadikan agama ini sulit bagimu.” (QS. Al Haj: 78)

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 30051)

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Ayo Optimis!

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📌 Dia yang sangat lama menantikan datangnya Sang Buah Hati, akhirnya datang juga putra yang dinanti. Itulah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam

📌 Dia yang sangat miskin, melarat, dan berpenyakitan, akhirnya Allah Ta’ala mengangkatnya sebagai manusia terbaik karena kesabaran dan ketaatannya. Inna wajadnaahu shaabira ni’mal ‘abdu innahu awwaab – Kami dapatkan dia sebagai hamba yang bersabar, dia hamba terbaik karena dia tetap taat. Itulah Nabi Ayyub ‘Alaihissalam

📌 Dia yang sangat keras permusuhannya terhadap Nabi dan da’wah Islam, tapi kemudian dia berubah menjadi manusia yang sangat mencintai dan dicintai Nabi, menjadi mertua, dan deretan pujian baginya. Innasy syaithana layakhaafa ‘anka – Sesungguhnya syetan pun takut kepadamu. Itulah Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu

📌 Mereka menjadi raksasa dunia yang sangat kuat, adidaya, dan tak terkalahkan pada masanya. Tapi, prediksi kenabian menyebutkan Islam akan menguasai mereka. Dan sebagian besar sudah terwujud. Mereka adalah Persia, Konstantinopel, dan Romawi.

Maka saudaraku .. optimislah .. berjuanglah … tersenyumlah !

☘🌸🌺🌴🍃🌷🌾🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

Pernikahan Wanita Muslimah Dengan Laki-Laki Non Muslim, Baik Ahli Kitab atau Musyrikin

🍃🌸 Serial Fiqih Pergaulan Dengan Non Muslim🌸🍃

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Seorang wanita muslimah menikahi laki-laki musyrikin, dan ahli kitab (Yahudi atau Nasrani), adalah hal terlarang tiada debat lagi. Islam telah melarang hal ini terjadi, namun tidak sedikit wanita muslimah yang melanggarnya. Larangan ini berdasarkan Al Quran, As Sunnah, dan ijma’.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.

(QS. Al Mumtahanah (60): 10)

Berkata Imam Al Qurthubi Rahimahullah tentang ayat: (maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka):

“Yaitu Allah tidak menghalalkan wanita beriman untuk orang kafir, dan tidak halal pula laki-laki beriman menikahi wanita musyrik”. [1]

Dalam ayat lain:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang (laki-laki) musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al Baqarah (2): 221)

Syaikh Ibnu ‘Asyur Rahimahullah menjelaskan:

وَنَصُّ هَذِهِ الْآيَةِ تَحْرِيمُ تَزَوُّجِ الْمُسْلِمِ الْمَرْأَةَ الْمُشْرِكَةَ وَتَحْرِيمُ تَزْوِيجِ الْمُسْلِمَةِ الرَّجُلَ الْمُشْرِكَ فَهِيَ صَرِيحَةٌ فِي ذَلِكَ

Ayat ini menunjukkan haramnya pernikahan seorang (laki-laki) muslim dengan wanita musyrik dan haramnya pernikahan muslimah dengan laki-laki musyrik. Hal ini begitu jelas. [2]

Dalam As Sunnah, adalah Zainab puteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahi Abu Al ‘Ash yang saat itu masih kafir. Saat itu belum turun ayat larangan pernikahan yang seperti ini. Ketika turun ayat larangannya, maka mereka berpisah selama enam tahun hingga akhirnya Abu Al ‘Ash masuk Islam. Akhirnya nabi mengulangi pernikahan mereka dengan akad yang baru.

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan:

رَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْنَتَهُ زَيْنَبَ عَلَى أَبِي الْعَاصِي بْنِ الرَّبِيعِ بَعْدَ سِتِّ سِنِينَ بِالنِّكَاحِ الْأَوَّلِ

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengembalikan puterinya, Zainab, kepada Abu Al ‘Ash bin Ar Rabi’ setelah enam tahun lamanya, dengan pernikahan awal. [3]

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan bahwa larangan tersebut adalah ijma’, katanya:

وَالْإِجْمَاعُ الْمُنْعَقِدُ عَلَى تَحْرِيمِ تَزَوُّجِ الْمُسْلِمَاتِ عَلَى الْكُفَّارِ

Dan, telah menjadi ijma’ (konsensus) yang kuat atas haramnya wanita muslimah menikahi orang-orang kafir. [4]

Disamping larangan menurut tiga sumber hukum Islam (Al Quran, As Sunah, dan Ijma’), hal ini juga terlarang karena biasanya isteri mengikuti suami. Jika suami kafir, maka besar kemungkinan ia akan mengendalikan anak isterinya untuk mengikuti agamanya. Sekalipun itu tidak terjadi, hal ini tetap terlarang menurut Al Quran, As Sunnah dan Ijma’.

Syaikh Wahbah Az Zuhailli Hafizhahullah menjelaskan:

“Dikarenakan pada pernikahan ini khawatir terjatuhnya wanita muslimah dalam kekafiran, karena biasanya suami akan mengajaknya kepada agamanya, dan para isteri biasanya mengikuti para suami, dan mengekor agama mereka, ini telah diisyaratkan pada akhir ayat: (mereka itu mengajak kepada neraka). (QS. Al Baqarah (2): 221), yaitu metreka mengajak wanita-wanita beriman kepada kekafiran, dan ajakan kepada kekafiran merupakan ajakan kepada neraka, karena kekafiran mesti masuk ke neraka, maka menikahnya laki-laki kafir dengan muslimah merupakan sebab kepada keharaman, maka itu adalah haram dan batil.” [5]

Dalam Majalah Majma’ Al Fiqh Al Islamiy (Majalah Lembaga Fiqih Islam) disebutkan sebuah jawaban dari masalah ini:

“Tidak boleh muslimah menikahi non muslim, apa pun keadaanya, karena itu menjadi sebab perubahan bagi muslimah karena dia lemah. Dalilnya adalah firmanNya: (Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu), dan ayat (Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka).” [6]

Jika pernikahan itu terjadi juga, maka mereka terus menerus dalam perzinahan. Ada pun pihak-pihak yang membantu terjadinya pernikahan tersebut, baik wali, penghulu, saksi, dan orang-orang yang merestui mereka, ikut bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran ini. Allahul Musta’an!

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahibihi wa Sallam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

[1] Imam Al Qurthubi, Jami’ul Ahkam, 18/63.

[2] Syaikh Muhammad Thahir bin ‘Asyur, At Tahrir wat Tanwir, 2/360

[3] HR. At Tirmidzi No. 1143, katanya: “isnadnya tidak apa-apa.” Ibnu Majah No. 2009, Abu Daud No. 2240, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 2811, 6693, Ahmad No. 1876. Imam Ibnul Qayyim mengatakan: “Dishahihkan oleh Imam Ahmad.” (Lihat Tahdzibus Sunan, 1/357). Imam Al Hakim menshahihkannya, katanya sesuai syarat Imam Muslim. (Al Mustadrak No. 6693). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 1876). Syaikh Al Albani menshahihkannya. (Irwa’ Al Ghalil No. 1961)

[4] Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 7/155

[5] Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhu Al Islami wa Adillatuhu, 9/144

[6] Majalah Majma’Al Fiqh Al Islami, 3/1067. Syamilah

Puasa di Bulan Rajab

💢💢💢💢💢💢💢💢

Dari Utsman bin Hakim Al Anshari, beliau berkata:

سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ صَوْمِ رَجَبٍ وَنَحْنُ يَوْمَئِذٍ فِي رَجَبٍ فَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ

Aku bertanya kepada Sa’id bin Jubeir tentang shaum pada bulan Rajab, saat itu kami sedang berada pada bulan RAJAB, Beliau menjawab: “Aku mendengar Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata: Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam BERPUASA (pada bulan Rajab) sampai-sampai kami mengatakan Beliau tidak meninggalkannya, dan Beliau pernah meninggalkannya sampai kami mengatakan dia tidak pernah berpuasa (Rajab).

(HR. Muslim No. 1157)

Dari hadits ini, menunjukkan bahwa Shaum di bulan Rajab adalah Sunnah (fi’liyah) Rasulullah Shalallahu’Alaihi wa Sallam. Oleh karenanya, mayoritas para imam membolehkan berpuasa pada bulan Rajab secara umum, selama dia tidak mengkhususkan, mengistimewakan, dan menspesialkannya  melebihi bulan lainnya.

📌 Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

الظاهر أن مراد سعيد بن جبير بهذا الاستدلال أنه لا نهى عنه ولا ندب فيه لعينه بل له حكم باقي الشهور

Secara lahiriah, maksud dari Sa’id bin Jubeir dengan pendalilan ini adalah bahwa tidak ada larangan dan tidak ada pula anjuran secara khusus puasa pada Rajab,  tetapi hukumnya sama seperti bulan-bulan lainnya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/38-39)

Imam An Nawawi Rahimahullah juga mengatakan:

وَلَمْ يَثْبُت فِي صَوْم رَجَب نَهْيٌ وَلَا نَدْبٌ لِعَيْنِهِ ، وَلَكِنَّ أَصْلَ الصَّوْمِ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ ، وَفِي سُنَن أَبِي دَاوُدَ أَنَّ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَدَبَ إِلَى الصَّوْم مِنْ الْأَشْهُر الْحُرُم ، وَرَجَب أَحَدهَا . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“Tidak ada yang shahih tentang larangan berpuasa pada bulan Rajab, dan tidak shahih pula mengkhususkan puasa pada bulan tersebut, tetapi pada dasarnya berpuasa memang hal yang DISUNAHKAN. Terdapat dalam Sunan Abu Daud bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammenganjurkan berpuasa pada asyhurul hurum (bulan-bulan haram), dan Rajab termasuk asyhurul hurum. Wallahu A’lam.

(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/39)

📌 Hadits yang dimaksud Imam An Nawawi berbunyi:

عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَا تَعْرِفُنِي قَالَ وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيُّ الَّذِي جِئْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلَّا بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِي فَإِنَّ بِي قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلَاثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا

Dari Mujibah Al Bahili, dari ayahnya, atau pamannya, bahwasanya dia memdatangi NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dia pergi. Kemudian mendatangi lagi setelah satu tahun lamanya, dan dia telah mengalami perubahan baik keadaan dan penampilannya. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kau mengenali aku?” Nabi bertanya: “Siapa kamu?” Al Bahili menjawab: “Saya Al Bahili yang datang kepadamu setahun lalu.” Nabi bertanya:: “Apa yang membuatmu berubah, dahulu kamu terlihat baik-baik saja?” Al Bahili menjawab: “Sejak berpisah denganmu, saya tidak makan kecuali hanya malam.” Bersabda Rasulullah: “Kanapa kamu siksa dirimu?”, lalu bersabda lagi: “Puasalah pada bulan kesaabaran, dan    sehari pada tiap bulannya.” Al Bahili berkata: “Tambahkan, karena saya masih punya kekuatan.” Beliau bersabda: “Puasalah dua hari.” Beliau berakata: “Tambahkan.” Beliau bersabda: “Puasalah tiga hari.” Al Bahili berkata:

“Tambahkan untukku.” Nabi bersabda: “Puasalah pada bulan-bulan haram, dan tinggalkanlah (sebagiannya), Puasalah pada bulan-bulan haram, dan tinggalkanlah (sebagiannya), Puasalah pada bulan-bulan haram, dan tinggalkanlah (sebagiannya). Beliau berkata dengan tiga jari hemarinya, lalu menggenggamnya kemudian dilepaskannya.

(HR. Abu Daud No. 2428, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra  No. 8209, juga Syu’abul Iman No. 3738. Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan: sanadnya jayyid. Lihat Fiqhus Sunnah, 1/453.  Namun Syaikh Al Albani mendhaifkan dalam berbagai kitabnya)

Jumhur ulama – tiga madzhab- menyunnahkannya (mandub), sementara kalangan Hanabilah (Hambaliyah) memakruhkannya.
(Lihat  Al Fiqhu ‘alal Madzaahib Al Arba’ah, 1/895)

Banyak ulama yang mengatakan shaum Rajab adalah sunnah, baik dengan istilah mustahab (disukai) dan mandub (dianjurkan), seperti : Imam Asy Syaukani (Naulil Authar, 4/621), Imam Ibnu Hajar Al Haitami (Fatawa Ibni Hajar, 1/4), dan lainnya.

Siapa yang MEMAKRUHKAN?

Sebagian ulama memakruhkan, seperti kalangan Hambaliyah. Ini juga menjadi pendapat Umar bin Khathab dan putranya, Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma.

Dari Abu Mu’awiyah, dari Al A’masy, dari Barah bin Abdirrahman, dari Kharasyah bin Al Hurr, dia berkata:

رَأَيْتُ عُمَرَ يَضْرِبُ أَكُفَّ النَّاسِ فِي رَجَبٍ ، حَتَّى يَضَعُوهَا فِي الْجِفَانِ وَيَقُولُ : كُلُوا فَإِنَّمَا هُوَ شَهْرٌ كَانَ يُعَظِّمُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ

Aku melihat Umar memukul telapak tangan manusia pada bulan Rajab, hinggap dia mengantarkannya ke mangkuk besar, dan berkata: “Makanlah, ini adalah bulan yang dimuliakan oleh orang-orang Jahiliyah”.

(HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 9851)

Imam Ibnu Abi Syaibah menceritakan:

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ : كَانَ ابْنُ عُمَرَ إذَا رَأَى النَّاسَ ، وَمَا يُعِدّونَ لِرَجَبٍ ، كَرِهَ ذَلِكَ

Berkata kepada kami Waki;, dari ‘Ashim bin Muhamad, dari ayahnya, dia berkata: “Dahulu Ibnu Umar jika dia melihat manusia -dan betapa banyak yang melakukannya  pada Rajab- maka dia membencinya.” (Al Mushannaf No. 9854)

📚 Mana yang lebih kuat?

Berkata Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih Hafizhahullah:

ومن خلال هذه النقول يتضح لنا جلياً أن المسألة خلافية بين العلماء، ولا يجوز أن تكون من مسائل النزاع والشقاق بين المسلمين، بل من قال بقول الجمهور من العلماء لم يثرب عليه، ومن قال بقول الحنابلة لم يثرب عليه.وأما صيام بعض رجب، فمتفق على استحبابه عند أهل المذاهب الأربعة لما سبق، وليس بدعة.
ثم إن الراجح من الخلاف المتقدم مذهب الجمهور لا مذهب الحنابلة

Pada masalah ini, kami katakan bahwa telah jelas perkara ini telah diperselisihkan para ulama, dan tidak boleh masalah ini menjadi sebab pertentangan dan perpecahan di antara kaum muslimin. Bahkan, siapa saja yang berpendapat seperti jumhur ulama dia tidak boleh dicela, dan siapa saja yang berpendapat seperti Hanabilah dia juga tidak boleh dicela. Ada pun berpuasa pada sebagian bulan Rajab, maka telah disepakati kesunahannya menurut para pengikut empat madzhab sebagaimana penjelasan lalu, itu bukan bid’ah.

Kemudian, sesungguhnya PENDAPAT YANG LEBIH KUAT dari perbedaan pendapat sebelumnya adalah pendapat JUMHUR (Mayoritas), bukan pendapat Hanabilah.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah No. 28322)

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

scroll to top