Susunan Surat dan Ayat Al Quran,Itu Berdasarkan Wahyu atau “Ijtihad”?

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Masalah susunan surat dan ayat Al Quran, ada tiga pendapat ulama.

Secara global:

1. Susunan surat dan ayat adalah sifatnya ijtihadi, yaitu ijtihad para sahabat nabi yang mengumpulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh susunan surat dalam Mushaf beberapa sahabat nabi berbeda-beda.

2. Sebagiannya berdasarkan wahyu, dan sebagian berdasarkan ijtihad.

3. Semua surat dan ayat, tersusun berdasarkan wahyu. Bukan ijtihad para sahabat nabi, tapi sifatnya tauqifi (berdasarkan wahyu Allah Ta’ala kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam). Inilah pendapat jumhur ulama bahkan ada yang mengatakan ijma’, kecuali Rafidhah yang menuduh Al Quran saat ini tidak lengkap, 2/3-nya disembunyikan para sahabat nabi, menurut tuduhan mereka.

Syaikh Muhammad Ali ash Shabuni menjelaskan:

وكان هذا التأليف عبارة عن (ترتيب الآيات) حسب إرشاد النبي ﷺ و بأمر من الله ﷻ، ولهذا اتفق العلماء علي أن جمع القران “توقيفي” يعني : ان ترتيبه بهذه الطريقة التى نراه عليها اليوم في المصاحف انما هو بأمر و وحي من الله، فقد ورد أن جبريل عليه السلام كان ينزل بالآية أو الآيات علي النبي فيقول له: يا محمد إن الله يأمرك ان تضعها على رأس كذا، من سورة كذا، و كذلك كان الرسول يقول للصحابة : ضعوها في موضع كذا

Maksud dari ungkapan tersebut adalah susunan ayat, berdasarkan bimbingan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan melalui perintah dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu para ulama sepakat bahwa pengumpulan Al Qur’an itu sifatnya TAUQIFI (given/berdasarkan wahyu), yaitu penyusunan dengan cara ini (wahyu) yang hasilnya kita lihat saat ini di berbagai mushaf, semua itu adalah wahyu dari Allah.

Telah diriwayatkan bahwa Jibril ‘Alaihissalam menurunkan satu atau bbrp ayat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata kepadanya:

“Wahai Muhammad, Allah memerintahkanmu meletakkan ayat ini di depan, di surat yg anu,” .. demikian juga Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada sahabatnya: “Letakkan ayat ini di bagian ini ..”

(Syaikh Muhammad Ali Ash Shabuniy, At Tibyan fi ‘Ulumil Quran, hal. 53. Dar al Mawahib al Islamiyah, 2016)

Syaikh Manna’ Khalil al Qaththan mengatakan:

وترتيب الآيات في القرآن الكريم توقيفي عن رسول الله ﷺ و حكى بعضهم الإجماع علي ذلك، منهم: الزركشي في (البرهان) و أبو جعفر ابن الزبير في (مناسبته) إذ يقول: ترتيب الآيات في سورها واقع بتوقيفه ﷺ و أمره من غير خلاف بين المسلمين. وجزم السيوطي بذلك فقال: الإجماع و النصوص المترادفة على أن ترتيب الآيات توقيفي لا شبهة في ذلك.
فقد كان جبريل يتنزل بالآيات على رسول الله ﷺ ويرشده إلى موضعها من السورة أو الآيات التي نزل قبل، فيأمر رسول الله ﷺ كتبة الوحي بكتابتها في موضعها و يقول لهم: ضعوا هذه الآيات في السورة التى يذكر فيها كذا أو كذا، إو ضعوا آية كذا فى موضع كذا، كما بلغها أصحابه كذلك، عن عثمان بن أبي العاص قال: كنت جالسا عند رسول الله ﷺ إذ شخص ببصره ثم صوبه، ثم قال: أتاني جبريل فأكرني أن أضع هذه الآية هذا الموضع من هذه السورة : إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ…. الى آخرها

Penyusunan ayat-ayat Al Quran adalah hal yang tauqifi, ketentuannya dari Rasulullah ﷺ. Sebagian ulama mengatakan bahwa pendapat ini ijma’, di antaranya adalah Az Zarkasyi dalam Al Burhan dan Abu Ja’far bin az Zubeir dalam Munasabahnya, di mana dia mengatakan: “Urutan ayat di dalam surat itu tauqifi dari Rasulullah ﷺ dan atas perintahnya, ini tidak ada perselisihan pendapat di antara kaum muslimin.” As Suyuthi telah memastikan hal itu, ia berkata: “Ijma’ dan nash-nash serupa menegaskan bahwa urutan ayat-ayat ini adalah tauqifi, tanpa diragukan lagi.”

Jibril menurunkan bbrp ayat kepada Rasulullah ﷺ dan menunjukkan kepadanya tempat di mana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Ia mengatakan kepada mereka: “Letakkanlah ayat-ayat ini pada surat yang didalamnya disebutkan ini dan itu,” atau “Letakkanlah ayat ini di tempat anu.” Penyusunan dan penempatan itu sebagaimana yang disampaikan sahabatnya, yaitu Utsman bin Abil ‘Ashi, dia berkata: “Aku duduk di samping Rasulullah ﷺ, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian katanya: “Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempat anu dari surah ini: ” Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat…” (QS. An-Nahl: 90).

(Mabahits Fi ‘Ulumil Quran, Hal. 133)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

Sejak Dulu Adu Domba Terhadap Umat Islam Sudah Ada (Tadabbur surat Ali Imran: 100)

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Allah Ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن تُطِيعُواْ فَرِيقٗا مِّنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ يَرُدُّوكُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡ كَٰفِرِينَ

Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu mengikuti sebagian dari orang yang diberi Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir setelah beriman.

(QS. Ali ‘Imran, Ayat 100)

Turunnya ayat ini, karena kaum muslimin di Madinah, khususnya orang-orang Anshar, hampir-hampir mereka kembali perang saudara antara suku Aus dan Khazraj (dua suku dominan di Madinah), sebagaimana di masa-masa Jahiliyah. Penyulut apinya adalah Syas bin Qais, seorang Yahudi, yang ikut duduk bersama mereka namun mengungkit-ungkit perselisihan masa lalu.

Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengatakan:

نَزَلَتْ فِي يَهُودِيٍّ أَرَادَ تَجْدِيدَ الْفِتْنَةِ بَيْنَ الْأَوْسِ وَالْخَزْرَجِ بَعْدَ انْقِطَاعِهَا بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَلَسَ بَيْنَهُمْ وَأَنْشَدَهُمْ شِعْرًا قَالَهُ أَحَدُ الْحَيَّيْنِ فِي حَرْبِهِمْ. فَقَالَ الْحَيُّ الْآخَرُ: قَدْ قَالَ شَاعِرُنَا فِي يَوْمٍ كَذَا وكذا، فكأنهم دخلهم من ذلك شيء، فَقَالُوا: تَعَالَوْا نَرُدُّ الْحَرْبَ جَذْعَاءَ كَمَا كَانَتْ. فَنَادَى هَؤُلَاءِ: يَا آلَ أَوْسٍ. وَنَادَى هَؤُلَاءِ. يَا آلَ خَزْرَجٍ، فَاجْتَمَعُوا وَأَخَذُوا السِّلَاحَ وَاصْطَفُّوا لِلْقِتَالِ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ، فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى وَقَفَ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ فَقَرَأَهَا وَرَفَعَ صَوْتَهُ، فَلَمَّا سَمِعُوا صَوْتَهُ أَنْصَتُوا لَهُ وَجَعَلُوا يَسْتَمِعُونَ، فَلَمَّا فَرَغَ أَلْقَوُا السِّلَاحَ وَعَانَقَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا وَجَعَلُوا يَبْكُونَ

Ayat ini turun tentang Yahudi yang hendak memperbarui fitnah (permusuhan) di antara Aus dan Khazraj setelah fitnah fitnah itu dihilangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Yahudi tersebut duduk bersama mereka, dan menyenandungkan syair yang pernah disampaikan salah satu pasukan mereka pada saat peperangan. Kelompok lain pun menimpali: “Syair kami pada hari anu begini begini” seolah dalam diri mereka muncul suatu (emosi).

Mereka berkata: “Ayo kita perang lagi seperti dulu.” Kelompok satu berteriak: “Wahai keluarga Aus!” kelompok lain berteriak: “Wahai keluarga Khazraj.” Lalu mereka berkumpul dan mengambil pedang masing-masing, dan mengambil posisi untuk perang. Maka turunlah ayat ini (Ali Imran: 100).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendatangi mereka, dan berdiri di tengah-tengah barisan mereka. Beliau membacakan ayat itu dengan meninggikan suaranya. Mereka mendengarkannya dengan begitu seksama. Selesai ayat itu dibaca, mereka pun melempar senjata-senjatanya, lalu mereka berpelukan dan menangis.

(Al Jaami’ Liahkamil Quran, 3/130-131)

Imam Ibnu Jarir Rahimahullah menjelaskan ayat tersebut:

يا أيها الذين صدقوا الله ورسوله، وأقرُّوا بما جاءهم به نبيهم صلى الله عليه وسلم من عند الله، إن تطيعوا جماعة ممن ينتحل الكتابَ من أهل التوراة والإنجيل، فتقبلوا منهم ما يأمرونكم به، يُضِلُّوكم فيردّوكم بعد تصديقكم رسولَ ربكم، وبعد إقراركم بما جاء به من عند ربكم كافرين

Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan RasulNya, dan mengakui kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi mereka – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- sebagai risalah dari Allah, jika kalian mengikuti segolongan orang yang telah diberilan Al Kitab, yaitu kalangan ahli Taurat dan Injil, lalu kalian menerima ajakan dan perintah mereka, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dan mengembalilan kamu menjadi kafir setelah kamu membenarkan kerasulannya, dan membenarkan risalah Allah yang dibawanya untukmu.

(Jaami’ Al Bayan, 3/1898)

Maka,…

– Permusuhan mereka kepada umat Islam memang terus menerus

– Mereka senantiasa mencari cara untuk menghancurkan umat Islam

– Salah satunya dengan membuat perpecahan dari dalam dengan mengadu domba atau lainnya

– Hal ini terjadi berulang kali sepanjang sejarah, sampai di masa modern. Sudah seharusnya umat Islam semakin waspada…

Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq

🌷🍀🌿🌸🌻🍃🌳🍁

✍ Farid Nu’man Hasan

Maksiat Menghalangi Pahala Mati Syahid?

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Bgmn nasib orang yg sedang maksiat, tapi dia mati tertiban atau tenggelam? Apakah itu mati syahid juga? Katanya mati tertiban dan tenggelam itu syahid, tapi kan dia sedang maksiat misal sedang mabuk atau merampok..?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim…

Bisa jadi pertanyaan antum mewakili orang lain, yaitu wafat dengan cara yang disebut oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai syahid, tapi dalam keadaan maksiat. Apakah maksiat yang dia lakukan menghalangi kesyahidannya?

Hal ini diperselisihkan ulama. Sebagian mengatakan maksiat tersebut menghalangi kesyahidannya. Dalam hadits Shahih Muslim, dalam perang Khaibar para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menyebut: Si Fulan Syahid ! Si Fulan Syahid! Ternyata orang itu melakukan ghulul yaitu mencuri pakaian dari ghanimah (harta rampasan perang), maka Rasulullah Saw. pun menyangkal: “Tidak, aku lihat dia di neraka memakai mantel yang dia curi …”

Hadits ini menunjukkan tidak pantas menyebut syahid kepada orang matinya buruk, contohnya mencuri walau dia dalam keadaan berjihad membela agama.

Ulama lain mengatakan bahwa orang tersebut mendapatkan kedua-duanya, yaitu pahala syahid dan dosa maksiatnya.

Masalah ini pernah dibahas oleh Imam Ibnu ‘Abidin Rahimahullah, sebagai berikut:

ذَكَرَ الَأُجْهُورِيُّ قَالَ فِي الْعَارِضَةِ: مَنْ غَرِقَ فِي قَطْعِ الطَّرِيقِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَعَلَيْهِ إثْمُ مَعْصِيَتِهِ وَكُلُّ مَنْ مَاتَ بِسَبَبِ مَعْصِيَةٍ فَلَيْسَ بِشَهِيدٍ، وَإِنْ مَاتَ فِي مَعْصِيَةٍ بِسَبَبٍ مِنْ أَسْبَابِ الشَّهَادَةِ فَلَهُ أَجْرُ شَهَادَتِهِ وَعَلَيْهِ إثْمُ مَعْصِيَتِهِ، وَكَذَلِكَ لَوْ قَاتَلَ عَلَى فَرَسٍ مَغْصُوبٍ، أَوْ كَانَ قَوْمٌ فِي مَعْصِيَةٍ فَوَقَعَ عَلَيْهِمْ الْبَيْتُ فَلَهُمْ الشَّهَادَةُ، وَعَلَيْهِمْ إثْمُ الْمَعْصِيَةِ انْتَهَى

Al Ajhuriy berkata: disebutkan dalam Al ‘Aridhah: “Siapa yang tenggelam dalam keadaan merampok maka dia syahid dan dia juga berdosa atas maksiatnya. Setiap orang yang wafat disebabkan maksiatnya maka dia bukan syahid. Tapi jika dia wafat dalam maksiat karena sebab-sebab mati syahid maka dia dia dapat pahala syahid dan dia dapat dosa atas maksiatnya.

Demikian juga jika seseorang berjihad dengan kuda perang hasil merampas, atau segolongan orang yang bermaksiat di sebuah rumah lalu tertiban oleh rumah itu, maka mereka mendapatkan mati syahid dan mendapatkan dosa maksiatnya. Selesai.

(Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 3/257)

Semoga Allah Ta’ala menganugerahi kita istiqamah, dan wafat dalam keadaan terbaik. Aamiin.

Demikian. Wallahu a’lam

🍀🌳🌷🌻🍃🌸🌿

✍ Farid Nu’man Hasan

Yang Akan Disembelih, Ishaq atau Ismail ‘Alaihimassalam?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh
Ustadz … Mohon penjelasannya siapakah yg diqurbankan oleh Nabi Ibrahim, Ismail atau Ishaq?
Syukron

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Allah Ta’ala berfirman:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡيَ قَالَ يَٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”

(QS. Ash-Shaffat, Ayat 102)

Para ulama sejak masa salaf (sahabat, tabi’in) memang berbeda pendapat tentang anak tersebut; ada yang menyebut itu adalah Ishaq, dan ada yang menyebut Ismail ‘Alaihimassalam. Di negeri kita, anak tersebut lebih terkenal adalah Ismail ‘Alaihissalam.

Imam Ibnu Jarir Ath Thabari menyebutkan riwayat-riwayat dr generasi salaf sangat banyak, baik yang menyebut Ishaq atau Ismail, sampai banyak memakan halaman dalam kitab tafsirnya.

Namun, Imam Ibnu Jarir sendiri berkata:

وأولى القولين بالصواب في المَفْديّ من ابني إبراهيم خليل الرحمن على ظاهر التنزيل قول من قال: هو إسحاق

Pendapat yang lebih benar di antara dua pendapat, tentang siapa di antara dua anak Ibrahim yang ditebus saat proses penyembelihan menurut zahir Al Quran adalah pendapat yang mengatakan itu adalah ISHAQ. (Tafsir Ath Thabari, 21/86)

Imam Al Qurthubi juga menjelaskan bahwa kebanyakan ulama menyebut itu adalah Ishaq. Beliau mengatakan ada tujuh sahabat nabi yang menyebut itu adalah Ishaq, yaitu Abbas bin Abdil Muthalib, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Jabir, Ali, Ibnu Umar, dan Umar.

Sementara yang menyebut itu adalah Ismail ada dua sahabat nabi yaitu Abu Hurairah dan Amir bin Watsilah. Juga dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, tapi dgn lafaz ruwiya (diriwayatkan) yg menunjukkan tidak pasti dari mereka berdua.

(Tafsir Al Qurthubi, 8/579-580)

Sedangkan Az Zujaj, mengatakan “Hanya Allah yang tahu, siapakah diantara keduanya yang disembelih” saat itu. (Tafsir Al Qurthubi)

Terlepas dari manakah yang lebih tepat; Ishaq atau Ismail. Intisari kisah itu bukan pada siapa yang disembelih lalu diganti dgn Kibasy, tapi intinya adalah tentang pentingnya berqurban dalam ringka mencintai Allah Ta’ala di atas segalanya termasuk dibanding anak sendiri.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top