Tradisi; Antara Kearifan Lokal dan Kejahiliyahan Lokal?

Seorang pakar Ushul Fiqh, Syaikh Abdul Wahab Khalaf menjelaskan, tradisi adalah apa yang telah dikenal oleh manusia dan berlangsung dalam kehidupan mereka baik perkataan, perbuatan, atau meninggalkan perbuatan.
(‘Ilmu Ushul al Fiqh wa Khulashah Tarikh at Tasyri’, hal. 85)

Dalam hadits disebutkan:

فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا، فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ

Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka di sisi Allah itu juga baik, dan apa yang dipandang buruk maka di sisi Allah juga buruk.

(HR. Ahmad no. 3600. Syaikh Syuaib Al Arnauth: hasan. Ta’liq Musnad Ahmad, 6/84)

Hadits ini, dijadikan alasan bahwa tradisi juga bisa menjadi dasar hukum, jika kebiasaan itu dinilai baik dimata orang mukmin yang berilmu (bukan orang awam), maka itu juga baik di sisi Allah Ta’ala.

Tradisi atau Al ‘Urf, diakui sebagai salah satu “dalil” dalam menetapkan hukum sebuah amal, menurut mazhab Hanafi dan Syafi’i.

Tradisi bagaimana yang dijadikan sebagai dalil? Yaitu dikala tidak ada nash baik Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’, yang membahas tradisi tersebut, dan tradisi itu pun juga tidak bertentangan dengan nash. Jika bertentangan, seperti tradisi minum khamr, zina, dan tiba, maka itu batil dan bukan dalil. (Syaikh Ahmad Al Hajj Al Kurdi, Buhuts fi ‘Ilm Ushul al Fiqh, hal. 118)

Di sinilah pada ulama Hanafi dan Syafi’i mengatakan:

الثابت بالعرف كالثابت بالنص

Ketetapan hukum karena tradisi itu seperti ketetapan hukum dengan Nash/dalil. (Syaikh Muhammad ‘Amim Al Mujadidiy At Turkiy, Qawa’id Al Fiqhiyah, no. 101)

Syaikh Abdul Wahab Khalaf menyebut bahwa tradisi ada dua macam:

1. ‘Urf Shahih, yaitu kebiasaan di tengah manusia yang tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang Allah Ta’ala haramkan, dan membatalkan yang wajib.

2. ‘Urf fasid (tradisi yang rusak), yaitu kebiasaan di tengah manusia yang menyelisihi dalil syara’, menghalalkan yang Allah Ta’ala haramkan, membatalkan yang wajib, seperti tradisi yang munkar yang biasa ada acara kelahiran, kematian, dan kebiasaan mereka memakan riba dan akad-akad taruhan. (‘Ilmu Ushul al Fiqh wa Khulashah Tarikh at Tasyri’, hal. 85)

Nah, Tradisi yang shahih (‘Urf Shahih), yaitu tradisi yang tidak bertentangan dengan syariat, itulah yang layak disebut Kearifan Lokal. Seperti tradisi kerja bakti bersih-bersih lingkungan, tradisi gotong royong membantu tetangga yang sakit atau hajatan. Ini justru Islam menguatkannya, sebab Islam datang menguatkan hal-hal yang sejalan dengannya.

Ada pun ‘Urf Fasid, yaitu tradisi yang bertentangan dengan aqidah dan hukum Islam, yg justru sejalan dengan kebiasaan jahiliyah seperti kebiasaan judi, khamr, riba, zina, dan segala macam bentuk kesyirikan yang berlangsung disebuah daerah, maka ini bukan Kearifan Lokal, dalam kaca mata Islam. Tapi, ini bentuk kejahiliyahan yang dipelihara dan dibungkus dengan nama-nama yang manis: “budaya daerah”, ” tradisi leluhur”, “peradaban asli kita”.

Fa’tabiruu Ya Ulil Abshar!

Wallahul Muwafiq Ilaa aqwamith Thariq

✍ Farid Nu’man Hasan

Pernikahan Wanita Muslimah Dengan Laki-Laki Non Muslim, Baik Ahli Kitab atau Musyrikin

💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Status pernikahan ini TIDAK SAH, BATAL, DAN HARAM, berdasarkan Al Quran, As Sunnah dan Ijma’.

📌 Allah Ta’ala berfirman:

فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

Maka janganlah kamu kembalikan mereka (muslimah) kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.

(QS. Al Mumtahanah (60): 10)

Imam Al Qurthubi menjelaskan:

أَيْ لَمْ يَحِلَّ اللَّهُ مُؤْمِنَةً لِكَافِرٍ، وَلَا نِكَاحَ مُؤْمِنٍ لِمُشْرِكَةٍ

“Yaitu Allah tidak menghalalkan wanita beriman untuk laki-laki kafir, dan tidak halal pula laki-laki beriman menikahi wanita musyrik”. (Jami’ Li Ahkamil Quran, jilid. 18, hal. 63)

📌 Ayat lainnya:

وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ

Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang (laki-laki) musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.

(QS. Al Baqarah (2): 221)

Syaikh Ibnu ‘Asyur Rahimahullah menjelaskan:

وَنَصُّ هَذِهِ الْآيَةِ تَحْرِيمُ تَزَوُّجِ الْمُسْلِمِ الْمَرْأَةَ الْمُشْرِكَةَ وَتَحْرِيمُ تَزْوِيجِ الْمُسْلِمَةِ الرَّجُلَ الْمُشْرِكَ فَهِيَ صَرِيحَةٌ فِي ذَلِكَ

Ayat ini menunjukkan haramnya pernikahan seorang (laki-laki) muslim dengan wanita musyrik dan haramnya pernikahan muslimah dengan laki-laki musyrik. Hal ini begitu jelas.

(At Tahrir wat Tanwir, jilid. 2, hal. 360)

📌 Dalam As Sunnah, adalah Zainab puteri Rasulullah ﷺ nikah dengan Abu Al ‘Ash yang saat itu masih kafir. Saat itu belum turun ayat larangan pernikahan yang seperti ini. Ketika turun ayat larangannya, maka mereka dipisahkan selama enam tahun hingga akhirnya Abu Al ‘Ash masuk Islam. Akhirnya Nabi ﷺ mengulangi pernikahan mereka dengan akad yang baru.

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan:

رَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْنَتَهُ زَيْنَبَ عَلَى أَبِي الْعَاصِي بْنِ الرَّبِيعِ بَعْدَ سِتِّ سِنِينَ بِالنِّكَاحِ الْأَوَّلِ

Nabi ﷺ mengembalikan puterinya, Zainab, kepada Abu Al ‘Ash bin Ar Rabi’ setelah enam tahun lamanya, dengan pernikahan awal.

(HR. At Tirmidzi No. 1143, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 2811, katanya: shahih. Imam Ibnul Qayyim mengatakan: “Dishahihkan oleh Imam Ahmad.” Lihat Tahdzibus Sunan, 1/357)

📌 Ada pun ijma’, Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan bahwa larangan tersebut adalah ijma’ (konsensus), katanya:

وَالْإِجْمَاعُ الْمُنْعَقِدُ عَلَى تَحْرِيمِ تَزَوُّجِ الْمُسْلِمَاتِ عَلَى الْكُفَّارِ

Dan, telah menjadi ijma’ (konsensus) yang kuat atas haramnya wanita muslimah menikahi orang-orang kafir.

(Al Mughni, jilid. 7, hal. 155)

Imam Ibnul Mundzir Rahimahullah juga berkata:

أجمع على هذا كل من نحفظ عنه من أهل العلم

Telah ijma’ atas hal ini (yaitu haram dan batalnya pernikahan muslimah dengan non Muslim) dari setiap orang yang kami ketahui dari kalangan ulama. (Dikutip oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Asy Syarh Al Kabir, jilid. 20, hal. 193)

📌 Apa hikmah pelarangan ini? Syaikh Wahbah Az Zuhailli Rahimahullah menjelaskan:

“Dikarenakan pada pernikahan ini khawatir terjatuhnya wanita muslimah dalam kekafiran, karena biasanya suami akan mengajaknya kepada agamanya, dan para isteri biasanya mengikuti para suami, dan mengekor agama mereka, ini telah diisyaratkan pada akhir ayat: (mereka itu mengajak kepada neraka). (QS. Al Baqarah (2): 221), yaitu metreka mengajak wanita-wanita beriman kepada kekafiran, dan ajakan kepada kekafiran merupakan ajakan kepada neraka, karena kekafiran mesti masuk ke neraka, maka menikahnya laki-laki kafir dengan muslimah merupakan sebab kepada keharaman, maka itu adalah haram dan batil.” (Al Fiqhu Al Islami wa Adillatuhu, jilid. 9, hal. 144)

Dalam Majalah Majma’ Al Fiqh Al Islamiy (Majalah Lembaga Fiqih Islam) disebutkan sebuah jawaban dari masalah ini:

“Tidak boleh muslimah menikahi non muslim, apa pun keadaanya, karena itu menjadi sebab perubahan bagi muslimah karena dia lemah. Dalilnya adalah firmanNya: (Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu), dan ayat (Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka).” (Majalah Majma’Al Fiqh Al Islami, 3/1067. Syamilah)

Hari ini, pernikahan beda agama khususnya Muslimah dan Laki-Laki Non Muslim, sudah menjadi agenda dan gerakan kaum liberal. Mereka membuat propaganda lewat video di tengah anak-anak muda agar ikut racun pemikiran mereka. Allahul Musta’an!

Demikian. Wallahu A’lam

🌷🍀🍁🌻🍃🌸🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Agar Allah Ta’ala Turunkan Keberkahan Kepada Negeri Kita

💢💢💢💢💢💢💢

Allah Ta’ala berfirman:

{ وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ }

Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai apa yang telah mereka kerjakan.

[Surat Al-A’raf: 96]

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

📌 Ayat ini menjelaskan, bahwa Iman dan Taqwa adalah sebab utama melimpahnya keberkahan dari langit dan bumi, baik udaranya, tanahnya, tumbuhannya, buah-buahannya, lautnya, airnya, sinar mataharinya, hujannya, semuanya berkah.

📌 Iman yang dimaksud adalah iman dengan sebenar-benarnya Iman, yaitu meyakini Allah Ta’ala satu-satunya pencipta, pemberi rezki, yang maha menghidupkan dan mematikan, dan maha pengatur kehidupan, tiada sekutu bagi-Nya, baik sekutu dari kalangan Jin dan Manusia, baik dukun, ahli sihir, atau pawang-pawang dusta.

📌 Taqwa, didefinisikan Ibnu Mas’ud sbb:

أن يُطاع فلا يُعْصَى، وأن يُذْكَر فلا يُنْسَى، وأن يُشْكَر فلا يُكْفَر

Yaitu taat dan tidak melanggar, ingat dan tidak lupa, bersyukur dan tidak kufur. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/86-87. Dar Ath Thayyibah)

📌 Namun, jika sebaliknya… penduduk negeri itu mendustakan ayat-ayatNya, mendustakan ajaran rasulNya, maka yang turun kepada mereka adalah hukuman dan siksa dari Allah Ta’ala, bukan keberkahan.

📌 Ini adalah pelajaran bagi manusia zaman ini. Bagi mereka yg bertekad kuat menjadikan negerinya negeri yang berkah dan baldatun thayyibatun ghafur, hendaknga mereka menjadikan tauhid lurus, iman, dan taqwa sebagai landasan.

📌 Maka Jauhi kesyirikan, jangan melembagakan dan membudayakan aktivitas klenik, sebab syirik dan klenik bukan budaya (Islam).

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌷🍀🍁🌻🍃🌸🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Ditraktir, Dihadiahi, Atau Transaksi Dengan teman atau tetangga yang pekerjaannya haram, bolehkah menerimanya?

▫▫▫▫▪▪▪▪

Bismillah al Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Dalam pertemanan atau hidup bertetangga adalah hal yang wajar dan biasa jika kita ditraktir atau diberikan hadiah. Kadang hadiah itu berupa barang atau makanan. Lalu bagaimana sikap kita jika pekerjaan dia diketahui berasal dari jenis pekerjaan yang haram, seperti aktifitas yang bergelimangan riba, pabrik minuman keras, atau lainnya?

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah menjelaskan:

وأما المحرم لكسبه فهو الذي اكتسبه الإنسان بطريق محرم كبيع الخمر ، أو التعامل بالربا ، أو أجرة الغناء والزنا ونحو ذلك ، فهذا المال حرام على من اكتسبه فقط ، أما إذا أخذه منه شخص آخر بطريق مباح فلا حرج في ذلك ، كما لو تبرع به لبناء مسجد ، أو دفعه أجرة لعامل عنده ، أو أنفق منه على زوجته وأولاده ، فلا يحرم على هؤلاء الانتفاع به ، وإنما يحرم على من اكتسبه بطريق محرم فقط

“Harta haram yang dikarenakan usaha memperolehnya, seperti jual khamr, riba, zina, nyanyian, dan semisalnya, maka ini haram hanya bagi yang mendapatkannya saja. Tapi, jika ada ORANG LAIN yang mengambil dari orang itu dengan cara mubah, maka itu tidak apa-apa, seperti dia sumbangkan untuk membangun masjid dengannya, bayar gaji pegawai, nafkah buat anak dan istri, hal-hal ini tidak diharamkan memanfaatkan harta tersebut. Sesungguhnya yang diharamkan adalah bagi orang mencari harta haram tersebut.” [1]

Sebagian salaf pun membolehkan menerima “traktiran” dari orang yang penghasilannya haram. Menurut mereka, keharaman itu berlaku bagi pemiliknya saja.

Imam Al Baihaqi Rahimahullah meriwayatkan:

عَنْ رَبِيعِ بْنِ عَبْدِ اللهِ , سَمِعَ رَجُلًا , سَأَلَ ابْنَ عُمَرَ: إِنَّ لِي جَارًا يَأْكُلُ الرِّبَا , أَوْ قَالَ: خَبِيثُ الْكَسْبِ , وَرُبَّمَا دَعَانِي لِطَعَامِهِ أَفَأُجِيبُهُ؟ , قَالَ: ” نَعَمْ “

Dari Rabi’ bin Abdillah mendengar seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Umar: “Saya memiliki tetangga yang memakan riba –atau dia berkata: penghasilannya kotor, bagaimana jika dia mengundang saya makan, apakah saya penuhi?” Ibnu Umar menjawab: “Ya.” [2]

Imam Abdurrazzaq Rahimahullah meriwayatan:

عَنْ ذَرِّ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: جَاءَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ: إِنَّ لِي جَارًا يَأْكُلُ الرِّبَا، وَإِنَّهُ لَا يَزَالُ يَدْعُونِي، فَقَالَ: «مَهْنَؤُهُ لَكَ وَإِثْمُهُ عَلَيْهِ»

Dari Dzar bin Abdillah, dari Ibnu Mas’ud, dia berkata: Ada seseorang yang mendatangi Ibnu Mas’ud lalu dia berkata: “Aku punya tetangga yang suka makan riba, dan dia sering mengundangku untuk makan.” Ibnu Mas’ud menjawab; Untukmu bagian enaknya, dan dosanya buat dia.” [3]

Imam Abdurrazzaq Rahimahullah juga meriwayatkan:

عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ قَالَ: «إِذَا كَانَ لَكَ صَدِيقٌ عَامِلٌ، أَوْ جَارٌ عَامِلٌ، أَوْ ذُو قَرَابَةٍ عَامِلٌ، فَأَهْدَى لَكَ هَدِيَّةَ أَوْ دَعَاكَ إِلَى طَعَامٍ، فَاقْبَلْهُ، فَإِنَّ مَهْنَأَهُ لَكَ وَإِثْمُهُ عَلَيْهِ»

Dari Salman Al Farisi, dia berkata: “Jika sahabatmu, tetanggamu, atau kerabatmu yang pekerjaannya haram, lalu dia memberi hadiah kepadamu atau mengajakmu makan, terimalah! Sesungguhnya, kamu dapat enaknya, dan dia dapat dosanya.” [4]

Namun, sikap di atas bukan satu-satunya sikap. Ada pula yang berhati-hati tetap menghindarnya. Sebagaimana sikap Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu, saat memuntahkan lagi makanan yang sudah dimakannya, ketika dia tahu bahwa itu berasal dari cara yang haram. Kisah ini terkenal, diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya.

Sikap berhati-hati juga merupakan sikap yang dituntun Sunnah Rasulullah ﷺ :

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ

“Barangsiapa yang menghindar dari yang samar (syubhat) maka dia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara yang samar maka dia telah terjatuh dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang berada dekat di pagar milik orang lain dikhawatiri dia masuk ke dalamnya.” [5]

Ditambah lagi jika muncul keraguan dalam diri kita, maka sebaiknya tinggalkan yang ragu itu. Rasulullah ﷺ bersabda:

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ

“Tinggalkan apa-apa yang kamu ragukan, dan beralihlah kepada apa-apa yang tidak kamu ragukan.” [6]

Kesimpulan:

– Ada dua sikap para ulama tentang masalah ini, yaitu boleh menerima dan menikmatinya, dan dosanya dikembalikan kepada orang yang menghasilkan harta haram tersebut.

– Sikap lainnya adalah menolaknya sebagai bentuk kehati-hatian.

Demikian. Wallahu a’lam.

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

[1] Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid, Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 75410

[2] Imam Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, no. 10823

[3] Imam Abdurrazzaq, Al Mushannaf no. 14675

[4] Ibid, no. 14677

[5] HR. Muttafaq ‘Alaih, dari An Nu’man bin Bisyr Radhiallahu ‘Anhu

[6] HR. Ahmad no. 1723. Dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Syu’aib A Arnauth, dan lainnya.

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

scroll to top