Nasib Umat Yang Takut Berkata “Hei Zalim! ” Kepada Orang Zalim

💢💢💢💢💢💢

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَيْتَ أُمَّتِي تَهَابُ الظَّالِمَ أَنْ تَقُولَ لَهُ أَنْتَ ظَالِمٌ فَقَدْ تُوُدِّعَ مِنْهُمْ

Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata: bersabda Rasulullah ﷺ:

Jika Engkau melihat umatku takut kepada orang zalim untuk berkata kepadanya “ENGKAU ZALIM” maka mereka telah ditinggalkan/dibiarkan.

(HR. Ahmad, Al Hakim berkata: shahih. Disepakati Adz Dzahabi)

Syarhul Hadits:

– Hadits ini menceritakan kondisi umat yang lemah, sekadar menyatakan pendapat “Anda Zalim” kepada orang zalim pun ketakutan.

– Ketakutan itu muncul baik karena keberingasan orang zalim tersebut atau keberingasan pendukungnya atau peraturan yang dibuat oleh mereka

– Kondisi ketakutan umat seperti itu, justru membuat mereka terus-terusan dizalimi. Pelaku kezaliman kenikmati diamnya mereka

– Itulah dikatakan diujung hadits: tuwuddi’a minhum, maksudnya:

أي تودعهم الله وتركهم لاستواء وجودهم وعدمهم، واستنبط منه أن ترك إنكار المنكر من أسباب خذلان الله للأمة

Allah Ta’ala akan tinggalkan dan membiarkan mereka karena keberadaan mereka sama seperti tidak ada, pelajarannya adalah meninggalkan nahi mungkar termasuk di antara sebab Allah hinakan sebuah umat.

– Al Munawi menyatakan bahwa memanggil orang zalim dengan “Hai Zalim” adalah nadb (anjuran/sunnah), jika memang tidak ada bahaya bagi orang banyak saat mengucapkan itu.

– Sedangkan nasib bagi orang-orang zalim adalah sbb: dari Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu, RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

سَيَكُونُ أَئِمَّةٌ مِنْ بَعْدِي يَقُولُونُ وَلا يُرَدُّ عَلَيْهِمْ، يَتَقَاحَمُونَ فِي النَّارِ كَمَا تَتَقَاحَمُ الْقِرَدَةُ “

Akan datang para pemimpin setelahku yang ucapan mereka tidak bisa dibantah, mereka akan masuk ke neraka berdesa-desakkan seperti kera yang berkerubungan.

(HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 925, Al Awsath No. 5311, Abu Ya’la, No. 7382, menurut Syaikh Husein Salim Asad: isnadnya shahih)

Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Serial Syarah Ringkas Hadits-Hadits Ramadhan (Hadits 4)

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Dari Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السُّحُور

“Pemisah antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab adalah pada makan sahur.” (HR. Muslim No. 1096)

Fiqhul Hadits:

– Hadits ini menunjukkan bahwa Ahli Kitab juga berpuasa, bahkan dahulu mereka diperintah Allah Ta’ala berpuasa Ramadhan. Hanya saja para ahbaar (pendeta) mereka mengubah puasa Ramadhan menjadi 50 hari, dan memindahkan puasa Ramadhan yang biasanya di musim panas ke musim semi. (Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkam Al Quran, 2/274)

– Kata fashlu, menunjukkan al faariq (pemisah) dan al mumayyiz (pembeda), yang menunjukkan perbedaan puasa kita dengan Ahli Kitab. Mereka tidak sahur, maka hendaknya menyelisihi mereka, sehingga kita disunnahkan (mustahab) untuk sahur. (An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/208).

– Menurut Ibnul Mundzir, sahur bukanlah wajib tapi mandub dan mustahab, sepakat segenap umat ini atas hal itu (ijma’), dan tidak berdosa meninggalkannya. (Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/455. Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmal Al Mu’lim, 4/33, Ibnu Baththal, Syarh Shahih Al Bukhari, 4/45). Mandub dan Mustahab adalah istilah lain dari sunnah menurut tradisi sebagian mazhab.

– Rasulullah ﷺ sendiri pernah tidak sahur, yakni saat ingin sarapan pagi, ternyata Aisyah Radhiallahu ‘Anha mengatakan sedang tidak ada makanan di rumah. Maka, Rasulullah memilih untuk puasa saja. (HR. Muslim no. 1154). Ini menunjukkan Beliau puasa tanpa sahur, ini terjadi pada puasa sunnah, sebab tidak mungkin Rasulullah ﷺ minta sarapan di bulan Ramadhan.

– Anjuran sahur menunjukkan agama ini mengajarkan kemudahan, tidak mengajarkan kesulitan bagi umatnya. (Al Khathabi, Ma’alim as Sunan, 2/103-104), Al Qurthubi mengatakan sahur adalah kekhususan umat ini untuk meringankan saat berpuasa. (As Suyuthi, Syarh ‘ala Shahih Muslim, 3/197)

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Serial Syarah Ringkas Hadits-Hadits Ramadhan (Hadits 3)

َ💢💢💢💢💢💢💢💢💢

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa meninggal dunia dan memiliki utang puasa maka walinya berpuasa untuknya”. (HR. Bukhari no. 1952, Muslim no. 1147)

Fiqhul Hadits:

Menurut Al Khathabi, hadits ini tentang utang puasa Ramadhan dan puasa Nazar. (Al Khathabi, Ma’alim as Sunan, 2/122) Begitu pula kata Abu Tsaur. (Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 9/28)

Hadits ini menjadi dalil bagi sebagian ulama mengqadha puasa wajib yang pernah ditinggal oleh mayit tersebut.

Namun menurut Imam Ash Shan’ani masalah ini sebenarnya ada tiga pendapat: wajib qadha dengan puasa, boleh saja, dan tidak boleh qadha sebab itu ibadah badan (yang tidak bisa diwakili). (At Tanwir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 10/404). Mazhab Zhahiri juga mengatakan wajib. (Al Istidzkar, 3/343)

Ada riwayat serupa dari Ibnu Abbas yg menunjukkan wajib: “Datang seorang wanita kepada Rasulullah ﷺ, dan berkata: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal, padahal ia masih memiliki utang puasa selama satu bulan.” Maka beliau pun bersabda, “Bagaimana menurutmu jika ibumu memiliki utang uang, apakah kamu akan melunasinya?” wanita itu menjawab, “Ya, tentu.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, utang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi.” (HR. Muslim no. 1148)

Kebolehan qadha puasa Ramadhan untuk mayit menjadi pendapat Imam Ibnu Khuzaimah, Beliau memasukan hadits di atas dalam Kitab Shahihnya: Bab Qadha’i Waliyyil Mayit Shauma Ramadhan ‘anil Mayyit (Bab Wali Mayit Mengqadha Puasa Ramadhan untuk Mayit).

Al Maziri menyebutkan sebagian ulama yang mengatakan boleh saja, “Ahmad, Ishaq, dan lainnya mengambil zahir hadits ini bahwa bolehnya berpuasa untuk mayit oleh walinya.” (Al Mu’lim bifawaid Muslim, 2/58)

Sementara mayoritas ulama menakwilnya bahwa itu bukan dengan cara qadha puasa, tapi dgn memberikan makan, dan itu kedudukannya sama dengan berpuasa. (Ibid)

Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan bahwa Imam Ahmad memaknai hadits ini bukan puasa Ramadhan tapi puasa nazar saja. Ini juga pendapat Al Laits, Abu Ubaid, dan salah satu riwayat Asy Syafi’i, menurut mereka bukan dengan shaum tetapi memberikan makanan dari harta si Mayit, inilah yg masyhur dari Asy Syafi’i, dan pendapat umumnya ulama. (Ikmal Al Mu’lim, 4/104)

Namun, Imam An Nawawi memilih Pendapat wajibnya qadha bukannya fidyah, “Pendapat ini adalah pendapat yang benar lagi terpilih, dan kami meyakininya dan telah dishahihkan para peneliti dari para sahabat kami (Syafi’iyah) yang telah menggabungkan antara hadits dan fiqih, karena hadits-hadits ini adalah shahih dan begitu jelas.” (Syarh Shahih Muslim, 8/25)

Inilah yang resmi dalam mazhab Syafi’i, seperti yang dikatakan Syaikh Sayyid Sabiq: “Madzhab yang DIPILIH oleh Syafi’iyyah adalah dianjurkan bagi walinya untuk berpuasa qadha baginya, yang dengan itu mayit sudah bebas, dan tidak perlu lagi memberikan makanan (fidyah).” (Fiqhus Sunnah, 1/471)

Wali yg dimaksud adalah kerabat si mayit baik yang ahli waris atau ‘ashabah.

Kesimpulan:

– Mayoritas mengatakan menggantinya dengan memberikan makanan (fidyah), tidak boleh qadha
– Sebagian mengatakan wajib qadha, bukan fidyah.
– Sebagian mengatakan boleh qadha, boleh fidyah.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Serial Syarah Ringkas Hadits-Hadits Ramadhan (Hadits 2)

💢💢💢💢💢💢💢💢

مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا

Siapa yang puasa sehari fisabilillah, Allah akan jauhkan wajahnya dari api neraka sejauh 70 tahun perjalanan.

(HR. Bukhari no. 2840, Muslim no. 1153, dari Abu Said Al Khudri)

Syarah Hadits:

مَنْ صَامَ يَوْمًا:

Siapa yang berpuasa sehari , yaitu siapa pun Muslim dan Muslimah, yang melakukan puasa yang telah Allah wajibkan kepadanya.

فِي سَبِيلِ اللَّهِ:

Fisabilillah, di jalan Allah, yaitu dia puasa dengan niat berjuang fisabillah. Para ulama berbeda pendapat tentang maksudnya, Ibnul Jauzi mengatakan yaitu berpuasa dalam arena jihad. Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan, secara tradisi yang lebih banyak kalimat fisabillah dipakai dalam jihad. Sementara Al Qurthubi mengatakan: sabilillah adalah ketaatan kepada Allah, maksudnya siapa yg berpuasa mencari ridha Allah. Ibnu Hajar mengatakan: dapat dimaknai maksudnya lebih umum dari itu. (Fathul Bari, 6/48)

بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ

Allah akan jauhkan wajahnya dari api neraka, yaitu Allah jauhkan orang yang berpuasa fisabillah tersebut dari neraka

سَبْعِينَ خَرِيفًا:

sejauh 70 tahun perjalanan., angka 70 sering dipakai dibeberapa hadits dlm konteks berbeda. Ini tidak menunjukkan makna hakiki tapi menunjukkan saking jauhnya dia dari api neraka. Al Qurthubi berkata: penyebutan 70 menunjukkan sangat banyak. (Fathul Bari, 6/48)

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top