Serba Serbi Amar Ma’ruf Nahi Munkar

💢💢💢💢💢💢💢

📌 Kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Imam Ibnu Daqiq al ‘Id Rahimahullah:

فهو أمر إيجاب بإجماع الأمة وقد تطابق الكتاب والسنة على وجوب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وهو أيضا من النصيحة التي هي الدين

Menghilangkan kemungkaran adalah hal yang wajib berdasarkan ijma’ umat ini. Hal itu sejalan dengan Al Quran dan As Sunnah tentang wajibnya amar ma’ruf nahi munkar dan itu bagian dari nasihat dan itu adalah bagian dari agama.

📌 Jangan Menunggu Sempurna

Imam Ibnu Daqiq al ‘Id:

قال العلماء: ولا يشترط في الآمر بالمعروف والناهي عن المنكر أن يكون كامل الحال، ممتثلاً ما يأمر به. مجتنباً ما ينهى عنه بل عليه الأمر. وإن كان مرتكباً خلاف ذلك لأنه يجب عليه شيئان: أن يأمر نفسه وينهاها. وأن يأمر غيره وينهاها. فإذا أخذ بأحدهما لا يسقط عنه الآخر

Para ulama mengatakan: menjadi sempurna itu bukanlah syarat dalam amar ma’ruf nahi munkar yang mengharuskan dia mesti sudah menjalankan apa yang dia katakan dan menjauhi apa yang dia larang. Jika dia melakukan apa-apa yang menyelisihi ajakannya sendiri maka dia wajib melakukan dua hal: amar ma’ruf nahi munkar kepada dirinya, dan juga kepada orang lain. Jika dia sudah melakukan salah satunya, maka tidaklah gugur terhadap satunya lagi.

📌 Bukan Hanya Tugas Penguasa dan Ulama

Imam Ibnu Daqiq al ‘Id :

قالوا: ولا يختص الأمر بالمعروف والنهى عن المنكر بأصحاب الولاية بل ذلك ثابت لآحاد المسلمين وإنما يأمر وينهى من كان عالماً بما يأمر به وينهى عنه فإن كان من الأمور الظاهرة مثل: الصلاة والصوم والزنا وشرب الخمر ونحو ذلك، فكل المسلمين علماء بها وإن كان من دقائق الأفعال والأقوال وما يتعلق بالاجتهاد ولم يكن للعوام فيه مدخل فليس لهم إنكاره بل ذلك للعلماء

Mereka (para ulama) mengatakan bahwa amar ma’ruf nahi munkar tidaklah khusus bagi penguasa saja, tapi ini berlaku bagi individu muslim mana pun. Sesungguhnya amar ma’ruf nahi munkar ini kewajiban bagi yang tahu jika ada hal yang memang mesti di perintah dan dicegah. Jika mencakup hal-hal yang sudah jelas seperti shalat, puasa, puasa, minum khamr, zina, dan semisalnya, maka semua umat Islam sudah tahu hal itu. Ada pun untuk ucapan dan perbuatan yang rumit yang membutuhkan ijtihad maka itu bukan bagiannya orang awam untuk amar ma’ruf nahi munkar tapi domainnya para ulama.

📌 Kemungkaran yang diingkari hanyalah hal yang disepakati kemungkarannya

Imam Ibnu Daqiq al ‘Id:

والعلماء إنما ينكرون ما أجمع عليه أما المختلف فيه فلا إنكار فيه لأن على أحد المذهبين: أن كل مجتهد مصيب وهو المختار عند كثير من المحققين. وعلى المذهب الآخر: أن المصيب واحد والمخطئ غير متعين لنا والإثم موضوع عنه لكن على جهة النصيحة للخروج من الخلاف فهو حسن مندوب إلى فعله برفق

Para ulama hanyalah mengingkari apa-apa yang telah ijma’ (kemungkarannya), sedangkan perkara yg masih diperselisihkan tidak boleh ada pengingkaran dalam hal itu. Sebab, bagi seseorang ada dua madzhab yang berlaku: 1. Seluruh Mujtahid itu benar. Inilah yang dipilih oleh banyak muhaqqiq (peneliti). 2. Yang benar hanya satu yang lainnya salah, namun tidak tentu yg mana, dan dosa tidak berlaku. Tapi dia dinasihati agar keluar dari perselisihan. Ini adalah hal yang bagus dan diajurkan melakukannya dengan lembut.

📚 Imam Ibnu Daqiq al ‘Id, Syarah al Arbain an Nawawiyah, Hal. 112 – 113

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Apakah Adzan Dua Kali di Shalat Jum’at Itu Bid’ah?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum.., ana dapat kiriman artikel isinya membid’ahkan azan dua kali di shalat Jumat.. Mohon pencerahannya tadz..

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Bismillahirrahmanirrahim…

Masalah ini memang ada dua pendapat secara global, dan kedua pendapat tersebut hendaknya kita ketahui agar kita bisa lapang dada.

Pendapat Pertama: Azan pertama dalam shalat Jumat sehingga ada dua kali azan adalah bid’ah.

Hal ini dikatakan oleh Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma. Alasannya sederhana, yaitu azan ini tidak ada di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Imam Ibnu Rajab mengatakan:

وروى وكيع في كتابه عن هشام بن الغاز ، قال : سألت نافعاً عن الأذان يوم الجمعة ؟ فقالَ : قالَ ابن عمر : بدعةٌ ، وكل بدعة ظلالة ، وإن رآه الناس حسناً

Waki’ meriwayatkan dalam kitabnya, dari Hisyam bin al Ghaz, dia berkata: Aku bertanya kepada Nafi’ tentang azan (tambahan) di hari Jumat. Beliau menjawab: “Itu bid’ah, setiap yang bid’ah itu sesat walau dipandang bagus oleh manusia. (Fath al Bari, 5/452)

Ini juga menjadi pendapatnya ‘Atha bin Abi Rabah, Beliau mengingkari azan tersebut. Menurutnya yang dilakukan oleh Utsman Radhiallahu ‘Anhu adalah mengajak manusia berdoa, bukan azan, menurutnya orang pertama yang menambah azan tersebut adalah Al Hajjaj. (Ibid, 5/451)

Sedangkan Imam asy Syafi’i berkata:

وَقَدْ كَانَ عَطَاءٌ يُنْكِرُ أَنْ يَكُونَ عُثْمَانُ أَحْدَثَهُ وَيَقُولُ أَحْدَثَهُ مُعَاوِيَةُ، وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ‏. ]قَالَ الشَّافِعِيُّ‏]‌‏:‏ وَأَيُّهُمَا كَانَ فَالْأَمْرُ الَّذِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَحَبُّ إلَيَّ

‘Atha mengingkari bahwa hal itu dilakukan Utsman, dia mengatakan itu dimulai oleh Mu’awiyah. Wallahu A’lam. Yang mana pun dari keduanya (baik dari Utsman ataukah Muawiyah), aku lebih suka apa yang terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (yaitu sekali azan). (Al Umm, 2/389)

Dari sini kita paham bahwa Imam asy Syafi’i tidak menyalahkan azan dua kali, hanya saja dia lebih suka yang sekali. Sementara Imam Abul Hasan al Mawardi, salah satu tokoh madzhab Syafi’i mengatakan:

فأما الاذان الثاني فمحدث، فعله عثمان بن عفان ليتأهب الناس لحضور الخطبة عند اتساع المدينة وكثرة أهلها

Ada pun azan kedua adalah muhdats (bid’ah), apa yang dilakukan oleh Utsman Radhiyallahu ‘Anhu agar orang mampu bersiap – siap menghadiri khutbah karena kota Madinah waktu itu semakin luas dan banyak penduduknya. (An Nukat wa al ‘Uyun, 6/9)

Sedangkan Syaikh al Albani mengkritik keras pihak yang melakukan azan dua kali dengan sebutan taklid buta, menurutnya mereka tidak melihat alasan Utsman Radhiallahu ‘Anhu dan hikmahnya. Utsman melakukan itu karena penduduk semakin banyak dan rumah berjauhan, pantaslah jika azan sekali tidak bisa dicapai oleh semuanya. Hal itu, di zaman ini sudah tidak terjadi karena adanya pengeras suara dan penduduk berdekatan sehingga suara azan sekali sudah cukup terdengar. (al Ajwibah an Nafi’ah, Hal. 20-21)

Pendapat Kedua. Azan dua kali dalam shalat Jumat, BUKAN BID’AH tapi SUNNAH yaitu sunnahnya salah satu Khulafa ar Rasyidin, yaitu Utsman bin Affan Radhiallahu ‘Anhu.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk mengikuti sunnahnya dan sunnah Khulafa ar Rasyidin. Bahkan sebagian riwayat menyebut sudah ada sejak masa khalifah Umar Radhiallahu ‘Anhu.

Syaikh Muhammad Shalih al Munajjid mengatakan:

وهذا الأذان ليس من البدع المحدثة بل هو سنة من سنن الخليفة الراشد عثمان بن عفان رضي الله عنه والتي أمر النبي صلى الله عليه وسلم بلزومها في قوله : ” عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي

Adzan ini bukanlah bid’ah, justru ini sunnah di antara sunnahnya Khalifah ar Rasyid, Utsman bin Affan Radhiallahu ‘Anhu di mana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memerintahkan untuk berpegang kepada sunnahnya dalam hadits: “Hendaknya kalian di atas sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin setelahku. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 13478)

Syaikh Anwarsyah Al Kasymiri mengoreksi pihak yang membid’ahkan dengan mengatakan:

قلت: وعلى مَنْ يَدَّعِي الإِحداثَ أن يُجيب عما في «الموطأ» لمالك -ص 36 – : أنهم كانوا في زمن عمر بن الخطاب يُصلُّون يومَ الجُمعة حتى يخرجَ عمرُ بن الخطاب، فإِذا خرج عمر وجلس على المنبر وأَذَّن المؤذنون. وقال ثعلبة: «جلسنا نتحدثُ فإِذا سَكَت المؤذنونَ وقام عمرُ يخطبُ أَنْصَتْنا فلم يتكلمْ مِنَّا أَحَدٌ». اهـ فإن قوله: سكت المؤذنون، وأذن المؤذنون، بصيغة الجَمْع يدلُّ على تَعَدُّدِ الأذانين في عهده رضي الله تعالى عنه

Aku berkata: kepada pihak yang membid’ahkan jawabannya ada dalam Al Muwaththa, hal. 36, bahwa mereka di zaman Umar bin al Khathab Radhiallahu ‘Anhu shalat di hari Jumat sampai Umar bin al Khatab datang. Begitu Umar datang dan duduk di mimbar maka azanlah para muadzin.” Tsa’labah berkata: “Kami duduk dan ngobrol, jika para muadzin sudah berhenti dan Umar berdiri untuk khutbah maka kami diam dan tidak ada satu di antara kami yang ngobrol… dst.” Ucapannya “para muadzin sudah berhenti “, “para muadzin azan”, dengan bentuk kata jamak menunjukkan bahwa adzan Jumat dimasanya (Umar bin al Khathab) itu berbilang (bukan hanya sekali). (Faidh al Bari, 2/433)

Hadits yang dimaksud adalah:

عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ

Saib bin Yazid berkata, “Adalah azan pada hari Jumat, permulaannya adalah apabila imam duduk di atas mimbar, yakni pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar Radhiallahu ‘anhuma. Maka pada masa Utsman Radhiallahu ‘Anhu dan orang-orang sudah banyak, ia menambahkan azan yang ketiga diatas Zaura’.” Berkata Abu Abdillah, Zaura’ adalah suatu tempat di pasar di kota Madinah. (HR. Bukhari no. 912)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

فإنَّه من يَعِشْ منكم بَعْدي فسَيَرى اختلافاً كثيراً، فعليكُم بسنَّتي وسُنَّةِ الخُلفاءِ، المَهديِّينَ الرَّاشدينَ، تَمَسَّكوا بها وعَضُّوا عليها بالنَّواجذِ

Sesungguhnya siapa di antara kamu yang hidup setelah aku wafat, niscaya akan banyak melihat perselisihan, maka peganglah sunnahku dan sunnah para khalifah yang telah mendapatkan petunjuk (Khulafa’ ar Rasyidin), peganglah kuat-kuat dan gigit dengan geraham kalian. (HR. Abu Daud no. 4607, dishahihkan oleh Imam at Tirmidzi, Imam Ibnu Hibban, dll)

Dalam hadits disebutkan dengan istilah “azan ketiga”, sebab iqamah dalam banyak hadits juga disebut azan, sehingga totalnya tiga azan. Apa yang dilakukan Utsman Radhiallahu ‘Anhu diikuti manusia diseluruh negeri di masanya, Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:

والذي يظهر أن الناس أخذوا بفعل عثمان في جميع البلاد إذ ذاك لكونه خليفة مطاع الأمر

Yang nampak adalah manusia mengambil (mengikuti) perbuatan Utsman ini di semua negeri karena posisinya sebagai khalifah yang ditaati perintahnya. (Fath al Bari, 2/394)

Al Hafizh juga mengomentari pembid’ahan-nya Ibnu Umar sebagai berikut:

فيحتمل أن يكون قال ذلك على سبيل الإنكار ويحتمل أنه يريد أنه لم يكن في زمن النبي صلى الله عليه وسلم وكل ما لم يكن في زمنه يسمى بدعة لكن منها ما يكون حسنا ومنها ما يكون بخلاف ذلك

Apa yang dikatakannya dipahami sebagai pengingkaran, dan dimaknai bahwa itu belum terjadi di masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tiap hal yang belum terjadi di masanya dinamakan bid’ah tetapi di antaranya ada yang HASAN (bagus) dan ada yang menyelisihi hal itu. (Ibid)

Maka, siapa yang di masjidnya shalat Jumat dengan sekali azan dan sekali iqamah maka dia telah mengikuti sunnah. Siapa yang masjidnya shalat Jumat dengan dua kali azan dan sekali iqamah maka dia telah mengikuti sunnah salah satu khalifah yang empat, yang oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam perintahkan untuk diikuti. Keduanya masih on the track sunnah. Seandainya itu bid’ah, sudah pasti sahabat nabi lainnya akan mengingkarinya, tapi mereka mendiamkannya sehingga para ulama menyebutnya ijma’ sukuti (kesepakatan diam-diam).

Imam Badruddin al ‘Aini menjelaskan:

وموافقة سَائِر الصَّحَابَة بِهِ بِالسُّكُوتِ وَعدم الْإِنْكَار، فَصَارَ إِجْمَاعًا سكوتيا

Apa yang dilakukan Utsman disepakati oleh semua sahabat secara diam-diam dan tidak ada yang mengingkarinya, maka ini menjadi ijma’ sukuti. (‘Umdah al Qari, 6/211)

Hal ini juga dikatakan Al Lajnah Ad Daimah kerajaan Arab Saudi mengatakan kebolehan azan dua kali ini adalah IJMA’ SUKUTI (kesepakatan diam-diam) para sahabat nabi.

Dalam fatwa yang ditanda tangani Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ini tertulis:

وقد علق القسطلاني في شرحه للبخاري على هذا الحديث بأن النداء الذي زاده عثمان هو عند دخول الوقت، وسماه ثالثًا باعتبار كونه مزيداً على الأذان بين يدي الإمام والإقامة للصلاة ، وأطلق على الإقامة أذاناً تغليباً ، بجامع الإعلام فيهما، وكان هذا الأذان لما كثر المسلمون فزاده اجتهاداً منه، ووافقه سائر الصحابة له بالسكوت وعدم الإنكار ؛ فصار إجماعاً سكوتياً

Al Qasthalani telah memberikan komentar terhadap hadits ini dalam Syarah (penjelasan)nya terhadap Shahih Bukhari , bahwa adzan tersebut dilakukan ketika waktu sudah masuk. Hal ini dinamakan adzan ketiga karena sebagai adzan tambahan atas adzan ketika imam naik mimbar dan iqamat untuk shalat. Secara mutlak iqamat adalah adzan, karena pada keduanya menghimpun adanya pemberitahuan shalat. Adzan ini terjadi pada saat kaum muslimin banyak jumlahnya, tambahan azan tersebut merupakan ijtihad, dan disepakati oleh semua sahabat, mereka mendiamkannya dan tidak mengingkarinya. Maka hal ini menjadi ijma’ sukuti. (Fatawa Al Lajnah ad Daimah, 8/199)

Alasan adanya azan tambahan tersebut karena manusia saat itu semakin banyak. Sekali azan ternyata tidak cukup bagi mereka untuk mendatangi masjid, akhirnya Utsman Radhiallahu ‘Anhu berijtihad untuk di adakan azan yang pertama sebagai panggilan bagi mereka. Zaman ini penduduk lebih banyak lagi, seakan kondisi hari ini justru lebih beralasan lagi untuk melakukan azan tersebut. Oleh karenanya sampai hari ini Masjid al Haram dan Masjid an Nabawi melakukan azan jumat dua kali, plus iqamah.

Syaikh Shalih Fauzan memiliki penjelasan yang bagus:

الأذان الأول سنة الخلفاء الراشدين، فقد أمر به عثمان رضي الله عنه في خلافته لما كثر الناس وتباعدت أماكنهم، فصاروا بحاجة إلى من ينبههم لقرب صلاة الجمعة، فصار سنة إلى يومنا هذا، والنبي صلى الله عليه وسلم يقول: عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين. وعثمان من الخلفاء الراشدين وقد فعل هذا وأقره الموجودون في خلافته من المهاجرين والأنصار، فصار سنة ثابته. والذي نراه أن الأمر واسع فمن أذن أذانا واحداً فهو بذلك متأسٍ برسول الله صلى الله عليه وسلم ومقتدٍ بأبي بكر وعمر ، ومن أذن أذانين فهو بذلك مقتد بالخليفة الراشد عثمان بن عفان ومن وافقه من المهاجرين والأنصار.

Azan pertama adalah sunnahnya Khulafa ar Rasyidin, Utsman Radhiallahu ‘Anhu telah memerintahkannya di masa kekhalifahannya disebabkan banyaknya penduduk dan tempat mereka berjauhan, hal itu menjadi diperlukan untuk memberitahu mereka agar mendatangi shalat Jumat, maka hal ini menjadi SUNNAH SAMPAI HARI INI. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Hendaknya kalian di atas sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin setelahku.” Utsman termasuk Khulafa ar rasyidin, dia telah melakukan hal ini dan disetujui orang-orang saat itu baik Muhajirin dan Anshar maka itu menjadi sunnah yang kuat. Kami lihat permasalahan ini masalah yang lapang saja, siapa yang azannya sekali maka dia punya dasar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, diikuti Abu Bakar, dan Umar. Siapa yang azannya dua kali maka dia telah mengikuti Khalifah ar Rasyid yaitu Utsman dan orang-orang yang menyetujuinya dari kalangan Muhajirin dan Anshar. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 18313)

📚Kesimpulannya: Azan shalat Jumat baik sekali atau dua kali adalah benar dan masalah ini lapang saja. Hendaknya pembuat broadcast itu tidak membuat gaduh dengan menyebarkan masalah sensitif tanpa landasan ilmu.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Shalat di Atas Kasur

💢💢💢💢💢💢💢

❓PERTANYAAN:

Bismillah
Ustadz apakah boleh sholat diatas kasur? (kasur kapuk bukan busa jd tdk empuk).
Jazakumulloh khoiron (+62 878-3635-xxxx)

💡JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Salah satu rukun shalat adalah qiyam (berdiri), khususnya pada shalat wajib. Berdiri yg dimaksud adalah berdiri menapak dipermukaan bumi.

Sehingga sebagian kecil ulama tegas menyatakan tidak sahnya shalat di atas kasur, bahkan di atas pesawat, KECUALI ada uzur. Misal, lantai berlumpur atau kebanjiran. Tentu kondisi sperti itu boleh.

Namun, mayoritas ulama tidak mempermasalahkan shalat di atas kasur yg suci atau sesuatu yang meninggi asalkan kaki kaki kasur tersebut masih menapak di permukaan bumi.

Imam Al Hathab berkata:

وأما الصلاة على السرير فلا خلاف في جوازها ، قاله في البيان , انتهى

Shalat di atas kasur, tidak ada perbedaan pendapat (dalam madzhab Malikiyah) tentang kebolehannya. Selesai (Mawahib al Jalil, 1/520)

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

شرط الفريضة المكتوبة أن يكون مصليا مستقبل القبلة مستقرا في جميعها ………. فلو استقبل القبلة وأتم الأركان في هودج أو سرير أو نحوهما على ظهر دابة واقفة ففي صحة فريضته وجهان : أصحهما : تصح , وبه قطع الأكثرون ; لأنه كالسفينة ” انتهى

Syarat sahnya shalat adalah hendaknya orang yang shalat menghadap kiblat secara mantap seluruh bagian tubuhnya.., seandainya sudah menghadap kiblat, sempurna rukun-rukunnya, baik dilakukan di pelana, kasur, atau semisal keduanya yang diletakkan di atas punggung hewan, maka ada dua pendapat dan yang lebih shahih adalah SAH, dan inilah pendapat mayoritas ulama, sebagaimana shalat di atas kapal laut. (Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 3/221)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Arti, Hukum dan Tata Cara Istighatsah

💢💢💢💢💢💢💢💢

I. Maknanya

Di ambil dari kata Al Ghauts – الغوث, yg artinya pertolongan. Maka, istighatsah adalah:

طلب الغوث والنصر

Meminta pertolongan dan bantuan (Tafsir Al Qurthubi, 5/278)

Apa bedanya dengan isti’anah (thalabul ‘aun) ? Secara harfiyah sama-sama meminta pertolongan, tapi ada sedikit perbedaan.

Istightsah adalah meminta pertolongan saat susah (asy syiddah) dan sempit (adh dhiq). Sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam saat perang Badar.

Allah Ta’ala berfirman:

إِذۡ تَسۡتَغِيثُونَ رَبَّكُمۡ فَٱسۡتَجَابَ لَكُمۡ أَنِّي مُمِدُّكُم بِأَلۡفٖ مِّنَ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ مُرۡدِفِينَ

(Ingatlah), ketika kamu beristighatsah (memohon pertolongan) kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, “Sungguh, Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.”

(QS. Al-Anfal, Ayat 9)

Sedangkan isti’anah, adalah meminta pertolongan secara umum baik keadaan susah, payah, atau biasa saja. Allah Ta’ala berfirman:

وَٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلۡخَٰشِعِينَ

Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.

(QS. Al-Baqarah, Ayat 45)

II. Dalilnya

Dalil istighatsah begitu banyak, di antaranya surat Al Anfal ayat 9 di atas.

Juga doa-doa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seperti:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَرَبَهُ أَمْرٌ قَالَ: «يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ»

Anas bin Malik berkata bawah Jika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sedang menghadap permasalahan besar, maka Beliau berdoa: “Ya Hayyu Ya Qayyum birahmatika astaghiits – Wahai yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan, dengan rahmatMu aku minta pertolonganMu.”

(HR. At Tirmidzi no. 3524, Al Hakim no. 2052. Beliau mengatakan: shahih sesuai syarat Bukhari Muslim)

Juga doa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam saat menjelang perang Badar, dengan suara keras dan mengangkat kedua tangannya

.. فَاسْتَقْبَلَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقِبْلَةَ ثُمَّ مَدَّ يَدَيْهِ فَجَعَلَ يَهْتِفُ بِرَبِّهِ اللَّهُمَّ أَنْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ إِنْ تُهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةَ مِنْ أَهْلِ الْإِسْلَامِ لَا تُعْبَدْ فِي الْأَرْضِ فَمَا زَالَ يَهْتِفُ بِرَبِّهِ مَادًّا يَدَيْهِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ حَتَّى سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ مَنْكِبَيْهِ…

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapkan wajahnya ke arah kiblat sambil menengadahkan tangannya, beliau berteriak: “ALLAHUMMA ANJIZ LII MAA WA’ADTANI, ALLAHUMMA AATI MAA WA’ADTANI, ALLAHUMMA IN TUHLIK HAADZIHIL ‘ISHAABAH MIN AHLIL ISLAM LA TU’BAD FIL ARDHI (Ya Allah, tepatilah janji-Mu kepadaku. Ya Allah, berilah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika pasukan Islam yang berjumlah sedikit ini musnah, niscaya tidak ada lagi orang yang akan menyembah-Mua di muka bumi ini).’ Demikianlah, beliau senantiasa berdoa dengan suara keras kepada Rabbnya dengan mengangkat tangannya sambil menghadap ke kiblat…

(HR. Muslim no. 3309)

Dalam hadits ini menunjukkan tidak masalah istighatsah dengan mengeraskan suara dan mengangkat kedua tangan.

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وَفِيهِ اسْتِحْبَابُ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ في الدعاء ورفع اليدين فيه وأنة لابأس بِرَفْعِ الصَّوْتِ فِي الدُّعَاءِ

Dalam kisah ini menunjukkan hal yang disunnahkan menghadap kiblat dan mengangkat tangan saat berdoa, dan tidak apa-apa meninggikan suara dalam berdoa. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 12/84)

Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah mengatakan:

وقوله: ” فما زال يهتف بربه “: أى يصيح بالدعاء والاستغاثة به

Perkataan: “beliau senantiasa berdoa dengan suara keras kepada Rabbnya” artinya dia memekikkan suara saat berdoa dan meminta pertolongan.

(Ikmal al Mu’ lim, 6/94)

III. Boleh sendiri dan bersama-sama

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa istighatsah bisa dilakukan sendiri-sendiri, dan juga bersama-sama.

Syaikh Ibnu ‘Asyur Rahimahullah menjelaskan

surat Al Anfal ayat 9:

استغاثة النبي صلى الله عليه وسلم والمسلمينَ ربّهم على عدوهم ، حين لقائهم مع عدوهم يومَ بدر ، فكانت استجابة الله لهم بإمدادهم بالملائكة

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kaum muslimin beristighatsah kepada Rabb mereka untuk melawan musuh-musuhnya, disaat berjumpa dengan mereka pada perang Badar maka Allah Ta’ala mengabulkan doa mereka dengan diturunkannya para malaikat yg berturut-turut.

(At Tahrir wat Tanwir, 6/164)

Berjamaah dalam ketaatan itu pada dasarnya dianjurkan, apalagi jika membuahkan banyak manfaat, seperti: keterpautan hati, kuatnya ikatan, menggunakan waktu untuk sesuatu yang bermanfaat, memberi pengajaran kepada orang awam yang belum belajar dengan baik, dan mempublikasikan syi’ar agama Allah Ta’ala. Selama di dalamnya tidak tercampur oleh hal-hal yang mungkar atau melalaikan yang lebih wajib.

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌻🍃🍀🌷🌸🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top