Suami Rajin Ibadah, Tapi Malas Nafkah

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalaamu’alaikum Ustadz Farid, semoga sehat dan berkah selalu menyertai Ustadz. Mau tanya apa hukumnya seorang suami yang rajin ibadah tapi agak malas mencari nafkah keluarga sehingga istri harus ikut mencari bahkan sekarang malah istri yang jadi tulang punggung keluarga. Atas jawabannya Jazakallaahu khoiran. Wassalam (AS)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Nafkah seorang suami kepada istrinya adalah wajib. Ini sama-sama telah diketahui umat Islam. Status suami sebagai pemimpin di rumah tangga, salah satu sebabnya adalah dia menafkahi istrinya.

Allah Ta’ala berfirman:

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. (QS. An-Nisa’, Ayat 34)

Ayat ini menunjukkan kepemimpinan laki-laki itu ada sebab, yaitu dia menafkahi istrinya. Menurut Imam Al Qurthubi, jika suami tidak mampu menafkahinya teranulirlah status kepemimpinannya, maka apalagi jika karena malas.

Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengatakan:

أَنَّهُ مَتَى عَجَزَ عَنْ نَفَقَتِهَا لَمْ يَكُنْ قَوَّامًا عَلَيْهَا، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ قَوَّامًا عَلَيْهَا كَانَ لَهَا فَسْخُ الْعَقْدِ، لِزَوَالِ الْمَقْصُودِ الَّذِي شُرِعَ لِأَجْلِهِ النِّكَاحُ. وَفِيهِ دَلَالَةٌ وَاضِحَةٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ عَلَى ثُبُوتِ فَسْخِ النِّكَاحِ عِنْدَ الْإِعْسَارِ بِالنَّفَقَةِ وَالْكُسْوَةِ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيّ

Sesungguhnya, dikala dia tidak mampu menafkahi istrinya maka lenyaplah kepemimpinannya atas istrinya. Jika dia sudah tidak lagi sebagai pemimpin, maka istrinya boleh melakukan fasakh (pembatalan) atas nikahnya, karena maksud diadakannya pernikahan (yaitu tanggung jawab nafkah) telah hilang. Ini menjadi dalil yang jelas atas kuatnya kebolehan melakukan fasakh nikah dikala seorang suami kesulitan memberikan nafkah dan pakaian. Inilah pendapat Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i. (Tafsir Al Qurthubi, jilid. 5, hal. 169)

Kewajiban nafkah telah ijma’ (konsensus), walau istri kaya dan berpenghasilan sendiri, seperti yang dikatakan Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:

وَاتَّفَقُوا أَن الْحر الَّذِي يقدر على المَال الْبَالِغ الْعَاقِل غير الْمَحْجُور عَلَيْهِ فَعَلَيهِ نَفَقَة زَوجته الَّتِي تزَوجهَا زواجا صَحِيحا إذا دخل بهَا وَهِي مِمَّن تُوطأ وَهِي غير ناشز وَسَوَاء كَانَ لَهَا مَال أَو لم يكن

Para ulama sepakat bahwa laki-laki yang merdeka (bukan budak) yang memiliki harta, baligh, aqil, dalam kondisi tidak ada halangan, wajib memberikan nafkah untuk istrinya yang dinikahi dalam ikatan pernikahan yang sah, dia sudah menggaulinya, baik istrinya orang berharta atau tidak. (Maratibul Ijma’, hal. 79)

Maka, memiliki suami rajin ibadah tentu bagus dan patut disyukuri. Sebab, ada juga yang malas ibadah dan malas nafkah sekaligus. Tapi, jangan lupa, ibadah itu bukan hanya shalat, puasa, dan baca Al Quran, tapi juga menafkahi anak dan istri. Anak dan istri itu hakikatnya adalah amanah Allah Ta’ala, bukan dekorasi di rumah tangga. Bahkan menafkahi istri menjadi salah satu ciri orang bertaqwa, seperti yang Allah Ta’ala tegaskan di awal surah Al Baqarah:

وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ

dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. Al Baqarah: 3)

Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu menjelaskan makna ayat ini:

نفقة الرجل على أهله

Nafkah seorang laki-laki (suami) kepada keluarganya. (Al Mawardi, An Nukat wa Al’ Uyun, jilid. 1, hal. 70)

Di sisi lain, istri mesti mendorong, memotivasi suaminya, agar terus berusaha, bekerja, jaga wibawa diri, walau penghasilannya dianggap kecil. Yang penting suami usaha dulu, dan jangan tergesa-gesa minta cerai walau sudah punya alasan untuk itu. Tentunya bersabar dan mencari solusi bersama adalah lebih baik.

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Serba-Serbi Anak Yatim

Siapakah Anak Yatim?

Imam Badruddin Al ‘Aini mengatakan, secara bahasa yatim artinya munfarid (sendirian). (‘Umdatul Qari, jilid. 14, hal. 62)

Imam Abu Nashir Al Jauhari mengatakan yatim jamaknya adalah aytaam dan yataamaa, bagi manusia yatim adalah yang tidak memiliki ayah, sedangkan bagi hewan ternak yatim adalah yang tidak memiliki ibu. (Ash Shihah Taaj Al Lughah, jilid. 5, hal. 2064)

Imam Najmuddin An Nasafi mengatakan bahwa Yatim dari kalangan Bani Adam (manusia) adalah yang wafat ayahnya, ada pun kalangan hewan adalah yang wafat ibunya. (Thalabatuth Thalabah, hal. 42)

Status yatim itu sama baik anak laki-laki atau perempuan. (Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim, ‘Aunul Ma’bud, jilid. 14, hal. 41)

Sementara dalam penelitian Syaikh Dr. Ahmad Mukhtar Umar, yatim itu istilah bagi anak yang kehilangan (faqada) ayahnya, ada pun yang kehilangan ibunya adalah ‘ajiiban atau munqathi’an, sedangkan yang ayahnya wafat disebut Lathiim. (Mu’jam Ash Shawab Al Lughawi, jilid. 1, hal. 807)

Dari keterangan Syaikh Ahmad Mukhtar, istilah Yatim itu bisa bermakna anak yang kehilangan ayahnya, tidak diketahui keberadaan dan rimbanya, walau belum tentu ayahnya sudah wafat. Sedangkan yang ayahnya wafat disebut Lathim. Namun demikian, ada benang merah antara keduanya, yaitu sama-sama anak yang tidak memiliki ayah yang menanggung kehidupannya baik karena wafat atau ‘hilang’.

Ini seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir Rahimahullah: “Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki kaasib (pencari nafkah dalam hidupnya) bagi mereka, dan ayah mereka wafat, mereka dalam keadaan lemah, masih kecil belum baligh dan tidak mampu mencari nafkah.” (Tafsir Ibnu Katsir, jilid. 1, hal. 487)

Kapan berakhir status Yatim?

Rasulullah ﷺ bersabda:

لا يُتمَ بعدَ احتلامٍ

Tidak ada yatim setelah mencapai mimpi basah (baligh).

(HR. Abu Daud no. 2873. Dinyatakan hadits hasan oleh Imam an Nawawi dalam Riyadhushshalihin. Syaikh Syuaib al Arnauth mengatakan: hasan lighairih )

Imam Najmuddin An Nasafi Rahimahullah mengomentari hadits ini: “Yaitu tidaklah lagi baginya dihukumi sebagai anak yatim setelah dia ihtilam (mimpi basah-baligh).”

( Thalabatuth Thalabah, hal. 42).

Imam Al Khathabi Rahimahullah mengatakan: “Perkataan ini menunjukkan bahwa berakhirnya hukum yatim adalah dengan adanya mimpi basah atau dia mengalami hukum-hukum orang yang sudah baligh.” ( Ma’alim As Sunan, jilid. 4, hal. 87).

Imam Al Munawi Rahimahullah mengatakan: “Yaitu tidak berlaku bagi orang yang baligh dan mimpi basah hukum sebagai anak yatim.” ( At Taisir bisyarh Al Jami’ ash Shaghir, 2, hal. 504)

Imam Ibnul Atsir Rahimahullah mendefinisikan tentang yatim:

من مات أبوه وهو دون البلوغ، وبالبلوغ ينقضي اليتم إلا أن يكون سفيهًا أو محجورًا عليه

Siapa yang wafat ayahnya dan dia belum baligh, dan tercapainya usia baligh membuat selesainya keyatiman kecuali jika dia safiih (lemah akal) atau mahjuur (terbuang/tidak ada yang peduli).

( Asy Syafi Syarh Musnad Asy Syafi’i, jilid. 5, hal. 396)

Jadi, jika anak itu lemah dan belum bisa mengurus diri sendiri, walau dia sudah baligh dan mimpi basah, atau haid bagi yang wanita, tidak berarti dia ditinggalkan begitu saja. Kelemahan dia dalam mengurus dirinya tetap sebagai alasan untuk memperhatikan kehidupannya, bukan karena status keyatimannya yang memang telah berakhir, tapi karena kelemahannya.

Keutamaan Menyantuni Anak Yatim

Anak yatim adalah salah satu golongan yang dianjurkan untuk disedekahkan oleh umat Islam. Allah Ta’ala telah merinci dalam firmanNya:

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS. Al Baqarah: 215)

Selain itu, Rasulullah ﷺ menjanjikan para penyantun anak yatim akan hidup berdampingan dengan dirinya di surga. Dari Sahl Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

وَأَنَا وَكَافِلُ اليَتِيمِ فِي الجَنَّةِ هَكَذَا» وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالوُسْطَى، وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا

Di surga nanti, aku bersama orang yang menyantuni anak yatim seperti ini. (Nabi ﷺ mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan tengah, dan diberikan celah sedikit). (HR. Bukhari No. 5304)

Menyantuni anak yatim, juga sebagai sarana melembutkan hati bagi seorang mukmin. Sebagaimana dikatakan dalam hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَجُلًا شَكَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَسْوَةَ قَلْبِهِ , فَقَالَ: ” إِنْ أَرَدْتَ أَنْ يُلَيَّنَ قَلْبُكَ فَأَطْعِمِ الْمَسَاكِينَ وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ “

Dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki mengeluhkan kepada Rasulullah ﷺ tentang hatinya yang keras. Beliau bersabda: “Jika kau ingin melembutkan hatimu, maka berikanlah makan ke orang-orang miskin, dan usaplah kepala anak yatim.”

(HR. Ahmad no. 7576, Al Baihaqi dalam as Sunan al Kubra no. 7094. Hadits ini dinyatakan DHAIF oleh Syaikh Syuaib al Arnauth (Ta’liq Musnad Ahmad, 13/22) dan Syaikh Ahmad Syakir (Musnad Ahmad no. 7566). Sementara Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: HASAN. (Fathul Bari, 11/151), Syaikh al Albani juga menghasankan. (Shahihul Jami’ no. 1410)

Makna MENGUSAP KEPALA dalam hadits tsb ada yg memaknai secara hakiki benar-benar mengusap, ada juga yg mengartikan lemah lembut dan perhatian.

Imam ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan:

والمراد مسحه بالدهن أو معنى تلطفا وتأنيسا وقد يلين القلب و يرضى الرب

Maksud dari mengusap adalah mengusapnya dengan minyak, atau maknanya adalah bersikap lembut dan bersahabat, itu akan melembutkan hati dan mendatang keridhaan Allah. (At Tanwir Syarh al Jami’ ash Shaghir, 4/236)

Jika anak yatim tersebut ada hubungan darah dengan kita maka anjurannya lebih kuat lagi, dan memiliki nilai lebih dari sekadar sedekah, yaitu juga silaturrahim.

Siapa yang disebut sebagai penyantun anak yatim?

Penyantun anak yatim (Kaafilul Yatim), bukan hanya pihak yang menanggung nafkah harta, tapi siapa pun yang mendidik dan membina mereka, bahkan sampai merapikan dan meminyaki rambut mereka.

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

كَافِلُ الْيَتِيمِ الْقَائِمُ بِأُمُورِهِ مِنْ نَفَقَةٍ وَكِسْوَةٍ وَتَأْدِيبٍ وَتَرْبِيَةٍ وَغَيْرِ ذَلِكَ وَهَذِهِ الْفَضِيلَةُ تَحْصُلُ لِمَنْ كَفَلَهُ مِنْ مَالِ نَفْسِهِ أَوْ مِنْ مَالِ الْيَتِيمِ بِوِلَايَةٍ شَرْعِيَّةٍ

Kaafilul Yatim adalah orang yang mengurus berbagai urusan anak yatim baik berupa nafkah, pakaian, pendidikan adab, pembinaan, dan lainnya. Keutamaan ini berlaku bagi yang menyantuninya lewat hartanya sendiri atau dari harta si anak yatim dengan kewenangan yang dibenarkan syariat. (Syarh Shahih Muslim, jilid. 18, hal. 113)

Syaikh Az Zurqani Rahimahullah dalam Syarh ‘ala al Muwaththa:

أَنَّ مِنْ جُمْلَةِ كَفَالَةِ الْيَتِيمِ إِصْلَاحَ شَعَرِهِ، وَتَسْرِيحَهُ، وَدَهْنَهُ

Sesungguhnya di antara cakupan makna “menyantuni anak yatim” adalah merapikan rambutnya, menyisirnya, dan meminyakinya. (Syarh ‘alal Muwaththa, jilid. 4, hal. 534)

Jadi, secara global, orang yang menyantuni anak yatim bisa melakukan semua bentuk santunan dalam hal-hal yang besar dan kecil yang dibutuhkan anak-anak yatim tersebut, tidak terbatas pada belanja materi tapi kebutuhan lainnya baik berupa pendidikan agama, tutur kata yang baik, mengajak mereka dalam kesenangan, dan menghiburnya dalam kebaikan.

Siapa yang lebih ditekankan menafkahi mereka?

Secara umum, dorongan menyantuni anak yatim adalah berlaku bagi seluruh umat Islam, baik yang ada hubungan darah atau tidak dengan si anak yatim tersebut.

Namun ada segolongan manusia yang mendapatkan penekanan khusus untuk menyantuni, merawat, dan mendidik mereka.

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan siapa saja mereka:

فَاَلَّذِي لَهُ أَنْ يَكُونَ قَرِيبًا لَهُ كَجَدِّهِ وَأُمِّهِ وَجَدَّتِهِ وَأَخِيهِ وَأُخْتِهِ وَعَمِّهِ وَخَالِهِ وَعَمَّتِهِ وَخَالَتِهِ وَغَيْرِهِمْ مِنْ أَقَارِبِهِ وَاَلَّذِي لِغَيْرِهِ أَنْ يَكُونَ أَجْنَبِيًّا

Maka, yang punya hubungan dekat dengan anak yatim tersebut seperti kakek, ibu, nenek, saudara yang laki-laki, saudara yang perempuan, paman dari pihak ayah, bibi dari pihak ayah, paman dari pihak ibu, bibi dari pihak ibu, dan kerabat lainnya, dan selainnya adalah ajnabi (orang asing/bukan kerabat). (Syarh Shahih Muslim, jilid. 18, hal. 113)

Bolehkah wali yatim memakai harta anak yatim untuk kepentingan dirinya sendiri?

Hal ini ada perincian sebagai berikut:

Pertama. Jika memanfaatkannya secara zalim, berlebihan, menelantarkan kepentingan anak yatim, dan menjadikannya sebagai harta pokok bagi si wali yatim. Maka, ini haram dan termasuk dosa besar.

Allah Ta’ala berfirman:

وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (QS. An Nisa: 2)

Dalam ayat lain:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. An Nisa: 10)

Dalam hadits disebutkan:

«اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ»، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: «الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ اليَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ

“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah itu? Beliau bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan haq, memakan riba, *makan harta anak yatim*, kabur dari medan peperangan dan menuduh seorang wanita mukmin yang suci berbuat zina”. (HR. Bukhari no. 2766)

Imam As Suddi Rahimahullah -pakar tafsir masa salaf- mengatakan:

يحشر آكل مال اليتيم ظلماً يوم القيامة ولهب النار يخرج من فيه ومن مسامعه وأنفه وعينه كل من رآه يعرفه أنه آكل مال اليتيم.

Para pemakan harta anak yatim secara zalim pada hari kiamat nanti akan dikumpulkan, dan api neraka akan keluar dari mulut, telinga, hidung, dan matanya. Semua manusia yang melihatnya akan mengenalinya bahwa dia dulunya pemakan harta anak yatim.

(Dikutip oleh Imam Adz Dzahabi, Al Kabaair, hal. 22)

Kedua. Memanfaatkannya hanya sedikit dan bukan sebagai harta pokok kehidupannya.

Wali yatim boleh memanfaatkan harta anak yatim yang dia asuh sedikit saja, tidak berlebihan, dan tidak boleh menjadikannya sebagai sumber pokok kebutuhan dirinya. Hal ini berdasarkan Al Quran dan As Sunnah.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ

Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara wali itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (QS. An Nisa: 6)

Dalam hadits sebagai berikut:

كُلْ مِنْ مَالِ يَتِيمِكَ غَيْرَ مُسْرِفٍ وَلَا مُبَادِرٍ وَلَا مُتَأَثِّلٍ

“Makanlah sebagian dari harta anak yatimmu, tetapi janganlah berlebihan, jangan tergesa-gesa (dalam menguasakan harta itu ke anak yatim), dan tidak mengambilnya sebagai harta pokok pencarian.”

(HR. Abu Daud no. 2872, An Nasa’i no. 3668. Syaikh Abdul Qadir Al Arnauth mengatakan dalam tahqiqnya terhadap kitab Jami’ Al Ushul (jilid. 11, hal. 641), berkata: sanadnya hasan)

Dari hadits ini ada beberapa pendapat ulama, segolongan ulama mengatakan bolehnya wali yatim memanfaatkan harta yatim walau wali yatim tersebut dalam keadaan tidak mendesak kebutuhannya. Segolongan lain mengatakan kebolehan ini hanya berlaku bagi wali yatim yang benar-benar perlu.

Ada pula yang mengatakan jika hartanya emas atau perak, maka tidak boleh, kecuali dinilai sebagai hutang yang mesti dikembalikan.

Imam Abu Bakr Syatha Ad Dimyathi Rahimahullah berkata:

ليس لولي أخذ شئ من مال موليه إن كان غنيا مطلقا، فإن كان فقيرا وانقطع بسببه عن كسبه: أخذ قدر نفقته، وإذا أيسر: لم يلزمه بدل ما أخذه

Wali yatim yang kaya, secara mutlak tidak boleh sedikit pun mengambil dari harta anak-anak asuhnya. Jika dia fakir dan kehilangan sebab-sebab mata pencahariannya: dia boleh mengambilnya sebatas kebutuhan belanja dia, dan jika dia sudah lapang maka tidak wajib baginya mengganti apa yang diambilnya itu. (I’anatuth Thalibin, jilid. 3, hal. 88)

Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan secara rinci sebagai berikut:

وَقَدْ اخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهُ يَجُوزُ لِلْوَلِيِّ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ مَالِ الْيَتِيمِ قَدْرَ عِمَالَتِهِ، وَبِهِ قَالَ عِكْرِمَةُ وَالْحَسَنُ وَغَيْرُهُمْ وَقِيلَ: لَا يَأْكُلُ مِنْهُ إلَّا عِنْدَ الْحَاجَةِ ثُمَّ اخْتَلَفُوا فَقَالَ عُبَيْدَةُ بْنُ عَمْرٍو وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَمُجَاهِدٌ: إذَا أَكَلَ ثُمَّ أَيْسَرَ قَضَى وَقِيلَ: لَا يَجِبُ الْقَضَاءُ وَقِيلَ: إنْ كَانَ ذَهَبًا أَوْ فِضَّةً لَمْ يَجُزْ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا إلَّا عَلَى سَبِيلِ الْقَرْضِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ جَازَ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ، وَهَذَا أَصَحُّ الْأَقْوَالِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَبِهِ قَالَ الشَّعْبِيُّ وَأَبُو الْعَالِيَةِ وَغَيْرُهُمَا، أَخْرَجَ جَمِيعَ ذَلِكَ ابْنُ جَرِيرٍ فِي تَفْسِيرِهِ وَقَالَ: هُوَ بِوُجُوبِ الْقَضَاءِ مُطْلَقًا وَانْتَصَرَ لَهُ.وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: يَأْخُذُ أَقَلَّ الْأَمْرَيْنِ مِنْ أُجْرَتِهِ وَنَفَقَتِهِ، وَلَا يَجِبُ الرَّدُّ عَلَى الصَّحِيحِ عِنْدَهُ وَالظَّاهِرُ مِنْ الْآيَةِ وَالْحَدِيثِ جَوَازُ الْأَكْلِ مَعَ الْفَقْرِ بِقَدْرِ الْحَاجَةِ مِنْ غَيْرِ إسْرَافٍ وَلَا تَبْذِيرٍ وَلَا تَأَثُّلٍ، وَالْإِذْنُ بِالْأَكْلِ يَدُلُّ إطْلَاقُهُ عَلَى عَدَمِ وُجُوبِ الرَّدِّ عِنْدَ التَّمَكُّنِ، وَمَنْ ادَّعَى الْوُجُوبَ فَعَلَيْهِ الدَّلِيلُ

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa boleh bagi wali yatim mengambil harta anak yatim sebatas pekerjaannya. Inilah pendapat ‘Ikrimah, Al Hasan, dan lainnya.

Dikatakan bahwa tidak boleh memakannya kecuali saat ada kebutuhan saja. Lalu mereka berbeda pendapat, Ubaidah bin Amru, Said bin Jubeir, dan Mujahid berkata: “Jika dia memakan harta anak yatim lalu dia mendapatkan kemudahan, maka hendaknya dia ganti.” Dikatakan: “Tidak wajib ganti.”

Dikatakan pula: “Jika hartanya emas dan perak, maka tidak boleh baginya mengambil harta itu kecuali dengan cara berhutang. Jika tidak begitu, boleh memanfaatkannya sebatas kebutuhannya.” Inilah pendapat yang lebih shahih dari berbagai pendapat dari Ibnu Abbas, inilah pendapatnya Asy Sya’bi, Abul ‘Aliyah, dan selain keduanya. Semua ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya. Dia (Ibnu Jarir) berkata: “Dia wajib menggantinya secara mutlak dan memberikan bantuan baginya.”
Imam Asy Syafi’i berkata: “Boleh mengambil lebih sedikit dari upah dan nafkahnya,” dan tidak wajib mengembalikannya menurut pendapat yang shahih baginya (Asy Syafi’i).

Pendapat yang benar menurut zahir ayat dan hadits adalah bolehnya memakan harta anak yatim jika wali yatim fakir, sebatas hajatnya saja tanpa berlebihan, tidak mubadzir, dan tidak menjadikan itu sebagai harta pokok baginya. Adanya izin memakannya menunjukkan bahwa secara mutlak tidak wajibnya mengembalikan harta itu walau dia mampu, siapa yang mengklaim wajib mengembalikan maka dia harus menunjukkan dalil.

(Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, jilid. 5, hal. 300)

Demikian. Wallahu a’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍ Farid Nu’man Hasan

Sejarah Awal Tahun Hijriyah dan Hijrah di Bulan Rabi’ul Awwal

💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Hijrah ke Madinah adalah titik tolak awal penentuan tahun Hijriyah.

Berikut ini sejarahnya:

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، قَالَ: قَامَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ: أَرِّخُوا، فَقَالَ عُمَرُ: مَا أَرِّخُوا؟ قَالَ: شَيْءٌ تَفْعَلُهُ الأَعَاجِمُ، يَكْتُبُونَ فِي شَهْرِ كَذَا مِنْ سَنَةِ كَذَا، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: حَسَنٌ، فَأَرِّخُوا فَقَالُوا: مِنْ أَيِّ السِّنِينَ نَبْدَأُ؟ قَالُوا: مِنْ مَبْعَثِهِ، وَقَالُوا: مِنْ وَفَاتِهِ، ثُمَّ أَجْمَعُوا عَلَى الْهِجْرَةِ، ثُمَّ قَالُوا: فَأَيَّ الشُّهُورِ نَبْدَأُ؟ فَقَالُوا: رَمَضَانَ، ثُمَّ قَالُوا: الْمُحَرَّمَ، فَهُوَ مُنْصَرَفُ النَّاسِ مِنْ حَجِّهِمْ، وَهُوَ شَهْرٌ حَرَامٌ، فَأَجْمَعُوا عَلَى الْمُحَرَّمِ

Dari Muhammad bin Sirin, berkata: Seorang pria berdiri menghadap Umar bin Khathab lalu berkata: “Buatlah penanggalan.“

Umar berkata: “Maksudnya?”

Pria: “Suatu yang dibuat seperti orang ‘Ajam, mereka menulis bulan ini begini, tahun ini begitu.”

Umar berkata: “Bagus, mari kita buat”

Mereka bertanya: “Kita mulai di tahun yang mana?”

Yang lain menjawab: “Dari tahun diutusnya Rasul.” Ada yang jawab: “Dari tahun wafatnnya.” Lalu mereka ijma’ (sepakat) dimulainya dari tahun peristiwa Hijrah.

Mereka bertanya: “Awal bulannya bulan apa?”

Yang lain menjawab: “Ramadhan.” Yang lain menjawab: “Muharram, itu waktu pulangnya jamaah haji, sekaligus bulan haram.” Maka, mereka pun sepakat di bulan Muharram.

(Tarikh Ath Thabari, 2/386)

Versi yang lebih pendek:

وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ: جَمَعَ عُمَرُ النَّاسَ فَقَالَ: مِنْ أَيِّ يَوْمٍ نَكْتُبُ التَّارِيخَ؟ فَقَالَ عَلِيٌّ: مِنْ مُهَاجَرَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَفِرَاقِهِ أَرْضَ الشِّرْكِ. فَفَعَلَهُ عُمَرُ

Berkata Sa’id bin Al Musayyab: “Umar mengumpulkan manusia, dan berkata: “Di mulai hari apa kita menulis sejarah (penanggalan) ?”

Ali menjawab: “Dari hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan perginya Beliau dari negeri kesyirikan.” Maka, Umar pun melakukannya.

(Imam Ibnul Atsir, Al Kamil fi At Tarikh, 1/13)

📌 Kisah di atas menunjukkan bahwa peristiwa hijrah sebagai titik tolak awal PENENTUAN TAHUN.

📌 Sedangkan AWAL BULANnya dalam tahun Hijriyah (yaitu Muharram) tidak ada kaitannya dengan Hijrah itu sendiri, ditetapkannya Muharram karena itu bulan pulangnya jamaah haji dan termasuk syahrul haram.

📌 Hijrah ke Madinah Itu di Rabi’ul Awwal

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

وَقَالَ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ ثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ قال: أن أول من ورخ الْكُتُبَ يَعْلَى بْنُ أُمَيَّةَ بِالْيَمَنِ، وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فِي رَبِيعٍ الْأَوَّلِ وَإِنَّ النَّاسَ أَرَّخُوا لِأَوَّلِ السَّنَةِ

….. Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang ke Madinah di Rabi’ul Awwal, dan manusia menjadikannya sebagai awal penentuan tahun (hijriyah). (Al Bidayah wan Nihayah, 3/252)

Imam Ibnu Jarir Rahimahullah juga menyebutkan:

…. وَخَرَجَ مُهَاجِرًا إِلَى الْمَدِينَةِ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الأَوَّلِ، وَقَدِمَهَا يَوْمَ الاثْنَيْنِ لاثْنَتَيْ عَشْرَةَ ليله خلت منه

…. Keluar hijrah ke Madinah di bulan Rabi’ul Awwal, sampainya malam senin, malam ke 12. (Tarikh Ath Thabari, 2/366)

Ini juga dikatakan oleh Ibnu Hisyam dan Ibnu Sa’ad. Sehingga Darul Ifta Al Mishriyyah mengatakan sepakat sejarawan bahwa Hijrah ke Madinah itu terjadi di bulan Rabi’ul Awwal.

📌 Dari sinilah Imam Malik Rahimahullah berbeda dengan umumnya ulama, menurutnya awal bulan dalam tahun Hijriyah adalah bulan Rabi’ul Awal, bukan Muharram.

📌 Dipilihnya Muharram sebagai awal bulan dalam tahun Hijriyah adalah kesepakatan para sahabat, karena itulah bulan usainya jamaah haji, bulan haram (syahrul haram),

📌 Al Hafizh Ibnu Hajar menambahkan alasan kenapa bulan pertama adalah Muharram, bukan Rabi’ul Awwal:

لِأَنَّ ابْتِدَاءَ الْعَزْمِ عَلَى الْهِجْرَةِ كَانَ فِي الْمُحَرَّمِ إِذِ الْبَيْعَةُ وَقَعَتْ فِي أَثْنَاءِ ذِي الْحِجَّةِ وَهِيَ مُقَدِّمَةُ الْهِجْرَةِ فَكَانَ أَوَّلُ هِلَالٍ اسْتَهَلَّ بَعْدَ الْبَيْعَةِ وَالْعَزْمِ عَلَى الْهِجْرَةِ هِلَالُ الْمُحَرَّمِ فَنَاسَبَ أَنْ يُجْعَلَ مُبْتَدَأً وَهَذَا أَقْوَى مَا وَقَفْتُ عَلَيْهِ مِنْ مُنَاسَبَةِ الِابْتِدَاءِ بِالْمُحَرَّمِ

Karena tekad kuat (mereka) untuk hijrah terjadinya di bulan Muharram, sementara bai’at terjadi di Dzulhijjah dan itu merupakan mukadimah terjadinya hijrah, hilalnya bulan terjadi setelah bai’at, dan keinginan kuat untuk hijrah terjadinya di bulan Muharram, maka tepatlah jika Muharam dijadikan awal tahun. Inilah pendapat yang lebih kuat yang saya temui terkait masalah permulaan tahun di bulan Muharram.

(Fathul Bari, 7/268)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🍃🍀🌿🌸🌳🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

Alternatif Ibadah Saat Menstruasi

Haidh sering diistilahkan dengan “halangan”. Maksudnya adalah orang yang mendapat haidh berhalangan untuk melakukan sholat dan beberapa ibadah lain. Istilah halangan ini harusnya dipahami hanya untuk ibadah yang jelas larangannya dikerjakan saat haid, dan bukan berarti menghalangi untuk tetap mendulang pahala amal sholeh sebanyak-banyaknya. Diperlukan kreatifitas untuk bisa mendulang pahala ketika beberapa ibadah terhalang untuk dilakukan.

Meski “menghalangi”, tapi haidh punya hikmah karena apa yang telah diatur oleh Allah swt tidak ada yang sia-sia. Di antara hikmah tamu bulanan yang menghampiri kaum wanita ini, seperti yang ditulis oleh Syaikh Utsaimin dalam Fid Dimaa’ Ath-Thabii’iyah Lin Nisaa’ adalah:

Adapun hikmahnya, bahwa karena janin yang ada didalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana yang dimakan oleh anak yang berada di luar kandungan, dan tidak mungkin bagi si ibu untuk menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka Allah Ta’ala telah menjadikan pada diri kaum wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang sampai kepada tubuh janin melalui tali pusar, dimana darah tersebut merasuk melalui urat dan menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta.

Agar bisa mendulang pahala selagi haid, maka harus kita ketahui dulu apa saja yang ibadah yang terhalang dilakukan semasa haid. Setelah itu kita bisa maksimalkan ibadah yang tidak terlarang untuk dikerjakan.

Ibadah yang terlarang dilakukan saat haidh:

1. Sholat.

Dari Aisyah ra berkata, Fatimah binti Abi Hubaisy mendapat darah istihadha, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya, Darah haid itu berwarna hitam dan dikenali. Bila yang yang keluar seperti itu, janganlah shalat. Bila sudah selesai, maka berwudhu’lah dan lakukan shalat. .

Dari Aisyah ra. berkata, Di zaman Rasulullah SAW dahulu kami mendapat haid, lalu kami diperintahkan untuk mengqada` puasa dan tidak diperintah untuk mengqada` salat. .

Selain itu juga ada hadis lainnya:

`Dari Fatimah binti Abi Khubaisy bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bila kamu mendapatkan haid maka tinggalkan salat.

2. Puasa

Wanita yang sedang mendapatkan haid dilarang menjalankan puasa dan untuk itu ia diwajibkannya untuk menggantikannya dihari yang lain.

Dari Abi Said Al-Khudhri ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bukankah bila wanita mendapat hatdh, dia tidak boleh shalat dan puasa?

3. Mandi dan Berwudhu’

As Syafi`iyah dan al-Hanabilah mengatakan bahwa `wanita yang sedang mendapatkan haid diharamkan berwudu`dan mandi janabah. Maksudnya adalah bahwa seorang yang sedang mendapatkan haid dan darah masih mengalir, lalu berniat untuk bersuci dari hadats besarnya itu dengan cara berwudhu’ atau mandi janabah, seolah-olah darah haidnya sudah selesai, padahal belum selesai.

Berbeda dengan mandi yang tidak diniatkan untuk bersuci dari hadats besar atau kecil, itu bukan halangan.

4. Tawaf

Seorang wanita yang sedang mendapatkan haid dilarang melakukan tawaf. Sedangkan semua praktek ibadah haji tetap boleh dilakukan. Sebab tawaf itu mensyaratkan seseorang suci dari hadas besar.

Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bila kamu mendapat haid, lakukan semua praktek ibadah haji kecuali bertawaf di sekeliling ka`bah hingga kamu suci. (HR Muslim)

5. Berhubungan Suami Istri

“Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci “(Al-Baqoroh: 222)

Itu adalah amalan-amalan yang disepakati ulama bahwa terlarang dilakukan saat haid.

6. Menyentuh Mushaf

Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran Al-Kariem tentang menyentuh Al-Quran: “Dan tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci “(QS. Al Waqi’ah: 79)

Tetapi untuk membaca Qur’an, para ulama berbeda pendapat. Ada yang membolehkan dan ada yang melarang.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Diperbolehkan bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al Qur’an menurut pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya, karena tidak ada dalil yang melarang hal ini. Namun, seharusnya membaca Al Qur’an tersebut tidak sampai menyentuh mushaf Al Qur’an. Kalau memang mau menyentuh Al Qur’an, maka seharusnya dengan menggunakan pembatas seperti kain yang suci dan semacamnya (bisa juga dengan sarung tangan, pen). Demikian pula untuk menulis Al Qur’an di kertas ketika hajat (dibutuhkan), maka diperbolehkan dengan menggunakan pembatas seperti kain tadi.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 10: 209-210)

Dari daftar amalan yang dilarang di atas, maka tampak jelas sebenarnya ada banyak amalan yang tidak terlarang untuk dilakukan. Seperti antara lain:

Amalan yang Tak Terlarang Saat Haidh:

1. Berdzikir.

Hakikat sholat adalah untuk berdzikir kepada Allah. Tapi larangan sholat tidak berarti terlarang untuk berdzikir kepada Allah. Berdzikir bisa menjadi amalan pengganti sholat agar kita bisa mendulang pahala sebanyak-banyaknya saat haid.

Berdzikir sendiri diperlukan oleh wanita haid karena wanita yang sedang berhalangan biasanya memiliki mood yang tidak stabil. Dengan dzikir, maka hati akan tenang. Sehingga ketidak-stabilan mood bisa diredam.

2. Bersedekah dan Memberi Makan Orang Miskin.

Haid menghalangi muslimah untuk berpuasa. Penggantinya, bisa saja kita membatalkan “puasa” orang miskin yang lapar karena ketidak-punyaannya. Hikmah puasa salah satunya adalah agar kita merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang tidak punya. Dengan begitu, akan memicu diri kita untuk bersimpati dan mencoba berbagi dengan mereka. Bila kita terbiasa berpuasa sunnah, maka saat haid kita bisa mengaplikasikan hikmah puasa tersebut.

3. Menjaga Kebersihan

Karena hadits yang sudah kita hafal, bahwa kebersihan itu sebagian dari iman, maka tidak ada alasan untuk tetap menjaga kebersihan saat mandi wajib dan berwudhu’ terlarang. Mandi biasa yang tidak diniatkan untuk membersihkan hadats besar tentu tidak terlarang dilakukannya. Dan mandi yang asal hukumnya mubah itu tentu bisa menjadi berpahala manakala kita niatkan untuk beribadah kepada Allah. Karena itu, menjaga niat menjadi penting. Selalu hadirkan niat kebaikan pada amalan-amalan mubah sekalipun, agar kita selalu mendulang pahala.

4. Ihram

Memang tawaf terlarang melakukannya saat haid, tapi ihram tidak. Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam memerintahkan Aisyah untuk mandi saat hendak ihram untuk haji padahal saat itu dia sedang haid. Diriwayatkan oleh Muslim.

5. Melayani Suami

Berhubungan suami istri memang mendapatkan pahala. Rasulullah bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan untukmu sesuatu yang dapat disedekahkan? Yaitu, setiap kali tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, menyuruh pada kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan hubungan intim kalian (dengan isteri) adalah sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya dan dia mendapatkan pahala?” Rasulullah saw. menjawab, “Bagaimana pendapat kalian jika ia melampiaskan syahwatnya pada yang haram, apakah ia berdosa? Demikian juga jika melampiaskannya pada yang halal, maka ia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)

Tapi walau terhalang untuk melakukan hubungan suami istri, masih bisa meraih pahala dengan melayani suami dengan optimal. Karena pelayanan kepada suami pun terhitung sedekah.

6. Berinteraksi dengan Qur’an dengan cara mengulang hafalan, mendengar bacaan Qur’an, dan mentadaburinya.

Cara membaca Qur’an tanpa menyentuhnya salah satunya adalah dengan cara muroja’ah hafalan Qur’an. Mintalah suami untuk memeriksa hafalan anda. Selama sepekan waktu haid bisa dimaksimalkan dengan mengulang hafalan-hafalan qur’an.

Selain itu, tidak ada larangan untuk mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur’an. Hafalan bisa bertambah, dan bacaan pun bisa diperbaiki.

Selain itu tidak ada larangan juga untuk mentadaburi ayat-ayat Al-Qur’an.

Jadi, ada banyak jalan untuk mendulang pahala saat haid.

scroll to top