Sudah Nishab, Sudah Haul? Zakatlah!

💢💢💢💢💢💢💢💢

Zakat adalah kewajiban yang “tidak menarik” buat sebagian orang, karena mereka merasa hartanya berkurang. Padahal zakat salah satu rukun Islam. Bahkan sebagian salaf menjadikan zakat sebagai sebab diterimanya shalat seseorang, yaitu bagi mereka yang memang memiliki harta yang sudah wajib zakat.

Ibnu Zaid Rahimahullah berkata:

افترض الله الصلاة والزكاة وأبى أن يفرق بينهما وأبى أن يقبل الصلاة إلا بالزكاة

Allah Ta’ala mewajibkan shalat dan zakat, dan menolak memisahkan keduanya, serta menolak untuk menerima shalat kecuali dengan zakat.

Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu berkata:

أمرتم بالصلاة والزكاة فمن لم يزك فلا صلاة له

Kalian diperintahkan shalat dan zakat, maka siapa yang tidak berzakat tidak ada shalat baginya.

(Tafsir Al Qurthubi, 8/81)

Kata orang-orang “harta tidak dibawa mati”, ini tidak sepenuhnya tepat. Sebab, ada harta yang tetap kita bawa mati yaitu sedekah yang kita lakukan baik sedekah wajib (seperti zakat) dan sedekah sunnah. Bahkan ini merupakan cara cerdas melanggengkan nilai amal sampai kehidupan setelah kematian.

Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamith Thariq

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

Bertanya Agama Kepada Google

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Apakah boleh kita bertanya tentang tata cara atau apapun tentang ibadah ke google bukan pada ustadz? Muhamad, Banten

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Bertanya kepada ahli ilmu adalah salah satu sarana untuk mencari ilmu atau menyelesaikan suatu persoalan. Sebagaimana perintah Allah Ta’ala:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُون

“Maka bertanyalah kepada Ahludz Dzikri jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An Nahl (16): 43)

Berkata Imam Al Qurthubi Rahimahullah dalam kitab tafsirnya:

وقال ابن عباس: أهل الذكر أهل القرآن وقيل: أهل العلم، والمعنى متقارب

Berkata Ibnu ‘Abbas: “Ahludz Dzikri adalah Ahlul Quran (Ahlinya Al Quran), dan dikatakan: Ahli Ilmu (ulama), makna keduanya berdekatan.” (Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Juz. 10, Hal. 108)

Dahulu, manusia bertanya dengan cara mendatangi ulama ke majelisnya atau rumahnya. Memang belum ada alternatif lainnya.

Zaman berubah, manusia bertanya kod ulama, atau forum ulama, dengan berbagai fasilitas yang memudahkan. Sebelum zaman internet mereka bertanya lewat surat, telp, dan faksimil. Jawabannya ada yg dibalas langsung, ada yang dibukukan, atau diterbitkan di majalah. Ketika orang lain membacanya maka manfaatnya semakin luas. Bukan masalah “orang lain” langsung mengambil manfaat dr situ, walau tidak bertanya langsung ke ulama krn persoalan mereka sdh terwakili oleh jawaban tsb.

Lalu di zaman internet, lewat email, lalu dijawab langsung kepada penanya, dan kadang diterbitkan pula di website konsultasi syariah, agar dibaca org banyak dan manfaatnya semakin luas. Di zaman medsos, tanya jawab dengan para ulama pun juga menghiasi medsos, dst.

Maka, ini semua sarana untuk mengetahui jawaban sebagian persoalan. Tidak apa-apa mencarinya lewat search engine seperti google, asalkan yang dia rujuk adalah dari konsultan, ustadz, ulama, yang terpercaya, dan kredibel keilmuannya. Itu tidak beda dengan bertanya langsung.

Ada pun jika niatnya ingin belajar secara intensif, tentu tidak cukup dengan halaman dan tayangan pada google, atau sejenisnya. Hendaknya tetap bermajelis dengan guru baik formal dan informal. Agar terjadi timbal balik, diskusi yang lebih luas dan mendalam, mengurai kesulitan yang didapatkan dari buku atau artikel google, dan keberkahan bermajelis pun juga didapatkan.

Oleh karenanya, Imam Ahmad bin Hambal memberikan nasihat kepada para penuntut ilmu:

إذا كان عند الرجل الكتب المصنفة فيها قول رسول الله – صلى الله عليه وسلم – واختلاف الصحابة والتابعين فلا يجوز أن يعمل بما شاء ويتخير فيقضي به ويعمل به حتى يسأل أهل العلم ما يؤخذ به فيكون يعمل على أمر صحيح.

Jika seseorang memiliki berbagai buku, yang didalamnya terdapat hadits Rasulullah ﷺ, perselisihan para sahabat, dan tabi’in, maka tidak diperkenankan baginya memilih pendapat (semaunya) lalu dia menetapkan perkaranya dengan itu, dan mengamalkannya, sampai dia bertanya dulu kepada ulama ttg apa yang dijadikan olehnya sebagai pegangan itu, agar itu menjadi perkara yang benar.

(Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 1/35)

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

Wanita Mengucapkan Amin setelah membaca Al Fatihah dalam Shalat

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Bisakah perempuan mengucapkan Aaamiiin disaat bermakmun setelah imam mengucapkan Waladhaalliin.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Mengucapkan amin setelah imam waladhdhallin, adalah sunnah bagi jamaah laki-laki dan perempuan.

Imam An Nawawi menjelaskan:

التَّأْمِينُ سُنَّةٌ لِكُلِّ مُصَلٍّ فَرَغَ مِنْ الْفَاتِحَةِ سَوَاءٌ الإِمَامُ وَالْمَأْمُومُ , وَالْمُنْفَرِدُ , وَالرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ وَالصَّبِيُّ , وَالْقَائِمُ وَالْقَاعِدُ وَالْمُضْطَجِعُ ( أي لعذرٍ ) وَالْمُفْتَرِضُ وَالْمُتَنَفِّلُ فِي الصَّلاةِ السِّرِّيَّةِ وَالْجَهْرِيَّةِ وَلا خِلافَ فِي شَيْءٍ مِنْ هَذَا عِنْدَ أَصْحَابِنَا

Membaca amin itu Sunnah bagi semua yg shalat setelah baca Al Fatihah, baik itu imam, makmum, shalat sendiri, laki-laki, perempuan, anak-anak, yg shalatnya berdiri, duduk, berbaring, shalat wajib, shalat sunnah, shalat sirriyah, dan jahriyah. Tidak ada perbedaan pendapat sedikitpun menurut sahabat-sahabat kami (Syafi’iyyah). (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/371)

Hanya saja bagi perempuan hendaknya dilirihkan jika ada jamaah laki-laki bukan mahram. Ada pun jika bersama anak, suami, atau mahram, atau sesama jamaah perempuan maka boleh jahr (dikeraskan).

Imam Ibnu Qudamah mengatakan:

وتجهر –يعني المرأة- في صلاة الجهر ، وإن كان ثَمَّ رجال لا تجهر ، إلا أن يكونوا من محارمها فلا بأس اهـ

Wanita mengeraskan suara jika shalatnya shalat yang jahr, namun bila bersama laki-laki (bukan mahram) maka tidak dikeraskan, kecuali shalat bersama mahramnya, tidak apa-apa. (Al Mughni, 3/38)

Imam An Nawawi menjelaskan tentang bacaan dalam shalat apakah keras atau lirih:

وَأَمَّا الْمَرْأَةُ فَقَالَ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا : إنْ كَانَتْ تُصَلِّي خَالِيَةً أَوْ بِحَضْرَةِ نِسَاءٍ أَوْ رِجَالٍ مَحَارِمَ جَهَرَتْ بِالْقِرَاءَةِ , سَوَاءٌ أَصَلَّتْ بِنِسْوَةٍ أَمْ مُنْفَرِدَةً , وَإِنْ صَلَّتْ بِحَضْرَةِ أَجْنَبِيٍّ أَسَرَّتْ . . . وَهُوَ الْمَذْهَبُ . . .

Ada pun perempuan, mayoritas sahabat kami (Syafi’iyyah) mengatakan jika shalatnya sendiri atau bersama kaum perempuan atau laki-laki yang mahram maka suaranya dikeraskan saat membaca (Al Quran), baik saat shalat dengan kaum wanita atau sendirian. Namun jika ada laki-laki ajnabi (bukan mahram) maka dilirihkan… Inilah pendapat (resmi) madzhab (Syafi’i).

قَالَ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ : وَحُكْمُ التَّكْبِيرِ فِي الْجَهْرِ وَالإِسْرَارِ حُكْمُ الْقِرَاءَةِ اهـ

Al Qadhi Abu Thayyib berkata: “Hukum takbir (dlm shalat) dalam hal keras dan lirih, juga sama dengan hukum membaca (Al Quran).”

(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/390)

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

Puasa Bagi Ibu Menyusui

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

assalamualaikum ustadz izin bertanya, bagaimana hukum ibu menyusui berpuasa di bulan ramadhan? apakah ibu menyusui jika hanya alasan tidak kuat / kelelahan /lemas / ASI tidak keluar kalau ikut berpuasa saat ramadhan boleh tidak puasa? jadi mengqadha nya dilain hari? jazakallahu khayran ustadz atas jawabannya nanti 🙏🏻 (+62 857-1066-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Puasa bagi Ibu menyusui ada dua keadaan:

1. Jika dia tetap sehat, yakin kuat, dan tidak ada kekhawatiran atas dirinya dan bayinya, maka hendaknya dia tetap berpuasa sebagaimana yang lainnya, sebab kondisinya yang serupa dengan orang normal.

2. Jika dia tidak kuat, khwatir atas kesehatan dirinya, atau ASI-nya menjadi tidak lancar dan rusak, sehingga berdampak negatif bagi bayinya maka hendaknya dia berbuka, tidak puasa, dan makruh jika dia memaksakan diri puasa jika sampai membahayakan dirinya.

Imam Al Mardawi berkata:

يُكْرَهُ لَهَا الصَّوْمُ وَالْحَالَةُ هَذِهِ . . . وَذَكَرَ ابْنُ عَقِيلٍ : إنْ خَافَتْ حَامِلٌ وَمُرْضِعٌ عَلَى حَمْلٍ وَوَلَدٍ , حَالَ الرَّضَاعِ لَمْ يَحِلَّ الصَّوْمُ , وَإن لَمْ تَخَفْ لَمْ يَحِلَّ الْفِطْرُ

Makruh baginya berpuasa jika kondisinya seperti itu … Ibnu ‘Aqil mengatakan: “Jika seorang wanita hamil dan menyusui khawatir atas kehamilan dan anaknya, khwatir atas kondisi susuannya, maka dia tidak halal berpuasa. Jika tidak khawatir, maka tidak halal berbuka.”

(Al Inshaf, 7/382)

Hal ini sejalan dengan firman-Nya:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185)

Dalam hadits juga disebutkan:

َ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ وَعَنْ الْحَامِلِ أَوْ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوْ الصِّيَامَ

Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mewajibkan puasa atas musafir dan memberi keringanan separuh shalat untuknya juga memberi keringan bagi wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa.

(HR. At Tirmidzi no. 715. Beliau mengatakan: hasan)

Imam Al Jashash mengatakan:

فَالْعِبَادَاتُ إِنَّمَا أُمِرَ بِفِعْلِهَا مَشْرُوطَةً بِنَفْيِ الْعُسْرِ وَالْمَشَقَّةِ الْخَارِجَةِ عَنِ الْمُعْتَادِ، وَمِنْ هُنَا أُبِيحَ الإِْفْطَارُ فِي حَالَةِ السَّفَرِ وَالْحَامِل وَالْمَرِيضِ وَالْمُرْضِعِ وَكُل مَنْ خَشِيَ ضَرَرَ الصَّوْمِ عَلَى نَفْسِهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يُفْطِرَ، لأَِنَّ فِي تَرْكِ الإِْفْطَارِ عُسْرًا، وَقَدْ نَفَى اللَّهُ عَنْ نَفْسِهِ إِرَادَةَ الْعُسْرِ

Ibadah-ibadah yang diperintahkan untuk dilaksanakan disyaratkan dgn ketiadaan kesulitan dan kepayahan yang keluar dari kebiasaan. Dari sinilah dibolehkannya berbuka dalam keadaan safar, hamil, sakit, dan menyusui, dan semua orang yang khawatir munculnya bahaya atas dirinya jika dia puasa, maka dia wajib berbuka. Sebab, jika dia tidak berbuka akan mengalami kesulitan, dan Allah Ta’ala telah meniadakan pada diriNya kehendak untuk menyulitkan. (Ahkamul Quran, 1/161)

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top