Merendahkan Yang Lebih Tinggi

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Yang muda mencela yang tua

📌 Ustadz muda merendahkan yang senior

📌 Para ulama besar direndahkan oleh da’i-da’i yang baru muncul kemarin

📌 Mereka bagaikan domba yang hendak menanduk gunung batu yang besar; sayangilah tandukmu!

📌 Inilah fenomena hari ini, sopan santun bagi para pembawa ilmu pun sudah diabaikan; bagaimana nasib umat?!

📌 Abu Hazim Rahimahullah (sezaman dengan Imam Malik Rahimahullah) menceritakan manusia di zamannya:

صار الناس في زماننا يعيب الرجل من هو فوقه في العلم ليري الناس أنه ليس به حاجة إليه، ولا يذاكر من هو مثله ويزهو على من هو دونه فذهب العلم وهلك الناس

Manusia di zaman kami, mencela seseorang yang kedudukannya dalam ilmu berada di atasnya, itu dilakukan supaya orang-orang melihat bahwa dia tidak membutuhkan orang itu. Dia juga tidak mau berdiskusi dengan yang setara dengannya, serta sombong di hadapan manusia yang di bawahnya, jika sudah demikian maka lenyaplah ilmu dan binasalah manusia.

(Imam Ibnu Abdil Bar, Jaami’ Bayan al ‘Ilm wa Fadhlih, jilid. 2, hal. 1325, no. 2412)

📌 Apa yang dilihat oleh Abu Hazim Rahimahullah adalah di zamannya, 12 Abad silam .. Lalu apa jadinya jika dia lihat zaman ini?

Laa hawlaa walaa quwwata illa billah

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Pemilik Qurban Boleh Makan Qurbannya Sendiri

💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Ya, hal itu sama sekali tidak masalah, baik sedikit atau banyak, bahkan itu SUNNAH.

Allah Ta’ala yang memerintahkannya:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“.. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj (22): 28)

Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengatakan:

أَمْرٌ مَعْنَاهُ النَّدْبُ عِنْدَ الْجُمْهُورِ. وَيُسْتَحَبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ هَدْيِهِ وَأُضْحِيَتِهِ وَأَنْ يَتَصَدَّقَ بِالْأَكْثَرِ، مَعَ تَجْوِيزِهِمُ الصَّدَقَةَ بِالْكُلِّ وَأَكْلِ الْكُلِّ

Perintah di sini maknanya adalah anjuran (mandub/sunnah) menurut mayoritas ulama. Hal yg disukai bagi seseorang memakan hewan hadyu (qurban bagi jamaah haji) dan qurbannya, dan menyedekahkannya bagian yang lebih banyak, namun memang dibolehkan baginya untuk menyedekahkan semuanya atau memakan semuanya.

(Tafsir Al Qurthubi, 12/44)

Dahulu, keyakinan mereka memang tidak boleh makan hewan qurbannya sendiri lalu keyakinan itu telah dikoreksi oleh ayat di atas:

قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ: قَوْلُهُ تَعَالَى” فَكُلُوا مِنْها” نَاسِخٌ لِفِعْلِهِمْ، لِأَنَّهُمْ كَانُوا يُحَرِّمُونَ لُحُومَ الضَّحَايَا عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَا يَأْكُلُونَ مِنْهَا – كَمَا قُلْنَاهُ فِي الْهَدَايَا- فَنَسَخَ اللَّهُ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ:” فَكُلُوا مِنْها” وَبِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (مَنْ ضَحَّى فَلْيَأْكُلْ مِنْ أُضْحِيَتِهِ) وَلِأَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَكَلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ وَهَدْيِهِ. وَ

Sebagian ulama berkata: firmanNya: “Makanlah olehmu sebagian darinya” merupakan nasikh (penghapus) perilaku mereka, krn dulu mereka mengharamkan daging qurban mereka sendiri dan tidak memakannya – sebagaimana yg kami ceritakan tentang daging hadyu-, lalu Allah hapuskan hal itu dengan firmanNya: “Makanlah olehmu sebagian darinya”, serta hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: “Siapa yang berqurban hendaknya dia makan qurbannya”, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pun pernah makan qurban dan hadyu-nya. (Ibid, 12/46)

Imam Al Khathib asy Syarbini Rahimahullah mengatakan:

(وَيَأْكُل من الْأُضْحِية المتطوع بهَا) أَي ينْدب لَهُ ذَلِك قِيَاسا على هدي التَّطَوُّع الثَّابِت بقوله تَعَالَى {فَكُلُوا مِنْهَا وأطعموا البائس الْفَقِير} أَي الشَّديد الْفقر وَفِي الْبَيْهَقِيّ أَنه صلى الله عَلَيْهِ وَسلم كَانَ يَأْكُل من كبد أضحيته

Hendaknya dia makan hewan qurban sunnahnya, yaitu dianjurkan baginya memakannya diqiyaskan dengan hadyu yang sunnah, sebagaimana begitu kuat dalilnya dalam firman Allah Ta’ala: “Makanlah olehmu sebagian darinya dan sebagian lain berikan kepada orang-orang fakir.” Yaitu yang kefakirannya berat. Dalam riwayat al Baihaqi disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakan hati hewan qurbannya. (Al Iqna’, 2/592)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah memaparkan cara pembagian sebagai berikut:

للمهدي أن يأكل من هديه الذي يباح له الاكل منه أي مقدار يشاء أن يأكله، بلا تحديد، وله كذلك أن يهدي أو يتصدق بما يراه. وقيل: يأكل النصف، ويتصدق بالنصف وقيل: يقسمه أثلاثا، فيأكل الثلث، ويهدي الثلث، ويتصدق بالثلث

“Si pemiliki hewan kurban dibolehkan makan bagian yang dibolehkan baginya sesuai keinginannya tanpa batas. DIa pun boleh menghadiahkan atau mensedekahkan sesuka hatinya. Ada pula yang mengatakan dia boleh memakannya setengah dan mensedekahkan setengah. Dan dikatakan: dibagi tiga bagian, untuknya adalah sepertiga, dihadiahkan sepertiga, dan disedekahkan sepertiga”. (Fiqhus Sunnah, 1/742-743)

Tapi, jika qurban wajib seperti qurban karena NADZAR para ulama berbeda pendapat atas kebolehan memakannya. Dalam Al Mausu’ah tertulis:

اما اذا وجبت الاضحية ففى حكم الاكل منها اختلاف الفقهاء

Ada pun jika qurban yang wajib, maka hukum memakannya para ulama berselisih pendapat. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah, 6/116)

Pihak yang melarang mengatakan qurban yg wajib maka seperti sedekah wajib (misal zakat), di mana pihak yang bersedekah tidak sepatutnya memakan sedekahnya sendiri. Sementara pihak yang membolehkan menegaskan kebolehan itu berdasarkan keumuman dalil anjuran memakannya tanpa memilih qurban sunnah atau wajib.

Jika ingin ambil sikap yang hati-hati dalam qurban nadzar adalah dengan tidak memakannya, tentu itu sangat bagus.

Demikian. Wallahu a’lam.

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Jam Belajar di Kelas Bentur Dengan Waktu Shalat

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum, tadz,.. Apakah termasuk lalai kalau shalat sering tidak di awal waktu krn pas azan masih ada kuliah. Jadi selesainya jam 12.30 kadang lebih, zuhur udah lewat.. Shalat zuhur gak pernah di awal waktu…

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim …

Alangkah baiknya pihak sekolah/kampus dapat menyesuaikan waktu belajarnya dengan waktu-waktu shalat, sehingga siswa/mahasiswa dapat shalat di awal waktu, sehingga baik siswa dan pengajar sama-sama mendapatkan amal yang terbaik. Terutama jika sekolah/kampus yang dimaksud adalah sekolah/kampus Islam.

Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, pernah bertanya kepada Rasulullah tentang amal apa yang paling disukai Allah Ta’ala? Rasulullah menyebut tiga perbuatan, dan yang pertama adalah:

الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا

Shalat pada waktunya

Ada pun yang kedua; berbakti kepada kedua orang tua, sedangkan ketiga; jihad fisabilillah. (HR. Bukhari no. 527)

Sebagian ulama mengartikan “shalat pada waktunya” adalah shalat di awal waktunya. Seperti Imam Ibnu Baththal Rahimahullah:

وفيه: أن البدار إلى الصلاة فى أول أوقاتها، أفضل من التراخى فيها؛ لأنه إنما شرط فيها أن تكون أحب الأعمال إلى الله

Dalam hadits ini menunjukkan bersegera melakukan shalat di awal waktunya adalah lebih utama dibanding menundanya, sebab itu menjadi syarat untuk menjadi amal yang paling disukai Allah Ta’ala. (Syarh Shahih Al Bukhari, 2/157)

Namun demikian, dalam penjelasan ini hanya membicarakan tentang mana yang lebih utama, bukan membicarakan salah dan benar. Artinya, seandainya tidak di awal waktu bukanlah kesalahan, bukan pula pembatal shalat, dia tetap shalat pada waktunya hanya saja tidak di awal. Maka, jika pelajar/mahasiswa tersebut tidak shalat di awal waktu, maka mereka tetap sah, tetap mendapatkan pahala dan keutamaan shalat, hanya saja mereka kehilangan keutamaan shalat di awal waktu menurut sebagian ulama.

Namun tidak sedikit ulama yang punya pandangan lain, Imam Ibnu Hajar Rahimahullah mengutip dari Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah bahwa hadits di atas tidak membicarakan awal atau akhir waktu, tapi merupakan warning agar jangan sampai shalat di luar waktunya sehingga membuatnya qadha. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata:

قُلْتُ وَفِي أَخْذِ ذَلِك من اللَّفْظ الْمَذْكُور نظر قَالَ بن دَقِيقِ الْعِيدِ لَيْسَ فِي هَذَا اللَّفْظِ مَا يَقْتَضِي أَوَّلًا وَلَا آخِرًا وَكَأَنَّ الْمَقْصُودَ بِهِ الِاحْتِرَازُ عَمَّا إِذَا وَقَعَتْ قَضَاءً وَتُعُقِّبَ بِأَنَّ إِخْرَاجَهَا عَنْ وَقْتِهَا مُحَرَّمٌ

Aku berkata: memahami lafaz tersebut seperti itu adalah hal yang mesti dipertimbangkan. Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan lafaz tersebut tidak berkonsekuensi tentang awal dan akhir waktu, sebab maksud darinya adalah agar menghindar jangan sampai melakukan qadha yang diakibatkan karena shalat di luar waktunya yang merupakan perbuatan haram. (Fathul Bari, 2/9)

Dalam Al Mausu’ah disebutkan:

اتفق الفقهاء على تحريم تأخير الصلاة حتى يخرج وقتها بلا عذر شرعي

Para fuqaha sepakat haramnya menunda shalat sampai habis waktunya tanpa uzur syar’iy. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/8)

Maka, yang dilarang adalah menunda shalat sampai habis waktunya secara sengaja, akhirnya dia shalat di luar waktunya, misal sengaja shalat zuhur di waktu ashar tanpa alasan syar’i. Walau shalatnya sah, namun dia melakukan keharaman, merekalah salah satu yang dimaksud dalam surat Al Ma’uun (ayat. 4-5): “Celakalah orang yang shalat, yaitu orang-orang yang saahuun (lalai dalam shalatnya).”

Imam Ibnu Jarir Rahimahullah mengatakan:

عني بذلك أنهم يؤخرونها عن وقتها، فلا يصلونها إلا بعد خروج وقتها

Maknanya, bahwa mereka mengakhirkan shalat dari waktunya, mereka tidaklah shalat kecuali setelah keluar dari waktunya. (Tafsir Ath Thabariy, 10/8786)

Ada pun jika shalatnya masih di waktunya; baik di awal, tengah, atau akhir, maka itu tetap disebut shalat pada waktunya, dia tidak dikatakan saahuun sebagaimana ayat di atas.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa’, Ayat 103)

Sehingga selama shalat dilakukan di interval waktu shalat tersebut, belum masuk waktu shalat berikutnya, maka sah dan boleh.

Dalam hadits:

إن للصلاة أولا وآخرا، وإن أول وقت الظهر حين تزول الشمس، وإن آخر وقتها حين يدخل وقت العصر..

Shalat itu ada awal waktunya dan akhirnya, awal waktu zhuhur adalah saat tergelincir matahari, waktu akhirnya adalah saat masuk waktu ashar .. (HR. Ahmad no. 7172, dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth. Ta’liq Musnad Ahmad, no. 7172)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

يجوز تأخير الصلاة إلى آخر وقتها بلا خلاف، فقد دل الكتاب، والسنة، وأقوال أهل العلم على جواز تأخير الصلاة إلى آخر وقتها، ولا أعلم أحداً قال بتحريم ذلك

Dibolehkan menunda shalat sampai akhir waktunya tanpa adanya perselisihan, hal itu berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Perkataan para ulama juga membolehkan menunda sampai akhir waktunya, tidak ada seorang ulama yang mengatakan haram hal itu. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/58)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

وقد بين النبي صلى الله عليه وسلم مواقيتها من كذا إلى كذا فمن أداها فيما بين أول الوقت وآخره فقد صلاها في الزمن الموقوت لها

Nabi Shalallahu’Alaihi wa Sallam telah menjelaskan bahwa waktu shalat itu sejak waktu ini ke ini, maka barang siapa yang menjalankan di antara awal waktu dan akhirnya, maka dia telah menunaikan di waktu yang telah ditentukan.
(Majmu’ Al Fatawa wa Rasail, Jilid. 12, Bab Shalat)

Kesimpulan, sebaiknya usahakan dengan sungguh-sungguh shalat di awal waktu, tapi jika memang sangat sulit, maka tidak apa-apa baginya jika memang akhirnya shalat di tengah, atau akhir waktunya. Sebab itu masih rentang “waktu shalat”. Namun, haram baginya menunda shalat secara sadar dan sengaja tanpa ‘udzur sampai habis waktunya.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Apakah Corona adalah Tha’un?

💢💢💢💢💢💢💢

(pertanyaan dari beberapa orang)

Bismillahirrahmanirrahim..

Masih “debatable” apakah corona adalah tha’un atau bukan, sedangkan yg dibahas dalam hadits disebutkan mendapat pahala mati syahid adalah Tha’un.

Dalam hadits Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan Tha’un tidak akan masuk Madinah.

Sebagaimana hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَنْقَابِ الْمَدِينَةِ مَلَائِكَةٌ لَا يَدْخُلُهَا الطَّاعُونُ وَلَا الدَّجَّالُ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada pintu gerbang kota Madinah ada para malaikat (yang menjaganya) sehingga THA’UN dan Al Masihud-Dajjal tidak akan dapat memasukinya”.

(HR. Bukhari no. 1880 dan Muslim no. 1379)

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

عن أبي الحسن المدائني أن مكة والمدينة لم يقع بهما طاعون قط

Dari Abul Hasan al Madaini bahwa Mekkah dan Madinah, tidak pernah terjadi Tha’un sama sekali.

(Al Adzkar, Hal. 139)

Faktanya hari ini, haramain (Mekkah dan Madinah) sudah kena Corona. Artinya, ini menunjukkan dia bukan Tha’un yang dimaksud. Kalau pun dikatakan tha’un, hanya dari sisi sebaran mewabahnya yg mirip Tha’un atau majaz saja.

Dua ciri utama tha’un adalah: meluas wabahnya, dan cepat wafat bagi penderitanya, bisa kenanya pagi, sore mati.

Sdgkan corona, yg wafat tdk sampai 10% di dunia dari semua pengidapnya. Di sini letak perbedaan mencolok antara corona dan Tha’un.

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

والوباء: عموم الأمراض. فسميت طاعوناً لشبهها بالهلاك بذلك، وإلا فكل طاعون وباء، وليس كل وباء طاعوناً

Wabah itu penyakit yang umum, dia dinamakan Tha’un karena ada kemiripan dalam hal mematikannya. Kalau tidak, maka setiap Tha’un adalah wabah, dan tidaklah setiap wabah adalah Tha’un.

(Fathul Bari, 10/180)

Beliau juga berkata:

وَقَدْ صَرَّحَ الْحَدِيثُ الْأَوَّلُ بِأَنَّ الطَّاعُونَ لَا يَدْخُلُهَا فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْوَبَاءَ غَيْرُ الطَّاعُونِ وَأَنَّ مَنْ أَطْلَقَ عَلَى كُلِّ وَبَاءٍ طَاعُونًا فَبِطَرِيقِ الْمَجَازِ

Di hadits pertama menjelaskan bahwa Tha’un tidak akan masuk ke Madinah, ini menunjukkan bahwa WABAH bukanlah THA’UN, ada pun pihak yang mengatakan semua wabah adalah Tha’un itu maksudnya Majaz saja.

(Ibid, 10/181)

Di masa Khalifah Umar Radhiallahu ‘Anhu, kota Madinah juga pernah kena Wabah yang mematikan, sebagaimana hadits Shahih Bukhari:

عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ قَالَ أَتَيْتُ الْمَدِينَةَ وَقَدْ وَقَعَ بِهَا مَرَضٌ وَهُمْ يَمُوتُونَ مَوْتًا ذَرِيعًا فَجَلَسْتُ إِلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
فَمَرَّتْ جَنَازَةٌ فَأُثْنِيَ خَيْرًا…

Dari Abu Al Aswad berkata: “Aku mengunjungi Madinah saat banyak orang sakit yang membawa kepada kematian begitu cepat, kemudian aku duduk di sisi ‘Umar radhiyallahu ‘anhu saat lewat jenazah lalu jenazah itu dipuji dengan kebaikan maka..

(HR. Bukhari no. 2643)

Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa kota Mekkah dan Madinah terjaga dari Tha’un, tapi tidak terjaga dari wabah lainnya yang lebih umum. Sejarah menunjukkan bahwa wabah pernah terjadi.

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata:

هُنَاكَ الرَّدَّ عَلَى مَنْ زَعَمَ أَنَّ الطَّاعُونَ وَالْوَبَاءَ مُتَرَادِفَانِ بِمَا ثَبَتَ هُنَاكَ أَنَّ الطَّاعُونَ لَا يَدْخُلُ الْمَدِينَةَ وَأَنَّ الْوَبَاءَ وَقَعَ بِالْمَدِينَةِ كَمَا فِي قِصَّةِ الْعُرَنِيِّينَ وَكَمَا فِي حَدِيثِ أَبِي الْأَسْوَدِ أَنَّهُ كَانَ عِنْدَ عُمَرَ فَوَقَعَ بِالْمَدِينَةِ بِالنَّاسِ مَوْتٌ ذَرِيعٌ وَغَيْرُ ذَلِكَ

Ada bantahan bagi yang menyangka Tha’un dan wabah adalah dua hal yang sama, yaitu hadits Shahih bahwa Tha’un tidak akan masuk ke Madinah sedangkan Wabah pernah terjadi di Madinah sebagaimana kisah kaum ‘Uraniyyin dan hadits Abul Aswad, saat terjadi di masa Umar wabah yang begitu cepat mematikan manusia, dan lainnya.

(Fathul Bari, 11/180)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

وبهذا يعلم أن مرض “كورونا” ليس هو الطاعون الوارد في السنة ، والموعود أهله بأجر الشهادة

Dari sini kita tahu,

bahwa penyakit karena wabah CORONA bukanlah tha’un yg dimaksud dalam sunnah, yg dijanjikan pahala syahid.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 333763)

Sementara ulama lain mengatakan Corona adalah Tha’un, dan wafat karenanya adalah Syahid.

Dalam Fatwa Darul Ifta, penanggung jawabnya yaitu Syaikh Ali Fakhr mengatakan:

إن وباء الكورونا وغيره من الأوبئة هو ما يعرف في كتب الفقه الإسلامي بالطاعون، مؤكدًا أن المسلم إذا مات بفيروس كورونا فهو شهيد آخرة، فيكون له أجر شهيد في الآخرة، لكنه في الدنيا يطبق عليه ما يطبق على الميت العادي، من غسل وكفن ودفن وصلاة عليه

Wabah Corona dan wabah lainnya adalah jenis yang diisitilahkan oleh kitab fiqih dengan sebutan Tha’un’. Seorg muslim jika wafat karenanya maka dia dapat pahala syahid akhirat, tapi di dunia mayitnya diurus seperti mayit secara umumnya. Yaitu dimandikan, kafankan, shalatkan, dan dikuburkan. (selesai)

Fatwa seperti Syaikh Ali Fakhr ini, disepakati oleh ulama lain seperti Syaikh Sa’ad Syatsri, Syaikh Ayman Abu Umar, dan Syaikh Salim Abdul Jalil.

Lalu bagaimana sikap kita?

Sikap yang terbaik adalah kita husnuzh zhan kepada korban yang telah wafat, dan husnuz zhan kepada Allah, bahwa Dia memberikan rahmatNya bahwa dokter, petugas, perawat, yang wafat karena Corona mendapatkan pahala syahid. Kalau pun bukan Coronanya, tapi karena mereka telah berjibaku, berjihad, dan bersabar, menyelamatkan nyawa orang lain dan dirinya. Apa pun nama penyakitnya, bencananya, ketika dia sabar menghadapinya sampai wafat. Jelas itu sebuah kemuliaan.

Demikian. Wallahu a’lam

🌳🌿🍀🌷🌸🌻🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top