Tabi’in Terbaik; Uwais bin ‘Amir al Qarni Radhiallahu ‘Anhu

💢💢💢💢💢💢💢💢

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ وَلَهُ وَالِدَةٌ وَكَانَ بِهِ بَيَاضٌ فَمُرُوهُ فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُم

Dari ‘Umar bin Al Khaththab dia berkata; Sungguh aku telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Sebaik-baik tabi’in, adalah seorang laki-laki yang dibiasa dipanggil Uwais, dia memiliki ibu, dan dulu dia memiliki penyakit belang ditubuhnya. Carilah ia, dan mintalah kepadanya agar memohonkan ampun untuk kalian.”‘ (HR. Muslim no. 2542)

Usair bin Jabir bercerita:

كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رضي الله عنه – إِذَا أَتَى عَلَيْهِ أَمْدَادُ أَهْلِ الْيَمَنِ سَأَلَهُمْ: أَفِيكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ؟ , حَتَّى أَتَى عَلَى أُوَيْسٍ , فَقَالَ: أَنْتَ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ؟ , فَقَالَ: نَعَمْ , قَالَ: مِنْ مُرَادٍ , ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ؟ , قَالَ: نَعَمْ , قَالَ: فَكَانَ بِكَ بَرَصٌ فَبَرَأتَ مِنْهُ إِلَّا مَوْضِعَ دِرْهَمٍ؟ , قَالَ: نَعَمْ , قَالَ: لَكَ وَالِدَةٌ؟ , قَالَ: نَعَمْ). (فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: اسْتَغْفِرْ لِي , فَقَالَ: أَنْتَ أَحَقُّ أَنْ تَسْتَغْفِرَ لِي , أَنْتَ صَاحِبُ رَسُولِ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: ” إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ: أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ)

Sesungguhnya jika datang kepada Umar Radhiallahu ‘Anhu serombongan pasukan dari Yaman, dia akan bertanya:

“Apakah di antara kalian terdapat Uwais bin Amir?” Sampai Beliau datang kepada Uwais, dan bertanya:

“Kamu Uwais bin ‘Amir?” Uwais menjawab: “Ya”

Umar: “Dari daerah Murad, lalu dari Qarn?” Uwais menjawab: “Ya.”

Umar: “Kamu pernah kena penyakit belang dan sudah sembuh kecuali tinggal seukuran koin dirham?” Uwais menjawab: “Ya.”

Umar: “Kamu punya ibu?” Uwais menjawab: “Ya.”

Umar berkata: “Mohonkanlah ampunan untukku”

Uwais menjawab: “Andalah yang yang lebih pantas memohonkan ampun untukku, karena Anda sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”

Umar berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baiknya tabi’in adalah seseorang yang dipanggil dengan: Uwais bin ‘Amir.”

(Al Jami’ Ash Shahih Lis Sunan wal Masanid, jilid. 16, hal. 371. Syaikh Syuaib al Arnauth mengatakan: shahih)

Beberapa Pelajaran:

– Dia adalah Abu Amr, Uwais bin ‘Amir bin Juz’in bin Malik Al Qarni Al Muradi Al Yamani. Dia adalah teladan, seorang yg zuhud, pimpinannya para tabi’in, wali Allah di antara orang-orang bertakwa, dan hambaNya yang mukhlis. (Imam adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, jilid. 4, hal. 519)

– Imam an Nawawi mengatakan hadits ini menunjukkan salah satu mu’jizat yang nyata. (Syarh Shahih Muslim, jilid. 16, hal. 95) Sebab, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam belum pernah berjumpa sama sekali dengan Uwais, tapi sudah mengenalinya baik fisik dan sifatnya.

– Ketinggian Uwais Al Qarni karena baktinya kepada ibunya, selain keshalihan dan kezuhudannya.

– Kita dapati Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Tabi’in yang paling utama adalah Sa’id bin al Musayyab.” Lalu ada yang berkata kepadanya: “Alqamah dan Al Aswad.” Dia (Imam Ahmad) berkata: “Sa’id bin al Musayyab, ‘Alqamah, dan Al Aswad.” Darinya pula: “Tabi’in paling utama dalah Qais Abu ‘Utsman, ‘Alqamah dan Masruq, merekalah orang-orang utama dan petingginya tabi’in.” Dia berkata juga: “Atha’ adalah mufti Mekkah, Hasan al Bashri adalah mufti Bashrah, dua orang ini manusia yg paling banyak ilmunya dari mereka.”

(Tafsir Al Qurthubi, jilid. 8, hal. 239)

– Perkataan Imam Ahmad bin Hambal di atas adalah yang terbaik dalam konteks keilmuan, Imam An Nawawi menjelaskan:

أَنَّ مُرَادَهُمْ أَنَّ سَعِيدًا أَفْضَلَ فِي الْعُلُومِ الشَّرْعِيَّةِ كَالتَّفْسِيرِ وَالْحَدِيثِ وَالْفِقْهِ وَنَحْوِهَا لَا فِي الْخَيْرِ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى

Maksudnya, bahwasanya Sa’id bin al Musayyab itu lebih utama dalam berbagai ilmu syar’iyyah seperti tafsir, hadits, fiqih, dan semisalnya, bukan kedudukan kebaikan di sisi Allah Ta’ala.

(Syarh Shahih Muslim, jilid. 16, hal. 96)

– Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu jelas lebih utama dibanding Uwais Al Qarni Radhiallahu ‘Anhu, tapi dengan rendah hati dia minta didoakan oleh Uwais.

– Ini ketawadhuan Umar Radhiallahu ‘Anhu, dan menunjukkan bahwa tidak masalah seseorang yang lebih utama minta didoakan kepada orang yang di bawahnya.

Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Kami Tidak Melakukannya, Tapi Kami Tidak Mencela Orang yang Melakukannya

💢💢💢💢💢💢💢💢

Suatu ketika, Imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang hukum orang yang shalat Ba’diyah Ashar, Beliau Rahimahullah menjawab:

لا نفعله ولا نعيب فاعله

Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.

(Al Mughni, 2/87, Syarhul Kabir, 1/802)

Inilah adab seorang imam yang luas wawasan dan dewasa bersikap. Beliau sangat paham bahwa masalah yang masih diperdebatkan ulama tidaklah pantas untuk berkata-kata pedas dan ketus, kepada yang pihak yang memilih pandangan berbeda. Tidak pula sangat mati-matian memaksa orang lain mengubah pendapatnya seperti yang diyakininya.

Syaikh Umar bin Abdullah Kamil berkata:

لقد كان الخلاف موجودا في عصر الأئمة المتبوعين الكبار: أبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد والثوري والأوزاعي وغيرهم. ولم يحاول أحد منهم أن يحمل الآخرين على رأيه أو يتهمهم في علمهم أو دينهم من أجل مخالفتهم

“Telah ada perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan: Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ats Tsauri, Al Auza’i, dan lainnya. Tak satu pun mereka memaksa yang lain untuk mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau melemparkan tuduhan terhadap keilmuan mereka, atau tuduhan terhadap pemahaman agama mereka lantaran perselisihan itu.”

(Syaikh Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al Hiwar wal Qawaid Al Ikhtilaf, hal. 32. Mauqi’ Al Islam)

Di masa pandemi ini, akhlak para imam ini sangat kita perlukan. Khususnya di saat umat Islam berselisih pandangan tentang shalat merenggangkan shaf, shalat memakai masker, lockdown masjid beberapa waktu, vaksinasi, dan masalah-masalah debatable lainnya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعۡدِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِي قُلُوبِنَا غِلّٗا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٞ رَّحِيمٌ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.”

(QS. Al-Hasyr, Ayat 10)

Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Dilema Sholat Dhuha Bagi Karyawan Kantoran

Sholat Dhuha punya banyak fadhilah, sehingga wajar bila muslim – termasuk yang bekerja di kantoran – memburu keutamaannya. Seorang muslim yang melakukan sholat Dhuha, dijamin tercukupi kebutuhannya pada hari itu.

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Wahai anak Adam, janganlah engkau luput dari empat rakaat di awal harimu, niscaya Aku cukupkan untukmu di sepanjang hari itu.” (HR. Ahmad)

Sholat Dhuha juga merupakan bentuk penunaian sedekah yang idealnya rutin dilakukan setiap hari. Rasulullah saw bersabda, “Di dalam tubuh manusia terdapat tiga ratus enam puluh sendi, yang seluruhnya harus dikeluarkan sedekahnya.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah yang mampu melakukan itu wahai Nabiyullah?” Beliau menjawab, “Engkau membersihkan dahak yang ada di dalam masjid adalah sedekah, engkau menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan adalah sedekah. Maka jika engkau tidak menemukannya (sedekah sebanyak itu), maka dua raka’at Dhuha sudah mencukupimu.” (HR. Abu Dawud)

Namun timbul pro kontra atas pelaksanaan Sholat Dhuha di kantor. Karena ada yang beranggapan bahwa kurang amanah bila melaksanakan Sholat Dhuha memanfaatkan waktu yang seharusnya digunakan untuk bekerja. Bahkan sampai dianggap sebagai korupsi waktu. Bagaimana ini?

Mungkin beberapa hal berikut bisa mendudukkan persoalan tersebut.

1. Karyawan Punya Hak Melakukan Aktivitas Pribadi yang Diperlukan Saat Jam Kerja

Pihak perusahaan memaklumi kebutuhan pribadi karyawan saat bekerja. Seperti beranjak ke toilet untuk buang air kecil atau besar. Tidak pernah ada perusahaan yang melarang aktivitas yang memakan waktu yang dilakukan di jam kerja ini.

Aktivitas pribadi lain yang lebih memakan waktu misalnya keluar untuk membeli gorengan, melakukan transaksi di mesin ATM, hingga ada karyawan yang punya kebiasaan merokok di luar, dimaklumi juga oleh perusahaan selama tidak ada pekerjaan terbengkalai dan sudah izin atasan. Memang ada jenis pekerjaan yang menuntut karyawan stand by di tempat, seperti customer service, penjaga loket, dll.

Nah, bila perusahaan memberi kebebasan untuk melakukan aktivitas di atas, seharusnya karyawan juga punya kebebasan melaksanakan aktivitas sholat Dhuha.

2. Pahami Prioritas

Sholat Dhuha hukumnya sunnah, bukan wajib. Berbeda dengan Sholat Zhuhur atau Sholat Ashar. Untuk Sholat Zhuhur, kita bisa kerjakan saat jam istirahat. Sementara Sholat Ashar, biasanya perusahaan memperbolehkan karyawan melakukannya di tengah jam kerja.

Tentu saja lebih prioritas menuntaskan pekerjaan daripada sholat sunnah. Karena dalam pekerjaan, kita terikat perjanjian yang menjadi beban amanah yang harus ditunaikan.

Ciri-ciri orang mukmin Allah sebutkan dalam surat Al-Mukminun. Salah satunya adalah: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS Al Mu’minun ayat 8)

Rasulullah saw juga pernah bersabda, “Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi dari Amr bin Auf)

Ada jenis pekerjaan yang tidak bisa ditinggal lama seperti penjaga loket, customer service, dll. Atau bila ada meeting, tentu tidak elok meninggalkannya untuk menunaikan Sholat Dhuha. Dan bila ada tugas yang harus segera diselesaikan, prioritaskan itu daripada Sholat Dhuha.

3. Lebih Elok Dilakukan Sebelum Jam Kerja

Jam kerja tiap perusahaan bervariasi. Biasanya berkisar 9 jam. Ada yang perusahaan yang menetapkan jam kerja dari pukul 08.00 hingga 17.00. Ada yang 08.30 – 17.30, 09.00-18.00, ada juga yang jam 07.00 pagi sudah harus masuk.

Mendirikan Sholat Dhuha sebelum jam masuk kerja tentu lebih baik. Kita bisa datang lebih pagi, lalu tegakkan dua hingga delapan rokaat dengan khusyuk di musholla kantor. Kemudian kembali ke tempat kerja dan mulai menyelesaikan tugas dengan ruh yang lebih segar.

Serba Serbi Puasa Nabi Daud ‘Alaihissalam

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

1️⃣ Apakah Ini Termasuk Sunnah?

Ya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkannya, sebagaimana dalam hadits:

صُمْ أَفْضَلَ الصَّوْمِ صَوْمَ دَاوُدَ

Berpuasalah! Dan sebaik-baiknya puasa adalah puasa Daud. (HR. Bukhari no. 5052)

2️⃣ Bukankah ini syariat Nabi Daud ‘Alaihissalam? Apakah berlaku bagi kita juga?

Ya, syariat nabi atau umat terdahulu (syar’u man qablana), ada yang sudah dihapus oleh syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ada juga yang tidak dan tetap dihidupkan di syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Salah satu yang tetap ada dan tidak dihapus adalah puasa Nabi Daud ‘Alaihissalam.

Imam Abu Sulaiman Walid Al Baji, seorang tokoh madzhab Maliki, berkata:

ذَهَبَتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابنَا وَأَصْحَابِ أَبي حَنِيفَةَ وَأَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ إِلَى أَنَّ شَرِيعَةَ مَنْ قَبْلَنَا لاَزِمَةٌ لَنَا إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى نَسْخِهِ

Segolongan sahabat kami (Malikiyah), dan para sahabat Abu Hanifah (Hanafiyah), serta para sahabat Asy Syafi’i (Syafi’iyah), mengatakan bahwa syariat kaum sebelum kita tetaplah menjadi syariat kita, kecuali ada dalil yang menunjukkan sudah dihapus. (Al Inarah Syarh Kitab Al Isyarah, hal. 272)

3️⃣ Bagaimana caranya?

Caranya seperti yang dijelaskan dalam hadits:

صِيَامَ يَوْمٍ وَإِفْطَارَ يَوْمٍ

Sehari puasa, sehari tidak. (HR. Bukhari no. 5052)

4️⃣ Bagaimana kedudukannya?

Ini adalah puasa terbaik setelah puasa Ramadhan. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:

يُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّ الْأَفْضَلَ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَصُومَ صَوْمَ دَاوُدَ أَنْ يَصُومَ يَوْمًا وَيُفْطِرَ يوما دائما

Dari hadits ini bisa diambil pelajaran, bahwa yang paling utama bagi yang ingin berpuasa adalah puasa Daud, yaitu sehari puasa, sehari tidak, secara konstan. (Fathul Bari, jilid. 9, hal. 96)

Wajar jika dianggap puasa terbaik, karena ini puasa yang sangat berat. Imam At Tirmidzi berkata:

قَالَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ: أَفْضَلُ الصِّيَامِ أَنْ تَصُومَ يَوْمًا وَتُفْطِرَ يَوْمًا، وَيُقَالُ: هَذَا هُوَ أَشَدُّ الصِّيَامِ

Sebagian ulama mengatakan: sebaik-baiknya puasa adalah puasa Daud, yaitu sehari puasa, sehari tidak. Dikatakan: “Ini adalah puasa yang paling berat.” (Sunan At Tirmidzi no. 770)

5️⃣ Apakah harus seumur hidup?

Tidak ada petunjuk yang menyebut puasa Daud itu mesti muabbad (seumur hidup tanpa berhenti). Siapa yang mampu melakukannya setahun atau beberapa tahun, silahkan. Siapa yang mampu dan kuat sepanjang hidupnya, juga silahkan.

6️⃣ Apakah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melakukan puasa Daud juga?

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak melakukannya. Para ulama menyebutkan beberapa kemungkinan atau alasan kenapa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan amal-amal utama:

– Dalam rangka meringankan umatnya, walau amal itu memiliki keutamaan besar, dan Beliau mampu melakukannya.

– Agar tidak dianggap kewajiban, sebagaimana saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan shalat Tarawih di malam ke-4 Ramadhan.

– Disibukkan oleh hal-hal yang lebih utama, atau yang benar-benar wajib. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 224307)

7️⃣ Ketika puasa Daud, apakah tidak boleh puasa sunnah lainnya?

Para ulama menegaskan, tidak dianjurkan berpuasa sunnah lainnya, bagi yang sudah konstan puasa Nabi Daud, walau dia kuat melakukan lebih. (Tidak dianjurkan bukan berarti tidak boleh, bagi yang benar-benar mampu)

Hal ini berdasarkan nasihat Nabi kepada Abdullah bin Amr bin al ‘Ash yang sangat semangat puasa sunnah, dan meminta “lebih” dari puasa Daud:

صُمْ صَوْمَ نَبِيِّ اللهِ دَاوُدَ، وَلَا تَزِدْ عَلَيْهِ

Berpuasalah dengan puasa Nabi Daud, dan jangan kamu tambahkan lagi.

(HR. Ahmad no. 6867. Syaikh Ahmad Syakir dan Syaikh Syuaib al Arnauth mengatakan: Shahih)

Knp tidak dianjurkan dan tidak usah ditambah lagi, walau seseorang kuat melakukannya ? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:

لا أفضل من ذلك

Tidak ada yang lebih utama dari itu. (HR. Bukhari no. 1976)

Di masa tuanya, Abdullah bin Amr bin al Ash berkata:

يَا لَيْتَنِي قَبِلْتُ رُخْصَةَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Duh andaikata dulu saya mau menerima keringanan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. (HR. Bukhari no. 1975)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah menjelaskan:

وهذا صريح في أن الزيادة عليه غير مستحبة، وأن الاكتفاء بهذا النوع من الصوم يغني صاحبه عن تكلف الزيادة، ويجعل الزيادة مفضولة غير مستحبة

Ini menjelaskan bahwa puasa tambahan baginya tidaklah mustahab (sunnah), sesungguhnya mencukupkan diri dengan puasa ini (puasa Daud) bagi pelakunya sudah mencukupi baginya dibanding dia membebani diri dengan menambah shaum sunnah lainnya, shgga membuat shaum sunnah tersebut tidak dianjurkan baginya. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 297278)

Demikian. Wallahul Muwaffiq Ilaa aqwamith Thariq

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top