Ngaku Cinta Rasul? Buktikan!

Mencintai Rasulullah ﷺ adalah konsekuensi logis dari dua kalimat Syahadat

Siapa yang bagus pemahaman dan penghayatannya thdp dua kalimat syahadat maka bagus pula cintanya kepada Rasulullah ﷺ.

Bahkan itu tanda kesempurnaan iman seseorang sebagaimana hadits:

لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين

Tidaklah sempurna iman kalian sampai aku lebih dicintai olehnya dibandingkan ayahnya, anaknya, dan semua manusia.

(HR. Muttafaq ‘Alaih)

Mencintai Rasulullah ﷺ mesti ada pembuktian, bukan hanya rasa di hati dan ucapan lisan

Di antara pembuktian itu adalah:

1️⃣ Bershalawat kepadanya

Allah ﷻ berfirman:

إن الله وملائكته يصلون على النَّبِيّ يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما

Sesungguhnya Allah dan malaikatNya bershalawat kepada Nabi, wahai orang-orang beriman, bershalawatlah kalian kepadanya dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. Al Ahzab: 56)

Lalu buat siapa manfaat shalawat itu? Buat diri pembacanya, buat umatnya sendiri. Sebagaimana hadits Nabi ﷺ:

من صلى علي صلاة من تلقاء نفسه صلى الله بها عليه عشرا

Barang siapa yang shalawat kepadaku sekali saja, maka Allah ﷻ akan bershalawat kepadanya sebanyak 10 kali. (HR. Musim No. 384)

Apa maksud Allah ﷻ bershalawat kepada orang itu?

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri menjelaskan:

أي عشر صلوات والمعنى رحمه وضاعف أجره

Yaitu sepuluh kali shalawat (doa), maknanya adalah kasih sayangNya dan berlipat-lipat pahala baginya. (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/496)

2️⃣ Menghidupkan Sunnahnya dan Ajarannya

Allah ﷻ berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran: 31)

3️⃣ Mencintai apa-apa dan siapa-siapa yang dia cintai

Apa-apa yang menjadi kecintaan Rasulullah ﷺ, hendaknya kita juga mencintainya seperti ahli baitnya, para sahabatnya, dll. Maka, sangatlah dusta ketika ada yang mengaku mencintai Rasulullah ﷺ tapi dia cela para sahabatnya dan keluarganya serta keturunannya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

َ لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

“Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas sebanyak bukit uhud, tidak akan ada yang menyamai satu timbangan (pahala) seorangpun dari mereka, juga tidak akan sampai setengahnya”.
(HR.Bukhari no. 3637)

Rasulullah ﷺ bersabda:

أَحِبُّوا اللَّهَ لِمَا يَغْذُوكُمْ مِنْ نِعَمِهِ وَأَحِبُّونِي بِحُبِّ اللَّهِ وَأَحِبُّوا أَهْلَ بَيْتِي بِحُبِّي

“Cintailah Allah atas nikmat yang telah diberikan oleh-Nya, dan cintailah aku karena cinta kepada Allah serta cintailah ahli baitku karena cinta kepadaku.” (HR. At Tirmidzi no. 3789, At Tirmidzi berkata: hasan)

4️⃣ Membenci Apa-Apa dan Siapa-Siapa Yang Dibencinya

Ini pun konsekuensi dari cinta, yaitu membenci apa yang tidak disukainya. Rasulullah ﷺ membenci orang yang berakhlak buruk, korup, suap, berhutang tidak ada itikad baik membayar, bunuh diri, dekil dan kotor, menyakiti sesama muslim, mengganggu hewan, dll.

5️⃣ Menjadi Pembelanya

Jika seseorang mencintai orang lain, maka biasanya dia siap menjadi pelindung dan pembelanya. Maka begitu juga bagi yang mengaku mencintai Rasulullah ﷺ, dia mesti siap menjadi penolongnya dikala dihina kepribadiannya, sunnahnya, dan ajaran yang dia bawa.

Dahulu para sahabat siap menjadi perisai hidup dikala Rasulullah ﷺ diserang puluhan anak panah kepadanya dikala perang Uhud.

Zaman ini Rasulullah ﷺ diserang dr berbagai arah: maka hendaknya kita menjadi pasukan yg menjadi pembelanya dengan cara yang elegan, ilmiyah, dan kuat, agar para pencelanya justru berubah menjadi pendukung dan mencintainya.

Demkian. WallahuA’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, Seorang Imam dan Faqihul Islam

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam, bersabda:

لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

“Tidak termasuk ummatku orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak mengasihi yang lebih muda dan tidak pula mengerti hak seorang ulama.” (HR. Ahmad no. 21693. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: shahih lighairih)

Pertama kali kami membaca karyanya sewaktu masih SMA, yaitu Halal dan Haram Dalam Islam, serta Urgensi Harakah Islamiyah.

Setelah itu selalu memburu karya-karya Beliau seperti Min Fiqhid Daulah (Fiqih Negara), Fiqhul Awlawiyat (Fiqih Prioritas), Fatawa Mu’ashirah (Fatwa-Fatwa Kontemporer), Fiqhuz Zakah (Fiqih Zakat), dan karya-karya Beliau lainnya di berbagai bidang.

Sangat nikmat membaca karya-karyanya. Ada corak dan karakter yang berbeda membaca pemikiran Syaikh Yusuf Al Qaradhawi ketika membahas persoalan terutama dalam fiqih dan fatwa, yaitu membangun struktur berpikir, memaparkan persoalan dari banyak sisi, menyelaraskan dengan ayat dan hadits yang terkait, ditambah penjelasan ulama salaf dan khalaf, analisa pendapat-pendapat tersebut, lalu kesimpulan menurut pandangannya dan ditutup dengan nasihat.

Oleh karenanya, kita dapatkan pembahasan Beliau Rahimahullah pada satu persoalan membutuhkan uraian lebih dari dua halaman buku. Seolah Beliau bukan hanya ingin menjawab tapi juga mendidik, mengarahkan, menasihati, dan mengobati, karena sejatinya seorang ulama dan mufti juga seorang da’i, dokter, dan orang tua bagi umat.

Kalau boleh kami bandingkan, gaya Beliau berbeda dengan para mufti dan ulama lain di masanya, yang memberikan jawaban atas persoalan langsung menjawab Iya dan Tidak, Boleh dan Terlarang, dengan sedikit pembahasan kadang hanya satu atau dua paragraf. Hal ini bisa dibuktikan dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer di semua jilid, dengan kitab-kitab fatwa selainnya.

Ibarat permainan sepak bola, nampaknya bukan hanya ingin gol tapi juga keindahan permainan dan sportivitas. Tidak langsung tendangan bebas apalagi pinalti.

Hal lain yang menarik adalah Beliau juga memperhatikan dari negeri mana penanya berasal, apa profesinya, dsb, sehingga Beliau bisa memberikan jawaban yang tepat dengan kondisi penanya, dan tidak terpaku pada teks saja.

Cara Beliau mengingatkan kami pada nasihat Imam Al Qarafi kepada para mufti:

فمهما تجدد في العرف اعتبره ومهما سقط أسقطه ولا تجمد على المسطور في الكتب طول عمرك بل إذا جاءك رجل من غير أهل إقليمك يستفتيك لا تجره على عرف بلدك واسأله عن عرف بلده وأجره عليه وأفته به دون عرف بلدك ودون المقرر في كتبك فهذا هو الحق الواضح  والجمود على المنقولات أبدا ضلال في الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين

“Bagaimanapun yang baru dari adat istiadat perhatikanlah, dan yang sudah tidak berlaku lagi tinggalkanlah. Jangan kamu bersikap tekstual kaku pada tulisan di kitab saja sepanjang hayatmu.

Jika datang kepadamu seorang dari luar daerahmu untuk meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu memberikan hukum kepadanya berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku di daerahmu, tanyailah dia tentang adat kebiasaan yang terjadi di daerahnya dan hargailah itu serta berfatwalah menurut itu, bukan berdasarkan adat kebiasaan di daerahmu dan yang tertulis dalam kitabmu. Itulah sikap yang benar dan jelas.

Sedangkan sikap selalu statis pada teks adalah suatu kesesatan dalam agama dan kebodohan tentang tujuan para ulama Islam dan generasi salaf pendahulu.”

(Imam Al Qarafi, Al Furuq, Juz. 1, Hal. 176-177. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Beirut. 1418H-1989M. Tahqiq: Khalil Al Manshur)

Beliau bukan hanya seorang yang pakar dalam fiqih, tapi juga keilmuan lainnya seperti Aqidah, Hadits, Ushul Fiqih, Dakwah dan Harakah dan jihad, Biografi Ulama, Tazkiyatun Nafs, Pemikiran, dan Sejarah. Dari hampir 200 judul karya tulisnya, semua bidang ini Beliau tulis lebih dari dua judul. Hampir semuanya Best Seller.

Maka tidak salah jika banyak tokoh di berbagai negeri Islam menyebutnya al ‘allamah, mujtahid zaman ini, mausu’i (ensiklopedi), dan seorang imam zaman ini.

Ditambah lagi keterlibatan Beliau di Medan jihad melawan Inggris di masa mudanya, serta medan amal di masa dewasa dan tuanya, serta sikap istiqamahnya dalam menjaga jarak dengan penguasa zalim.

Beliau manusia biasa yang juga bisa salah dan tergelincir, baik pada ucapan, tulisan, dan fatwanya, karena ma’shum hanya milik Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Kita tidak selalu setuju dengan pendapatnya, tapi bukan berarti menjadi halal menjelek-jelekkannya apalagi menghinanya dan menuduhnya dengan tuduhan yang buruk.

Kematiannya pekan lalu membuat rasa kehilangan jutaan pengagumnya dan ribuan murid-muridnya. Doa kebaikan dan shalat ghaib dilakukan di banyak negeri Islam. Keabadian hanya milik Allah Ta’ala.

Sebaliknya, kematiannya pula membuat senang zionis, liberal, penguasa zalim dan para pendukungnya, kaum munafik, ahlul fitnah, dan orang-orang yang dengki terhadap dirinya. Karena tidak ada satu pun ulama dulu dan sekarang yang selamat dari lisan kaum

Semoga Allah Ta’ala limpahkan kasih sayangNya kepada Syaikh Al Qaradhawi, kesejukan dan kelapangan di alam kuburnya, memasukannya ke surgaNya bersama Shiddiqin, Syuhada, dan Shalihin. Aamiin.

✍ Farid Nu’man Hasan

Beberapa Persoalan Shalat Jumat di Sekolah

PERTANYAAN:

Di sekolah kami baru bangun musholla semi permanen tujuannya supaya anak tidak harus keluar untuk sholat jumat ke Masjid terdekat, karena salah satu kendala selain kemarin gak ada musholla dan dana untuk transport anak antar jemput ke Masjidnya lumayan besar, tapi ternyata ada kendala jumlah jamaah yang kurang dan ada yang belum baligh, apakah dua hal ini menjadi syarat sholat jumat ya ustadz? (DSW NTT)

JAWABAN

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu wa Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Dari pertanyaan di atas ada tiga persoalan yang mencakup di dalamnya, yaitu: shalat Jumat selain di masjid jami’, ta’adudul jum’ah (berbilangnya shalat Jumat di satu tempat), dan jumlah jamaah shalat Jumat.

1. Shalat Jumat Selain di Masjid Jami’

Maksudnya shalat Jumat yang dilakukan di surau, lapangan, aula, basement, atau tempat lapang apa pun selain masjid baik permanen atau bukan. Apa yang ditanyakan bahwa tempat shalat Jumatnya adalah surau yang semi permanen, maka itu boleh menurut mayoritas ulama, kecuali Mailikiyah.

Imam Syihabuddin Ar Ramli mengatakan:

وَلَا يُشْتَرَطُ لَهَا مَسْجِدٌ، وَلَوْ انْهَدَمَتْ أَوْ أُحْرِقَتْ وَأَقَامَ أَهْلُهَا عَلَى عِمَارَتِهَا وَلَوْ فِي غَيْرِ مَظَالٍّ لَمْ يُقْدَحْ فِي صِحَّةِ الْجُمُعَةِ

Masjid tidaklah menjadi syarat untuk shalat Jumat, walau masjid tersebut dihancurkan atau dibakar lalu penduduk tersebut tetap berada di atasnya untuk memakmurkannya walau tanpa atap, itu tidak menodai keabsahan shalat Jumat. (Nihayatul Muhtaj, 2/299)

Imam Sa’id Ribathi al Hadhrami juga mengatakan:

أنه لا يشترط لها مسجد، بل تصح في الفضاء، ولا إذن إمام

Sesungguhnya masjid tidaklah menjadi syarat untuk shalat Jumat, tetapi tetap sah di ruang terbuka, dan tidak (perlu) izin kepada imam. (Syarh al Muqadimah al Hadhramiyah, hal. 387)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

لا يشترط للجمعة أن تقام بمسجد أو جامع ، عند جمهور الفقهاء من الحنفية والشافعية والحنابلة ، خلافا للمالكية

Tidak disyaratkan untuk shalat Jumat itu dilakukan di masjid atau masjid jami’, menurut mayoritas ahli fiqih baik Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah, kecuali Malikiyah. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 153872)

2. Berbilangnya Pelaksanaan Shalat Jumat di Satu Daerah

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, sebagaian mengatakan boleh secara mutlak baik ada sebab atau tidak, sebagian lain mengatakan boleh jika karena ada sebab seperti jumlah jamaah yang tidak tertampung di satu masjid, dan inilah pendapat mayoritas. Apa yang ditanyakan karena ada hajat seperti tempat yang jauh dan kesulitan teknis antar jemput anak-anak tersebut, maka itu tidak masalah.

ٍSyaikh Muhammad Nu’aim Sa’i menjelaskan:

جمهور العلماء على عدم جواز تعدد الجمعة في البلد الواحد إذا لم تدع إلى ذلك حاجة، وبه قال مالك والشافعي وأحمد وهو مذهب أبي حنيفة وأصحابه، وقال عطاء: يجوز التعدد

Mayoritas ulama mengatakan tidak bolehnya berbilangnya shalat Jumat di satu negeri jika tidak ada hajat. Inilah pendapat Malik, Syafi’I, Ahmad, Abu hanifah dan pengikutnya. Atha’ berkata: boleh berbilangnya Shalat Jumat. (Mausu’ah Masail al Jumhur fi Fiqhil Islami, 1/231)

Namun, dalam Al Mausu’ah dikatakan bahwa Hanafiyah membolehkan secara mutlak:

لاَ يَجُوزُ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ إِقَامَةُ جُمُعَتَيْنِ فِي بَلَدٍ وَاحِدٍ إِلاَّ لِضَرُورَةٍ، كَضِيقِ الْمَسْجِدِ، لأِنَّ الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْخُلَفَاءَ بَعْدَهُ لَمْ يُقِيمُوا سِوَى جُمُعَةٍ وَاحِدَةٍ. وَتَعَدُّدُ الْجُمُعَةِ فِي الْبَلَدِ الْوَاحِدِ جَائِزٌ مُطْلَقًا عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ، سَوَاءٌ أَكَانَتْ هُنَاكَ ضَرُورَةٌ أَمْ لاَ

Tidak boleh menurut jumhur ahli fiqih mendirikan dua shalat Jumat di satu negeri kecuali karena darurat, seperti masjid yang sempit, karena Rasulullah dan para khalifah setelahnya tidak pernah mendirikan shalat Jumat selain satu saja. Berbilangnya shalat Jumat di satu negeri adalah boleh secara mutlak menurut Hanafiyah, baik ada darurat atau tidak. (Al mausu’ah al fiqhiyah al kuwaitiyah, 12/230)

3. Jumlah jamaah shalat Jumat

Tentang syarat sahnya jumlah jamaah shalat Jumat, para ulama beragam pendapat bahkan menurut Al Hafizh Ibnu Hajar ada 15 pendapat. (Fathul Bari, 2/243)

Dalam mazhab Syafi’i dan Hambali mensyaratkan 40 laki-laki warga setempat:

تقام الجمعة بحضور أربعين فأكثر بالإمام من أهل القرية المكلفين الأحرار الذكور المستوطنين

Pelaksanaan shalat Jumat dihadiri 40 atau lebih bersama imam dari penduduk yang sudah mukallaf, merdeka, laki-laki, dan pemukim. (Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/1279)

Namun tidak ada dalil shahih yang menyebut jumlah spesifik jamaah shalat Jumat, seperti yang dikatakan Syaikh Wahbah Az Zuhaili:

ويظهر لي أن الجمعة تتطلب الاجتماع، فمتى تحققت الجماعة الكثيرة عرفاً، وجبت الجمعة وصحت، وليس هناك نص صريح في اشتراط عدد معين. والجماعة في الجمعة شرط بالاتفاق

Menurutku yang benar adalah shalat Jumat dituntut adanya jamaah, maka ketika terealisir sekumpulan orang yang banyak menurut makna ‘urf (tradisi) maka wajib shalat Jumat dan sah, tidak ada nash yang jelas yang mensyaratkan jumlah secara khusus. Berjamaah dalam shalat Jumat adalah syarat berdasarkan kesepakatan ulama. (Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/1279)

Dalam mazhab Hanafi, tiga orang (termasuk imam) pun Sah. Berdasarkan keumuman makna Jamaah.

Dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اثْنَانِ فَمَا فَوْقَهُمَا جَمَاعَةٌ

“Dua orang atau lebih adalah jamaah.”

(HR. Ibnu Majah, No. 972. Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shahihain, No. 7957. Al Haitsami mengatakan: “Di dalamnya ada Muslimah bin Ali seorang yang dhaif.” Majma’ Az Zawaid, 2/45)

Imam Bukhari telah menjadikan teks hadits ini menjadi judul salah satu Bab dalam kitab Shahih-nya, yakni Bab ke-7 dari Kitabul Jamaah wal Imamah yakni Bab: Itsnan famaa fauqahumaa Al Jama’ah (Dua orang dan lebih adalah jamaah).

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

والرأي الراجح أنها تصح باثنين فأكثر

“Dan pendapat yang kuat adalah shalat Jumat tetap sah dengan DUA orang atau lebih.” (Fiqhus Sunnah, 1/305)

Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

وَقَدْ انْعَقَدَتْ سَائِر الصَّلَوَات بِهِمَا بِالْإِجْمَاعِ ، وَالْجُمُعَة صَلَاة فَلَا تَخْتَصّ بِحُكْمٍ يُخَالِف غَيْرهَا إلَّا بِدَلِيلٍ ، وَلَا دَلِيل عَلَى اعْتِبَار عَدَد فِيهَا زَائِد عَلَى الْمُعْتَبَر فِي غَيْرهَا

“Menurut ijma’ (kesepakatan), semua shalat sudah disebut berjamaah walau pun DUA ORANG, dan SHALAT JUMAT JUGA DEMIKIAN, tidak ada kekhususan hukum baginya yang berbeda dengan shalat lainnya, kecuali dengan dalil. Dan tidak dalil yang menunjukkan bahwa jumlah jamaah shalat Jumat mesti lebih dari shalat selainnya.” (Nailul Authar, 5 289)

Hal ini perkuat oleh penelitian sebagian ulama bahwa tidak ada ketentuan baku yang menjadi standar jumlah minimal jamaah shalat Jumat.

Imam Asy Syaukani mengatakan pula:

وقد قال عبد الحق: إنه لا يثبت في عدد الجمعة حديث، وكذلك قال السيوطي: لم يثبت في شئ من الاحاديث تعيين عدد مخصوص

Abdul Haq telah berkata: “Tidak ada hadits yang shahih tentang jumlah jamaah shalat Jumat.” Begitu pula kata Imam As Suyuthi: “Tidak ada satu pun yang shahih dari hadits-hadits yang mengkhususkan jumlah tertentu.” (Ibid, 5/289)

Pandangan Syaikh Wahbah Az Zuhaili nampaknya paling pertengahan di antara semuanya.

Maka, untuk soal yang ditanyakan, jika anak-anak jumlahnya sudah cukup dikatakan banyak secara tradisi -walau sdh dikurangi dgn yang belum baligh, maka sudah sah shalat Jumat.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Jima’ Dikala Nifas, Kafaratkah?

PERTANYAAN:

Pertama semoga Allah mengampuni dosa2 saya beserta suami, Aamiin Allahuma Aamiin. Saya seorang istri berusia 35th, suami saya minta untuk dilayani padahal saya masih dalam masa nifas pasca kuret karena alasan medis. Saat ini masuk minggu kedua pasca kuret.

Walaupun darah sudah berkurang dan tidak berwarna merah lagi melainkan kecoklatan. Tapi saya tau hukumnya tetap haram dan tidak boleh namun suami saya tetap meminta dan jika saya menolakpun saya perkirakan dia akan marah dan dampak bagi rumah tangga saya juga buruk jadi saya ini dalam dilema dan takut juga merasa berdosa Sebelumnya saya sudah bilang bahwa saya masih mengeluarkan darah tapi beliau tetap meminta. Pertanyaan saya :

1. Bagaimana sebenarnya hukum dan hadits tentang membayar kafarat, sahih atau dhoif? Karena saya baca beberapa artikel sebagian menyebutkan shahih yang lain nya dhoif.

2. Jika wajib kafarat, siapakah yang wajib, hanya suami atau kami berdua masing2 membayar 1 Dinar? (Tentunya setelah itu kami wajib sholat taubat dan sebenar benarnya taubat pada Allah ).

3. Apakah membayar kafarat boleh di cicil?

4. Adakah doa khusus untuk memohon ampun Allah terkait masalah ini? Mohon bimbingan nya. (N, Bekasi)

JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Hukum-hukum yang terkait nifas adalah sama dengan haid. Berkata Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:

وحكمه حكم الحيض في كل شئ لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم لعائشة: (أنفست؟ قالت: نعم (فسمى الحيض نفاسا، وكذلك الغسل منه واجب باجماع

Hukumnya sama dengan hukum haid dalam segala hal, karena Rasulullah ﷺ bersabda kepada ‘Aisyah: “Apakah engkau sedang nifas?” ‘Aisyah menjawab: “Ya.” Pada hadits ini Rasulullah menamakan haid dengan nifas, maka mandi bagi wanita nifas (setelah berhenti, pen) adalah wajib menurut ijma’ (kesepakatan ulama). (Al Muhalla, 2/184)

Maka, larangan jima’ pada wanita nifas tentu juga sama sebagaimana larangan jima’ pada wanita haid.

Keharaman hubungan suami istri saat nifas adalah hal yang telah ijma atau disepakati para Fuqaha. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 44/19, lihat juga Fiqhus Sunnah, 1/85)

Imam An Nawawi menjelaskan:

– siapa yang melakukannya karena meyakini itu adalah HALAL, maka dia murtad.

– siapa yang melakukan karena lupa, tidak tahu, dan masih meyakini haram, maka dia tidak berdosa dan tidak kafarat.

– Siapa yang melakukan secara sengaja dan dia sdh tahu ilmunya, maka dia melakukan keharaman, maksiat besar, dan wajib tobat.

(Lihat Syarah Shahih Muslim, 3/204)

Maka, wajib bagi pelakunya untuk bertobat dengan menyesal, dan bertekad tidak mengulangi lagi selamanya, banyak beramal shalih dan sedekah.

Lalu, apakah wajib membayar kafarat?

Maka dalam hal ini kata Imam An Nawawi ada dua pendapat:

Pendapat Pertama. Tidak wajib kafarat.

Ini pendapat mayoritas ulama. Ini pendapat yg lebih shahih dari Imam Asy Syafi’i dalam pendapat baru (Qaul Jadid), Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, dan mayoritas salaf, bahwasanya tidak ada kafarat bagi yang melakukannya. Di antara salaf: Atha’, Ibnu Abi Mulaikah, Asy Sya’bi, An Nakha’i, Makhul, Az Zuhri, Abu az Zinad, Rabi’ah, Hammad bin Abu Sulaiman, Ayyub as Sikhtiyani, Sufyan Ats Tsauri, dan Laits bin Sa’ad.

Pendapat Kedua. Wajib Kafarat.

Ini pendapat Imam Asy Syafi’i dalam pendapat lama (Qaul Qadim) namun lemah, juga diriwayatkan sebagai pendapat Ibnu Abbas, Hasan Al Bashri, Said bin Jubeir, Qatadah, Al Awza’i, Ishaq, dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat lainnya.

Kelompok ini juga berbeda pendapat tentang apa yang dikeluarkan untuk kafarat, Hasan Al Bashri dan Qatadah mengatakan membebaskan budak. Ada pun yang lain mengatakan satu dinar atau setengah dinar.

Mereka juga beda pendapat kondisi yang membedakan satu dinar dan setengah dinar; apakah satu dinar itu jika jima’nya di awal darah nifas dan setengahnya di akhir nifas, ataukah satu dinar itu di masa keluarnya, darah sedangkan setengah dinar itu setelah terhentinya darah.

Alasan kelompok ini adalah hadits Ibnu Abbas secara marfu’:

“Siapa yang mendatangi istrinya yang sedang haid maka hendaknya sedekah sebanyak satu dinar atau setengahnya.”

Ini adalah hadits DHAIF menurut kesepakatan para huffazh. Yang benar adalah TIDAK KAFFARAT. Wallahu A’lam.

(Demikian penjelasan Imam An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 3/204-205)

Sementara Imam Ibnu ‘Abidin menyebutkan adanya pendapat “ketiga” bukan wajib, tapi MANDUD (ANJURAN) utk kaffarat, dan ini pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah. Beliau mengatakan:

ويندب تصدقه بدينار أو نصفه

Dianjurkan untuk bersedekah satu dinar atau setengahnya. (Ar Radd Al Mukhtar, 1/298)

Status hadits:

Pada ulama memang berbeda pendapat tentang keshahihan hadits tersebut dengan perdebatan yang panjang.

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Al Hakim, Ibnul Qathan, dan Ibnu Daqiq Al ‘Id menilai shahih hadits ini, dan menurut Al Hafizh Ibnu Hajar inilah yang benar. Menurut Ibnu Hajar ini merupakan bantahan atas klaim Imam An Nawawi yang mengatakan: Semua Imam telah menyelisihi penshahihannya Imam al Hakim dan yang benar adalah dhaif menurut kesepakatan mereka.

(Lihat At Talkhish Al Habir, 1/429-430)

Jika ingin mengambil sikap yang hati-hati, yaitu tetap membayar kaffarat dengan satu atau setengah dinar, maka itu lebih baik.

Ada ulasan bagus dari Syaikh Utsaimin yang boleh juga dijadikan pertimbangan:

وجوبُ الكفَّارة من مفردات المذهب [ يعني : مذهب الحنابلة ] ، والأئمة الثَّلاثة يرون أنَّه آثم بلا كفارة .
والحديثُ صحيحٌ، لأنَّ رجالَه كلَّهم ثقاتٌ، وإذا صحَّ فلا يضرُّ انفرادُ أحمد بالقول به.
فالصحيح: أنها واجبةٌ ، وعلى الأقل نقولُ بالوجوب احتياطاً .”

Wajibnya kaffarat termasuk pendapat yang ‘menyendiri’ dalam mazhab Hanabilah, ada pun tiga imam mengatakan pelakunya berdosa tapi tidak wajib kaffarat. Haditsnya shahih semua perawinya terpercaya, jika haditsnya shahih maka tidak masalah menyendirinya Imam Ahmad dengan pendapatnya. Pendapat yang benar adalah wajib, kami katakan MINIMAL untuk kehati-hatian adalah wajib.

(Asy Syarhul Mumti’, 1/255)

Membayar kaffarat boleh saja ditunda sampai memiliki dana yang cukup untuk membayarkannya.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top