Baru Menyadari Shalat Di Masa Lalu Banyak Salahnya

Kesalahan dalam shalat apakah punya konsekuensi shalatnya tidak sah? Kalau tidak sah, apakah perlu diulang? Bagaimana dengan yang telah lalu? Simak penjelasannya pada tanya jawab di bawah ini!


Pertanyaan

jika seseorang baru tau tatacara sholat yang benar, apakah sholat yang telah ia lakukan selama tahun berlalu itu tidak sah? atau batal? atau di anggap tidak sholat karena sholat nya salah? (Vera-Kalimantan Tengah)


Jawaban

Bismillahirrahmanirrahim..

Masalah ini perlu diperinci sebagai berikut:

Jenis Kesalahan Shalat

– Jika kesalahan shalatnya adalah kesalahan ringan yang tidak merusak keabsahan shalat seperti meninggalkan hal-hal yang sunnah (misal: tidak angkat tangan, tidak iftitah, tidak sedekap, tidak shalawat di tasyahud akhir -kecuali mazhab Syafi’i dan sebagian Hambali mengatakan shalawat tasyahud akhir adalah wajib- dan sunah lainnya), maka shalat tersebut tetap sah, dan tidak perlu diulang hanya saja perbuatan itu memang makruh.

Imam Ibnu Qudamah menjelaskan:

وحكم هذه السنن جميعها أن الصلاة لا تبطل بتركها عمدا ولا سهوا

Semua sunah ini, shalat tidaklah batal dengan meninggalkannya secara sengaja maupun karena lupa. (Al Mughni, jilid. 2, hal. 6)

Syaikh Wahbah az Zuhaili menjelaskan:

ترك سنة من سنن الصلاة عمداً: كترك دعاء الثناء أو التوجه، أو التسبيح في الركوع أو السجود، أو التكبير والتسميع والتحميد، أو رفع الرأس أو خفضه في الركوع، أو تحويل أصابع قدميه أو يديه عن القبلة، وهذا متفق عليه

Meninggalkan salah satu sunnah shalat dengan sengaja, seperti meninggalkan doa istiftah atau doa tasyahhud, tasbih dalam rukuk atau sujud, takbir, tasmi’, dan tahmid, atau tidak mengangkat atau menundukkan kepala dalam rukuk, atau tidak mengarahkan jari-jari kaki atau tangan ke arah kiblat. Hal ini disepakati oleh para ulama. (Al Fiqhu Al Islami Wa Adillatuhu, jilid. 2, hal. 960)

– Jika kesalahan yang dimaksud adalah meninggalkan hal yang wajib atau rukun walau karena ketidaktahuan, maka itu membatalkan shalat, dan wajib diulang dengan niat qadha. Inilah pendapat mayoritas ulama.

Imam An Nawawi mengatakan:

إذا ترك فرضًا من فروض الصلاة كركوعٍ أو سجودٍ ونحوهما، نُظر؛ إنْ تركه عمدًا وانتقل إلى ما بَعدَه، بطَلَتْ صلاتُه بلا خلاف

Jika seseorang meninggalkan salah satu rukun salat, seperti rukuk, sujud, atau yang sejenisnya, maka dilihat keadaannya: jika ia meninggalkannya dengan sengaja dan berpindah ke rukun berikutnya, salatnya batal tanpa ada perbedaan pendapat. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, jilid. 4, hal. 77)

Syaikh Abdullah Al Faqih menjelaskan:

ومن ترك شيئا من الأركان ولو جهلا، فالأصل: بطلان صلاته، ولزوم الإعادة عليه، وهذا مذهب جمهور العلماء، وبه نفتي، كما بالفتوى رقم: 114133، وتوابعها

Barang siapa meninggalkan salah satu rukun shalat, meskipun karena ketidaktahuannya, maka pada dasarnya shalatnya batal dan dia wajib mengulanginya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan berdasarkan pendapat inilah kami memberikan fatwa, sebagaimana disebutkan dalam fatwa nomor: 114133 dan yang terkait dengannya. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 276641)

Pendapat kedua mengatakan tidak wajib qadha, karena Allah Ta’ala tidaklah membebani hamba-Nya apa yang dia tidak mampu. Ini pendapat Imam Ibnu Taimiyah dan yang mengikutinya. Namun pendapat pertama lebih hati-hati dan aman.

Syaikh Abdullah Al Faqih menjelaskan:

والقول الثاني: لا يلزم القضاء، واختاره شيخ الإسلام ابن تيمية، واحتج أنه فعل ما أمر به كما أمر، والله لا يكلف نفسا إلا وسعها، وبأن النبي -صلى الله عليه وسلم- لم يأمر المسيء بقضاء ما فات من صلوات مع التقصير في أركانها، ولم يأمر المستحاضة بقضاء ما تركته من صلوات ظانة أنه حيض، ولم يأمر عمر وعمارا بقضاء الصلاة التي لم يتيمما لها حين أصابتهما الجنابة في نظائر كثيرة تدل على ما ذهب إليه الشيخ.
ولا يخفى أن ما ذهب إليه شيخ الإسلام له قوة واتجاه، ولكن القول الأول أحوط وأبرأ للذمة، فالذي ننصحك به: أن تبذلي وسعك في تحري الصلوات التي فاتتك

Pendapat kedua: Tidak diwajibkan mengqadha (salat yang terlewat), dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau berargumen bahwa seseorang telah melakukan apa yang diperintahkan sesuai dengan perintah, dan Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.

Selain itu, Nabi ﷺ tidak memerintahkan orang yang melakukan kesalahan dalam salat untuk mengqadha salat yang terlewat karena kurangnya kesempurnaan rukunnya. Beliau juga tidak memerintahkan wanita istihadhah untuk mengqadha shalat yang ditinggalkan karena dia mengira itu adalah haid. Nabi ﷺ juga tidak memerintahkan Umar dan Ammar untuk mengqadha shalat yang mereka tinggalkan saat mereka dalam keadaan junub dan tidak bertayamum, dalam banyak kasus serupa yang menunjukkan apa yang disimpulkan oleh Syaikhul Islam.

Tidak diragukan lagi bahwa pendapat Syaikhul Islam memiliki kekuatan dan arah yang jelas. Namun, pendapat pertama lebih hati-hati dan lebih membebaskan tanggungan. Oleh karena itu, yang kami nasihatkan kepada Anda adalah agar Anda berusaha semaksimal mungkin untuk mengingat dan melaksanakan shalat-shalat yang telah Anda lewatkan. (Ibid)

Demikian. Wallahu A’lam

✍Farid Nu’man Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

scroll to top