Hukum Money Changer

Pertanyaan

Ustadz, mhn pencerahan:  Apa hukum nya jika kita usaha money changer


Jawaban Hukum Money Changer

Bismillah wal Hamdulillah

Money Changer (Ash Sharraaf), bukanlah membeli uang, tapi sesuai namanya jasa penukaran uang. Hal ini dibolehkan dengan syarat yadan biyadin (kontan), saat itu juga, sehingga tidak ada  riba.

Kalau nukarnya pagi, tapi ambilnya uang sore, ini tidak boleh sebab nilai mata uangnya bisa jadi berubah, sehingga terjadi riba.

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz mengatakan:

بيع العمل بالعمل الأخرى لا بأس به، إذا كان يداً بيد، فإذا باع عملة سعودية بدولار أمريكي يداً بيد، يعطيه ويأخذ منه، أو بعملة ليبية أو عملة عراقية أو عملة إنجليزية أو غير ذلك لا بأس، لكن يداً بيد

Menjual mata uang dengan mata uang lain tidaklah apa-apa, jika dilakukannya secara kontan. Jika menjual mata uang Saudi dengan Dolar AS secara kontan, dilakukan langsung baik memberi dan mengambilnya, atau dengan mata uang Libia, Iraq, Inggris, tidak apa-apa, selama dilakukan kontan.
(Selesai dari Syaikh Bin Baaz)

Dalilnya adalah:

“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa” (HR. Muslim no. 1584).

Demikian. Wallahu A’lam.

Baca juga: Jual Beli Uang Kuno

✍ Farid Nu’man Hasan


Kesimpulan:

Hukum money changer boleh, asal transaksinya dilakukan kontan saat itu juga, tidak ada jeda waktu karena kurs selalu berubah.

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag. 1)

💥💦💥💦💥💦

1⃣ Definisi Shaum Ramadhan

📌 Apa arti shaum?

Secara bahasa, berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah:

الصيام في اللغة مصدر صام يصوم، ومعناه أمسك، ومنه قوله تعالى: {فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْناً فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَن صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا } [مريم] فقوله: {صَوْمًا} أي: إمساكاً عن الكلام، بدليل قوله: {فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا} أي: إذا رأيت أحداً فقولي: {إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَن صَوْمًا} يعني إمساكاً عن الكلام {فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا}.

“Shiyam secara bahasa merupakan mashdar dari shaama – yashuumu, artinya adalah menahan diri. Sebagaimana firmanNya: (Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”) (QS. Maryam (19):26). firmanNya: (shauman) yaitu menahan diri dari berbicara, dalilnya firmanNya: (jika kamu melihat seorang manusia), yaitu jika kau melihat seseorang, maka katakanlah: (Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah) yakni menahan dari untuk bicara. (Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini).

(Syarhul Mumti’, 6/296.  Cet. 1, 1422H.Dar Ibnul Jauzi. Lihat juga Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/431. Lihat Imam Al Mawardi, Al Hawi Al Kabir, 3/850)

Secara syara’, menurut Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, makna shaum adalah:

الامساك عن المفطرات، من طلوع الفجر إلى غروب الشمس، مع النية

“Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan, dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, dan dibarengi dengan niat (berpuasa).” (Fiqhus Sunnah, 1/431)

Ada pun Syaikh Ibnul Utsaimin menambahkan:

وأما في الشرع فهو التعبد لله سبحانه وتعالى بالإمساك عن الأكل والشرب، وسائر المفطرات، من طلوع الفجر إلى غروب الشمس.
ويجب التفطن لإلحاق كلمة التعبد في التعريف؛ لأن كثيراً من الفقهاء لا يذكرونها بل يقولون: الإمساك عن المفطرات من كذا إلى كذا، وفي الصلاة يقولون هي: أقوال وأفعال معلومة، ولكن ينبغي أن نزيد كلمة التعبد، حتى لا تكون مجرد حركات، أو مجرد إمساك، بل تكون عبادة

“Ada pun menurut syariat, maknanya adalah ta’abbud (peribadatan) untuk Allah Ta’ala dengan cara menahan diri dari makan, minum, dan semua hal yang membatalkan, dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Wajib dalam memahami definisi ini, dengan mengaitkannya pada kata taabbud, lantaran banyak ahli fiqih yang tidak menyebutkannya, namun mengatakan: menahan dari dari ini dan itu sampai begini. Tentang shalat, mereka mengatakan: yaitu ucapan dan perbuatan yang telah diketahui. Sepatutnya kami menambahkan kata taabbud, sehingga shalat bukan  semata-mata gerakan , atau semata-mata menahan diri, tetapi dia adalah ibadah.

(Syarhul Mumti’,  6/298. Cet.1, 1422H. Dar Ibnul Jauzi)

Dari definisinya ini ada beberapa point penting sebagai berikut:

Menahan diri dari perbuatan yang membatalkan
💚Harus dibarengi dengan niat
💙Bertujuan ibadah kepada Allah Taala

📌Lalu, apa arti Ramadhan ?

Ramadhan, jamaknya adalah Ramadhanaat, atau armidhah, atau ramadhanun. Dinamakan demikian karena mereka mengambil nama-nama bulan dari bahasa kuno (Al Qadimah), mereka menamakannya dengan waktu realita yang terjadi saat itu, yang melelahkan, panas, dan membakar (Ar ramadh).  Atau juga diambil dari  ramadha ash shaaimu: sangat panas rongga perutnya, atau karena hal itu membakar dosa-dosa. (Lihat Al Qamus Al Muhith, 2/190)

Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah mengatakan:

وَكَانَ شَهْرُ رَمَضَانَ يُسَمَّى فِي الْجَاهِلِيَّةِ ناتِقٌ  ، فَسُمِّيَ فِي الْإِسْلَامِ رَمَضَانَ مَأْخُوذٌ مِنَ الرَّمْضَاءِ ، وَهُوَ شِدَّةُ الْحَرِّ : لِأَنَّهُ حِينَ فُرِضَ وَافَقَ شِدَّةَ الْحَرِّ وَقَدْ رَوَى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} قَالَ : إِنَّمَا سُمِّيَ رَمَضَانُ : لِأَنَّهُ يَرْمِضُ الذُّنُوبَ أَيْ : يَحْرِقُهَا وَيَذْهَبُ بِهَا .

“Adalah bulan Ramadhan pada zaman jahiliyah dinamakan d

engan ‘kelelahan’, lalu pada zaman Islam dinamakan dengan Ramadhan yang diambil dari kata Ar Ramdha yaitu panas yang sangat. Karena ketika diwajibkan puasa bertepatan dengan keadaan yang sangat panas. Anas bin Malik telah meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: sesungguhnya dinamakan Ramadhan karena dia memanaskan  dosa-dosa, yaitu membakarnya dan menghapskannya. (Al Hawi Al Kabir, 3/854. Darul Fikr)

Secara istilah (terminologis), Ramadhan adalah nama bulan (syahr) ke sembilan dalam bulan-bulan hijriyah, setelah Syaban dan sebelum Syawal. Ada pun bulan dalam artian benda langit adalah al qamar, dan bulan sabit adalah al hilaal.

Demikian. Wallahu A’lam (Bersambung …)

🍃🌾🌸🌻🌴🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 1)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 2)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 3)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 4)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 5)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 6)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 7)

Silsilah Panduan Shaum Ramadhan (Bag 8)

Versi Lengkap Silsilah Panduan Shaum Ramadhan, Klik di link berikut: Silsilah Panduan Shaum Ramadhan

Dengan Siapa Wanita Hidup Di Surga?

Pertanyaan

Assalamu’alaikum… Ustadz/ah mau tanya.
Barusan ikut pengajian…. bila wanita sudah jadi janda kemudian menikah lagi di akherat tidak bisa bertemu lagi dgn suami pertama nya. Apakah memang hadist nya shahih ?. Jazakillahkhoir. Wassalam…


Jawaban

Wa’alaikumussalam warahmatullah .. Bismillah wal Hamdulillah ..

Umumnya ulama mengatakan wanita akan hidup di surga, bersama laki-laki terakhir yang dia nikahi.

Dari Abu Ad Darda Radhiallahu ‘Anhu: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

أيما إمرأة توفي عنها زوجها فتزوجت بعده فهي لآخر أزواجها

Perempuan mana pun yang suaminya wafat, lalu dia nikah lagi setelah itu, maka dia milik suami terakhirnya (di akhirat).

(HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 3130. Hadits ini hasan menurut Imam Al Munawi, At Taysir, 1/839. Shahih menurut Syaikh Al Albani, Shahihul Jami’ No. 2704)

Imam Al Munawi Rahimahullah mengatakan:

قالوا وهذا هو أحد الأسباب المانعة من نكاح زوجات النبي صلى الله عليه وسلم بعده لما أنه سبق أنهن زوجاته في الجنة

Mereka (para ulama) mengatakan, inilah salah satu sebab terlarangnya bagi istri-istri Nabi ﷺ menikah lagi setelah wafatnya nabi, sebab mereka akan menjadi istri-istrinya di surga.

(Faidhul Qadir, 3/195)

Pendapat lain adalah dia akan bersama suami yang paling baik akhlaknya, ada pula yang mengatakan dia akan bebas memilih dengan suami yang mana dia mau hidup bersama. Tapi, dua pendapat ini tidak ditopang dasar yang kuat.

Demikian. Wallahu A’lam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Wanita Pergi Haji Tanpa Mahram

🍃🌸 Wanita Pergi Haji Tanpa Mahram: BOLEH menurut mayoritas ulama, dan Inilah yang benar menurut Imam An Nawawi 🌸🍃

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Imam Asy Syafi’i Rahimahullah:

ونقل قولاً عن الشافعي أنها تسافر وحدها إذا كان الطريق آمناً

Dikutip perkataan dari Imam Asy Syafi’i bahwa seorang wanita boleh safar seorang diri (untuk haji) jika kondisi jalan aman. ( Subulus Salam, 2/183)

Imam An Nawawi Rahimahullah:

وقال عطاء وسعيد بن جبير وبن سيرين ومالك والأوزاعي والشافعي في المشهور عنه لا يشترط المحرم بل يشترط الأمن على نفسها قال أصحابنا يحصل الأمن بزوج أو محرم أو نسوة ثقات ولا يلزمها الحج عندنا الا بأحد هذه الأشياء فلو وجدت امرأة واحدة ثقة لم يلزمها لكن يجوز لها الحج معها هذا هو الصحيح

Dan berkata ‘Atha, Said bin Jubeir, Ibnu Sirin, Malik, Al Auza’i, Asy Syafi’i, dan yang masyhur darinya bahwa adanya mahram bukan syarat, tetapi yang menjadi syarat adalah adanya rasa aman bagi dirinya. Para sahabat kami (Syafi’iyah) mengatakan bahwa rasa aman itu bisa diperoleh dengan suami atau mahram atau wanita-wanita terpercaya, bagi kami kaum wanita tidaklah wajib baginya kecuali satu di antara hal-hal ini, seandainya dia dapatkan satu orang wanita terpercaya maka boleh baginya haji bersamanya. DAN INILAH YANG BENAR. ( Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 9/104)

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

.وقال ابن تميمة: إنه يصح الحج من المرأة بغير محرم ومن غير المستطيع

Imam Ibnu Taimiyah berkata: bahwa Sah  hajinya seorang wanita yang pergi tanpa mahram dan hajinya orang yang tidak mampu. ( Subulus Salam, 2/184)

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:

وإنما اختلفوا فيما كان واجبا واستنبط منه بن حزم جواز سفر المرأة بغير زوج ولا محرم لكونه صلى الله عليه و سلم لم يأمر بردها ولا عاب سفرها

Para ulama berselisih pendapat tentang safarnya wanita dalam ibadah yang wajib. Imam Ibnu Hazm berpendapat bolehnya safar seorang wanita tanpa suaminya atau tanpa mahramnya sebab kenyataannya Nabi ﷺ tidak memerintahkan wanita itu untuk kembali dan tidak  mencela safarnya. ( Fathul Bari, 4/78)

Imam Ibnu Hajar Rahimahullah:

واستدل بحديث عائشة هذا على جواز حج المرأة مع من تثق به ولو لم يكن زوجا ولا محرما

Hadits ‘Aisyah ini menjadi dalil bolehnya haji seorang wanita bersama orang-orang terpercaya walau pun tidak bersama suaminya dan tanpa mahramnya. ( Fathul Bari, 4/75)

✅ Hadits Aisyah Radhiallahu ‘Anha yang mana yang dimaksud? Yaitu pertanyaan Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نَغْزُو وَنُجَاهِدُ مَعَكُمْ فَقَالَ لَكِنَّ أَحْسَنَ الْجِهَادِ وَأَجْمَلَهُ الْحَجُّ حَجٌّ مَبْرُورٌ فَقَالَتْ عَائِشَةُ فَلَا أَدَعُ الْحَجَّ بَعْدَ إِذْ سَمِعْتُ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Wahai Rasulullah, boleh kami berperang dan berjihad bersamamu?

Nabi bersabda: “Jihad terbaik dan terindah adalah haji yang mabrur.”

Lalu ‘Aisyah berkata: “Maka aku tidak pernah meninggalkan haji setelah aku mendengarkan perkataan ini dari  Rasulullah ﷺ .” (HR. Al Bukhari No. 1728)

Hadits ini juga di komentara Imam Ibnu Baththal Rahimahullah sebagai berikut:

هذه الحال ترفع تحريج الرسول ( صلى الله عليه وسلم ) عن النساء المسافرات بغير ذى محرم ، كذلك قال مالك والأوزاعى والشافعى : تخرج المرأة فى حجة الفريضة مع جماعة النساء فى رفقة مأمونة وإن لم يكن معها محرم ، وجمهور العلماء على جواز ذلك ، وكان ابن عمر يحج معه نسوة من جيرانه ، وهو قول عطاء وسعيد بن جبير وابن سيرين والحسن

Keadaan ini menghilangkan larangan Rasulullah ﷺ bagi wanita yang safar tanpa mahram, demikian juga perkataan Malik, Al Auza’i, Asy Syafi’i: “Keluarnya wanita pergi haji yang wajib bersama jamaah wanita yang terpercaya, walau tidak ada mahram bersamanya. MAYORITAS ULAMA MEMBOLEHKAN ITU. Dahulu Ibnu Umar haji bersama wnaita tetangganya. Ini merupakan pendapat ‘Atha, Sa’id bin Jubeir, Ibnu Sirin, dan Al Hasan Al Basri. ( Syarh Shahih Al Bukhari, 4/532)

✅ Lalu bagaimana dengan hadits “Janganlah seorang wanita bepergian KECUALI bersama mahramnya”?

Hadits tersebut dikomentari oleh para ulama, sebagai berikut:

وحمله مالك وجمهور الفقهاء على الخصوص ، وأن المراد بالنهى الأسفار غير الواجبة عليها بعموم قوله تعالى : ( وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ ) [ آل عمران : 97 ] فدخلت المرأة فى عموم هذا الخطاب ولزمها فرض الحج ، ولا يجوز أن تُمنع المرأة من الفروض كما لا تمنع من الصلاة والصيام ؛ ألا ترى أن عليها أن تهاجر من دار الكفر إلى دار الإسلام إذا أسلمت فيه بعير محرم ، وكذلك كل واجبٍ عليها أن تخرج فيه ، فثبت بهذا أن نهيه عليه السلام أن تسافر المرأة مع غير ذى محرم أنه أراد بذلك سفرًا غير واجب عليها ، والله أعلم

Malik dan MAYORITAS ULAMA mengartikannya secara khusus (bukan untuk semua safar), maksud larangan tersebut adalah untuk safar-safar yang TIDAK WAJIB, berdasarkan keumuman firman Allah ﷻ :  mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah (QS. Ali Imran: 97), dan kaum wanita termasuk pada keumuman pembicaraan ayat ini dan kewajiban haji.

Dan, TIDAK BOLEH MELARANG WANITA dari kewajiban-kewajiban, sebagaimana tidak boleh melarang mereka dari shalat dan puasa. Tidakkah Anda melihat, bahwa wanita diwajibkan berhijrah dari negeri kafir ke negeri Islam, jika di negeri kafir dia tidak memiliki mahram? Maka, demikian juga semua kewajiban yang mengharuskannya dia keluar dari negerinya. Maka, dengan ini telah pasti bahwa larangan Nabi ﷻ tentang safarnya kaum wanita tanpa mahram adalah pada perjalanan yang tidak wajib baginya. Wallahu A’lam ( Syarh Shahih Al Bukhari, 4/532-533)

Namun demikian, dengan mahram atau suaminya tentu lebih baik.

✅ Sebagian ulama ada yang tetap melarang wanita  haji tanpa suami dan mahram, karena menurut mereka larangan tersebut berlaku untuk semua safar. Inilah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur. (Ibid, 4/532)

Demikian. Wallahu A’lam

☘🌺🌴🌸🌻🌾🌷🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top