Syarah Hadits Arbain Nawawiyah (Bag. 12)

SYARAH HADITS KETIGA, Lanjutan

2⃣ Dua Kalimat Syahadat Merupakan Pelindung

Sedangkan konsekuensi bagi saudara muslim lainnya, maka hendaknya melindungi muallaf baru ini baik darah, harta, dan kehormatannya, dan disikapi seperti muslim lainnya. Dia sudah berhak mendapatkan waris atau mewariskan dengan sesama umat islam lainnya yang senasab dengannya atau karena faktor pernikahan. Dia sudah berhak diberikan dan dijawab salamnya secara wajar, dan sikap-sikap lainnya yang diajarkan syariat terhadap sesama muslim.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله، ويقيموا الصلاة، ويؤتوا الزكاة، فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحق الإسلام، وحسابهم على الله

“Aku diutus untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi (bersyahadat), bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan jika mereka telah melakukan ini maka mereka terjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam, dan atas Allah-lah perhitungan mereka.” (HR. Bukhari No. 25 dan Muslim No. 36)

Hadits yang mulia ini telah menegaskan pula kepada kita bahwa tujuan Beliau diutus adalah agar manusia mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, dan zakat. Tentunya tidak melupakan kewajiban-kewajiban lain kebagaimana disebutkan dalam riwayat yang masyhur, bahwa Islam dibangun dengan lima rukun.

Al Hafizh Ibnu Hajar (w. 852H) mengomentari hadits ini:

جُعِلَتْ غَايَة الْمُقَاتَلَة وُجُود مَا ذُكِرَ ، فَمُقْتَضَاهُ أَنَّ مَنْ شَهِدَ وَأَقَامَ وَآتَى عُصِمَ دَمه وَلَوْ جَحَدَ بَاقِيَ الْأَحْكَام ، وَالْجَوَاب أَنَّ الشَّهَادَة بِالرِّسَالَةِ تَتَضَمَّن التَّصْدِيق بِمَا جَاءَ بِهِ

“Dijadikannya tujuan peperangan adalah demi eksistensi apa-apa yang telah disebutkan (syahadat, shalat, dan zakat, pen), maka konsekuensinya bahwa siapa saja yang telah bersaksi, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat, maka telah dijaga darahnya walau dia masih berpaling pada hukum-hukum lainnya. Dan jawabannya adalah bahwa sesungguhnya kesaksian terhadap risalah (Islam) membawa konsekuensi meyakini apa pun yang datang bersamanya.” (Fathul Bari, 1/76. Darul Fikr)

3⃣ Dua kalimat Syahadat Merupakan Intisari Ajaran Kandungan Islam

Jika kita perhatikan semua kandungan ajaran Islam yang tertera dalam Al Quran dan As Sunah, baik cakupan individu, keluarga, atau komunitas, negara atau antara negara, ekonomi, budaya, politik, pendidikan, militer, dakwah, jihad, silaturrahim, menutup aurat, puasa, shalat, berkata baik dan benar, dan semua jenis perbuatan baik, maka semua ini memiliki satu tema yang sama yakni ibadah dan pengabdian kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Berada di mana pun dan profesi positif apa pun, semuanya bisa bernilai ibadah di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah tujuan dari penciptaan jin dan manusia.

Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah (w. 728H) memberikan definisi ibadah yang sangat konprehensif sebagai berikut:

” الْعِبَادَةُ ” هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَيَرْضَاهُ : مِنْ الْأَقْوَالِ ، وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ ؛ فَالصَّلَاةُ ، وَالزَّكَاةُ ، وَالصِّيَامُ ، وَالْحَجُّ ، وَصِدْقُ الْحَدِيثِ ، وَأَدَاءُ الْأَمَانَةِ ، وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ ، وَصِلَةُ الْأَرْحَامِ ، وَالْوَفَاءُ بِالْعُهُودِ ، وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ ، وَالْجِهَادُ لِلْكُفَّارِ وَالْمُنَافِقِينَ ، وَالْإِحْسَانُ إلَى الْجَارِ ، وَالْيَتِيمِ ، وَالْمِسْكِينِ ، وَابْنِ السَّبِيلِ ، وَالْمَمْلُوكِ مِنْ الْآدَمِيِّينَ وَالْبَهَائِمِ ، وَالدُّعَاءُ ، وَالذِّكْرُ ، وَالْقِرَاءَةُ ، وَأَمْثَالُ ذَلِكَ مِنْ الْعِبَادَةِ . وَكَذَلِكَ حُبُّ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَخَشْيَةُ اللَّهِ وَالْإِنَابَةُ إلَيْهِ ، وَإِخْلَاصُ الدِّينِ لَهُ ، وَالصَّبْرُ لِحُكْمِهِ ، وَالشُّكْرُ لِنِعَمِهِ ، وَالرِّضَا بِقَضَائِهِ ، وَالتَّوَكُّلُ عَلَيْهِ ، وَالرَّجَاءُ لِرَحْمَتِهِ ، وَالْخَوْفُ لِعَذَابِهِ ، وَأَمْثَالُ ذَلِكَ هِيَ مِنْ الْعِبَادَةِ لِلَّهِ

“Ibadah adalah nama yang mencakup untuk segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan, amal batin dan lahir. Maka, shalat, zakat, puasa, haji, jujur dalam berkata, memenuhi amanah, berbakti kepada dua orang tua, silaturrahim, menepati janji, amar ma’ruf, nahi munkar, jihad melawan orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, budak, hewan, doa, dzikir, membaca, dan yang sepertinya, itu semua termasuk ibadah. Demikian juga mencintai Allah dan RasulNya, takut kepada Allah dan kembali kepadaNya, ikhlas dalam beragama untukNya, sabar atas hukumNya, syukur atas nikmatNya, ridha atas ketetapanNya, tawakal kepadaNya, mengharap rahmatNya, takut atas adzabNya, dan yang semisal itu, juga termasuk ibadah kepada Allah Ta’ala.” (Al Fatawa Al Kubra, 7/257)

Beliau juga berkata:

أَنَّ الْعِبَادَةَ تَتَضَمَّنُ كَمَالَ الْحُبِّ الْمُتَضَمِّنِ مَعْنَى الْحَمْدِ ، وَتَتَضَمَّنُ كَمَالَ الذُّلِّ الْمُتَضَمِّنِ مَعْنَى التَّعْظِيمِ ، فَفِي الْعِبَادَةِ حُبُّهُ وَحَمْدُهُ عَلَى الْمَحَاسِنِ ، وَفِيهَا الذُّلُّ النَّاشِئُ عَنْ عَظَمَتِهِ وَكِبْرِيَائِهِ

“Bahwa Ibadah adalah mencakup di dalamnya totalitas rasa cinta, mencakup di dalamnya makna pujian, mencakup totalitas merendahkan diri, mencakup makna pengagungan, maka dalam ibadah terdapat cinta kepadaNya dan pujian kepadaNya atas segala bentuk kebaikan, dan dalam ibadah ada kerendahan pada malam hari terhadap keagunganNya dan kebesaranNya.” (Al Fatawa Al Kubra, 7/348)

Sedangkan Imam Ibnu Katsir Rahimahullah (w. 774H), mendefinisikan makna ibadah secara syara’ adalah:

وفي الشرع: عبارة عما يجمع كمال المحبة والخضوع والخوف

“Secara syariat, (makna ibadah) adalah semua makna (‘ibarah) tentang apa-apa yang mencakup kesempurnaan cinta, ketundukan, dan rasa takut.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1/134. Dar ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)

Demikianlah intisari dua kalimat syahadat, Laa Ilaha Illallah Muhammadurrasulullah.

(Bersambung …. Masih hadits 3)

🍃🌸🌾🌻🌷🌿☘🌳🌺

✏ Farid Nu’man Hasan

Minum Pil Penunda Haid Untuk Umrah dan Haid

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum…
Mohon maaf ust,minta dijelaskan :”menunda haid bagi perempuan dg minum obat,krn sedang ibadah umroh .bagaimana,apakah boleh? Syukron (08155316xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah ..

Tidak apa-apa, asalkan tidak membahayakan dirinya, dan setelah konsultasi dgn doker.

Dalam Sunan Sa’id bin Manshur:

أن ابن عمر سئل عن المرأة تشرب الدواء ليرتفع حيضها لتنفر فلم يرَ بأسا

Bahwa Ibnu Umar ditanya tentang wanita yg minum obat utk menghentikan haidnya saat dia pergi, Beliau tidak mempermasalahkan itu.

Ma’mar Rahimahullah berkata:

سمعت ابن أبي نجيح يُسأل عن ذلك فلم يرَ به بأسًا

Aku mendengar Ibnu Abi Najih ditanya tentang hal itu, maka menurutnya itu tidak masalah.

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz dan Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan:

يجوز للمرأة أخذ حبوب منع الحيض بالحج، إذا لم تضرها واستشارت الطبيب

Boleh bagi wanita mengambil ramuan untuk mencegah haid saat haji, jika tidak membahayakannya dan dikonsultasikan dengan dokter.

Demikian. Wallahu a’lam

🍄🌷🌴🌱🌸🍃🌵🌾🌹

✍ Farid Nu’man Hasan

Jihad Islam; Memerangi Musuh Karena Kekafiran Musuh Semata Atau Karena Mereka Menyerang Terlebih Dulu kepada Islam?

💦💥💦💥💦💥

Pendapat yang menyebutkan bahwa peperangan umat Islam dengan orang kafir (termasuk Yahudi), adalah karena faktor permusuhan dan penyerangan mereka terhadap kaum muslimin, adalah pendapat yang kuat.

Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal, lalu dikuatkan oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam kitab Risalah Qital. Pendapat inilah yang difatwakan oleh Syaikh Hasan Al Banna dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, namun sayangnya pendapat ini disebut oleh sebagian kalangan sebagai fatwa yang jahat. Laa haulaa walaa quwwata illa billah…

Ada pun Imam Syafi’i berpendapat bahwa peperangan melawan orang kafir adalah karena mereka kafir, bukan karena mereka menyerang dahulu, alias perang itu ofensif.

Perlu dketahui, sebagian ulama Arab Saudi telah mengingkari kitab Risalah Qital sebagai bagian dari Majmu’ Fatawa-nya Imam Ibnu Taimiyah. Namun, para ulama seperti Syaikh Abu Zahrah, Syaikh Abdullah bin Zaid bin Ali Mahmud Al Hambali (seorang Hakim di Qatar yang bermadzhab Hambali), juga ulama Arab Saudi seperti Syaikh Abdullah Al Qadiri Al Ahdal, menguatkannya bahwa itu memang merupakan risalah Imam Ibnu Taimiyah.

📌 Pendapat Imam Ibnu Taimiyah

Beliau juga menjelaskan dalam kitabnya As Siyaasah Asy Syar’iyyah:

…لأن القتال هو لمن يقاتلنا إذا أردنا إظهار دين الله كما قال الله تعالى : { وقاتلوا في سبيل الله الذين يقاتلونكم ولا تعتدوا إن الله لا يحب المعتدين }

“…. Karena sesungguhnya peperangan adalah bagi siapa saja yang memerangi kita,  jika kita menghendaki kemenangan bagi agama Allah, sebagaimana firman Allah Ta’ala: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al Baqarah (2): 190)

Syaikhul Islam juga mengatakan:

وذلك أن الله تعالى أباح من قتل النفوس ما يحتاج إليه في صلاح الخلق كما قال الله تعالى : { والفتنة أكبر من القتل } أي أن القتل وإن كان فيه شر وفساد ففي فتنة الكفار من الشر والفساد ما هو أكبر منه

Dengan demikian Allah Ta’ala membolehkan pembunuhan jika itu dibutuhkan bagi kemaslahatan hamba. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan. (QS. Al Baqarah (2): 217) yaitu bahwa jika pada pembunuhan  memiliki keburukan dan kerusakan, maka fitnah yang dilakukan oleh orang kafir (karena menyerang kita, pen) adalah lebih buruk dan lebih merusak dari pada pembunuhan (terhadap orang kafir,pen)  itu sendiri. (Imam Ibnu Taimiyah, As Siyaasah Asy Syar’iyyah, Hal. 159. Darul Ma’rifah)

Demikianlah pendapat Imam Ibnu Taimiyah yang begitu jelas, bahwa peperangan terjadi karena kaum kafir menyerang kita, oleh karenanya kita dilarang menyerang yang tidak menyerang kita, seperti anak-anak, kaum wanita, dan orang jompo. Jika kita memerangi manusia dengan sebab semata-mata kekafirannya, sudah barang tentu habislah orang kafir kita perangi tanpa kecuali.

📌Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah

Beliau berkata dalam kitabnya yang berjudul  Hidaayah Al Hiyari:

ومن تأمل سيرة النبي صلى الله عليه و سلم تبين له انه لم يكره أحدا على دينه قط وانه انما قاتل من قاتله وأما من هادنه فلم يقاتله ما دام مقيما على هدنته لم ينقض عهده بل أمره الله تعالى أن يفي لهم بعهدهم ما استقاموا له كما قال تعالى فما استقاموا لكم فاستقيموا لهم ولما قدم المدينة صالح اليهود وأقرهم على دينهم فلما حاربوه ونقضوا عهده وبدؤوه بالقتال قاتلهم فمن على بعضهم وأجلى بعضهم وقتل بعضهم وكذلك لما هادن قريشا عشر سنين لم يبدءهم بقتال حتى بدءوا هم بقتاله ونقضوا عهده فعند ذلك عزاهم في ديارهم وكانوا هم يغزونه

Bagi siapa yang memperhatikan sirah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, akan jelas baginya bahwa Beliau tidak pernah sekali pun memaksakan seseorang untuk masuk keagamanya (Islam). Sesungguhnya Beliau hanyalah memerangi  orang yang memeranginya, ada pun yang mau berdamai dengannya Beliau tidak akan memeranginya, selama perjanjian itu berlaku dan dia tidak melanggarnya. Bahkan Allah Ta’ala  memerintahkan Beliau untuk menepati janji dengan mereka, sejauh mereka konsisten berlaku lurus dengan janji itu, sebagaimana firman Allah Ta’ala: maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. (QS. At Taubah (9): 7)

Ketika Beliau datang ke Madinah, Beliau berdamai dengan Yahudi dan mengakui agama mereka. Namun ketika mereka memeranginya dan melanggar janjinya serta memulai menyerangnya dengan peperangan, maka Beliau pun memerangi mereka, sebagian mereka diusir, sebagian lagi diperangi. Demikian juga ketika Beliau berdamai dengan Quraisy selama sepuluh tahun, Beliau tidak pernah memulai penyerangan terhadap mereka sampai mereka dahulu yang memeranginya dan melanggar janjinya. Nah, saat itulah Beliau memerangi mereka di negeri mereka padahal dahulu mereka dulu yang memerangi Beliau. (Lihat Imam Ibnul Qayyim, Hidaayah Al Hiyari fi Ajwibah Al Yahuud wan Nashaara, Hal. 12. Al Jami’ah Al Islamiyah, Madinah Al Munawarah)

Apa yang dijelaskan oleh Imam Ibnul Qayyim amat jelas, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah memerangi orang kafir (offensive), kecuali jika mereka menyerang dulu (defensive). Dan, sikap dengan Yahudi di Madinah pun juga demikian, Beliau memeranginya lantaran mereka dulu yang menyerang dan melanggar janji, barulah Beliau menyerang mereka. Apa artinya ini? Islam tidaklah memerangi orang kafir karena aqidahnya, tapi karena mereka menyerang umat Islam terlebih dahulu. Demikianlah pandangan Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah.

Selanjutnya ……….

📌Imam Ibnu Katsir Rahimahullah

Beliau menjelaskan dalam tafsirnya, ketika menjelaskan surat Al Baqarah ayat 190:

قال أبو جعفر الرازي، عن الربيع بن أنس، عن أبي العالية في قوله تعالى: { وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ } قال: هذه أول آية نزلت في القتال بالمدينة، فلما نزلت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقاتل من قاتله، ويكف عَمَّن كف عنه حتى نزلت سورة براءة وكذا قال عبد الرحمن بن زيد بن أسلم حتى قال: هذه منسوخة بقوله: { فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ } [التوبة: 5] وفي هذا نظر؛ لأن قوله: { الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ } إنما هو تَهْييج وإغراء بالأعداء الذين همّتْهم قتال الإسلام وأهله، أي: كمايقاتلونكم فقاتلوهم أنتم

Berkata Abu Ja’far Ar Razi, dari Ar Rabi’ bin Anas, dari Abul ‘Aliyah, tentang firmanNya: (Berperanglah  di jalan Allah terhadap orang-orang yang memerangi kalian), dia berkata: ini adalah ayat pertama tentang perang yang diturunkan di Madinah, maka ketika ayat ini turun RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerangi orang yang memeranginya. Dia menahan diri terhadap orang yang tidak mengganggunya, sampai turunnya surat Bara’ah. Demikian juga yang dikatakan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, katanya: ayat ini mansukh (dihapus) dengan ayat: (maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kalian menemukan mereka) (QS. At Taubah (9): 5), namun pendapat ini (yang mengatakan mansukh,pen) perlu dipertimbangkan. Karena firmanNya : (Orang-orang yang memerangi kalian), itu adalah sebagai penggerak dan pembangkit untuk melawan musuh yang telah menyusahkan mereka dengan memerangi Islam dan pemeluknya, yaitu sebagaimana mereka memerangi kalian, maka kalian perangilah mereka. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/523. Cet. 2, 1999M-1420H. Dar Ath Thayyibah. Tahqiq: Saami bin Muhammad Salaamah)

Sangat jelas, Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa peperangan dengan orang kafir terjadi karena kaum kafir memerangi Islam dan pemeluknya, bukan karena aqidah mereka yang kafir. Dan Beliau pun menyanggah pihak yang mengatakan bahwa ayat Al Baqarah 190 telah mansukh.

📌 Imam Muhammad Al Khathib Asy Syarbini Rahimahullah

Beliau salah seorang ulama bermadzhab Syafi’iyah, mengatakan:

وَوُجُوبُ الْجِهَادِ وُجُوبُ الْوَسَائِلِ لَا الْمَقَاصِدِ ، إذَا الْمَقْصُودُ بِالْقِتَالِ إنَّمَا هُوَ الْهِدَايَةُ وَمَا سِوَاهَا مِنْ الشَّهَادَةِ ، وَأَمَّا قَتْلُ الْكُفَّارِ فَلَيْسَ بِمَقْصُودٍ حَتَّى لَوْ أَمْكَنَ الْهِدَايَةِ بِإِقَامَةِ الدَّلِيلِ بِغَيْرِ جِهَادٍ كَانَ أَوْلَى مِنْ الْجِهَادِ

Kewajiban jihad adalah kewajiban yang bernilai sebagai sarana (al wasaail) bukan maksud (al maqaashid). Jika maksud dari peperangan adalah mengantarkan hidayah dansyahadah (kesaksian), maka memerangi orang kafir bukanlah tujuannya. Sehingga, jika memungkin hidayah dapat disampaikan dengan menegakkan dalil tanpa jihad, maka itu lebih utama dibanding jihad. (Imam Asy Syarbini,Mughni Muhtaj, 17/226. Mawqi’ Al Islam)

Ya, jika memang memerangi orang kafir karena kekafirannya, maka tentunya tidak ada kompromi dengan cara lainnya. Namun, di sini Imam Asy Syarbini mengatakan bahwa jika tujuan jihad adalah tersampaikannya hidayah dan mereka mau bersyahadat, dan ternyata ada cara lain yang lebih mungkin dan tepat, maka cara itulah yang digunakan, bukan dengan perang.

Wallahu a’lam. Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa shahbihi wa sallam.

🌴🍃🌸☘🌷🌺🌾🌻

✏ Farid Nu’man Hasan

Sholat Sunah Dua Rakaat Sebelum Jima’ Untuk Pengantin Baru

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz
Saya ingin bertanya, apakah sholat sunnah dua rakaat sebelum melakukan jima’ harus dilakukan? Bolehkah melakukan jima tanpa didahului oleh sholat sunnah dua rakaat?

Terima kasih

📬 JAWABAN

Wa ‘alaikumussalam wa Rahmatullah …,
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Hal ini tidak ada sunahnya dari Nabi ﷺ, tapi diriwayatkan dari sebagian sahabat Nabi ﷺ bahwa menjelang mereka mendatangi istrinya di malam pertama, mereka melakukan shalat dua rakaat, bahkan bersama istrinya.

Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ مَوْلَى أَبِي أُسَيْدَ قَالَ : تَزَوَّجْتُ وَأَنَا مَمْلُوكٌ فَدَعَوْتُ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِيهِمَ ابْنُ مَسْعُودٍ ، وَأَبُو ذَرٍّ وَحُذَيْفَةُ قَالَ : وَأُقِيمَتِ الصَّلاَةُ قَالَ : فَذَهَبَ أَبُو ذَرٍّ لِيَتَقَدَّمَ فَقَالُوا : إلَيْكَ ، قَالَ : أَوَ كَذَلِكَ ؟ قَالُوا : نَعَمْ ، قَالَ : فَتَقَدَّمْتُ إلَيْهِمْ وَأَنَا عَبْدٌ مَمْلُوكٌ وَعَلَّمُونِي فَقَالُوا : إذَا أُدْخِلَ عَلَيْكَ أَهْلُكَ فَصَلِّ عَلَيْكَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَ اللَّهَ تَعَالَى مِنْ خَيْرِ مَا دَخَلَ عَلَيْكَ وَتَعَوَّذْ بِهِ مِنْ شَرِّهِ ثُمَّ شَأْنَكَ وَشَأْنَ أَهْلِكَ

Dari Abu Said, budak Abu Usaid, Dia berkata, “Saya menikah ketika saya masih menjadi budak. Maka saya mengundang sejumlah shahabat Nabi ﷺ di antaranya ada Ibnu Mas’ud, Abu Zar dan Huzaifah, mereka mengajarkan kepadaku dengan berkata;

“Ketika kamu menemui isterimu, maka shalatlah dua rakaat. Kemudian memohonlah kepada Allah Ta’ala dari kebaikan yang dimasukkan kepadamu. Dan berlindunglah darinya. Kemudian setelah itu terserah urusan kamu dengan istrimu. ” (Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 17438, Al Mushannaf Abdirazzaq, No. 17153)

Kisah ini shahih menurut Syaikh Al Albani Rahimahullah. (Adabuz Zifaf, Hal. 22)

Jadi, silahkan shalat dua rakaat sebelum jima’, sebab itu menjadi sunah sebagian salafush shalih sejak masa sahabat Nabi ﷺ. Ini hanya pilihan saja yang sangat luwes, bagus dilakukan dan tidak apa-apa jika tidak di lakukan.

Wallahu A’lam

☘🌺🌻🌴🌷🌾🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top