Sekilas Seputar Zakat (Bag. 5)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

B.  Zakat Tijarah (Perniagaan)

Ini adalah pandangan jumhur ulama sejak zaman sahabat, tabi’in, dan fuqaha berikutnya, tentang wajibnya zakat harta perniagaan, ada pun kalangan zhahiriyah mengatakan tidak ada zakat pada harta perniagaan.

Zakat ini adalah pada harta apa saja yang memang diniatkan untuk didagangkan, bukan menjadi harta tetap dan dipakai sendiri.

Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah mengatakan tentang batasan barang dagangan:

ولو اشترى شيئًا للقنية كسيارة ليركبها، ناويًا أنه إن وجد ربحًا باعها، لم يعد ذلك مال تجارة بخلاف ما لو كان يشتري سيارات ليتاجر فيها ويربح منها، فإذا ركب سيارة منها واستعملها لنفسه حتى يجد الربح المطلوب فيها فيبيعها، فإن استعماله لها لا يخرجها عن التجارة، إذ العبرة في النية بما هو الأصل، فما كان الأصل فيه الاقتناء والاستعمال الشخصي: لم يجعله للتجارة مجرد رغبته في البيع إذا وجد ربحًا، وما كان الأصل فيه الاتجار والبيع: لم يخرجه عن التجارة طروء استعماله. أما إذا نوى تحويل عرض تجاري معين إلى استعماله الشخصي، فتكفي هذه النية عند جمهور الفقهاء لإخراجه من مال التجارة، وإدخاله في المقتنيات الشخصية غير النامية

Seandainya seseorang membeli sesuatu untuk dipakai sendiri seperti mobil yang akan dikendarainya, dengan niat apabila mendatangkan keuntungan nanti dia akan menjualnya, maka itu juga bukan termasuk barang tijarah  (artinya tidak wajib zakat,  ). Hal ini berbeda dengan jika seseorang membeli beberapa buah mobil memang untuk dijual dan mengambil keuntungan darinya, lalu jika dia mengendarai dan menggunakan mobil itu untuk dirinya, dia menemukan adanya keuntungan dan menjualnya, maka apa yang dilakukannya yaitu memakai kendaraan itu tidaklah mengeluarkan status barang itu sebagai barang perniagaan. Jadi, yang jadi prinsip adalah niatnya. Jika membeli barang untuk dipakai sendiri, dia tidak meniatkan untuk menjual dan mencari keuntungan, maka hal itu tidak merubahnya menjadi barang tijarah walau pun akhirnya dia menjualnya dan mendapat keuntungan. Begitu juga sebaliknya jika seorang berniat merubah barang dagangan  menjadi barang yang dia pakai sendiri,  maka niat itu sudah cukup menurut pendapat mayoritas fuqaha (ahli fiqih) untuk mengeluarkan statusnya sebagai barang dagangan, dan masuk ke dalam kategori milik pribadi yang tidak berkembang. (Fiqhuz Zakah, 1/290)

Contoh si A membeli barang-barang meubel untuk dipakai dan ditaruh dirumah, maka ini tidak kena zakat, sebab tidak ada zakat pada harta yang kita gunakan sendiri seperti rumah, kendaraan, pakaian, walaupun berjumlah banyak kecuali jika itu diperdagangkan . Nah, jika si A membeli  barang-barang tersebut untuk dijual, maka barang tersebut wajib dikeluarkan zakatnya jika sudah mencapai nishabnya dan jika sudah satu haul (setahun), yaitu dengan cara ditaksir harganya dan dikeluarkan dalam bentuk harganya itu, sebanyak 1/40 harganya.

Abu Amr bin Himas menceritakan, bahwa ayahnya menjual kulit dan alat-alat yang terbuat dari kulit, lalu Umar bin Al Khathab berkata kepadanya:

يَا حِمَاسُ ، أَدِّ زَكَاةَ مَالَك ، فَقَالَ : وَاللَّهِ مَا لِي مَالٌ ، إنَّمَا أَبِيعُ الأَدَمَ وَالْجِعَابَ ، فَقَالَ : قَوِّمْهُ وَأَدِّ زَكَاتَهُ.

“Wahai Himas, tunaikanlah zakat hartamu itu.” Beliau menjawab: “Demi Allah, saya tidak punya harta, sesungguhnya saya cuma menjual kulit.” Umar berkata: “Perkirakan harganya, dan keluarkan zakatnya!” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 10557, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No.  7099, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7392)

Dari kisah ini, Imam Ibnu Qudamah mengatakan adanya zakat tijarah adalah ijma’, sebab tidak ada pengingkaran terhadap sikap Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu.

Beliau mengatakan:

وَهَذِهِ قِصَّةٌ يَشْتَهِرُ مِثْلُهَا وَلَمْ تُنْكَرْ ، فَيَكُونُ إجْمَاعًا

Kisah seperti ini masyhur (tenar), dan tidak ada yang mengingkarinya, maka hal ini menjadi ijma’. (Lihat Al Mughni, 5/414. Mawqi’ Al Islam)

Yang termasuk kategori ini, adalah hasil dari sewa menyewa. Tanah, kios, kebun, rumah, tidaklah ada zakatnya, tetapi jika disewakan maka harga sewa itu yang dizakatkan.

Syaikh Muhammad Khaathir Rahimahullah (mufti Mesir pada zamannya) berkata:

لا تجب فى الأرض المعدة للبناء زكاة إلا إذا نوى التجارة بشأنها

Tanah yang dipersiapkan untuk didirikan bangunan tidak wajib dizakati, kecuali diniatkan untuk dibisniskan dengan mengembangkannya. (Fatawa Al Azhar, 1/157. Fatwa 15 Muharam 1398)

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah (Mufti Arab Saudi pada zamannya)  ditanya:

س : إذا كان لدى الإنسان قطعة أرض ولا يستطيع بناءها ولا الاستفادة منها ، فهل تجب فيها الزكاة ؟
ج : إذا أعدها للبيع وجبت فيها الزكاة ، وإن لم يعدها للبيع أو تردد في ذلك ولم يجزم بشيء ، أو أعدها للتأجير فليس عليه عنها زكاة ، كما نص على ذلك أهل العلم ؛ لما روى أبو داود رحمه الله عن سمرة بن جندب -رضي الله عنه- قال : « أمرنا رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أن نخرج الصدقة مما نعده للبيع » .

Pertanyaan:

Jika manusia punya sebidang tanah dan dia tidak mampu mendirikan bangunan dan tidak pula bisa memanfaatkannya, apakah tanah itu wajib dizakati?

Jawaban:

Jika dia mempersiapkannya untuk dijual maka wajib dikelurkan zakat, jika tidak untuk dijual atau ragu-ragu dan belum pasti, atau  tidak untuk disewa, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya. Sebagaimana ulama katakan tentang hal itu, karena telah diriwayatkan oleh Abu Daud Rahimahullah, dari Samurah bin Jundub Radhiallahu ‘Anhu, katanya: “Kami diperintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengeluarkan zakat dari apa-apa yang diperdagangkan.”    (Majalah Al Buhuts Al Islamiyah, 56/124)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah ditanya:

س ـ أمتلك قطعة أرض ، ولا أستفيد منها ، وأتركها لوقت الحاجة ، فهل يجب علي أن أخرج زكاة عن هذه الأرض ؟ .. وإذا أخرجت الزكاة هل علي أن أقدر ثمنها في كل مرة ؟
ج ـ ليس عليك زكاة في هذه الأرض لأن العروض إنما تجب الزكاة في قيمتها ، إذا أعدت للتجارة ، والأرض والعقارات والسيارات والفرش ونحوها عروض لا تجب الزكاة في عينها ، فإن قصد بها المال أعني الدراهم بحيث تعد للبيع والشراء والاتجار ، وجبت الزكاة في قيمتها . وإن لم تعد كمثل سؤالك فإن هذه ليست فيها زكاة .

Pertanyaan:

Saya mempunyai sebidang tanah, namun tidak menghasilkan apa-apa dan saya biarkan begitu saja.  Wajibkah saya mengeluarkan zakat tanah tersebut ? Jika dikeluarkan zakatnya, wajibkah saya memperhitungkan zakatnya ?
Jawaban:

Tanah seperti ini tidak wajib dizakati. Semua barang wajib dizakati saat diperdagangkan. Pada dasarnya tanah, berbagai tanah milik (‘aqarat), kendaraan atau barang-barang lainnya, maka semuannya termasuk harta pemilikan dan tidak wajib dizakati kecuali jika dimaksudkan memperoleh uang, yakni diperjualbelikan atau diperdagangkan. (Fatawa Islamiyah, 2/140. Disusun oleh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnad)

Nishab zakat perniagaan adalah sama dengan zakat emas yakni jika sudah senilai dengan 85 gram emas. Besaran zakatnya 2,5 %. Zakat tijarah yang dikeluarkan adalah modal yang masih diputar plus keuntungan, lalu dikurangi hutang (kalau punya) dan pajak (kalau ada), lalu dikalikan 2,5%.

Bersambung …

🍃🌾🌸🌴🌺🌷🌻☘

✏ Farid Nu’man Hasan

Serial Sekilas Seputar Zakat

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 1)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 2)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 3)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 4)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 5)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 6)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 7)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 8)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 9)

Download E-book Sekilas Seputar Zakat oleh Farid Nu’man Hasan, di sini

Kapan Dosa Kecil Menjadi Dosa Besar?

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata:

اعلم : أن الصغيرة تكبر بأسباب : منها الإصرار والمواظبة . وفى الحديث من رواية ابن عباس رضى الله عنه، عن النبى صلى الله عليه وآله وسلم أنه قال : ” لا صغيرة مع إصرار ولا كبيرة مع استغفار ” . واعلم : أن العفو عن كبيرة قد انقضت ولم يتبعها مثلها، أرجى من العفو عن صغيرة يواظب عليها العبد . ومثال ذلك قطرات من الماء تقع على حجر متواليات، فإنها تؤثر فيه، ولو جمعت تلك القطرات فى مرة وصبت عليه لم تؤثر، ولهذا قال صلى الله عليه وآله وسلم ” أحب العمل إلى الله أدومه وإن قل ” . ومن الأسباب التي تعظم الصغائر أن يستصغر الذنب، فإن الذنب كلما استعظمه العبد، صغر عند الله تعالى، وكلما استصغره العبد، كبر عند الله تعالى، فإن استعظامه يصدر عن نفور القلب منه وكراهيته له . قال ابن مسعود رضى الله عنه : إن المؤمن يرى ذنوبه كأنه فى أصل جبل يخاف أن يقع عليه، وإن الفاجر يرى ذنوبه كذباب وقع على أنفه، فقال به هكذا . أخرجاه فى ” الصحيحين “

Ketahuilah, dosa kecil bisa menjadi dosa besar karena beberapa sebab, di antaranya:

📌 Melakukannya secara berulang-ulang dan terus melakukannya. Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi ﷺ bahwa Beliau bersabda: “Tidak ada dosa kecil jika diulang-ulang, dan tidak ada dosa besar jika meminta ampun”. Ketahuilah memohon ampun dari dosa besar dapat meluluhkannya selama dia tidak menyusul dengan perbuatan serupa, sementara menunda memohon ampun dari dosa kecil justru akan membuat seorang hamba dipenuhi olehnya.

Perumpamaannya seperti tetesan air hujan yang banyak menimpa batu bertubi-tubi akan memberikan dampak pada batu itu, namun seandainya air itu di satukan dan disiram dalam sekali guyuran maka tidaklah berdampak pada batu itu. Oleh karena itu Nabi ﷺ bersabda: “Amal yang paling Allah ﷻ  sukai adalah yang rutin walau sedikit.”

📌 Sebab lainnya adalah meremehkan dosa. Sesungguhnya ketika seorang hamba memandang besar dosanya, maka di sisi Allah ﷻ  itu kecil, kebalikannya ketika seorang hamba meremehkan dosanya maka di sisi Allah ﷻ itu besar. Sebab, sikap memandang besar sebuah dosa lahir dari hati yang membenci dan antipati terhadap hal itu.
Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu mengatakan: “Sesungguhnya seorang mu’min memandang dosanya bagaikan sedang berada di dasar gunung yang dia khawatir akan tertimpa oleh gunung tersebut,  sedangkan pelaku dosa memandang dosanya bagaikan lalat yang hingga di hudangnya saja (diremehkan, pen).” Perkataan seperti ini juga ada dalam Shahihain.

✅✅✅✅✅✅✅

📚 Imam Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhaj Al Qashidin, 4/10

🌷☘🌺🌴🌻🌾🌸🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 4)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

2⃣ Zakat Mal (Zakat Harta)

Zakat Mal mencakup beberapa jenis harta, yakni:

A.  Zakat Emas dan Perak

Kewajiban zakat emas dan perak, diperintahkan dalam Al Quran:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (34) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ (35)

34. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,
35. pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At Taubah (9): 34-35)

Khadimus Sunnah  Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

والزكاة واجبة فيهما، سواء أكانا نقودا، أم سبائك، أم تبرأ، متى بلغ مقدار المملوك من كل منهما نصابا، وحال عليه الحول، وكان فارغا عن الدين، والحاجات الاصلية.

Zakat diwajibkan atas keduanya (emas dan perak), sama saja apakah berupa mata uang, kepingan, atau masih gumpalan, pada saat dimiliki keduanya sudah mencapai nishab dan sudah se-haul (satu tahun) kepemilikannya, dan pemiliknya bebas dari hutang dan berbagai kebutuhan mendasar. (Lihat Fiqhus Sunnah, 1/339. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Nishab zakat emas adalah jika telah mencapai 20 Dinar dan selama satu tahun kepemilikan, maka zakatnya 1/40-nya, yakni setengah Dinar. (HR. Abu Daud No. 1573, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7325, dishahihkan Syaikh Al Albani. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1573)

Satu Dinar adalah 4,25 gram emas. Jadi, jika sudah memiliki 85 gram emas, maka dikeluarkan zakatnya 2,125 gram.

Nishab zakat perak adalah jika telah mencapai 200 Dirham selama setahun kepemilikan sebanyak 1/40-nya, yakni 5 dirham. (HR.  Abu Daud No. 1574, At Tirmdizi No. 620,  Ahmad No. 711, 1232,  Al Bazar No. 679, dan lainnya. Imam At Tirmidzi bertanya kepada Imam Bukhari, apakah hadits ini shahih? Beliau menjawab: “shahih.” Lihat Sunan At Tirmidzi No. 620)

Satu Dirham adalah 2,975 gram perak. Jadi, jika sudah memiliki 595 gram perak, maka dikeluarkan zakatnya 14,875 gram.

Bersambung …

🍃🌾🌻🌸🌴🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Serial Sekilas Seputar Zakat

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 1)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 2)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 3)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 4)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 5)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 6)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 7)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 8)

Sekilas Seputar Zakat (Bag. 9)

Download E-book Sekilas Seputar Zakat oleh Farid Nu’man Hasan, di sini

Zakat Fitri dengan Uang, Terlarangkah?

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum wr wb
Semoga ustadz di berikan umur yg panjang dan diberikan kesehatan yg prima sehingga dapat memberikan nasehat dan jawaban yg sesuai quran dan sunnah ke pada ummat.. dan tempata kami meniba ilmu .amin
pertanyaan. apakah zakat fitrah hanya diberikan dalam bentuk makanan saja sprt beras . gandum dan sejenis nya ?dan tidak sah kalau diberikan selain itu sprt uang? karena ada seorang tmn yg mengolok2 ulama yg membolehkan berzakat fitrah dgn uang.. dan kami ngak bisa membantahya .. karena keterbatasan kami… sukron khasiir (Dari Rahmat Mulyawan)

📬 JAWABAN

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d:

Zakat fitri (atau zakat fitrah menurut istilah sebagian ulama) yaitu zakat yang dikeluarkan pada saat menjelang hari raya, paling lambat sebelum shalat Idul Fitri, untuk mengenyangkan kaum fakir miskin saat hari raya, dan hukumnya wajib.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:

أي الزكاة التي تجب بالفطر من رمضان. وهي واجبة على كل فرد من المسلمين، صغير أو كبير، ذكر أو أنثى، حر أو عبد

Yaitu zakat yang diwajibkan karena berbuka dari Ramadhan (maksudnya: berakhirnya Ramadhan). Dia wajib bagi setiap pribadi umat Islam, anak-anak atau dewasa, laki-laki atau perempuan, merdeka atau budak. ( Fiqhus Sunnah, 1/412)

Beliau juga mengatakan:

تجب على الحر المسلم، المالك لمقدار صاع، يزيد عن قوته وقوت عياله، يوما وليلة. وتجب عليه، عن نفسه، وعمن تلزمه نفقته، كزوجته، وأبنائه، وخدمه الذين يتولى أمورهم، ويقوم بالانفاق عليهم.

Wajib bagi setiap muslim yang merdeka, yang memiliki kelebihan satu sha’ makanan bagi dirinya dan keluarganya satu hari satu malam. Zakat itu wajib, bagi dirinya, bagi orang yang menjadi tanggungannya, seperti isteri dan anak-anaknya, pembantu yang melayani urusan mereka, dan itu merupakan nafkah bagi mereka. ( Ibid, 1/412-413)

Harta yang dikeluarkan adalah makanan pokok di negeri masing-masing, kalau di negeri kita sebanyak (+/-) 2,5 Kg beras. Ini pandangan jumhur (mayoritas) imam madzhab seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal. Mereka menolak pembayaran zakat fitri dengan nilai harganya (uang), karena hal itu dianggap bertentangan dengan sunah nabi. Ini juga menjadi pandangan sebagian besar ulama kerajaan Arab Saudi, dan yang mengikuti mereka termasuk di tanah air.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

ذهب المالكية والشافعية والحنابلة إلى أنه لا يجوز دفع القيمة، لأنه لم يرد نص بذلك، ولأن القيمة في حقوق الناس لا تجوز إلا عن تراض منهم، وليس لصدقة الفطر مالك معين حتى يجوز رضاه أو إبراؤه.

Menurut pedapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, bahwasanya tidak boleh membayarkan harganya (pakai uang, pen), karena tidak adanya nash tentang hal itu, dan karena menentukan harga dalam urusan hak-hak manusia tidak diperbolehkan kecuali dengan keridhaan mereka, dan zakat fitri bukanlah menjadi milik seseorang sampai diperbolehkan oleh keridhaannya. ( Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 23/344)

Dasar pendapat ini adalah:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ أَوْ رَجُلٍ أَوْ امْرَأَةٍ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ

Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitri pada bulan Ramadhan untuk setiap jiwa kaum muslimin, baik yang merdeka atau budak laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ biji-bijian. (HR. Muslim No. 984)

Hadits ini menunjukkan bahwa yang mesti dikeluarkan dalam zakat fitri adalah makanan pokok pada sebuah negeri, sebagaimana contoh dalam hadits ini. Maka, menggunakan nilai atau harga dari makanan pokok merupakan pelanggaran terhadap sunah ini. Demikian menurut pendapat golongan ini.

Namun para imam besar sejak masa salaf pun tidak sedikit yang membolehkan dengan uang.
Seperti Imam Abu Hanifah, Beliau menyatakan bolehnya zakat fitri dengan uang.

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

وجوز أبو حنيفة إخراج القيمة سواء قدر على العين أم لم يقدر، فإن الزكاة حق الفقير، ولا فرق بين القيمة والعين عنده

Abu Hanifah membolehkan mengeluarkan harganya, sama saja apakah sama dengan bendanya atau tidak, karena zakat adakah hak faqir, maka menurutnya tidak ada bedanya antara harganya atau zatnya. ( Fiqhus Sunnah, 1/413)

Disebutkan dalam Al Mausu’ah sebuah penjelasan yang amat bagus, sebagai berikut:

وذهب الحنفية إلى أنه يجوز دفع القيمة في صدقة الفطر، بل هو أولى ليتيسر للفقير أن يشتري أي شيء يريده في يوم العيد؛ لأنه قد لا يكون محتاجا إلى الحبوب بل هو محتاج إلىملابس، أو لحم أو غير ذلك، فإعطاؤه الحبوب، يضطره إلى أن يطوف بالشوارع ليجد من يشتري منه الحبوب، وقد يبيعها بثمن بخس أقل من قيمتها الحقيقية، هذا كله في حالة اليسر، ووجود الحبوب بكثرة في الأسواق، أما في حالة الشدة وقلة الحبوب في الأسواق، فدفع العين أولى من القيمة مراعاة لمصلحة الفقير

Pendapat kalangan Hanafiyah adalah bolehnya membayarkan harga dari zakat fitri, bahkan itu lebih utama, agar faqir miskin lebih mudah membeli apa yang dia inginkan di hari raya, sebab dia tidak lagi membutuhkan gandum, tetapi yang dia butuhkan adalah pakaian, atau daging, atau lainnya. Memberikannya gandum, akan menyulitkannya yang dengannya dia mesti berkeliling pasar untuk menjual kepada orang yang mau membelinya, sekalipun terjual dia menjualnya dengan harga rendah dari harga sebenarnya, semua ini jika dalam keadaan mudah dan gandum banyak ditemukan di pasar. Ada pun jika dalam keadaan sulit, ketersediaan gandum begitu sedikit di pasar-pasar, maka membayarkan zakat fitri dengan makanan adalah lebih utama dibanding dengan harganya, dalam rangka menjaga maslahat orang faqir. ( Al Mausu’ah, 23/344-345)

Seperti dalam keadaan paceklik dan bencana alam, maka membayarkan zakat dengan uang justru tidak begitu bermanfaat, sebab yang mereka butuhkan saat itu adalah bahan makanan, atau makanan jadi, dan itu lebih mudah bagi mereka. Sebaliknya uang akan sulit dibelanjakan karena tidak adanya barang-barang dalam keadaan paceklik atau bencana.

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah mengatakan:

يجوز عند الحنفية أن يعطي عن جميع ذلك القيمة دراهم أو دنانير أو فلوساً أو عروضاً أو ما شاء؛ لأن الواجب في الحقيقة إغناء الفقير، لقوله صلّى الله عليه وسلم: «أغنوهم عن المسألة في مثل هذا اليوم» والإغناء يحصل بالقيمة، بل أتم وأوفر وأيسر؛ لأنها أقرب إلى دفع الحاجة، فيتبين أن النص معلل بالإغناء.

Membayarkan semua harganya adalah boleh menurut kalangan Hanafiyah, baik berupa dirham, dinar, fulus, atau barang berharga, atau apa saja yang dia mau, karena yang menjadi hakikat adalah kewajiban mencukupi kebutuhan orang faqir, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Penuhilah kebutuhan mereka, jangan sampai mereka berkeliling (untuk minta-minta) pada hari ini.” Dan, memenuhi kebutuhan mereka sudah tertutup dengan memberikan harganya, bahkan itu lebih sempurna, lebih cepat, dan lebih mudah, karena hal itu lebih dekat untuk mentunaikan kebutuhan, maka penjelasannya adalah bahwa nash menyebutkan adanya ‘ilat (sebab) yaitu memenuhi kebutuhan mereka. ( Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 3/2044)

Ini juga pendapat Imam Sufyan Ats Tsauri, Imam ‘Atha, Imam Al Hasan Al Bashri, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan juga sahabat nabi, seperti Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu dan Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu, membolehkannya dengan nilainya, sebab yang menjadi prinsip adalah terpenuhi kebutuhan fakir miskin pada hari raya dan agar mereka tidak meminta-minta pada hari itu.

Sebagaimana hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma:

فرض رسول الله صلى الله عليه و سلم زكاة الفطر وقال أغنوهم في هذا اليوم

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitri, Beliau bersabda: “Penuhilah kebetuhan mereka pada hari ini.” (HR. Ad Daruquthni, 2/152)

Dalam riwayat lain:

أَغْنُوهُمْ عَنْ طَوَافِ هَذَا الْيَوْمِ

Penuhilah kebutuhan mereka, jangan sampai mereka berkeliling (untuk minta-minta) pada hari ini. (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7528, Hadits ini didhaifkan oleh para ulama, seperti Imam Ibnu Hajar. (Bulughul Maram No. 628, Mawqi’ Ruh Al Islam), Imam An Nawawi (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/126), Syaikh Al Albani. (Tamamul Minnah, Hal. 388)

Dari riwayat ini, bisa dipahami bahwa yang menjadi substansi adalah terpenuhinya kebutuhan mereka ketika hari raya dan jangan sampai mereka mengemis. Pemenuhan kebutuhan itu bisa saja dilakukan dengan memberikan nilai dari kebutuhan pokoknya, atau juga dengan barangnya. Apalagi untuk daerah pertanian, bisa jadi mereka lebih membutuhkan uang dibanding makanan pokok, mengingat daerah seperti itu biasanya tidak kekurangan makanan pokok.

Ini juga menjadi pendapat dari Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah seorang ulam Syafi’iyyah:

وَالْإِغْنَاءُ قَدْ يَكُونُ بِدَفْعِ الْقِيمَةِ ، كَمَا يَكُونُ بِدَفْعِ الْأَصْل

Memenuhi kebutuhan dapat terjadi dengan membayarkan harganya, sama halnya dengan membayarkan yang asalnya. (Imam Abul Hasan Al Mawardi, Al Hawi fi Fiqh Asy Syafi’i, 3/179)

Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah, seorang imam dalam madzhab Hanafi mengatakan:

ثمَّ اعْلَم أَن الأَصْل فِي هَذَا الْبَاب أَن دفع الْقيمَة فِي الزَّكَاة جَائِز عندنَا، وَكَذَا فِي الْكَفَّارَة وَصدقَة الْفطر وَالْعشر وَالْخَرَاج وَالنّذر

Kemudian, ketahuilah pada dasarnya dalam masalah ini membayarkan harga dalam zakat adalah boleh menurut kami, begitu pula dalam membayar kaffarah, zakat fitri, al ‘asyr (kaffarat sumpah dengan memberikan makanan 10 orang faqir miskin, pen), pajak tanah, dan nadzar. ( ‘Umdatul Qari, 9/8)

Imam Al ‘Aini juga menyebutkan perkataan banyak ulama yang membolehkan seperti Sufyan Ats Tsauri, Asyhab, Ath Thurthusi, Ibnu Habib, Al Bukhari, dan beliau pun juga menyebutkan pihak yang melarang seperti Asy Syafi’i dan Malik, lalu akhirnya menguatkan pendapat kebolehan membayar zakat dengan uang sebagai pendapat yang lebih kuat. (Ibid)

Ini juga pendapat Al Hasan Al Bashri dan Umar bin Abdil Aziz. ( Al Mughni, 3/65)

Umar bin Abdul Aziz pernah mengirim surat kepada gubernur Bashrah agar mengambil zakat kepada pegawainya sebesar setengah dirham. (Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 3/174)

Al Hasan mengatakan: tidak apa-apa membayar zakat fitri dengan dirham. (Ibid)

Abu Ishaq berkata: Aku melihat manusia menunaikan zakat di bulan Ramadhan dengan dirham yang senilai dengan makanan. (Ibid)

Dari ‘Atha katanya: dahulu zakat fitri dibayar dengan warq (uang perak), tapi dia tidak menyukainya. (Ibid)

Imam Abur Rabi’ Sulaiman bin Abdil Qawwi mengatakan bahwa pendapat mereka tentang kebolehan bayar zakat dengan harganya merupakan pendapat yang sangat kuat. ( Syarh Mukhtashar Ar Raudhah, 3/731)

Imam Zainuddin Abu Abdillah Ar Razi juga mengatakan kebolehan membayarkan harga dari zakat fitri, kaffarat, kharaj (pajak tanah), nadzar, sedangkan hadyu dan qurban tidak boleh. ( Tuhfatul Muluk, 1/125)

Sebagaian ulama kontemporer, seperti Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullahu Ta’ala membolehkan dengan uang, jika memang itu lebih membawa maslahat dan lebih dibutuhkan oleh mustahiq, tapi jika tidak, maka tetaplah menggunakan makanan pokok.

Ini juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hanya saja Beliau membicarakannya bukan dalam konteks zakat fitri tapi zakat peternakan, bolehnya dibayarkan dengan uang jika memang itu lebih membawa maslahat, jika tidak ada maslahat, maka tetap tidak boleh menggunakan uang (harganya).

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Rahimahullah, salah satu guru dari Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, dia berkata:

وجوز ذلك أبو حنيفة رحمه الله، وإليه ميل البخاري في صحيحه، وشيخ الإسلام ابن تيمية، ولكن يشترط كون ذلك أنفع، واستدل البخاري وغيره على ذلك بأدلة قوية

Hal itu boleh menurut Abu Hanifah Rahimahullah, dan ini menjadi kecenderungan pendapat Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, tetapi dengan syarat bahwa hal itu lebih bermanfaat, dan dalam hal ini Imam Al Bukhari dan lainnya berdalil dengan dalil-dalil yang kuat. ( Fatawa wa Rasail Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 4/30)

Maka, … memperolok-olok pendapat “bolehnya zakat fitrah dengan harganya” (juga sebaliknya) adalah sikap tidak berakhlak dengan akhlak salaf, tidak menghormati pendapat ulama, sekaligus menunjukkan kedangkalan fiqihnya. Karena para ulama mengatakan: “Barangsiapa yang tidak tahu khilafiyah fiqih, maka orang tersebut belum mencium aroma fiqih.”

Meski bisa saja kita tidak menyetujui pendapat zakat fitri dengan uang ini, namun sangat tidak benar mencela para ulama yang mendukung pendapat ini; sebab mereka adalah para imam salaf, dan imam bagi kaum muslimin yang mesti dijaga kehormatannya.

Memang … hanya orang besar yang mampu menghormati orang besar ……..

Wallahu A’lam

🌸🌿🌺🌾🍃🌱🌴🌻☘💐

✍ Farid Nu’man Hasan

E-book Sekilas Seputar Zakat, oleh Farid Nu’man Hasan

http://depok.tanyasyariah.com/wp-content/uploads/2017/06/Sekilas-Seputar-Zakat.pdf

scroll to top