Jual Beli Air, Terlarang?

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz,
Bagaimana hukum nya orang yg menjual air isi ulang (RO, Filter). Ada sebagian pendapat yg membolehkan ada juga yg tidak, mohon penjelasannya ustadz.Jazakalloh ustadz… (0878805xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh..

Menjual air tidak akan lepas dr dua kedaan:

Pertama. Air bebas yg ada di sumur, sungai, telaga, yang menjadi milik bersama. Diambil lalu dijual begitu saja oleh seseorang atau sekelompok orang, maka ini tidak boleh.

Berkata Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah berkata dalam fatwanya:

أن يكون الماء في بئر أو نهر عام ليس ملكاً لأحد ، فهذا لا يجوز بيعه ؛

Keberadaan air di sumur, atau sungai, yg umum dan bukan milik pribadi, maka ini TIDAK BOLEH menjualnya. (selesai)

Dalilnya adalah:

 الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ : فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ

Kaum muslimin berserikat dalam 3 hal: rerumputan, air, dan api. (Hr. Abu Dawud no. 3477, Shahih menurut Al Hafizh Ibnu Hajar dalam At Talkhish Al Habir)

Hadits ini menunjukkan bahwa tiga benda ini merupakan milik bersama kaum muslimin, sehingga tidak boleh dijualbelikan, siapa pun berhak mengambil dan memanfaatkannya.

Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim Rahimahullah berkata dalam ‘Aunul Ma’bud:

الْمُرَاد الْمِيَاه الَّتِي لَمْ تَحْدُث بِاسْتِنْبَاطِ أَحَد وَسَعْيه كَمَاءِ َالْآبَار وَلَمْ يُحْرَز فِي إِنَاء أَوْ بِرْكَة أَوْ جَدْوَل مَأْخُوذ مِنْ النَّهَر

Yang dimaksud air di sini adalah air yang belum diusahakan/diproses atau dikerjakan oleh seorang pun, seperti air sumur. Dan belum dilindungi dalam bejana, wadah, atau dibuatkan saluran untuk diambil dari sungai.

Imam As Sindiy berkata:

وَبِالْمَاءِ مَاء السَّمَاء وَالْعُيُون وَالْأَنْهَار الَّتِي لَا تُمْلَك

Terhadap air, yaitu air yang dari langit, mata air, dan sungai, yang memang tidak ada pemiliknya.

Nah, ini penjelasan para ulama tentang air angin tidak boleh dijualbelikan.

Kedua. Air yg sudah diusahakan oleh manusia; dibor, atau disuling, disaring, dikemas, dan sebagainya. Di dalamnya ada tenaga, upaya, dan modal manusia. Maka yang seperti ini boleh dijualbelikan.

Syaikh Al Utsaimin Rahimahullah berkata:

أما إذا ملكه وحازه وأخرجه ووضعه في البركة ، فإنه يجوز بيعه ؛ لأنه صار ملكاً له بالحيازة

Ada pun jika air itu dimiliki dengan cara diusahakan, dibor, lalu diletakkan di wadah, maka dia boleh menjualnya, karena itu menjadi miliknya setelah diusahakannya. (Syarhul Mumti’, 8/140)

Imam As Sindiy Rahimahullah juga berkata:

فَالْمَاء إِذَا أَحْرَزَهُ الْإِنْسَان فِي إِنَائِهِ وَمِلْكه يَجُوز بَيْعه وَكَذَا غَيْره

Maka air jika sudah dimasukkan oleh manusia ke dalam wadah (kemasan), dan menjadi miliknya, maka boleh menjualnya, begitu juga yg lainnya (rumput dan api). (Selesai)

Syaikh Shalih Al Fauzan Hafizhahullah berkata:

إذا كان حاز الماء في وعائه أو بركته فإنه يملكه ويجوز له أن يبيعه ؛ لأنه حازه واستولى عليه وتعب في تحصيله ، فصار ملكًا له

Jika air tersebut hasil upayanya yg diletakkan di bejananya, maka itu jadi miliknya dan boleh menjualnya. Karena aktifitasnya itu menggunakan tenaga yang melelahkan maka dia berkuasa dan menjadi miliknya. (selesai)

Demikian. Wallahu a’lam

🌴🌱🌷🌸🌵🌾🌹🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Qunut Nazilah Adalah Hak Penguasa?

💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalaamu’alaykum,
slamat malam pak Ustadz,
Semoga Allah Ta’ala selalu memberikan kemudahan kekuatan serta kelapangan kepada Pak Ustadz utk menjadi Penolong agama ini dan menyebarluaskan agama ini kepada Saudara2 Muslim lainnya,
Aamiin

Tanya dunk:
berkaitan dgn kondisi saudara Muslim kita Rohingya dan lainya, apakah melakukan Qunut Nazilah harus ada instruksi dri penguasa/pemimpin…?? (08111348xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah ..

Sebagian ulama memang berpendapat bahwa Qunut Nazilah hanya disyariatkan atas instruksi pemimpin. Pendapat ini perlu dipertimbangkan lagi, apalagi untuk di negeri kita, bisa-bisa tidak pernah ada qunut Nazilah jika menunggu instruksi pemimpin.

Berikut ini ulasan Asy Syaikh Dr. Yusuf Ahmad Hafizhahullah dalam artikel QUNUT AN NAWAAZIL:

قال بعض الفقهاء : إن قنوت النوازل إنما يفعله إمام المسلمين ، أما عامة المسلمين فلا . وهذا القول فيه نظر لأمور :

الأول : أن الأصل في أفعال النبي صلى الله عليه وسلم العموم لجميع المسلمين ، إلا إذا دل الدليل الصريح على التخصيص . ولم يثبت في ذلك دليل ، فنبقى على الأصل وهو مشروعيته لجميع المسلمين .
الثاني : حديث مالك بن الحويرث رضي الله عنه مرفوعاً : ” صلوا كما رأيتموني أصلي ” أخرجه البخاري . فهذا الحديث صريح في أن أفعال النبي صلى الله عليه وسلم في الصلاة أنها لعموم المسلمين .
الثالث : أن أبا هريرة رضي الله عنه قنت وهو ليس بإمام للمسلمين ، كما ثبت في الصحيحين ـ وقد سبق ـ أن أَبا هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : ” لأقَرِّبَنَّ صَلَاةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقْنُتُ فِي الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ مِنْ صَلاةِ الظُّهْرِ وَصَلاةِ الْعِشَاءِ وَصَلاةِ الصُّبْحِ بَعْدَ مَا يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَيَدْعُو لِلْمُؤْمِنِينَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ ” .

Sebagian ahli fiqih mengatakan: Sesungguhnya qunut Nazilah hanyalah dilakukan oleh pemimpin kaum Muslimin, tidak diserahkan kepada umumnya umat Islam.

Pendapat ini perlu dipertimbangkan lagi dibeberapa sisi.

Pertama. Hukum asal dari segala perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah umum untuk semua kaum muslimin, kecuali ada dalil yang jelas yang mengkhususkannya. Dan tidak ada dalil pengkhususan tersebut. Oleh karena itu kembali hal ini disyariatkan secara umum kaum muslimin.

Kedua. Hadits dari Malik bin Al Huwairits Radhiyallahu ‘Anhu secara marfu’:

Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat. (HR. Al Bukhari)

Hadits ini begitu jelas menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan dalam shalat Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam berlaku umum buat semua umat Islam.

Ketiga. Bahwasanya Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berqunut Nazilah padahal dia bukan seorang pemimpin. Hal ini diriwayatkan dalam Shahihain bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

Aku benar-benar dekat dengan shalatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dulu Abu Hurairah berqunut saat rakaat akhir pada shalat zhuhur, isya, dan subuh. Dia membaca setelah sami’allahu Liman hamidah doa bagi kaum mukminin dan laknat bagi kaum kuffar. (HR. Bukhari Muslim)

(Selesai dari Syaikh Dr. Yusuf Ahmad Hafizhahullah)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌹🍀🌸🍃🎋☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Wisata Ke Candi

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Ustadz, apa benar wisata ke candi itu haram? (08131816xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah …

Untuk berkunjung ke rumah ibadah non musim (gereja, Sinagog, kuil, klenteng, candi) ..

Ada 3 pendapat, berikut ini penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid Hafizhahullah:

القول الأول : التحريم ، وهو قول الحنفية والشافعية إلا أن الشافعية قيدوا التحريم بوجود الصور ، كما في ” تحفة المحتاج ” ( 2 / 424 ) و ” نهاية المحتاج ” ( 2 / 63 ) و ” حاشيتا قليوبي وعميرة على شرح المحلي ” ( 4 / 236 ) .
أما الحنفيَّة فكان تحريمهم مطلقا ، وعللوه بأنها مأوى الشياطين ، كما قال ابن نجيم من الحنفية في ” البحر الرائق ” ( 7 / 364 ) ، وفي ” حاشية ابن عابدين ” ( 2 / 43 ) .

1. HARAM

Inilah pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah, hanya saja Syafi’iyah mengharamkan jika ada lukisan/patung di dalamnya. (Tuhtafatul Muhtaj, 2/424, Nihayatul Muhtaj, 2/63, Hasyiyah Al Qalyubi wal ‘Amirah, 4/236)

Sedangkan Hanafiyah mengatakan Haram secara mutlak, sebab itu adalah tempatnya syetan seperti yang dikatakan Ibnu Nujaim. (Al Bahr Raiq, 7/364, Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 2/43)

القول الثاني : الكراهة ، وهو قولٌ عند الحنابلة ، إلا أن بعضهم قيد الكراهة بما إذا وجدت الصور في الكنيسة ، وقال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله في ” الفتاوى الكبرى ” ( 5 / 327 ) : ” والمذهب الذي عليه عامة الأصحاب : كراهة دخول الكنيسة المصورة ، وهذا هو الصواب الذي لا ريب فيه ولا شك ” انتهى .
انظر: “الفروع” (5/308) و “الآداب الشرعية” (3/415) و “الإنصاف” (1/496) .

2. MAKRUH

Ini adalah pendapat Hambaliyah (Hanabilah). Hanya saja mereka memakruhkannya jika ada lukisan/patung di dalamnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Yang dipegang oleh umumnya sahabat-sahabatnya (Ahmad bin Hambal), adalah makruh masuk ke gereja yang ada lukisan/patung. Inilah pendapat yang benar, tidak ragu lagi.” (Al Fatawa Al Kubra, 5/327)

Lihat juga Al Furu’ (5/308), Al Adab Asy Syar’iyyah (3/415), Al Inshaf (1/496)

القول الثالث : جواز دخول الكنيسة مطلقا ، وهو قولٌ للحنابلة ، وعليه المذهب ، كما في ” المغني ” ( 8 / 113 ) و ” الإنصاف ” ( 1 / 496 ) .
وهو قول ابن حزم الظاهري كما في ” المحلى ” ( 1 / 400 ) .

3. BOLEH

Ini adalah pendapat Hanabilah. Inilah pendapat madzhab secara resmi. Sebagaimana disebutkan dalam Al Mughni (8/113), Al Inshaf (1/496).

Ini juga pendapat Ibnu Hazm. (Al Muhalla, 1/400)

Demikianlah saya ringkas dari Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah.

Untuk kasus yang ditanyakan, lebih tepat antara haram minimal makruh, sebab keberadaan berhala Budha yg sangat banyak.

Wallahu a’lam

🌴🌱🌷🌸🍃🌵🍄🌾🌹

✍ Farid Nu’man Hasan

Memejamkan Mata Ketika Shalat

💥💦💥💦💥💦

Sebenarnya Para Ulama berbeda pendapat, antara memakruhkan dan membolehkan. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

تغميض العينين: كرهه البعض وجوزه البعض بلا كراهة، والحديث المروي في الكراهة لم يصح

“Memejamkan mata: sebagian ulama ada yang memakruhkan, sebagian lain membolehkan tidak makruh. Hadits yang meriwayatkan kemakruhannya tidak shahih.” (Fiqhs Sunnah, 1/269. Darul Kitab Al ‘Arabi)

📌 Para Ulama Yang Memakruhkan

Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, mengatakan:

وروينا عن مجاهد وقتادة انهما كانا يكرهان تغميض العينين في الصلوة وروى فيه حديث مسند وليس بشئ

“Kami meriwayatkan dari Mujahid dan Qatadah bahwa mereka berdua memakruhkan memejamkan mata dalam shalat. Tentang hal ini telah ada hadits musnad, dan hadits tersebut tidak ada apa-apanya. (As Sunan Al Kubra, 2/284)

Ini juga menjadi pendapat Sufyan Ats Tsauri. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 3/314. Darul Fikr)

Selain mereka adalah Imam Ahmad, Imam Abu Jafar Ath Thahawi, Imam Abu Bakar Al Kisani, Imam As Sayyid Bakr Ad Dimyathi, dan lainnya.

Alasan pemakruhannya adalah karena memejamkan mata merupakan cara ibadahnya orang Yahudi, dan kita dilarang meniru mereka dalam urusan dunia, apalagi urusan ibadah.

📌 Para Ulama Yang Membolehkan

Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Zaid bin Hibban, telah bercerita kepada kami Jamil bin ‘Ubaid,katanya:

سمعت الحسن وسأله رجل أغمض عيني إذا سجدت فقا إن شئت

“Aku mendengar bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Al Hasan, tentang memejamkan mata ketika sujud. Al Hasan menjawab: “Jika engkau mau.” (Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/162)

Disebutkan oleh Imam An Nawawi, tentang pendapat Imam Malik:

وقال مالك لا بأس به في الفريضة والنافلة

“Berkata Malik: tidak apa-apa memejamkan mata, baik pada shalat wajib atau sunah.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/314. Darul Fikr)

Semua sepakat bahwa memejamkan mata tidak haram, dan bukan pembatal shalat. Perbedaan terjadi antara makruh dan mubah. Jika dilihat dari sisi dalil -dan dalil adalah hal yang sangat penting- ternyata tidak ada hadits yang shahih tentang larangannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Sayyid Sabiq, dan diisyaratkan oleh Imam Al Baihaqi. Namun, telah shahih dari tabiin bahwa hal itu adalah cara shalatnya orang Yahudi, dan tidak boleh menyerupai mereka dalam hal keduniaan, lebih-lebih ritual keagamaan.

Maka, pandangan kompromis yang benar dan bisa diterima dari fakta-fakta ini adalah seperti apa yang diulas Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah sebagai berikut:

وقد اختلف الفقهاء في كراهته، فكرِهه الإِمامُ أحمد وغيرُه، وقالوا:هو فعلُ اليهود، وأباحه جماعة ولم يكرهوه، وقالوا: قد يكونُ أقربَ إلى تحصيل الخشوع الذي هو روحُ الصلاة وسرُّها ومقصودها. والصواب أن يُقال: إن كان تفتيحُ العين لا يُخِلُ بالخشوع، فهو أفضل، وإن كان يحول بينه وبين الخشوع لما في قبلته من الزخرفة والتزويق أو غيره مما يُشوش عليه قلبه، فهنالك لا يُكره التغميضُ قطعاً، والقولُ باستحبابه في هذا الحال أقربُ إلى أصول الشرع ومقاصده من القول بالكراهة، والله أعلم

“Para fuqaha telah berselisih pendapat tentang kemakruhannya. Imam Ahmad dan lainnya memakruhkannya. Mereka mengatakan itu adalah perilaku Yahudi, segolongan yang lain membolehkannya tidak memakruhkan. Mereka mengatakan: Hal itu bisa mendekatkan seseorang untuk mendapatkan kekhusyuan, dan itulah ruhnya shalat, rahasia dan maksudnya. Yang benar adalah: jika membuka mata tidak menodai kekhusyuan maka itu lebih utama. Dan, jika justru hal itu mengganggu dan tidak membuatnya khusyu karena dihadapannya terdapat ukiran, lukisan, atau lainnya yang mebuat hatinya tidak tenang, maka secara qathi (meyakinkan) memejamkan mata tidak makruh. Pendapat yang menganjurkan memejamkan mata dalam kondisi seperti ini lebih mendekati dasar-dasar syariat dan maksud-maksudnya, dibandingkan pendapat yang mengatakan makruh. Wallahu Alam. (Zaadul Maad, 1/294. Muasasah Ar Risalah)

Wallahu A’lam

🍃🌾🌻🌴🌷☘🌺🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top