Hukum Menoleh Dalam Shalat

💥💦💥💦💥💦

Menoleh Jika Ada Kebutuhan adalah Boleh, menurut Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah.

Dalilnya:

Sahl bin Hanzhalah Radhiallahu ‘Anhu, berkata:

فجعل رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم يصلي وهو يلتفت إلى الشِّعب

“Maka Rasulullah menoleh dalam shalatnya ke arah celah bukit.”

(HR. Abu Daud 2501, Al Baihaqi dalam Al Sunan Al Kubra, No.  2083, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 2051. Al Hazimi mengatakan: hasan. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad, 4/289)

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يلتفت في صلاته يمينا وشمالا ولا يلوي عنقه خلف ظهره

“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menoleh dalam shalatnya ke kanan dan kiri dan tidak sampai memutarkan lehernya kebelakang.”

(HR. An Nasa’i No. 1201, Ahmad No. 2485, Abu Ya’la No. 2592, Ibnu Hibban No. 2288, At Tirmidzi No. 587, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 2084, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 864, katanya shahih sesuai syarat Bukhari, dan disepakati oleh Adz Dzahabi. Ibnu Khuzaimah No. 484, Al Baghawi No. 737, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya, Shahihwa Dhaif Sunan An Nasai No. 1201, Tahqiq Misykah Al Mashabih No. 998, dll)

Tetapi jika tidak ada keperluan, maka itu MAKRUH.

Dari Al Harts Al Asyari, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

فإذا صليتم فلا تلتفتوا فإن العبد إذا لم يلتفت استقبله جل وعلا بوجهه

“Jika kalian shalat janganlah menoleh, sesungguhnya Allah Jalla wa ‘Ala akan memandang hambaNya selama dia tidak menoleh.

(HR. Ahmad No. 17170, Ibnu Hibban No. 6233, At Tirmidzi No. 2863, 2864, katanya: hasan shahih. Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 3427, 3428, Ibnul Atsir dalam Asadul Ghabah, 1/383, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 1895, Abu Yala No. 1571, Ibnu Mandah dalam Al Iman No. 212, Al Hakim dalam Al Mustadrak, 1/118, 421, juga 11/17, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, dan Adz Dzahabi menyepakatinya. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: shahih. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 17170. juga dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, Lihat Shahihul Jami No. 1724 )

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

سألت رسول اللّه صلى الله عليه وسلم عن التفات الرجل في الصلاة، فقال: “إنما هو اختلاسٌ يختلسه الشيطان من صلاة العبد”

“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang seseorang yang menoleh dalam shalat, beliau menjawab: Itu adalah sambaran kilat dari syetan terhadap shalat seorang hamba. (HR. Bukhari No. 751,3291, Abu Daud No. 910, An Nasai dalam Al Kubra No. 1120, At Tirmidzi No. 590, Ahmad No. 24412, Abu Yala No. 4634, 4913, Abu Nuaim dalam Al Hilyah , 9/30, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 732, Ibnu Hibban No. 2287, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3344, dll)

Wallahu A’lam

🍃🌴🌻🌺☘🌷🌾🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

Hukum Berwisata/Rekreasi Ke Luar Negeri

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Aslm ustadz, bagaimanakah pendapat ulama mengenai hukum berpergian untuk wisata atau rekreasi. semisal keluar kota, luar pulau atau luar negeri. Tanpa tujuan maksiat, namun juga tanpa tujuan selain untuk rekreasi. Bagaimana juga maksud hadits dilarang bepergian jauh kecuali ke tiga masjid? Apakah merupakan larangan rekreasi?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah .., Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Tidak terlarang bagi seorang muslim untuk rihlah, tamasya, safar, ke daerah mana pun selama tidak membahayakan dirinya dan dalam perjalanan yang halal dan baik, seperti berdagang, menuntut ilmu, da’wah, berkunjung ke rumah saudara, dan sebagainya, pada semua perjalanan dengan tujuan bukan maksiat.

Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pun bepergian ke Kabul, Azarbaijan, Yaman, bahkan konon sampai Cina sebagaimana dilakukan Sa’ad bin Abi Waqash. Juga para tabi’in dan generasi setelahnya melanglang buana ke penjuru dunia.

Ada pun hadits berikut ini …

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

“Janganlah bertekad kuat untuk melakukan perjalanan kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid RasulShallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan Masjidil Aqsha.” (HR. Bukhari No. 1132, 1139, Muslim No. 1338, Ibnu Majah No. 1409, 1410, Al Baihaqi dalam As Sunan Al KubraNo. 19920)

Maksudnya adalah berkunjung untuk berniat shalat, janganlah terlalu bertekad kecuali ke tiga masjid ini. Ada pun sekedar, kunjungan biasa, silaturrahim, maka tentu tidak mengapa mengunjungi selain tiga masjid ini; seperti mengunjungi orang shalih, silaturrahim ke rumah saudara dan family, ziarah kubur, mengunjungi ulama, mendatangi majelis ilmu, berdagang, dan perjalanan kebaikan lainnya.

Berkata Al Hafizh Ibnu HajarRahimahullah:

أن النهي مخصوص بمن نذر على نفسه الصلاة في مسجد من سائر المساجد غير الثلاثة فإنه لا يجب الوفاء به قاله ابن بطال

“Bahwa larangan dikhususkan bagi orang yang bernazar  atas dirinya untuk shalat di masjid selain tiga masjid ini, maka tidak wajib memenuhi nazar tersebut, sebagaimana dikatakan Ibnu Baththal.”(Fathul Bari, 3/65)

Imam Al Khathabi Rahimahullahmengatakan:

وأنه لا تشد الرحال إلى مسجد من المساجد للصلاة فيه غير هذه الثلاثة؛ وأما قصد غير المساجد لزيارة صالح أو قريب أو صاحب أو طلب علم أو تجارة أو نزهة فلا يدخل في النهي، ويؤيده ما روى أحمد من طريق شهر بن حوشب قال: سمعت أبا سعيد وذكرت عنده الصلاة في الطور فقال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لا ينبغي للمصلي أن يشد رحاله إلى مسجد تبتغى فيه الصلاة غير المسجد الحرام والمسجد الأقصى ومسجدي”

“Bahwa sesungguhnya janganlah bertekad kuat mengadakan perjalanan menuju masjid untuk shalat di dalamnya selain tiga masjid ini. Ada pun bermaksud selain masjid-masjid ini untuk berziarah kepada orang shalih, kerabat, sahabat, menuntut ilmu, berdagang, atau berwisata, maka tidaklah termasuk dalam larangan. Hal yang menguatkan ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari jalan Syahr bin Hausyab, dia berkata: aku mendengar Abu Said, dan aku menyebutkan padanya tentang shalat di Ath thur, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Hendaknya janganlah orang yang shalat itu bersungguh-sungguh mengadakan perjalanan untuk shalat menuju masjid  selain Masjidil Haram, Masjid Al Aqsha, dan masjidku (Masjid nabawi).” (Ibid)

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌴🌻🌺☘🌾🌷🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

Aurat Muslimah di Hadapan Wanita Kafir

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz, ‘afwan izin bertanya.

Bagaimana aurat muslimah di hadapan wanita kafir ustadz?
Pernah kami mendengar bahwasanya aurat muslimah di hadapan wanita kafir adalah sama apabila berhadapan dengan laki2 bukan mahrom.
Di tempat asrama kampus kami, satu kamar diisi 2 orang, ada yang muslimah 1 kamar dengan wanita kafir. Yang demikian bagaimana ustadz?
Atas jawaban dan solusinya kami ucapkan terimakasih. (08122042xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat.

1⃣ Tidaklah menampakkan auratnya dihadapan wanita kafir kecuali wajah dan telapak tangan. Ini seperti di depan laki-laki bukan mahramnya.

Hal ini berdasarkan surat An Nuur ayat 31, yang memaparkan kepada siapa saja wanita muslimah boleh menampakkan auratnya, dan wanita kafir (non muslimah) tidak termasuk di dalamnya.

Inilah pendapat Hanafiyah dan Malikiyah.

Dalam madzhab Hanafiy, Imam Al Hashkafiy Al Hanafiy Rahimahullah berkata:

والذمية كالرجل الأجنبي

Wanita kafir dzimmi, kedudukannya sama seperti laki-laki bukan mahram. (Ad Durul Mukhtar, 6/371)

Maksudnya, hanya boleh terlihat wajah dan telapak tangan, jika aman dari fitnah.

Dalam madzhab Malikiy, Imam As Dasuqiy Al Malikiy Rahimahullah berkata:

وأما الحرة الكافرة.. فعورة الحرة المسلمة معها على المعتمد ما عدا الوجه والكفين

Ada pun wanita kafir .. maka aurat wanita muslimah bersamanya menurut pendapat resmi (madzhab Maliki) adalah selain wajah dan kedua telapak tangan. (Asy Syarhul Kabir, 1/213)

2⃣ Golongan yg membolehkan bagi wanita kafirah melihat wanita muslimah bukan hanya wajah dan telapak tangan.

Alasannya, dalam An Nuur 31 disitu tertulis: aw nisaa’ihinna – atau wanita-wanita mereka. Yg menurut mereka ini berlaku umum, bukan hanya muslimah.

Inilah pendapat Syafi’iyyah dan Hambaliyah.

Dalam madzhab Syafi’iy, tertulis dalam Hasyiyah Al Qalyubi wal ‘Amirah:

يجوز أن ترى الذمية من المسلمة ما يبدو عند المهنة وهو المعتمد

Wanita kafir dzimmi boleh melihat muslimah pada apa-apa yang biasa nampak saat beraktifitas di rumah, inilah pendapat resmi (madzhab Syafi’iy). (Hasyiyah Al Qalyubi wal ‘Amirah, 3/212)

Dalam madzhab Hambaliy, Imam Al Mardawiy Rahimahullah berkata:

وأما الكافرة مع المسلمة فالصحيح من المذهب أن حكمها حكم المسلمة مع المسلمة

Ada pun wanita kafir bersama muslimah, pendapat yg shahih dari madzhab (Hambaliy) adalah hukumnya sama seperti bersama sesama muslimah. (Al Inshaf, 8/24)

Demikian …

Lalu, Imam Ibnu Hajar Al Haitami Rahimahullah mentarjih, bahwa pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, bahwa aurat muslimah di hadapan wanita kafir adalah sama seperti dihadapan laki-laki bukan mahram. Haram sengaja menampakkan di hadapan mereka baik wanita dzimmi, harbiy, dan semua wanita kafir, pada selain dan kedua telapak tangannya. Dahulu Umar Radhiyallahu ‘Anhu pernah melarang mereka memasuki kamar mandi bersama-sama.
(Tuhfatul Muhtaj, 7/200)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌴🌱🌸🍃🌵🌾🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Tentang Memilih Orang Kafir Sebagai Pemimpin, Walau Bukan Imamatul ‘Uzhma

Hal itu tetap terlarang secara mutlak, sesuai keumuman ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al Maidah: 51)

Larangan dalam ayat ini umum, tidak mengkhususkan pada satu jenis dan level kepemimpinan. Dan, tidak ada keterangan dalam Al Quran dan As Sunnah bahwa larangan mengangkat orang kafir sebagai pemimpin hanya khusus berlaku bagi imamatul ‘uzhma saja. Maka, berlakulah larangan ini secara umum; bahwa orang-orang beriman dilarang memilih orang kafir sebagai waliyul amri bagi mereka di semua level kepemimpinan.

وَلِيُّ jamaknya adalah أَوْلِيَاء (Auliyaa’) yang artinya –sebagaimana kata Imam Ibnu Jarir Ath Thabari- adalah para penolong (Anshar) dan kekasih
(Akhilla). (Jami’ul Bayan, 9/319)

Bisa juga bermakna teman dekat, yang mengurus urusan, dan orang yang mengusai (pemimpin). (Ahmad Warson, Kamus Al Munawwir, Hal. 1582)

Dalam Lisanul ‘Arab disebutkan bahwa Al Waliy adalah An Naashir (penolong/pembantu). (Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 15/405)

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa untuk Ali Radhilallahu ‘Anhu:

اللهم والِ مَنْ والاه

“Allahumma waali man waalaahu.” (HR. Ibnu Majah No. 116, Al Hakim No. 4576, Abu Ya’la No. 6423, 6951, Ibnu Hibban No. 6931, Ahmad No. 950, Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Ta’liq Musnad Ahmad mengatakan: shahih lighairih)

Apa artinya? Syaikh Ibnu Manzhur mengatakan tentang makna terhadap doa ini:

أَي أَحْبِبْ مَنْ أَحَبَّه وانْصُرْ من نصره

“Yaitu cintailah orang yang mencintainya dan tolonglah orang yang menolongnya.” (Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 15/405)

Dengan demikian Waliy adalah sesuatu tempat kita berteman dekat, minta bantuan dan pertolongan, kekasih, pemimpin, dan yang mengurus urusan kita.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah memberikan keterangan dengan sebuah kisah Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu ‘Anhu yang mengangkat seorang sekretaris dari Syam yang beragama Nashrani, lalu Umar Radhiallahu ‘anhu merasa heran dan mencegah pengangkatan itu, lalu Umar Radhiallahu ‘Anhu mengutip ayat di atas. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 3/123)

Allah Ta’ala menyebut munafik kepada orang yang sengaja memilih orang kafir sebagai pemimpin, padahal dia tahu ada orang beriman yang seharusnya diangkat menjadi pemimpin:

بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (138 (الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا (139(

Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih
(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi waliy dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. (QS. An Nisa: 138-139)

Lalu bagaimana dengan umat Islam yang terlahir di negeri mayoritas non muslim seperti di Eropa atau Amerika, atau sebagian kecil di tanah air kita? Maka, untuk mereka boleh saja memilih atau tidak memilih tergantung kondisinya.

📌Jika calon yang ada adalah sama-sama kafir dan membenci Islam, dan semua calon yang ada sama-sama memusuhi kaum muslimin, maka hendaknya golput saja.

📌 Tetapi, jika dari calon yang ada terdapat orang yang TERBUKTI lebih ringan permusuhannya dengan Islam, maka dia boleh saja dipilih dengan asumsi dan harapan potensi kezaliman yang akan menimpa umat Islam juga lebih ringan jika dia yang menjadi pemimpin. Sesuai kaidah Irtikab Akh

afu Dhararain, menjalankan mudharat yang lebih ringan untuk menghindari mudharat yang lebih besar. Saat itu tidak bisa dikatakan mereka telah memberikan wala’ (loyalitas) kepada orang kafir, sebab mereka melakukan itu secara terpaksa, atau dalam upaya memilih yang lebih kecil permusuhannya terhadap Islam.

Wallahu A’lam

📗📕📒📔📓📙📘

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top