Membicarakan Urusan Dunia Di Masjid

📖📖📖📖

Hal ini juga dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya di masjid.

Dari Harb bin Simak, katanya:

قُلْتُ لِجَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَكُنْتَ تُجَالِسُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ كَثِيرًا كَانَ لَا يَقُومُ مِنْ مُصَلَّاهُ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ الصُّبْحَ أَوْ الْغَدَاةَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتْ الشَّمْسُ قَامَ وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ فَيَأْخُذُونَ فِي أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَيَضْحَكُونَ وَيَتَبَسَّم

Saya berkata kepada Jabir bin Samurah: Apakah kau pernah bermajelis dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Beliau menjawab: “Ya, banyak. Beliau tidaklah bangun dari tempat shalatnya di waktu shalat subuh atau pagi sampai terbitnya matahari. Jika matahari telah terbit dia bangun. Dahulu mereka membicarakan peristiwa-peristiwa yang mereka alami ketika masih jahiliyah, lalu mereka tertawa dan tersenyum.” (HR. Muslim No. 670, Abu Daud No. 1294, Ahmad No. 20844, Ibnu Hibban No. 6259)

Imam An Nawawi Rahimahullah mengomentari hadits ini:

يَجُوزُ التَّحَدُّثُ بالْحَدِيثِ الْمُبَاحِ فِي الْمَسْجِدِ وَبِأُمُورِ الدُّنْيَا وَغَيْرِهَا مِنَ الْمُبَاحَاتِ وَإِنْ حَصَل فِيهَا ضَحِكٌ وَنَحْوُهُ مَا دَامَ مُبَاحًا

Dibolehkan berbicara dengan pembicaraan yang mubah di dalam masjid dan urusan dunia dan selainnya yang mubah, walaupun melahirkan tawa dan semisalnya selama berasal dari yang mubah. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/180)

Sebenarnya para ulama khilafiyah, sebagaimana keterangan berikut:

فذهب الحنفية والمالكية والحنابلة إلى كراهة الكلام في المساجد بأمر من أمور الدنيا
قال الحنفية: والكلام المباح فيه مكروه يأكل الحسنات كما تأكل النار الحطب فإنه مكروه والكراهة تحريمية، لأن المساجد لم تبن له. وقال الحنابلة: ويكره أن يخوض في حديث الدنيا، ويشتغل بالطاعة من الصلاة والقراءة والذكر  وذهب الشافعية إلى جواز الكلام المباح في المسجد

Pendapat Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah bahwa makruh berbicara urusan dunia di masjid. Hanafiyah mengatakan: “Pembicaraan yang mubah di masjid adalah makruh, akan menghabiskan kebaikan-kebaikan sebagaimana api membakar kayu bakar, maka itu makruh tahrim, karena masjid tidak dibangun untuk itu. Hanabilah mengatakan: dimakruhkan ikut campur membicarakan dunia dan membuatnya sibuk dari melakukan ketaatan berupa shalat,  membaca Al Quran, dan berdzikir. Pendapat Syafi’iyah membolehkan berbicara yang mubah di masjid. .. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 35/118)

Namun, pendapat Syafi’iyah lebih kuat berdasarkan hadits di atas. Hanya saja membiasakan diri membicarakan perkara dunia di masjid juga bukan hal yang patut. Oleh karenanya hendaknya ini tidak menjadi kebiasaan agar masjid tidak menjadi seolah kedai kopi, yang tidak memiliki kewibawaan dan kemuliaan.

Wallahu A’lam

🌾🌺🍂🍃🍀☘🌷🌸🍄🌼🌻🌿

✏ Farid Nu’man Hasan

Wudhu Pakai Kaus Kaki

💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ust. Nu’ man, sy ingin
bertanya hal wudhu. Di tempat sy tinggal skrg, ada org yg selalu pakai kaos kaki sepanjang musim, dr musim dingin sampai musim panas lagi. Kaos kakinya hanya dibuka jika org tsb mau tidur. Dlm sehari semalam,saat org itu berwudhu, ia hanya mengelap kaos kakinya saja tanpa membuka si kaos kaki tadi. Saya menilai cara wudhu tsb kurang pas. Bagaimana mnrt ust?. Terima ksh sblmnya, Ust. Nu’man.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Bismillah wal Hamdulillah ..

Dalam Sunnah yg shahih, kita tidak dapatkan dari petunjuk Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam tentang wudhu menggunakan jaurab (kaus kaki).

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

لم يصح عن النبي صلى الله عليه وسلم شيء في المسح على الجوربين

Tidak ada yg shahih dari Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam sedikit pun tentang mengusap kaos kaki (saat wudhu). (Selesai)

Tapi, yang ada dalam sunah adalah memakai khuf.

Dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu:

تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ وَالْعِمَامَةِ

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berwudhu dan mengusap khuf dan surbannya. (HR. at Tirmidzi No. 93, Shahih)

Apa perbedaan antara kaus kaki dan khuf?

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid menjelaskan:

والفرق بين الجورب وبين الخف : أن الخف يكون مصنوعاً من الجلد ، أما الجورب فلا يكون من الجلد ، بل من الصوف أو الكتان ، أو القطن ، ونحو ذلك
وفي وقتنا الحاضر يصنع الجورب أيضاً من النايلون

Perbedaan antara kaus kaki dan khuf adalah khuf terbuat dari kulit, adapun jaurab bukan dari kulit, tapi dari wol, katun, dan semisalnya.
Di zaman kita sekarang kaus kaki dibuat juga dari Nilon. (Selesai)

Nah .., lantas apakah tidak boleh wudhu dalam keadaan pakai kaus kaki? Jawabnya adalah boleh, sebab itu dilakukan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Imam Ibnul Mundzir Rahimahullah berkata:

رُوِيَ إِبَاحَةُ الْمَسْحِ عَلَى الْجَوْرَبَيْنِ عَنْ تِسْعَةٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ ، وَعَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ ، وَأَبِي مَسْعُودِ ، وَأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، وَابْنِ عُمَرَ ، وَالْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ ، وَبِلَالٍ ، وَأَبِي أُمَامَةَ ، وَسَهْلِ بْنِ سَعْدٍ

Diriwayatkan bahwa dibolehkan mengusap kaus kaki, dari sembilan sahabat Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa Sallam; Ali bin Abi Thalib, Ammar bin Yaasir, Abu Mas’ud, Anas bin Malik, Ibnu Umar, Al Bara bin ‘Aazib, Bilal, Abu Umamah, dan Sahl bin Sa’ad. (Al Awsath, 1/462)

Bahkan, kebolehan ini disebutkan Ijma’ (konsensus) para sahabat Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah:

الصَّحَابَة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، مَسَحُوا عَلَى الْجَوَارِبِ ، وَلَمْ يَظْهَرْ لَهُمْ مُخَالِفٌ فِي عَصْرِهِمْ ، فَكَانَ إجْمَاعًا

Para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum mereka mengusap kaus kaki, dan tidak ada yang menyelisihi mereka di zaman mereka, dan ini adalah Ijma’. (Al Mughni, 1/215)

Namun demikian bolehnya wudhu dengan mengenakan kaus kaki memiliki syarat.

1. Kaus kaki harus mirip dengan khuf yaitu tebal dan bisa dipakai jalan.

عامة من أجاز المسح على الجوربين من العلماء : اشترط للمسح عليهما أن يكونا ثخينين ، يمكن متابعة المشي فيهما

Umumnya ulama yang membolehkan memakai kaus kaki memberikan syarat hendaknya kaus kaki tersebut tebal dan memungkinkan dipakai untuk jalan kaki (tanpa sepatu, pen). (Al Mabsuth, 1/102, Al Majmu’, 1/483, Al Inshaf, 1/170)

2. Jika tipis dan basah ketika kena air (rembes), maka tidak boleh.

Imam Al Kasaniy berkata:

فَإِنْ كَانَا رَقِيقَيْنِ يَشِفَّانِ الْمَاءَ ، فلَا يَجُوزُ الْمَسْحُ عَلَيْهِمَا بِالْإِجْمَاعِ

Jika kaus kaki itu tipis dan nyerap air, maka tidak boleh membasuh kedua berdasarkan Ijma’. (Bada’i Ash Shana’i, 1/10)

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah :

وَإِنْ كَانَ رَقِيقًا … لَمْ يُمْسَحْ عَلَيْهِ ؛ لِأَنَّ فِي مِثْلِهِ لَا يُمْشَى فِيهِ عَادَةً ، وَلَا يُحْتَاجُ إِلَى الْمَسْحِ عَلَيْهِ

Jika kaus kaki itu tipis .. tidak boleh diusap karena yang seperti itu biasanya tidak bisa dipakai jalan, dan tidak dibutuhkan mengusapnya. (Syarh ‘Umdah Al Fiqh, 1/251)

Jadi, jika kaus kaki yang dipakai tidak memenuhi syarat ini, maka tidak boleh dibasuh atasnya saat wudhu. Dia mesti melepaskan, lalu wudhu secara normal.

Wallahu a’lam

🍀🌷🌸🍃🎋☘🌹

✍ Farid Nu’man Hasan

 

Sikap Bijak Ulama Ahlus Sunnah Terhadap Perselisihan Qunut Shubuh (Bag 3)

5⃣I mam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Beliau memiliki pandangan yang jernih dalam hal qunut subuh ini. Walau beliau sendiri lebih mendukung pendapat yang tidak berqunut. Berikut ini ucapannya:

وَكَذَلِكَ الْقُنُوتُ فِي الْفَجْرِ إنَّمَا النِّزَاعُ بَيْنَهُمْ فِي اسْتِحْبَابِهِ أَوْ كَرَاهِيَتِهِ وَسُجُودِ السَّهْوِ لِتَرْكِهِ أَوْ فِعْلِهِ وَإِلَّا فَعَامَّتُهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى صِحَّةِ صَلَاةِ مَنْ تَرَكَ الْقُنُوتَ وَأَنَّهُ لَيْسَ بِوَاجِبِ وَكَذَلِكَ مَنْ فَعَلَهُ

“Demikian juga qunut subuh, sesungguhnya perselisihan di antara mereka hanyalah pada istihbab-nya (disukai) atau makruhnya (dibenci). Begitu pula perselisihan seputar sujud sahwi karena meninggalkannya atau melakukannya, jika pun tidak qunut, maka kebanyakan mereka sepakat atas sahnya shalat yang meninggalkan qunut, karena itu bukanlah wajib. Demikian juga orang yang melakukannya (qunut, maka tetap sah shalatnya –pen).” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 5/185. Mauqi’ Al Islam)

Beliau juga mengatakan bahwa para ulama sepakat berqunut atau tidak, shalat subuh adalah shahih. Perbedaan terjadi pada mana yang lebih utama. Katanya:

اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ إذَا فَعَلَ كُلًّا مِنْ الْأَمْرَيْنِ كَانَتْ عِبَادَتُهُ صَحِيحَةً، وَلَا إثْمَ عَلَيْهِ: لَكِنْ يَتَنَازَعُونَ فِي الْأَفْضَلِ

وَفِيمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ، وَمَسْأَلَةُ الْقُنُوتِ فِي الْفَجْرِ وَالْوِتْرِ، مِنْ جَهْرٍ بِالْبَسْمَلَةِ، وَصِفَةِ الِاسْتِعَاذَةِ وَنَحْوِهَا، مِنْ هَذَا الْبَابِ

فَإِنَّهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى أَنَّ مَنْ جَهَرَ بِالْبَسْمَلَةِ صَحَّتْ صَلَاتُهُ، وَمَنْ خَافَتْ صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَعَلَى أَنَّ مَنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ صَحَّتْ صَلَاتُهُ، وَمَنْ لَمْ يَقْنُتْ فِيهَا صَحَّتْ صَلَاتُهُ، وَكَذَلِكَ الْقُنُوتُ فِي الْوِتْرِ

Ulama sepakat bahwa melakukan salah satu di antara dua hal maka ibadahnya tetap shahih (sah), dan tidak berdosa atasnya, tetapi mereka berbeda pendapat tentang mana yang utama. Pada apa yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, masalah qunut pada subuh dan witir, mengeraskan basmalah, bentuk isti’adzah, dan hal semisalnya yang termasuk pembahasan ini.

Mereka sepakat bahwa orang yang mengeraskan basmalah adalah sah shalatnya, dan yang menyembunyikan juga sah shalatnya, yang berqunut subuh sah shalatnya, begitu juga yang berqunut pada witir. (Al Fatawa Al Kubra, 2/116, Cet. 1, 1987M-1408H. Darul Kutub Al ’Ilmiyah)

6⃣ Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah

Beliau termasuk yang melemahkan pendapat qunut subuh sebagaimana beliau uraikan dalam Zaadul Ma’ad, dan baginya adalah hal mustahil Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merutinkannya pada shalat subuh. Tetapi, tak satu pun kalimat darinya yang menyebut bahwa qunut subuh adalah bid’ah, walau dia mengutip beberapa riwayat sahabat yang membid’ahkannya.

Bahkan Beliau sendiri mengakui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kadang melakukan qunut dalam shalat subuh. Berikut ini ucapannya:

كَانَ تَطْوِيلَ الْقِرَاءَةِ فِي الْفَجْرِ وَكَانَ يُخَفّفُهَا أَحْيَانًا وَتَخْفِيفَ الْقِرَاءَةِ فِي الْمَغْرِبِ وَكَانَ يُطِيلُهَا أَحْيَانًا وَتَرْكَ الْقُنُوتِ فِي الْفَجْرِ وَكَانَ يَقْنُتُ فِيهَا أَحْيَانًا وَالْإِسْرَارَ فِي الظّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْقِرَاءَةِ ِكَانَ يُسْمِعُ الصّحَابَةَ الْآيَةَ فِيهَا أَحْيَانًا وَتَرْكَ الْجَهْرِ بِالْبَسْمَلَةِ وَكَانَ يَجْهَرُ بِهَا أَحْيَانًا

“Dahulu Nabi memanjangkan bacaan pada shalat subuh dan kadang meringankannya, meringankan bacaan dalam shalat Maghrib dan kadang memanjangkannya, beliau meninggalkan qunut dalam subuh dan kadang dia berqunut, beliau tidak mengeraskan bacaan dalam shalat Ashar dan kadang beliau memperdengarkan bacaannya kepada para sahabat, beliau tidak mengeraskan bacaan basmalah dan kadang beliau mengeraskan.” (Zaadul Ma’ad, 1/247. Muasasah Ar Risalah)

Beliau tidaklah mengingkari qunut secara mutlak, yang beliau ingkari adalah anggapan bahwa qunut subuh dilakukan terus menerus. Berikut ini ucapannya:

وقنت في الفجر بعد الركوع شهراً، ثم ترك القنوت ولم يكن مِن هديه القنوتُ في

ها دائماً، ومِنْ المحال أن رسولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كان في كل غداة بعد اعتداله من الركوع يقول: “اللَّهُمَ اهْدِني فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ وَلَّيْتَ…” الخ ويرفعُ بذلك صوته، ويؤمِّن عليه أصحابُه دائماً إلى أن فارق الدنيا

“(Beliau) Qunut dalam subuh setelah ruku selama satu bulan, kemudian meninggalkan qunut. Dan, bukanlah petunjuk beliau melanggengkan qunut pada shalat subuh, dan termasuk hal mustahil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setiap paginya setelah i’tidal dari ruku mengucapkan: “Allahumahdini fiman hadait wa tawallani fiman tawallait … dst” dengan meninggikan suaranya, dan selalu diaminkan oleh para sahabatnya sampai meninggalkan dunia. (Ibid, 1/271)

Lalu beliau mengutip pertanyaan Sa’ad bin Thariq Al Asyja’i kepada ayahnya, di mana ayahnya pernah shalat di belakang Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, apakah mereka pernah qunut subuh? Ayahnya menjawab: Anakku, itu adalah muhdats (perkara yang diada-adakan). (HR. Ahmad, At Tirmidzi, dan lainnya, At Tirmidzi mengatakan: hasan shahih)

Beliau juga mengutip dari Said bin Jubair, dia berkata aku bersaksi bahwa aku mendengar, dari Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata, “Qunut yang ada pada shalat subuh adalah bid’ah.” (HR. Ad Daruquthni No. 1723)

Tetapi riwayat ini dhaif (lemah). (Nashbur Rayyah, 3/183). Imam Al Baihaqi mengatakan: tidak shahih. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/345. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah) Karena di dalam sanadnya ada periwayat bernama Abdullah bin Muyassarah dia adalah seorang yang dhaiful hadits (hadits darinya dhaif). (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 6/ 44. Lihat juga Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 16/197)

Imam Ibnul Qayyim juga memaparkan adanya kelompok yang menolak qunut secara mutlak termasuk qunut nazilah, yakni para penduduk Kufah. Beliau pun tidak menyetujui pendapat ini, hingga akhirnya Beliau menempuh jalan pertengahan, yakni jalannya para ahli hadits. Katanya:

فأهلُ الحديث متوسطون بين هؤلاء وبين من استحبه عند النوازل وغيرها، وهم أسعدُ بالحديث من الطائفتين، فإنهم يقنُتون حيثُ قنت رسولُ اللّه صلى الله عليه وسلم، ويتركُونه حيث تركه، فيقتدون به في فعله وتركه،ويقولون: فِعله سنة، وتركُه لسنة، ومع هذا فلا يُنكرون على من داوم عليه، ولا يكرهون فعله، ولا يرونه بدعة، ولا فاعِلَه مخالفاً للسنة، كما لا يُنكِرون على من أنكره عند النوازل، ولا يرون تركه بدعة، ولا تارِكه مخالفاً للسنة، بل من قنت، فقد أحسن، ومن تركه فقد أحسن

“Maka, ahli hadits adalah golongan pertengahan di antara mereka (penduduk Kufah yang membid’ahkan) dan golongan yang menyunnahkan qunut baik nazilah atau selainnya, mereka telah dilapangkan oleh hadits dibandingkan dua kelompok ini. Sesungguhnya mereka berqunut karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya, mereka juga meninggalkannya ketika Rasulullah meninggalkannya, mereka mengikutinya baik dalam melakukan atau meninggalkannya. Mereka (para ahli hadits) mengatakan: melakukannya adalah sunah, meninggalkannya juga sunah, bersamaan dengan itu mereka tidak mengingkari orang-orang yang merutinkannya, dan tidak memakruhkan perbuatannya, tidak memandangnya sebagai bid’ah, dan tidaklah pelakunya dianggap telah berselisih dengan sunnah, sebagaimana mereka juga tidak mengingkari orang-orang yang menolak qunut ketika musibah, mereka juga tidak menganggap meninggalkannya adalah bid’ah, dan tidak pula orang yang meninggalkannya telah berselisih dengan sunnah, bahkan barang siapa yang berqunut dia telah berbuat baik, dan siapa yang meninggalkannya juga baik.” (Ibid, 1/274-275)

Syaikh ‘Athiyah Shaqr menilai pendapat pertengahan Imam Ibnul Qayyim ini adalah pendapat yang terbaik dalam masalah qunut. (Fatawa Al Azhar, 5/9)

7⃣ Para Ulama Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia

Mereka saat itu diketuai oleh Syaikh Al ‘Allamah Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah. Sebenarnya secara resmi Lajnah Daimah membid’ahkan perilaku merutinkan qunut pada subuh, sebagaimana fatwa No. 2222. Namun, pada fatwa lainnya – yang ditanda tangani oleh Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Abdullah bin Mani’, Syaikh Abdullah bin Ghudyan, dan Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi- mereka pun memberikan pandangan bijak, sebagai berikut:

وبالجملة فتخصيص صلاة الصبح بالقنوت من المسائل الخلافية الاجتهادية، فمن صلى وراء إمام يقنت في الصبح خاصة قبلالركوع أو بعده فعليه أن يتابعه، وإن كان الراجح الاقتصار في القنوت بالفرائض على النوازل فقط

“Maka, secara global mengkhususkan doa qunut pada shalat subuh merupakan masalah khilafiyah ijtihadiyah. Barang siapa yang shalat di belakang imam yang berqunut subuh, baik sebelum atau sesudah ruku, maka hendaknya dia mengikutinya. Walau pun pendapat yang paling kuat adalah membatasi qunut hanya ada pada nazilah saja.” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’, No. 902)

8⃣ Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin Rahimahullah

Beliau ditanya:

عندنا إمام يقنت في صلاة الفجر بصفة دائمة فهل نتابعه ؟ وهل نؤمن على دعائه ؟

Kami memiliki imam yang berqunut pada shalat subuh yang melakukannya secara terus menerus, apakah kami mesti mengikutinya? Dan apakah kami mesti mengaminkan doanya?

Beliau menjawab:

من صلى خلف إمام يقنت في صلاة الفجر فليتابع الإمام في القنوت في صلاة الفجر ، ويؤمن على دعائه بالخير ، وقد نص على ذلك الإمام أحمد رحمه الله تعالى

Barangsiapa yang shalat di belakang imam yang berqunut pada shalat subuh, maka hendaknya dia mengikuti imam berqunut pada shalat subuh, dan mengaminkan doanya dengan baik. Telah ada riwayat seperti itu dari Imam Ahmad Rahimahullah. (Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Majmu’ Fafatwa, 14/177)

9⃣ Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Al Jibrin Rahimahullah

Beliau berpendapat jika qunut dilakukan tanpa sebab maka itu makruh, namun dia tetap menasihati agar jika ada yang melakukan karena mengikuti pendapat mazhab Syafi’i maka itu jangan ingkari.

Katanya:

وبكل حال فمن قنت تبعاً للشافعية فلا يُنكر عليه ، ولكن الصحيح أنه لا يشرع . ولم يثبت عنه صلى الله عليه وسلم ، الاستمرار عليه . فالأظهر أنه مكروه بلاسبب والله علم

Bagaimana pun juga, bagi siapa saja yang berqunut karena mengikuti syafi’iyah maka jangan diingkari, tetapi yang benar adalah itu tidak disyariatkan. Tidak ada yang pasti dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau merutinkannya. Maka, yang nampak adalah hal itu makruh dilakukan tanpa sebab. Wallahu A’lam. (Fatawa Islamiyah, 1/454. Dikumpulkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid)

Demikian. Pemaparan ini bukanlah dalam rangka mengaburkan permasalahan, tetapi dalam rangka – sebagaimana kata Imam Ahmad- menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghapuskan kebencian sesama kaum muslimin. Sebab, para imam yang berselisih pendapat pun memiliki sikap yang tidak melampaui batas-batas akhlak dan adab Islam dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam fiqih. Sudah selayaknya kita mengambil banyak pelajaran dari para A’immatil A’lam (imam-imam dunia) ini.

Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa shahbihi wa sallam

Wallahu A’lam

🍃🌴🌻🌺☘🌷🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Adzan Pertama Dalam Shalat Jumat Bukan Bid’ah Tapi Ijma’ Sukuti Para Sahabat Nabi

💦💥💦💥💦💥

Sebagian masjid di Indonesia melakukan dua kali adzan ketika shalat Jumat, yakni adzan ketika khatib belum naik mimbar, dan adzan ketika khatib duduk di atas mimbar. Pada zaman nabi, Abu Bakar, dan Umar Radhiallahu ‘Anhuma hanya terjadi adzan ketika khatib duduk di mimbar dan iqamat menjelang shalatnya (Adzan dan iqmat ini diisitilahkan adzanain – dua adzan, karena hakikatnya iqamat juga merupakan panggilan/an nidaa’). Adzan yang dilakukan sebelum khatib naik mimbar, dalam hadits diistilahkan adzan ketiga. Namun, pada pertanyaan dalam fatwa ini disitilahkan dengan adzan pertama. Apa pun penamaannya, secara maksud adalah sama, yaitu satu adzan tambahan, diluar  dua buah adzan (adzan ketika khatib duduk di mimbar dan iqamat), yang dikumandangkan diurutan pertama dari kesemuanya.

Pertanyaan:

هل الأذان الأول يوم الجمعة بدعة؟

“Apakah adzan pertama pada hari Jumat itu bid’ah?”

Jawaban:

ثبت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال ” عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي ، تمسكوا بها وعضو ا عليها بالنواجذ ” . الحديث . والنداء يوم الجمعة كان أوله حين يجلس الإمام على المنبر في عهد النبي صلى الله عليه وسلم ، وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما ، فلما كانت خلافة عثمان وكثر الناس ؛ أمر عثمان يوم الجمعة بالأذان الأول – الآن – ، وليس ببدعة لما سبق من الأمر باتباع سنة الخلفاء الراشدين .
والأصل في ذلك ما رواه البخاري والنسائي والترمذي وابن ماجه وأبو داود واللفظ له عن ابن شهاب أخبرني السائب بن يزيد أن الأذان كان أوله حين يجلس الإمام على المنبر يوم الجمعة في عهد النبي صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما ، فلما كان خلافة عثمان وكثر الناس أمر عثمان يوم الجمعة بالأذان الثالث ، فأذن به على الزوراء ، فثبت الأمر على ذلك . وقد علق القسطلاني في شرحه للبخاري على هذا الحديث بأن النداء الذي زاده عثمان هو عند دخول الوقت، وسماه ثالثًا باعتبار كونه مزيداً على الأذان بين يدي الإمام والإقامة للصلاة ، وأطلق على الإقامة أذاناً تغليباً ، بجامع الإعلام فيهما، وكان هذا الأذان لما كثر المسلمون فزاده اجتهاداً منه، ووافقه سائر الصحابة له بالسكوت وعدم الإنكار ؛ فصار إجماعاً سكوتياً .. وبالله التوفيق .
اللجنة الدائمة

Telah shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa dia bersabda: “Peganglah oleh kalian sunahku dan sunah al khulafa ar rasyidin setelahku yang mendapat petunjuk, pegang teguhlah dan gigitlah dengan geraham kalian.” (Al Hadits) Adzan pada hari Jumat pada awalnya dilakukan ketika imam sudah naik mimbar, ini terjadi pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, dan Umar Radhiallahu ‘Anhuma. Lalu, ketika masa kekhilafahan Utsman dan penduduk sudah banyak, Utsman memerintahkan adzan pertama pada hari Jumat  -hingga sekarang- dan itu bukanlah bid’ah sebab itu merupakan bagian dari perintah mengikuti sunah al khulafa ar rasyidin.

Dasar hal ini adalah riwayat dari Al Bukhari, An Nasa’i, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Abu Daud, dan ini lafazh darinya, dari Ibnu Syihab: telah mengabarkan aku As Saib bin Yazid, bahwa pada hari Jumat adzan pertama kali dilakukan saat imam duduk di atas mimbar , ini terjadi pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar dan Umar Radhiallahu ‘Anhuma. Lalu pada masa Khalifah Utsman manusia semakin banyak, dia memerintahkan adzan ketiga pada hari Jumat. Maka, dilakukan adzan di Zaura’ dan telah tetaplah perintah itu. Al Qasthalani telah memberikan komentar terhadap hadits ini dalam Syarah (penjelasan)nya terhadap Shahih Bukhari , bahwa adzan tersebut dilakukan ketika waktu sudah masuk. Hal ini  dinamakan adzan ketiga karena sebagai adzan tambahan atas adzan ketika imam naik mimbar dan iqamat untuk shalat.  Secara mutlak iqamat adalah adzan, karena pada keduanya menghimpun adanya pemberitahuan shalat. Adzan ini terjadi pada saat kaum muslimin banyak jumlahnya, tambahan azan tersebut merupakan ijtihad, dan disepakati oleh semua sahabat, mereka mendiamkannya dan tidak mengingkarinya. Maka hal ini menjadi ijma’ sukuti. Wabillahit tawfiq.

Al Lajnah Ad Daimah. Ditanda tangini oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Abdullah Al Qu’ud, Syaikh Abdullah Al Ghudyan, Syaikh Abdurazzaq ‘Afifi.

📚Fatawa Islamiyah, 1/667. Disusun oleh Muhammad bin Abdil Aziz Al Musnid

🍃🌻🌷🌴☘🌿🍂🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top