Manajemen Prasangka (Bag 3)

📌 Hadits Tentang Prasangka

Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ

Hati-hatilah kalian terhadap prasangka, sebab prasangka itu sedusta-dustanya ucapan. (HR. Bukhari No. 5143, Muslim No. 2563)

Prasangka yang mana yang mesti kita waspadai dan jauhi? Berkata Imam Ana Nawawi maksud hadits ini:

لمراد النهي عن ظن السوء

Maksudnya adalah larangan terhadap su’uzhzhan (buruk sangka). (Imam An Nawawi, Al Minhaj, 16/118)

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri mengatakan:

( إياكم والظن ) أي اتقوا سوء الظن بالمسلمين

(Takutlah kamu terhadap prasangka) yaitu takutlah kamu terhadap su’uzhzhan kepada kaum muslimin. (Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 6/105)

Lalu …, kenapa Nabi ﷺ mengatakan bahwa zhan itu sedusta-dustanya ucapan? Bukankah zhan itu letaknya di hati atau pikiran, bukan di lisan?

Imam Al Munawi menjelaskan:

( أكذب الحديث ) أي حديث النفس لأنه يكون بإلقاء الشيطان في نفس الإنسان ووصف الظن بالحديث مجاز فإنه ناشئ عنه

(sedusta-dusta perkataan) yaitu ucapan jiwa, sebab itu terjadi dilntarkan syetan ke dalam jiwa manusia. Zhan disifatkan dengan “ucapan” sebab itu merupakan majaz, bahwa zhan merupakan awal dari ucapan. (Imam Al Munawi, At Taisir bi Syarhi Al Jaami’ Ash Shaghiir, 1/819)

Bersambung ….

🌻🍃🌴🌺☘🌷🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Cerai, Dibenci Allah Tapi Halal?

💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Ustadz, mohon izin bertanya. Benarkah talak adalah hal halal yg dibenci Allah?

Mungkinkah ada hal yg halal tp dibenci Allah?

Dan sy pernah mendengar kisah Umar ra. yg menyuruh anaknya bercerai karena ibadahnya malah menurun setelah menikah. Apa memang ini boleh menjadi alasan cerai? (08568042xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah …

Haditsnya berbunyi, dari Ibnu Umar Radhiyallahu’Anhuma bahwa Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam bersabda:

أبغض الحلال الى الله الطلاق

“Perkara halal yang paling Allah benci adalah perceraian.” (HR. Abu Dawud no. 1863, Ibnu Majah no. 2008)

Para ulama berbeda pendapat tentang keshahihannya. Imam Al Hakim menshahihkannya.

Syaikh Al Albani menyatakan dhaif. (Irwa’ul Ghalil No. 2040)

Syaikh Ahmad Syakir mengatakan:

في صحته نظر كثير

Pada keshahihannya ada perlu pertimbangan yg banyak. (‘Umdatut Tafsir, 1/583)

Anggaplah hadits ini dhaif, namun secara makna adalah Shahih. Dan tidak ada kerisauan dgn kalimat “Halal kok Allah benci.”

Hadits ini oleh Imam An Nawawi Rahimahullah menunjukkan bahwa ini salah satu hukum cerai yaitu makruh tanzih (makruh yg mendekati boleh), dan hukum cerai itu beragam.

Beliau berkata:

فيكون حديث بن عُمَرَ لِبَيَانِ أَنَّهُ لَيْسَ بِحَرَامٍ وَهَذَا الْحَدِيثُ لِبَيَانِ كَرَاهَةِ التَّنْزِيهِ قَالَ أَصْحَابُنَا الطَّلَاقُ أَرْبَعَةُ أَقْسَامٍ حَرَامٌ وَمَكْرُوهٌ وَوَاجِبٌ وَمَنْدُوبٌ وَلَا يَكُونُ مُبَاحًا

Hadits Ibnu Umar ini menjadi penjelas bahwa itu bukan haram, hadits menunjukkan makruh tanzih. Para sahabat kami (Syafi’iyyah) membagi hukum cerai atas 4 macam: haram, makruh, wajib, dan dianjurkan, tidak ada yang mengatakan boleh. ( Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/61)

Penjelasan yg lebih detil dan bagus dari Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin Rahimahullah berikut:

وهذا الحديث ليس بصحيح ، لكنَّ معناه صحيح ، أن الله تعالى يكره الطلاق ، ولكنه لم يحرمه على عباده للتوسعة لهم ، فإذا كان هناك سبب شرعي أو عادي للطلاق صار ذلك جائزاً ، وعلى حسب ما يؤدي إليه إبقاء المرأة ، إن كان إبقاء المرأة يؤدي إلى محظور شرعي لا يتمكن رفعه إلا بطلاقها فإنه يطلقها ، كما لو كانت المرأة ناقصة الدين ، أو ناقصة العفة ، وعجز عن إصلاحها ، فهنا نقول : الأفضل أن تطلق ، أما بدون سبب شرعي ، أو سبب عادي ، فإن الأفضل ألا يطلق ، بل إن الطلاق حينئذٍ مكروه

Hadits ini tidak Shahih, tapi maknanya Shahih. Allah membenci perceraian, namun tidak sampai diharamkan sebagai kelapangan bagi hamba-hambaNya.

Jika perceraian karena ada sebab syar’i dan pantas, maka saat itu menjadi boleh.

Jika seorg istri masih bisa dipertahankan maka pertahankan, tp jika dipertahankan melahirkan bahaya secara syar’i, dan tidak bisa dihilangkan bahaya itu kecuali dgn menceraikannya, maka ceraikan.

Sebagaimana seorang istri yang jelek agamanya, rasa malunya, dan sulit diperbaiki lg. Maka kami katakan: lebih baik cerai.

Tetapi, jika tidak ada alasan syar’i, tidak pantas, maka janganlah bercerai, justru saat itu cerai adalah perbuatan yang dibenci.

(Liqa Bab Al Maftuuh No. 55, soal no. 3)

Demikian. Wallahu a’lam

🌴🌱🌷🌸🍃🌵🌾🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Hadits: “Berjihad Melawan Hawa Nafsu adalah Jihad Paling Besar

💥💦💥💦💥💦💥

🌾 Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar.🌾

Ini hadits, walau tidak secara langsung berhubungan dengan puasa atau Ramadhan, namun amat sering dibaca ketika bulan Ramadhan. Hadits itu berbunyi:

رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبرقالوا: وما الجهاد الأكبر؟ قال: جهاد القلب

“Kita kembali dari Jihad kecil menuju jihad besar.” Mereka bertanya: “Apakah jihad paling besar itu?” Beliau bersabda: “Jihad hati.”

Berkata Imam Zainuddin Al ‘Iraqi:

أخرجه البيهقي في الزهد من حديث جابر وقال : هذا إسناد فيه ضعف

Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab az Zuhd dari hadits Jabir, dia berkata: “Di dalam sanadnya dha’if.” (Imam Al ‘Iraqi, Takhrijul Ahadits Al Ihya’, No. 2567)

Begitu pula disebutkan dalam Tadzkirah Al Maudhuat, bahwa hadits ini dhaif. ( Al Allamah Muhammad Thahir bin Ali Al Hindi Al Fatani, Tadzkirah Al Maudhuat, Hal. 191)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Tasdidul Qaus bahwa ini adalah ucapan Ibrahim bin Abi Ablah seorang tabiin, sebagaimana dikatakan Imam An Nasai dalam Al Kuna. (Imam As Suyuthi, Ad Durar Muntatsirah fil Ahadits Musytahirah, Hal. 11. Mawqi Al Warraq. Imam Al Ajluni, Kasyful Khafa, No. 1362. Darul Kutub Al Ilmiyah)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan komentar terhadap hadits itu sebagai berikut:

فَلَا أَصْلَ لَهُ وَلَمْ يَرْوِهِ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِأَقْوَالِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وَجِهَادُ الْكُفَّارِ مِنْ أَعْظَمِ الْأَعْمَالِ ؛ بَلْ هُوَ أَفْضَلُ مَا تَطَوَّعَ بِهِ الْإِنْسَانُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : { لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا }

“Tidak ada dasarnya, dan tidak diriwayatkan oleh seorang pun ahli ma’rifah (ulama) sebagai ucapan dan perbuatan Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam. Dan, jihad melawan orang kafir termasuk amal yang paling agung, bahkan dia adalah tathawwu (anjuran) yang paling utama bagi manusia. Allah Taala berfirman: Tidaklah sama orang-orang beriman yang duduk (tidak pergi jihad) tanpa memiliki udzur (alasan yang benar), dibanding orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya. Allah mengutamakan satu derajat bagi orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya di atas orang-orang yang duduk saja. Kepada masing-masing mereka Allah menjajnjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar. (QS. An Nisa: 95). (Majmu Fatawa, 2/487. Mawqi Al Islam)

Imam Al Iraqi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam kitab Az Zuhd, namun setelah dicek ke kitab Zuhd Al Kabir-nya Imam Al Baihaqi, ternyata tidak ada hadits dengan redaksi seperti di atas (Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar). Tetapi yang ada adalah:

قدمتم خير مقدم من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : مجاهدة العبد هواه

“Kalian datang dengan sebaik-baik kedatangan, kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar.” Mereka bertanya: “Apakah jihda besar itu?” Beliau bersabda: Mujahadahnya seorang hamba terhadap hawa nafsunya. (HR. Al Baihaqi, Zuhd Al Kabir, No. 384, hadits dari Jabir bin Abdullah. Al Baihaqi mengatakan: sanadnya Dhaif . Imam Khathib Baghdadi, Tarikh Baghdad, 6/171. Lihat Alauddin Muttaqi Al Hindi, Kanzul Ummal, No. 11260)

Hadits ini juga dhaif, bahkan dengan kedhaifan yang parah. Lantaran dalam sanadnya terdapat beberapa perawi yang dhaif. Yakni Isa bin Ibrahim, Yahya bin Ya’la, dan Laits bin Abi Sulaim.

Tentang Isa bin Ibrahim ini, dia adalah Isa bin Ibrahim bin Siyar, disebut juga Ibnu Dinar Asy Syairi Abu Ishaq, disebut juga Abu Umar, ada juga yang mengatakan Abu Yahya Al Bashri, lebih dikenal dengan Al Barki. (Tahdzibut Tahdzib, 8/183). Disebutkan tentang dia : shaduq lahu awham (jujur tetapi ada keraguan). (Al Hafizh Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, 1/768. Al Hafizh Adz Dzahabi, Mizanul Itidal, 3/310). Abu Hatim mengatakan: shaduq (jujur). An Nasa’i mengatakan: tidak apa-apa. (Mizanul Itidal, 3/310)

Sementara Yahya bin Yala, dia adalah Yahya bin Yala Al Aslami Al Qathuwani Al Kufi. Imam Ibnu Main ditanya tentang dia, katanya: bukan apa-apa. Al Bukhari mengatakan: mudhtharibul hadits (haditsnya guncang). Abu Hatim mengatakan: dhaiful hadits laisa bil qawwi (haditsnya lemah dan tidak kuat). Ibnu Abi mengatakan, dia adalah orang Kufah dan Syiah. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzbut Tahdzib, 11/266. Lihat juga Mizanul Itidal, 4/415)

Ada pun tentang Laits bin Abi Sulaim, Imam Ahmad berkata tentangnya: sangat lemah dan banyak kesalahan. Yahya bin Main mengatakan: dhaif. (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 2/232). Sufyan bin Uyainah mendhaifkannya, sedangkan Abu Zurah ditanya tentang Laits ini, katanya: haditsnya lemah dan tidak bisa berhujjah dengan haditsnya. (Tahdzibut Tahdzib, 8/418)

Maka, jelaslah sudah kelemahan hadits ini, dengan kelemahan yang sangat. Dan, Syaikh Al Albani mengatakannya sebagai hadits munkar. (As Silsilah Adh Dhaifah, No. 2460).

Wallahu Alam

📚Catatan:

Walau hadits-hadits di atas lemah, bahkan tidak ada dasarnya. Islam mengakui bahwa jihad terhadap hawa nafsu memang ada. Dari Fadhalah bin ‘Ubaid, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

المجاهد من جاهد نفسه

“Mujahid adalah orang yang berjihad terhadap hawa nafsunya.” (HR. At Tirmidzi No. 1621, katanya: hasan shahih. Abu Daud No. 1258)

Hadits ini shahih. (Misykah Al Mashabih No. 3823. As Silsilah Ash Shahihah No. 549. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1258)

Perlu diketahui, kelemahan hadits-hadits tentang jihad melawan hawa nafsu yang kita bahas lalu (bahkan tidak ada dasarnya), tidak berarti mengurangi derajat jihad melawan hawa nafsu. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

وَلَا رَيْبَ أَنَّ مُجَاهَدَةَ النَّفْسِ مَأْمُورٌ بِهَا وَكَذَلِكَ قَهْرُ الْهَوَى وَالشَّهْوَةِ كَمَا ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : { الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي ذَاتِ اللَّهِ وَالْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ } لَكِنْ الْمُسْلِمَ الْمُتَّبِعَ لِشَرِيعَةِ الْإِسْلَامِ هُوَ الْمُحَرِّمُ مَا حَرَّمَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ فَلَا يُحَرِّمُ الْحَلَالَ وَلَا يُسْرِفُ فِي تَنَاوُلِهِ ؛ بَلْ يَتَنَاوَلُ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ مِنْ طَعَامٍ أَوْ لِبَاسٍ أَوْ نِكَاحٍ وَيَقْتَصِدُ فِي ذَلِكَ وَيَقْتَصِدُ فِي الْعِبَادَةِ ؛ فَلَا يُحَمِّلُ نَفْسَهُ مَا لَا تُطِيقُ

“Tidak diragukan bahwa berjihad mengendalikan diri adalah diperintahkan, begitu pula menguasai hawa nafsu dan syahwat. Sebagaimana telah tsabit (kuat) dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda:

Mujahid adalah orang yang berjihad melawan nafsunya di jalan Allah, dan orang pintar adalah orang mampu menguasai dirinya dan berbuat untuk hari setelah kematiannya, dan orang lemah adalah orang yang jiwanya mengikuti hawa nafsunya, dan berangan-angan kepada Allah.

Tetapi seorang muslim hanya mengikuti syariat Islam, dia mengharamkan apa yang Allah dan RasulNya haramkan, dia tidak mengharamkan yang halal dan tidak berlebihan dalam menikmatinya, tetapi dia menggunakannya sesuai kebutuhan saja baik berupa makanan, nikah, dia sederhana dalam hal itu, dan sederhana pula dalam hal ibadah, dia tidak membebani dirinya dengan apa-apa yang tidak dia mampu. (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa, 3/302)

Bahkan seorang ulama mujahid, perawi hadits terpercaya, Imam Abdullah bin Mubarak mengomentari ayat:

وَجَاهِدُوا فِي اللّهِ حَقّ جِهَادِه

“Berjihadlah kalian di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad.”

Beliau berkata:

هُوَ مُجَاهَدَةُ النّفْسِ وَالْهَوَى

“Itu adalah berjihad terhadap jiwa dan hawa nafsu.” (Imam Ibnu Qayyim, Zaadul Ma’ad, 3/8. Muasasah Ar Risalah).

Imam Ibnul Qayyim sendiri telah membahas panjang masalah ini, dan dia membuat maratibul jihad (urutan jihad) bahwa jihad ada empat urutan, yakni jihad terhadap hawa nafsu, jihad melawan syetan, jihad melawan orang kafir dan jihad melawan orang munafik. Jihad terhadap hawa nafsu juga terbagi atas empat, yakni: Pertama, jihad untuk mempelajari petunjuk dan agama yang benar. Kedua, jihad mengamalkan ilmu tersebut. Ketiga, jihad mendakwahkan dan mengajarkan ilmu tersebut agar tidak termasuk orang yang menyembunyikan ilmu. Keempat, jihad bersabar ketika mendakwahkannya atas segala bentuk kesulitan dan peneritaan yang akan menimpanya. (Ibid, 3/9) selesai.

Ada pun riwayat yang shahih tentang jihad yang paling afdhal adalah sebagai berikut, dari Abu Said Al Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ

“Jihad paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Daud No. 4344. At Tirmidzi No. 2265, katanya: hasan gharib. Ahmad No. 10716, dalam lafaz Ahmad tertulis: Kalimatul haq ..(perkataan yang benar). Ibnu Majah No. 4011)

Hadits ini shahih. (Misykah Al Mashabih, No. 3705. As Silsilah Ash Shahihah, No. 491. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4344)

Sedangkan jihad paling utama bagi wanita adalah haji yang mabrur. Dari Aisyah Radhiallahu Anha, katanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَا لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ

“Ya Rasulullah, kami melihat jihad adalah amal yang paling utama, apakah kami juga boleh berjihad?” Nabi bersabda: “Tidak, tetapi sebaik-baiknya jihad adalah haji yang mabrur.” (HR. Bukhari No. 1448, 1762, 2632, 2720, 2721)

Wallahu A’lam

🍃🌻🌸🌾🌺☘🌴🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Manajemen Prasangka (Bag 2)

🏹🏹🏹🏹🏹🏹

📘 Ayat- Ayat Berkenaan dengan Zhan

Allah ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. (QS. Al Hujurat: 12)

Ayat ini tegas melarang banyak prasangka, padahal tidak semua prasangka itu buruk. Ini demi kehati-hatian agar tidak terjerumus dalam zhan yang buruk.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata:

يقول تعالى ناهيا عباده المؤمنين عن كثير من الظن، وهو التهمة والتخون للأهل والأقارب والناس في غير محله؛ لأن بعض ذلك يكون إثما محضا، فليجتنب كثير منه احتياطا

Allah ﷻ berfirman bagi hamba-hambanya yang beriman, tentang larangan banyak prasangka, yaitu tuduhan kepada keluarga, kerabat, dan orang lain bukan pada tematnya. Sebab sebagian dari zhan itu melahirkan dosa, maka hendaknya menjauhi kebanyakan hal itu sebagai kehati-hatian. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 7/377)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah menjelaskan macam-macam zhan:

….فبعض الظن واجب الاتباع كالاجتهاد في الأحكام العملية وحسن الظن باللّه، وبعضه حرام كالظن في الإلهيات والنبوات، أو عند مصادمة الدليل القاطع، وظن السوء بالمؤمنين، وبعضه مباح كالظن في الأمور المعاشية

Maka, sebagian prasangka itu justru wajib untuk diikuti, seperti ketika ijtihad dalam menuntukan hukum perbuatan dan husnuzhzhan kepada Allah. Sebagian lagi diharamkan, seperti prasangka dalam urusan ketuhanan, kenabian, atau ketika bertentangan dengan dalil pasti, dan buruk sangka kepada kaum mu’minin, dan sebagian lagi ada zhan yang dibolehkan seperti prasangka dalam urusan-urusan dunia. (Al Munir, 26/247)

Kemudian … dalam ayat yang lain:

وَإِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِى مِنَ الْحَقِّ شَيْئاً

Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. (QS. Yunus: 36)

Ayat ini menunjukkan bahwa zhan itu tidak layak dijadikan dasar sebuah sikap, sebab dia tidak membawa kepada kebenaran dan keyakinan, melain hanya keraguan. Ayat ini menceritakan tentang perilaku musyrikin Arab saat itu yang menyangka berhala-berhala sembahan mereka sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Imam Ibnul Jauzi Rahimahullah berkata:

وما يتبع أكثر هؤلاء المشركين في جعلهم الأصنام آلهة واعتقادهم بأنها تقرِّب إلى الله إلا تخرصًا وظنًا، وهو لا يغني من اليقين شيئًا. إن الله عليم بما يفعل هؤلاء المشركون من الكفر والتكذيب

Kebanyakan kaum musyrikin itu menjadikan berhala-berhala sebagai Tuhan-Tuhan, dan menurut keyakinan mereka hal itu bisa mendekatkan diri kepada Allah, hanya karena zhan semata, dan itu tidak cukup mendatangkan keyakinan sedikit pun. Allah Ta’ala Maha Tahu perbuatan kufur dan dusta kaum musyrikin itu. (Zaadul Masir, 3/408)

Bersambung …

🍃🌴🌻☘🌷🌺🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top