Shalat Tidak menghadap Kiblat Karena Lupa

▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Ustadz bagaimana jk kita sholat kiblatnya terbalik apakah sholatnya harus diulang? (+62 815-8860-xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim wal hamdulillah wash Shalatu was salam’ala Rasulillah wa ba’d:

Shalat menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Jika tidak, maka shalatnya batal dan wajib ulang.

Bagaimana jika lupa? Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

ذكر أهل العلم رحمهم الله : أن من صلى إلى غير القبلة ناسياً ، فإنه يعيد الصلاة ؛ لإخلاله بشرط من شروط الصلاة

Para ulama Rahimahumullah mengatakan: bahwa orang yang shalat tidak menghadap kiblat karena lupa maka dia wajib mengulangi shalatnya, sebab dia telah kehilangan salah satu syaratnya shalat.(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 192773)

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah berkata:

فمن صلى إلى غير القبلة ممن يقدر على معرفة جهتها – عامدا أو ناسيا – بطلت صلاته , ويعيد ما كان في الوقت , إن كان عامدا , ويعيد أبدا إن كان ناسيا

Siapa yang shalat tidak menghadap kiblat padahal dia mampu untuk mengetahui arahnya -secara sengaja atau lupa- maka shalatnya batal. Maka dia ulangi di waktu itu jika dia sengaja tidak menghadap kiblat, dan dia mengulangi di waktu yg tidak terbatas jika lupa.(Al Muhalla, 2/259)

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Merutinkan Surat As Sajadah di Shalat Subuh Hari Jumat, Adakah Dasarnya?

▫▪▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikumwr.wb
Mohon ijin bertanya Ustadz, kebiasaan Masjid deket rumah setiap Shubuh pada hari jumat adalah membaca surat sajdah dan melakukan sujud tilawah di rakaat pertama. yang jadi pertanyaan apakah diperbolehkan kalau di rutinkan seperti itu (setiap jumat)?, Terimakasih Ustad atas jawabannya. (+62 895-1684-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Ya, merutinkan membaca surat As Sajadah saat shalat subuh di hari Jumat, berdasarkan hadits berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْجُمُعَةِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ الم تَنْزِيلُ السَّجْدَةَ وَهَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنْ الدَّهْرِ

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu berkata, “Nabi ﷺ dalam shalat Fajar (Subuh) membaca: “ALIF LAAM MIIM TANZIIL (Surah As Sajadah), dan ‘HAL ATAA ‘ALAL INSAANI HIINUM MINAD DAHRI (Surah Al Insaan).”

(HR. Bukhari no. 891)

Hadits ini menunjukkan bahwa SUNNAH dalam shalat subuh di hari Jumat, membaca surat As Sajadah di rakaat pertama secara sempurna dan Al Insan di rakaat kedua secara sempurna. Bukan dipotong-potong seperti yang dilakukan orang-orang saat ini.

Syaikh Raghib As Sirjaniy Hafizhahullah menjelaskan:

وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرأ السورتين كاملتين، ولم يكن يختار آية السجدة وما حولها من آيات كما يفعل بعض الناس اليوم، ولا أدري ما الذي جعل الناس تعتقد أن المراد بقراءة سورة السجدة هي آية السجدة تحديدًا! إنما السُّنَّة أن نقرأ سورة السجدة كاملة في الركعة الأولى، ثم نقرأ سورة الإنسان كاملة في الركعة الثانية، ولا حُجَّة لمن يقول: إن النبي صلى الله عليه وسلم كان لا يُطَوِّل في صلاته بالناس. لأن التطويل أو التخفيف أمر نسبي، والمعيار الدقيق له هو سُنَّة الرسول صلى الله عليه وسلم، وهي في فجر الجمعة تكون كما وضَّحنا

Dahulu Nabi ﷺ membaca dua surat secara sempurna, Beliau tidak memilih ayat sajadah dan sekitarnya saja sebagaimana yang dilakukan sebagian manusia hari ini. Saya tidak tahu apa yang membuat manusia memahami bahwa membaca surat sajadah hanyalah terbatas pada ayat sajadah saja. Yg SUNNAH itu adalah kita membaca surat As Sajadah di rakaat pertama secara sempurna dan surat Al Insan di rakaat kedua secara sempurna.

Bukan alasan bagi mereka yang mengatakan “Sesungguhnya Nabi ﷺ tidak memanjangkan shalatnya bersama manusia”. Karena memanjangkan dan meringankan adalah perkara yang relatif (nisbi), parameter yang paling tepat adalah sunah Nabi ﷺ di mana pada shalat subuh di hari Jumat Nabi ﷺ melakukan seperti yang telah kami jelaskan.

(Lihat http://iswy.co/e14h5i)

Kesunnahan ini, para ulama berselisih apakah dirutinkan atau tidak ?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah berkata:

نعم كان النبي صلى الله عليه وسلم يقرأ بهما «ويديم على ذلك»، وهذه اللفظة ليست في الصحيحين، ولكن لا تنافي ما في الصحيحين، لكن لو أنه خشي أن يظن العامة أن قراءتهما فرض فلا بأس أحياناً أن يقرأ بغيرهما مثل في الشهر مرة، أو في الشهر مرتين

Ya, Nabi ﷺ dahulu membaca dua surat tersebut “dan dia merutinkan hal itu” dan lafaz ini bukan dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim), tetapi tidak mengingkari apa yang ada pada Shahihain.

Tapi jika dia khawatir orang kebanyakan mengira itu wajib maka boleh baginya kadang dia membaca selain kedua surat lain, misalnya dalam sebulan sekali atau dua kali. (Selesai)

Ada pun meruntinkan membaca As Sajadah, jika karena meyakini sebagai kemestian dan bertujuan semata-mata ayat sajadahnya di subuh hari Jumat, maka sebagian imam memakruhkannya.

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

أما إذا كان مقصوده أنه لابد أن يصلي في يوم الجمعة بسورة فيها سجدة تلاوة ليسجد ظناً منه أن السجدة مقصودة لذاتها في يوم الجمعة، فهذا عمل مكروه، ولذلك فقد كره بعض الأئمة المداومة على قراءة سورة السجدة يوم الجمعة، دفعاً لتوهم بعض الجهلة من تخصيص يوم الجمعة بسجدة زائدة

Ada pun jika maksudnya adalah diharuskan saat shalat dihari Jumat membaca surat yang ada sujud tilawah agar dia sujud, yang dari itu dia menyangka bahwa sujud tersebut adalah maksud dan tujuan itu sendiri di hari Jumat, maka ini adalah perbuatan MAKRUH.

Oleh karena itu sebagian imam memakruhkan merutinkan membaca surat As Sajadah di hari Jumat untuk mencegah sebagian persangkaan orang bodoh yang mengkhususkan hari Jumat dengan sujud tambahan itu.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 9929)

Kesimpulannya, merutinkannya Sunnah, dan dibacanya tuntas sebagai upaya mengikuti sunah Nabi ﷺ .. ada pun membacanya dengan keyakinan atau mengincar kekhususan ayat sajadah semata justru makruh jika itu dirutinkan.

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Dzikir Setelah Shalat Wajib; Dikeraskan atau Pelankan?

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

ustadz mhn penjelasan dzikir ba’da sholat fardu ada yg disir kan ada yg di jaharkan

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’d:

Terjadi perselisihan para ulama, antara setuju dan tidak.

Pihak yang mengatakan bolehnya mengeraskan suara dalam dzikir setelah shalat, berikut ini dalilnya.

أَنَّ أَبَا مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

Sesungguhnya Abu Ma’bad pelayan Ibnu Abbas, mengabarkan bahwa Ibnu Abbas menceritakan kepadanya, tentang meninggikan suara dalam berdzikir ketika manusia selesai dari shalat wajib, dan hal itu terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkatalah Ibnu Abbas: “Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan (masjid).” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah berkata:

وَفِيهِ دَلِيل عَلَى جَوَاز الْجَهْر بِالذِّكْرِ عَقِب الصَّلَاة

“Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah shalat.” (Fathul Bari, 3/248)

Di halaman yang sama beliau mengutip dari Imam An Nawawi:

وَقَالَ النَّوَوِيّ : حَمَلَ الشَّافِعِيّ هَذَا الْحَدِيث عَلَى أَنَّهُمْ جَهَرُوا بِهِ وَقْتًا يَسِيرًا لِأَجْلِ تَعْلِيم صِفَة الذِّكْر ، لَا أَنَّهُمْ دَاوَمُوا عَلَى الْجَهْر بِهِ ، وَالْمُخْتَار أَنَّ الْإِمَام وَالْمَأْمُوم يُخْفِيَانِ الذِّكْر إِلَّا إِنْ احْتِيجَ إِلَى التَّعْلِيم

“Berkata An Nawawi: “Imam Asy Syafi’i memahami hadits ini bahwa mereka mengeraskan suara yang dengan itu menjadi waktu yang mudah untuk mempelajari sifat dzikir, tidak berarti mereka membiasakan mengeraskan suara, dan pendapat yang dipilih adalah bahwa Imam dan Makmum hendaknya merendahkan suara dalam dzikir, kecuali karena kebutuhan untuk mengajar.” (Ibid)

Jadi, Imam Asy Syafi’i membolehkan jika dalam keperluan mengajar.

Sementara, Imam Abu Hanifah , Imam Malik, dan Imam Ahmad berpandangan bahwa dzikir hendaknya dilakukan sendiri-sendiri dengan suara dipelankan. Dalilnya adalah:

Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’raf (7): 205)

✅ Jalan Tengah

Lalu, bagaimana menyikapi dua dalil yang seakan-akan kontradiktif itu? Berikut penjelasan Imam An Nawawi Rahimahullah:

وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الأَحَادِيْثِ الوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّياَءَ أَوْتَأَذَّى المُصَلُّوْنَ أَوْالنَّائِمُوْنَ. وَالجَهْرُ أَفْضَلُ فِيْ غَيْرِ ذَالِكَ لِأَنَّ العَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرُ وَلِأَنََّ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِيْنَ وَلِأَنَّهُ يُوْقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيُصَرِّفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيُطَرِّدُ النَّوْمَ

“Imam Nawawi menkompromikan (al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya’, mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan ngantuk serta menambah semangat.” (Ruhul Bayan, 3/306).

Demikian. Wallahu A’lam

🌾🍃🌻🌴☘🌺🌷🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

Shalat Jenazah di Kubur

▫▪▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum
Ust tdi ade brta di metrotv, seorang dubes ind untk arab saudi sholat jenazah di kuburan . Bgmna hukum y ust. جزاك الله احسن الجزاء
(+62 896-7005-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Ya, Hal itu dibolehkan berdasarkan hadits berikut.

عَنْ خَارِجَةَ بْنِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ عَمِّهِ يَزِيدَ بْنِ ثَابِتٍ
أَنَّهُمْ خَرَجُوا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَرَأَى قَبْرًا جَدِيدًا فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذِهِ فُلَانَةُ مَوْلَاةُ بَنِي فُلَانٍ فَعَرَفَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاتَتْ ظُهْرًا وَأَنْتَ نَائِمٌ قَائِلٌ فَلَمْ نُحِبَّ أَنْ نُوقِظَكَ بِهَا فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَّ النَّاسَ خَلْفَهُ وَكَبَّرَ عَلَيْهَا أَرْبَعًا ثُمَّ قَالَ لَا يَمُوتُ فِيكُمْ مَيِّتٌ مَا دُمْتُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ إِلَّا آذَنْتُمُونِي بِهِ فَإِنَّ صَلَاتِي لَهُ رَحْمَةٌ

Dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit dari pamannya Yazid bin Tsabit bahwasanya mereka keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari, lalu beliau melihat kuburan baru, beliau bertanya kuburan siapa ini?” para sahabat menjawab ini adalah kuburan fulanah, budak Bani Fulan, Rasulullah ﷺ mengetahui wanita itu yang mati pada waktu dluhur. Engkau sedang tidur siang, kami tidak ingin membangunkanmu karena kematiannya, kemudian Rasulullah ﷺ berdiri dan orang-orang membuat shaf di belakang beliau, lalu beliau bertakbir atasnya empat kali, kemudian beliau bersabda:

“Tidaklah seseorang mati diantara kalian selama aku masih berada ditengah-tengah kalian kecuali kabarkan aku tentangnya, karena shalatku adalah rahmat baginya.” (HR. An Nasa’i no. 2022, SHAHIH)

Hanya saja para ulama berbeda pendapat, sampai kapankah itu dilakukan ? Ada yang memberikan batasan maksimal setelah tiga hari penguburan, ada pula sebulan, bahkan ada pula yang mengatakan tidak ada batasan sebab itu tidak ada dalilnya.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

ومن فاتته الصلاة عليه، صلى على القبر، وجملة ذلك أن من فاتته الصلاة على الجنازة، فله أن يصلي عليها ما لم تدفن، فإن دفنت، فله أن يصلي على القبر إلى شهر، هذا قول أكثر أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، وغيرهم، وروي ذلك عن أبي موسى، وابن عمر، وعائشة -رضي الله عنهم- وَإِلَيْهِ ذَهَبَ الْأَوْزَاعِيُّ، وَالشَّافِعِيُّ

Siapa yang ketinggalan shalat jenazah, maka dia hendaknya shalat di kuburnya. Secara umum, siapa yang tertinggal shalat jenazah hendaknya dia shalat dikuburnya saat dia belum dikubur. Jika sudah dikubur, maka dia boleh shalat dikuburnya sampai waktu satu bulan (setelah penguburan). Inilah pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi ﷺ dan selain mereka. Hal ini diriwayatkan dari Abu Musa, Ibnu Umar, dan Radhiallahu Anhum. Ini juga pendapat Al Auza’iy dan Asy Syafi’iy.

(Al Mughni, 2/381)

Sementara, Imam Ibnu Hazm Rahimahullah berkata:

أما أمر تحديد الصلاة بشهر أو ثلاثة أيام فخطأ لا يشكل ، لأنه تحديد بلا دليل

Ada pun permasalahan pembatasan shalatnya selama sebulan, atau tiga hari, ini keliru, karena ini pembatasan yang tidak ada dalilnya. (Al Muhalla, 3/366)

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top