Hukum Sholat Ghoib

💥💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalaamu ‘alaikum WrWb. Ustadz Farid yang di rakhmati Alloh. Tentang syariat shalat gaib. Di masyarakat, saya temukan shalat gaib dilakukan bila ada pemberitahuan kematian. Saya pernah membaca bahwa shalat gaib hanya dilakukan bagi muslim yang tidak di shalatkan (shalat jenazah). Ustadz, bagaimana sebenarnya hukum dan tatacara shalat gaib? Bolehkah setiap muslim yang meninggal dilakukan shalat gaib? (@Islamku)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah wash shalatu was Salamu ‘Ala rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:

Shalat ghaib adalah masyru’ (disyariatkan). Tetapi kepada siapa dilaksanakannya? Apakah kepada setiap mayit muslim? ataukah bagi yang bertinggal di daerah yang memang tidak ada yang menshalatkannya. Lalu, jika sudah ada yang menshalatkannya maka kewajiban menshalatkannya adalah gugur, baik shalat jenazah atau shalat ghaib. Ataukah khusus bagi tokoh-tokoh tapi tidak bagi manusia biasa? Bagaimanakah ini?

Imam Bukhari meriwayatkan sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ وَخَرَجَ بِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkabung atas Najasyi ketika hari wafatnya, dan Beliau keluar menuju lapangan bersama mereka (para sahabat) lalu membuat barisan dan bertakbir empat kali. (HR. Bukhari No. 1333)

Kisah ini menunjukkan bahwa shalat ghaib telah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kepada seorang muslim (Najasyi), dan dia seorang raja yang menyembunyikan keislamannya, yang tinggal di negeri kafir. Artinya tidak ada yang menshalatkannya di negerinya sendiri. Itulah sebabnya Beliau dishalatkan secara ghaib oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan ini adalah shalat ghaib yang pertama dilakukan oleh nabi sekaligus yang terakhir.

Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat:

📌 bahwa shalat ghaib adalah khusus Najasyi,

📌atau ada juga yang mengatakan boleh juga bagi yang memiliki kasus seperti Najasyi; tinggal di negeri kafir dan tidak ada yang menshalatkannya.

📌 Ada juga yang mengatakan bahwa itu khusus bagi raja, ulama, dan tokoh sebagaimana Najasyi, bukan untuk rakyat kebanyakan.

Berkata Al Ustadz Dr. Su’ud Abdullah Al Funaisan:

فالحنفية والمالكية لا يجوزون الصلاة على الميت الغائب وهي رواية في مذهب أحمد. ووجه ذلك عندهم أنه لم ينقل عن الرسول صلى الله عليه وسلم أنه صلى صلاة الغائب على غير النجاشي ، ويرون أن صلاة الغائب خاصة به، وقالوا أيضا أنه مات كثير من الصحابة خارج المدينة ولم ينقل أن الرسول – صلى الله عليه وسلم – صلى عليهم أو أمر بذلك.
وذهبت الشافعية والحنابلة إلى مشروعية الصلاة على الميت الغائب وتمسكوا بصلاة الرسول – صلى الله عليه وسلم – وصحابته على النجاشي عند موته ولا يرون خصوصيتها به لعدم النص على ذلك، وقالوا : الأصل في الأحكام العموم وعدم الخصوصية.
والذي يظهر لي – والله أعلم – بعد النظر والتأمل في النصوص: أن صلاة الغائب جائزة إذا كان المتوفى له شأن بين المسلمين في الصلاح والعلم أو الدعوة إلى الله، أو كان زعيما وأميراً – كما هي الحال في النجاشي – رحمه الله – .
أما إذا كان الميت من آحاد الناس وعامتهم فلا تشرع صلاة الغائب عليه حينئذ .

Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpandangan tidak bolehnya shalat kepada mayit yang ghaib, dan ini juga satu riwayat dari pendapat Ahmad. Alasan mereka adalah karena tidak pernah diriwayatkan dari Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat ghaib kepada selain Najasyi, mereka berpendapat bahwa shalat ghaib adalah khusus bagi Najasyi. Mereka juga mengatakan, bahwa para sahabat banyak yang wafat di luar Madinah, tetapi tidak ada riwayat yang menyebut bahwa Beliau melakukan shalat ghaib atau memerintahkan hal itu.

Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat disyariatkannya shalat ghaib, berdasarkan riwayat shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama sahabatnya untuk Najasyi ketika hari wafatnya. Mereka tidak menilai bahwa ini khusus bagi dia saja, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususan itu. Mereka mengatakan: asal dari hukum adalah keumumannya, tidak secara khusus.

Ada pun yang benar menurutku adalah –wallahu a’lam- setelah memperhatikan dan melihat nash-nash yang ada; shalat ghaib adalah boleh jika yang wafat itu tinggal bersama kaum muslimin dalam keadaan baik, berilmu, dan penyeru dakwah ilallah, atau dia seorang pemimpin dan penguasa, sebagaimana begitulah keadaan Najasyi Rahimahullah.

Sedangkan jika yang wafat adalah salah satu dari manusia dan rakyat kebanyakan, maka saat itu tidak disyariatkan shalat ghaib. (Al Khulashah, 2/223)

Berbeda dengan di atas, ulama lain mengatakan shalat ghaib juga berlaku bagi umat Islam secara umum.

Disebutkan dalam Al Khulashah fi Ahkamisy Syahid juga:

فإن الصلاة على الغائب (أي: المسلم الذي مات في بلد آخر) جائزة، فقد روى الشيخان صلاة النبي صلى الله عليه وسلم والصحابة معه على النجاشي لما مات في الحبشة.
وتصلى صلاة الغائب على كل مَن تُصلى عليه صلاة الجنازة، وهو: كل مسلم مات: ذكراً كان أم أنثى، صغيراً كان أم كبيراً، باتفاق الفقهاء.

Sesungguhnya Shalat Ghaib (yaitu shalat kepada muslim yang wafat di negeri lain) adalah boleh. Telah diriwayatkan oleh Syaikhan (Bukhari dan Muslim) tentang shalatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat bersamanya terhadap mayat Najasyi yang wafat di Habasyah.

Dilakukannya shalat ghaib adalah untuk setiap orang yang dishalatkan jenazahnya, dia adalah setiap muslim yang wafat, baik laki-laki atau wanita, anak-anak atau orang tua, menurut kesepakatan para fuqaha. (Al Khulashah fi Ahkamisy Syahid, 2/141)

Demikianlah perbedaan pendapat para fuqaha dalam hal ini. Pandangan yang mengatakan bahwa shalat ghaib boleh dilakukan untuk setiap muslim adalah pendapat yang lebih kuat. Insya Allah. Inilah pendapat Syafi’iyah, Hanabilah, dan lainnya.

Ada beberapa alasan:

– Tidak ada dalil yang menunjukkan khusus buat Najasyi dan khusus buat tokoh saja. Nash yang ‘am (global – umum) mesti dipakai selama yang khas (khusus-spesifik) tidak ada.

– Walaupun Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam hanya sekali melakukan shalat ghaib, dan tidak pernah melakukannya kepada mayat lainnya, itu sama sekali tidak menghilangkan nilai pensyariatannya. Pengulangan bukanlah syarat untuk pensyariatan sebuah amalan. Syariat shalat ghaib tetaplah berlaku selama belum ada yang menasakh(menghapus)-nya, walaupun dalam sejarahnya nabi hanya melakukan sekali seumur hidupnya.

– Pensyariatan shalat ghaib untuk semua mayit muslim di tempat lain, adalah lebih sesuai dengan rahmat dan keadilan Islam yang tidak pilih kasih bagi umatnya.

Ada pun bagi mayit muslim yang berada di negeri kafir, dan di sana tidak ada yang menshalatkannya, maka wajib -bukan hanya boleh- bagi muslim di negeri lain yang mengetahuinya untuk menshalatkan secara ghaib, sebab shalat ghaib saat itu seperti shalat jenazah, yakni fardhu kifayah. Ada pun jika mayit tersebut tinggal di negeri muslim, dan sudah ada yang menshalatkannya maka gugurlah kewajiban yang lainnya, termasuk shalat ghaib. Gugur kewajiban bukan berarti tidak boleh dilaksanakan. Demikian.

Wallahu A’lam

☘🌺🌴🌷🌸🌾🍃🌻

✏ Farid Nu’man Hasan

Syarah Matan Abu Syuja’ (Al Ghaayah wa At Taqriib) (Bag. 1) – Kitab Ath-Thaharah

💢💢💢💢💢💢

Pembahasan pertama:

كتاب الطهارة

Kitab Ath Thaharah

▪ Kitab artinya mengumpulkan (الضم) dan menghimpun (الجمع). Ini definisi secara bahasa.

▪ Secara istilah, adalah isim (kata benda) untuk beragam jenis hukum-hukum.

▪ Sedangkan Bab, adalah rincian pembagian dibawah jenis-jenis tersebut. (Fathul Qarib Al Mujib, Hal. 11. Lafzh Lil Kutub)

▫ Imam Abu Syuja’ Rahimahullah memulai kitabnya ini, dengan Kitab Ath Thaharah (Bersuci). Masalah thaharah ini sangat penting untuk sah tidaknya ibadah, oleh karenanya selalu di bahas pada bab pertama di semua kitab fiqih.

🌸 Thaharah ada dua macam:

💦 Ath Thaharah Al Qalbiyah (bersuci hati), yaitu mensucikan hati dari semua bentuk syirik, penyakit hati seperti; hasad, su’uzn zhan, ‘ujub, dan semisalnya

💦 Ath Thaharah Al Jismiyah (bersuci badan), ini juga dibagi menjadi dua:

🔹 Ath Thaharah minal Ahdaats, bersuci dari berbagai hadats, hadats besar dengan mandi besar (mandi janabah/mandi wajib) , sedangkan hadats kecil dengan wudhu.

🔸 Ath Thaharah minal anjas wal aqdzaar, bersuci dari najis dan kotoran seperti air kencing, tinja, liur anjing, dan semisalnya. Untuk air kencing dan tinja, disucikan dengan dicuci sebersih-bersihnya. Untuk air liur anjing, dicuci 7 kali awalnya atau salah satunya dengan tanah.

(Bersambung …)

🌵🌷🌴🌸🌾🍃🌹🌾🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Berdiri Saat Dibacakan kisah Kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum Ustadz apa hukumnya mengenai pengajian ibu2 yg membaca rawi lalu berdiri saat pembacaan sholawat..mhn pencerahannya🙏🏻 (+62 896-3873-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh …

Dalam hal ini ada dua pendapat ulama:

1. Bid’ah

Ini difatwakan, diantaranya oleh Imam Ibnu Hajar Al Haitami Rahimahullah:

ونظير ذلك فعل كثير عند ذكر مولده ( صلى الله عليه وسلم ) ووضع أمه له من القيام وهو أيضاً بدعة لم يرد فيه شيء على أن الناس إنما يفعلون ذلك تعظيماً له ( صلى الله عليه وسلم ) فالعوام معذورون لذلك بخلاف الخواص والله سبحانه وتعالى أعلم بالصواب

Semisal dengan itu adalah perilaku banyak orang saat ini berdiri saat membaca Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam , ini juga bid’ah. Tidak ada sedikit pun riwayat tentang itu untuk manusia lakukan. Hal itu dilakukan untuk memuliakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Orang awam dimaafkan melakukan itu, sedangkan orang-orang khusus berbeda dengan mereka. Wallahu a’lam (selesai). (Al Fatawa Al Haditsiyah, 1/58)

2. Boleh

Pihak yang membolehkan, sebagai penghormatan atas Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam saat namanya disebut saat kisah kelahirannya. Penghormatan kepada nabi sama juga penghormatan kepada Allah Ta’ala.

Ini dikatakan oleh Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan Rahimahullah, Mufti Mekkah bermadzhab Syafi’i di abad 19.

Juga dikatakan oleh Syaikh Abdul Ghaniy Hamaadah Rahimahullah dalam kitab: Fadhludz Dzaakiriin war Raddul Munkiriin dalam Bab;

(الاحتفال بالمولد النبوي والقيام عند ذكر ولادته صلى الله عليه وسلم):

Peringatan Maulid Nabi dan Berdiri Saat Disebutkan Kelahiran Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam

Beliau menulis 12 dalil masalah ini, saya kutip beberapa saja:

(1) أن عدم الفعل ليس بدليل وقد مر هذا البحث في هذه الرسالة في بحث (الأصل الإباحة فيما لا نص فيه)

1. Tidak adanya contoh dari nabi, bukanlah dalil untuk melarangnya. Ini sudah dibahas dalam risalah ini, pada Bab Hukum Asal Perbuatan adalah boleh pada hal-hal yang tidak ada nash-nya.

(2) أن الحرام أو المكروه لابد فيه من نص شرعي ينص على حرمته أو كراهته.

2. Haram atau makruh harus ada keterangan padanya dari dalil syar’iy yang menyebutkan haram dan makruhnya.

(3) إذا كان كل شيء لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم بدعة منكرة وحرام فالنبي صلى الله عليه وسلم لم يأكل مآكلنا ولم يشرب شرابنا ولم يلبس لباسنا ولم ينم منامنا ولم يعمل أعمالنا فجميع حركاتنا وسكناتنا لم يفعلها رسول الله صلى الله عليه وسلم فيكون كل هذا حرام علينا فعله فمعناه على قول المبتدعين جميع المسلمين اجتمعوا على ضلال وارتكبوا المحرمات وهذا قول باطل لم يقله جاهل لأنه مخالف للقرآن قال تعالى: ” يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْر ” [البقرة:185] ومخالف لأحاديث رسول الله الصحيحة قال صلى الله عليه وسلم: (إن أمتي لم تجتمع على ضلالة الخ) حديث صحيح. وقال أيضاً: (إن الله لا يجمع أمتي على ضلالة ويد الله على الجماعة ومن شذ شذ إلى النار) رواه الترمذي عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه

3. Jika semua yang tidak dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah bid’ah yg Munkar, dan haram, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah makan bukan makanan kita, minum bukan minuman kita, memakai pakaian yang bukan pakaian kita, tidur bukan tidurnya kita, beraktifitas bukan aktifitas kita, maka semua gerakan dan diamnya kita tidaklah dilakukan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, jadi semua ini haram atas kita karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak melakukannya.

Jadi ringkasnya, di mata org yg suka membid’ahkan itu semua kaum muslimin sesat dan telah menjalankan perbuatan haram. Jelas, ini adalah pendapat yang batil dan tidak akan dikatakan orang bodoh sekali pun dan bertentangan dengan Al Qur’an:

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu (QS. Al Baqarah: 185)

Dan bertentangan dengan hadits Nabi:

Sesungguhnya umatku tidak akan sepakat dalam kesesatan .. dst. Hadits Shahih.

Juga hadits:

Sesungguhnya Allah tidak akan meng-ijma’kan umatku dalam kesesatan, dan tangan Allah bersama jamaah, barang siapa yang menyempal maka dia menyempalke neraka. (HR. At Tirmidzi, dari Umar bin Khattab Radhiallahu ‘Anhu)

………. Dst. (Selesai)

▪▪▪▫▫▫

Nah, .. bagi sebagian kaum muslimin hal ini bisa jadi bukan kebiasaannya. Maka, tidak dipaksa untuk ikut meyakininya, jika memang ini bukan keyakinannya. Sebagaimana mereka juga tidak serta merta menyebut sesat yang melakukannya.

Pihak yang melakukannya, tidak boleh juga menyerang kepada yang tidak melakukannya dgn sebutan “tidak cinta nabi” misalnya, atau sebutan Wahabi, sebab pihak yg menolak seperti Imam Ibnu Hajar Al Haitami bukan seorang Wahabi sebab dia dilahirkan jauh sebelum Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah dilahirkan.

Anggaplah Ini adalah kekayaan khazanah fiqih Islam yang mengenyangkan dahaga ilmu, bukan senjata untuk saling menikam sesama muslim.

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌱🌴🌾🌸🍃🌵🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Makan Tulang Lunak

💥💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Aslm. Ustad, Akhir-akhir ini banyak tempat makan yg menawarkan ayam atau ikan tulang lunak (tulang keras yg diberi bahan lain hingga lunak). Pertanyaan saya adalah apa hukum makan tulang baik tulang hewan darat maupun hewan air (tulang keras dan tulang lunak), adakah tuntunan dari Nabi saw? Jazakallahu khair atas penjelasannya ustad.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah .., Bismilkah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ba’d:

Tidak kita dapati dalil pelarangan makan tulang, selama tidak melahirkan mudharat bagi pemakannya.

Allah ﷻ berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

“Dialah yang menciptakan buat kalian apa-apa yang ada di bumi semuanya . (QS. Al Baqarah: 29)

Ayat ini menegaskan sebuah prinsip besar, bahwa semua yang ada di bumi adalah halal dan suci, selama belum ada dalil shahih dan tegas yang mengharamkannya.

Imam Asy Syaukani menjelaskan:

أن الأصل في الأشياء المخلوقة الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل

Sesungguhnya hukum asal dari segala ciptaan adalah mubah, sampai tegaknya dalil yang menunjukkan berubahnya hukum asal ini. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 1/64. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Dalil As Sunnah:

الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه

“Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan.” (HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya: hadits gharib. Ibnu Majah No. 3367, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 6124. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1726. Juga dihasankan oleh Syaikh Baari’ ‘Irfan Taufiq dalam Shahih Kunuz As sunnah An Nabawiyah, Bab Al Halal wal Haram wal Manhi ‘Anhu, No. 1 )

Kaidah ini memiliki makna yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Mereka dibebaskan untuk melakukan apa saja dalam hidupnya baik dalam perdagangan, politik, pendidikan, militer, keluarga, dan semisalnya, selama tidak ada dalil yang mengharamkan, melarang, dan mencelanya, maka selama itu pula boleh-boleh saja untuk dilakukan. Ini berlaku untuk urusan duniawi mereka. Tak seorang pun berhak melarang dan mencegah tanpa dalil syara’ yang menerangkan larangan tersebut.

Oleh karena itu, Imam Muhammad At Tamimi Rahimahullah sebagai berikut menjelaskan kaidah itu:

أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكرهه

“Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh Syari’ (pembuat Syariat) maka hal itu dimaafkan, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.” (Imam Muhammad At Tamimi, Arba’u Qawaid Taduru al Ahkam ‘Alaiha, Hal. 3. Maktabah Al Misykah)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:

وهو سبحانه لو سكت عن إباحة ذلك وتحريمه لكان ذلك عفوا لا يجوز الحكم بتحريمه وإبطاله فإن الحلال ما أحله الله والحرام ما حرمه وما سكت عنه فهو عفو فكل شرط وعقد ومعاملة سكت عنها فإنه لا يجوز القول بتحريمها فإنه سكت عنها رحمة منه من غير نسيان وإهمال

Dia –Subhanahu wa Ta’ala- seandainya mendiamkan tentang kebolehan dan keharaman sesuatu, tetapi memaafkan hal itu, maka tidak boleh menghukuminya dengan haram dan membatalkannya, karena halal adalah apa-apa yang Allah halalkan, dan haram adalah apa-apa yang Allah haramkan, dan apa-apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan. Jadi, semua syarat, perjanjian, dan muamalah yang didiamkan oleh syariat, maka tidak boleh mengatakannya haram, karena mendiamkan hal itu merupakan kasih sayang dariNya, bukan karena lupa dan membiarkannya. (I’lamul Muwaqi’in, 1/344-345)

Kemudian ….

Tentang manusia makan tulang ikan, ayam, dan semisalnya, selain memang tidak ada dalil pengharamannya, justru kita dapati dalil pembolehannya.

Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

لكم كل عظم ذكر اسم الله عليه يقع في أيديكم أوفر ما يكون لحما وكل بعرة علف لدوابكم

Setiap tulang yang disebutkan nama Allah padanya adalah buat makanan kalian, ketika dia ada di tangan kalian (untuk di makan) maka dia akan menjadi daging. Sedangkan semua kotorannya menjadi makanan buat hewan kalian. (HR. Muslim No. 450)

Hadits ini begitu jelas kebolehannya, sedangkan larangan yang ada adalah terlarang menjadikan tulang sebagai alat buat istinja (cebok).

Nabi ﷺ bersabda:

فلا تستنجوا بهما فإنهما طعام إخوانكم

Maka, janganlah kalian beristinja dengan keduanya (tulang dan kotoran yang sudah kering) karena keduanya adalah makanan saudara kalian (maksudnya jin). (HR. Muslim No. 450)

Informasi bahwa Jin juga makan tulang, tidaklah menjadikannya sebagai makanan haram bagi manusia. Tidak ada dasar atau kaidah yang membuat kesimpulan seperti itu.

Wallahu A’lam

🍃🌻🌺☘🌷🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top