Fitnah Kesenangan

💢💢💢💢💢💢

Nafsu manusia menginginkan hidupnya selalu senang, padahal kesenangan belum tentu membawa kebahagiaan hakiki.

Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifiy mengatakan:

فتنة السراء تُبعد عن الله أكثر من فتنة الضراء. قال عبدالرحمن بن عوف: (ابتلينا بالضراء فصبرنا ثم ابتلينا بالسراء فلم نصبر)
– عبد العزبز الطريفي

Fitnah kesenangan dapat menjauhkan diri dari Allah lebih banyak dibanding fitnah kesusahan. Berkata Abdurrahman bin ‘Auf: “Kita diuji dengan kesusahan maka kita mampu bersabar, kemudian kita diuji dengan kesenangan tapi kita tidak mampu bersabar.”

📚 Aqwaal Ad Du’aat Al Mu’ashirin

▪▫▪▫▪▫▪▫

✍ Farid Nu’man Hasan

Membaca Amin, Panjang atau Pendek?

💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu alaikum….ustadz ada yg meributkan aamiin dengan amin…apakah maknanya berbeda…mohon penjelasannya…jazakallah (+62 821-5029-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh …

Bismillah wal Hamdulillah ..

Membaca amin, sunnahnya adalah dipanjangkan yaitu aamiin ..

Dari Wail bin Hujr, dia berkata:

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ: (غَيْرِ المَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ) ، فَقَالَ: (آمِينَ) ، وَمَدَّ بِهَا صَوْتَهُ

Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca: Ghairi Maghdhuubi ‘Alaihim wa Ladh dhaaliin, lalu nabi membaca: aamiin.
Dengan suara yg dipanjangkan.

(HR. At Tirmidzi no. 248, Shahih)

Dalam riwayat Al Baihaqi (2/83) :

رَفَعَ صَوْتَهُ بِآمِينَ وَطَوَّلَ بِهَا

Ditinggikan suaranya aamin dan dipanjangkan.

Namun, demikian jika dibaca pendek juga tidak masalah. Sebab, amin dalam konteks doa bukanlah bahasa Arab, tapi bahasa Ibrani yg tidak mengenal panjang pendek, yang bermakna:

Allahumma istajib (Ya Allah kabulkanlah)!

Maka, kita lihat … Yahudi dan Nasrani pun juga memakai amin dalam doa mereka.

Sedangkan “Amin” dalam bahasa Arab, bermakna orang terpercaya, orang yg dapat menjaga amanah. Seperti gelar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam, yaitu Al amiin, beda makna dgn amin setelah berdoa.

Oleh karena itu membaca aamiin dalam setelah doa, boleh panjang, boleh pendek.

Imam Ali Al Qari berkata:

وَيَجُوزُ فِيهِ الطُّولُ وَالتَّوَسُّطُ وَالْقَصْرُ ، أَوْ مَدٌّ بِأَلْفِهَا ، فَإِنَّهُ يَجُوزُ قَصْرُهَا وَمَدُّهَا

Dibolehkan membacanya dgn panjang, pertengahan, atau pendek, atau panjang satu alif, maka boleh dibaca dgn pendeknya atau panjangnya.

(Mirqah Al Mafatih, 2/296)

Jadi masalah ini luwes aja. Mendebatkan amin atau aamiin adalah perdebatan yang capek deeh…..

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

والأمر في هذا واسع ، إن شاء الله

Permasalahan dalam hal ini begitu lapang. Insya Allah. (Fatawa Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 216571)

Demikian. Wallahu a’lam

☘🌸🌷🌹🍀🎋🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

Memperpanjang Takbir Saat Bangun Dari Sujud, Adakah Dasarnya?

💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Dalam sholat berjama’ah, terkadang kami dapati imam dalam membaca takbir perpindahan gerak misal dari sujud ke berdiri dibaca lebih panjang dari 2 harakat dan saat dari sujud ke tahiyyat terkadang ada yang intonasinya berbeda. Adakah tuntunannya tentang hal ini? (+62 852-1671-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah ..

Untuk takbir intiqaal (perpindahan antar posisi shalat), tidak ada riwayat bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memanjangkan. Tetapi memang sebagian ulama menganjurkan, yg lain tetap tidak menganjurkan.

Pihak yg menganjurkan, berhujjah dengan hadits ini:

كان إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ

Dahulu jika Nabi mendirikan shalat Beliau bertakbir saat berdiri kemudian bertakbir saat ruku’. (HR. Bukhari no. 789, Muslim no. 392)

Kalimat yukabbiru hiina yarka’, bertakbir saat ruku’, menunjukkan adanya pemanjangan.

Oleh karena itu Imam An Nawawi berkata:

هَذَا دَلِيل عَلَى مُقَارَنَة التَّكْبِير لِهَذِهِ الْحَرَكَات وَبَسْطه عَلَيْهَا ، فَيَبْدَأ بِالتَّكْبِيرِ حِين يَشْرَع فِي الِانْتِقَال إِلَى الرُّكُوع وَيَمُدّهُ حَتَّى يَصِل حَدَّ الرَّاكِعِينَ ….” انتهى

Ini dalil adanya perbandingan takbir pada gerakan-gerakan ini dan memperpanjangnya. Takbir dimulai saat perpindahan sampai ruku’, dan memanjangkannya sampai batas orang yg ruku’ …. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 4/99)

Tapi, Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani mengoreksi Imam An Nawawi dengan mengatakan:

ودلالة هذا اللفظ على البسط الذي ذكره غير ظاهرة

Relasi Lafaz ini dengan makna memanjangkan sebagaimana yang disebutkannya (Imam An Nawawi) tidaklah benar. (Fathul Bari, 2/273)

Imam Ash Shan’ani juga menanggapinya dengan mengatakan:

وأما القول بأنه يمد التكبير حتى يتم الحركة ، فلا وجه له، بل يأتي باللفظ من غير زيادة على أدائه ولا نقصان منه

Ucapan Imam An Nawawi bahwa itu memanjangkan takbir sampai sempurna gerakan, tidak ada sisi dalilnya, tetapi lafaz itu mesti dilakukan tanpa tambahan dan pengurangan. (Subulussalam, 1/367)

Ibrahim An Nakha’iy berkata:

التكبير جذم ..

Takbir itu jadzm (Al Mushannaf, Imam Abdurraazzaq, no. 2553)

Abdurazzaq berkata maksud jadzm adalah: Laa yumad – tidak dipanjangkan.

Pendapat yg pertengahan adalah penjelasan Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin Rahimahullah. Menurutnya memanjangkan takbir intiqaal tidak ada dalilnya, tapi masalah ini masalah yang lapang saja selama tidak mengubah artinya. Tapi lebih utama adalah mengikuti Sunnah yaitu tidak memanjangkannya ..

Beliau berkata:

ولكن؛ الظاهرُ ـ والله أعلم ـ أنَّ الأمرَ في هذا واسعٌ ما لم يُخِلَّ بالمعنى، ولكن ليس مدَّها بأفضل مِن قصرها كما يتوهَّمُه بعض الناس….. والنبيُّ صلّى الله عليه وسلّم لم يُنقل عنه أنه كان يفرِّقُ بين التَّكبيراتِ، بل إن ظاهر صنيعه عليه الصَّلاةُ والسَّلامُ أنه لا يُفرِّقُ….. وأهمُّ شيءٍ هو اتِّباعُ السُّنَّةِ …..

Tetapi, yang benar -wallahu a’lam- masalah ini luas saja selama tidak merusak makna. Namun bukan berarti memanjangkan lebih utama dibanding memendekkan sebagaimana disangka sebagian orang ..

Tidak ada riwayat dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa Beliau membedakan takbir-takbir ini .. yang benar takbir yang diperbuat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak ada perbedaan .. dan suatu yg terpenting adalah mengikuti Sunnah ..

(Syarhul Mumti’ 3/24-25)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌱🌴🌾🌸🍃🌵🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Menyikapi Hadiah Dari Non Muslim

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Ustadz Bagaimana sikap terbaik dlm islam, terhadap tentangga kita yg akan merayakan natal
Mereka tetangga yg baik dan santun
Ketika lebaran, mereka berkunjung ke rumah kami.
Terkadang memberi makanan, apa boleh kami makan?
Kami belum tau makanan itu pesan atau buat sendiri, dan tidak tau apakah mereka meng konsumsi yg diharamkan dlm islam.
Mohon penjelasan ustadz🙏🏼 (+62 811-2017-xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah ..

Hendaknya tetap berbuat baik dalam momen yang lain, yang bukan ritual keagamaan.

Menerima hadiah dari mereka saat hari raya mereka, selama makanan halal, barang halal, bukan makanan acara ritualnya, tidak apa-apa.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

أما قبول الهدية من الكافر في يوم عيده ، فلا حرج فيه ، ولا يعد ذلك مشاركة ولا إقرارا للاحتفال ، بل تؤخذ على سبيل البر ، وقصد التأليف والدعوة إلى الإسلام ، وقد أباح الله تعالى البر والقسط مع الكافر الذي لم يقاتل المسلمين ، فقال : ( لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ) الممتحنة/8.
لكن البر والقسط لا يعني المودة والمحبة ؛ إذ لا تجوز محبة الكافر ولا مودته ، ولا اتخاذه صديقا أو صاحبا

Ada pun menerima hadiah dari mereka saat hari rayanya, tidak apa-apa. Itu tidak dinilai ikut serta dalam perayaan dan menyetujui acara mereka.

Bahkan itu bisa dijadikan sarana kebaikan dan ajakan kepada Islam. Allah Ta’ala telah membolehkan berbuat baik dan adil kepada orang yang tidak memerangi kaum muslimin:

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al Mumtahanah: 8)

Tetapi berbuat baik dan adil bukan berarti menumbuhkan kasih sayang dan Mahabbah (cinta), sebab kasih sayang dan cinta terlarang kepada orang kafir, serta terlarang menjadikan sebagai sahabat dekat.

(Fatawa Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 85108)

Imam Ibnu Taimiyah mengatakan:

وأما قبول الهدية منهم يوم عيدهم فقد قدمنا عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه أنه أتي بهدية النيروز فقبلها

Ada pun menerima hadiah dari mereka saat hari raya mereka, dulu kami telah jelaskan dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu bahwa dia diberikan hadiah pada hari raya Nairuz, dan dia menerimanya.

(Iqtidha Shirath al Mustaqim, Hal. 251)

Ibnu Abi Syaibah menceritakan:

أن امرأة سألت عائشة قالت إن لنا أظآرا [جمع ظئر ، وهي المرضع] من المجوس ، وإنه يكون لهم العيد فيهدون لنا فقالت : أما ما ذبح لذلك اليوم فلا تأكلوا ، ولكن كلوا من أشجارهم

Bahwa ada seorang wanita bertanya kepada Aisyah, katanya: “Kami memiliki wanita-wanita yang menyusui anak kami, dan mereka Majusi, mereka memberikan kami hadiah.”

Aisyah menjawab: “Ada pun makanan yg disembelih karena hari raya itu (makanan ritual), maka jangan kalian makan, tetapi makanlah yang sayuran.” (Ibid)

Bagaimana kalau kita yg memberikan hadiah?

Jika tidak terkait hari raya tidak apa-apa, bahkan bagus untuk mendakwahkan mereka. Dahulu Aisyah Radhiyallahu ‘Anha membawakan makanan kepada ibunya yang masih musyrik, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membolehkannya.

Tapi pemberian itu jika terkait hari raya, itu tidak boleh.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid menjelaskan:

يجوز للمسلم أن يهدي للكافر والمشرك ، بقصد تأليفه ، وترغيبه في الإسلام ، لاسيما إذا كان قريبا أو جارا ، وقد أهدى عمر رضي الله عنه لأخيه المشرك في مكة حلة (ثوبا) . رواه البخاري (2619).

Boleh bagi seorang muslim memberikan hadiah kepada orang kafir dan musyrik, dengan tujuan mengikat hatinya dan mengajaknya kepada Islam. Apalagi jika dia kerabat dekat atau tetangga. Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu pernah memberikan hadiah kepada saudaranya yg musyrik di Mekkah. (HR. Bukhari no. 2619)

لكن لا يجوز أن يهدي للكافر في يوم عيد من أعياده ، لأن ذلك يعد إقرارا ومشاركة في الاحتفال بالعيد الباطل

_Tapi tidak boleh memberikan hadiah kepada orang kafir di hari raya me

reka. Sebab itu dihitung sebagai ikut serta dan pengakuan atas acara hari raya mereka yg batil._

وإذا كانت الهدية مما يستعان به على الاحتفال كالطعام والشموع ونحو ذلك ، كان الأمر أعظم تحريما ، حتى ذهب بعض أهل العلم إلى أن ذلك كفر

Jika hadiah itu dapat membantu perayaan tersebut baik berupa makanan, minuman, dan lainnya. Maka, itu keharamannya besar, sampai ada sebagian ulama berpendapat ini adalah kafir.

(Fatawa Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 85108)

📓 Jadi, kesimpulannya:

– Secara umum menerima atau memberi hadiah kepada non muslim boleh, selama barang dan makanan halal

– Termasuk menerima hadiah dr mereka saat hari raya mereka, selama harta dan makanan halal, bukan barang dan makanan ritual. Ini tidak termasuk ikut membantu acara mereka.

– Kecuali memberikan hadiah saat mereka hari raya, ini terlarang. Sebab termasuk membantu mensukseskan acara mereka.

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌱🌴🌾🌸🍃🌵🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top