Wanita Bernyanyi Di Depan Umum

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum,
Mau tanya..
Apakah perempuan diperbolehkan bernyanyi di depan umum? Padahal di dalam islam suara perempuan itu aurat..

Terimakasih

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah …
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ’ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa man waalah wa ba’d:

Pertanyaan ini ada dua:

1⃣ Pertama. Auratkah suara wanita?

Dalam hal ini para ulama terjadi perselisihan pendapat. Ada yang menyatakan aurat seperti golongan Hanafiyah dan yang mengikuti mereka. Ada yang menyatakan bukan aurat, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Walau mereka sepakat, bahwa bagi laki-laki ajnabi (asing) jika suara wanita memancing fitnah yang melahirkan syahwat, atau sengaja berlezat-lezat mendengarkannya maka itu aurat dan diharamkan.

📌 Pihak Yang Mengatakan Aurat dan Alasannya

Ada beberapa alasan:

▶ Allah ﷻ berfirman:

وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ

Janganlah kaum wanita menghentakkan kaki-kaki mereka agar diketahui perhiasan mereka yang tersembunyi. (QS. An Nuur: 31)

Ayat ini melarang wanita dengan sengaja memperdengarkan perhiasannya ke laki-laki bukan mahramnya, dan suara wanita termasuk perhiasan bagi mereka, maka itu lebih layak untuk dilarang.

Syakh Abdurraman Al Jazairi menjelaskan:

فقد نهى الله تعالى عن استماع صوت خلخالها لأنه يدل على زينتها فحرمة رفع صوتها أولى من ذلك ولذلك كره الفقهاء أذان المرأة لأنه يحتاج فيه إلى رفع الصوت والمرأة منهية عن ذلك وعلى هذا فيحرم رفع صوت المرأة بالغناء إذا سمعها الأجانب سواء أكان الغناء على آلة لهو أو كان بغيرها وتزيد الحرمة إذا كان الغناء مشتملا على أوصاف مهيجة للشهوة كذكر الحب والغرام وأوصاف النساء والدعوة إلى الفجور وغير ذلك

Allah ﷻ telah melarang mendengarkan suara karena hal itu menunjukkan perhiasannya maka haramnya meninggikan suaranya lebih pantas diharamkan, oleh karena itu para ahli fiqih memakruhkan azan kaum wanita karena azan membutuhkan suara yang ditinggikan dan wanita dilarang untuk itu. oleh karena itu, diharamkan meninggikan suara wanita dalam nyanyian jika yang mendengarkannya adalah laki-laki bukan mahramnya sama saja apakah pakai alat musik, atau tidak, dan keharamannya bertambah jika nyanyian tersebut mengandung penyifatan yang bisa menimbulkan syahwat seperti senandung cinta, rindu, penggambaran tentang wanita, dan ajakan kepada perbuatan keji dan lainnya. (Al Fiqh ‘Alal Madzaahib Al Arba’ah, 5/26)

▶ Anjuran bertepuk tangan bagi wanita untuk merakat kesalahan imam

عن النبي صلى الله عليه وسلم: مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلَاتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ

Dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barangsiapa yang terganggu dalam shalatnya oleh suatu hal maka bertasbihlah, sesungguhnya jika dia bertasbih hendaknya menengok kepadanya, dan bertepuk tangan hanyalah untuk kaum wanita.” (HR. Bukhari No. 652, Muslim No. 421)

Pembedaan dalam hadits ini, yaitu khusus kaum wanita dianjurkan bertepuk tangan, menunjukkan bahwa suara wanita memang aurat. Sebab, jika memang bukan aurat pastilah disamakan dengan kaum laki-laki yaitu ucapan subhanallah.

📌 Pihak Yang Mengatakan Bukan Aurat dan Alasannya

Kelompok ini memiliki beberapa alasan:

▶ Rasulullah ﷺ pernah berbicara dengan kaum wanita.

Allah ﷻ berfirman:

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Al Mujadilah: 1)

▶ Rasulullah ﷺ dan para sahabat (Abu Bakar, Utsman, dan Ali Radhiallahu ‘Anhum) pernah mendengarkan wanita bernyanyi

Dari Buraidah katanya:

خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي كُنْتُ

نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَإِلاَّ فَلاَ. فَجَعَلَتْ تَضْرِبُ، فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَأَلْقَتِ الدُّفَّ تَحْتَ اسْتِهَا، ثُمَّ قَعَدَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ، إِنِّي كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتِ الدُّفَّ

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan peperangan, ketika sudah kembali datanglah kepadanya seorang budak wanita berkulit hitam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku bernadzar jika engkau kembali dalam keadaan selamat aku akan memainkan rebana dan BERNYANYI di hadapanmu.” Rasulullah bersabda, “Jika engkau sudah bernadzar maka pukullah rebana itu, jika tidak bernadzar maka tidak usah dipukul rebananya.” Maka wanita itu pun memainkan rebananya, lalu masuklah Abu Bakar dia masih memainkannya. Masuklah Ali dia masih memainkannya. Masuklah Utsman dia masih memainkannya. Lalu ketika Umar yang masuk, dibantinglah rebana itu dan dia duduk (ketakutan). Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai Umar syetan saja benar-benar takut kepadamu, ketika aku duduk dia memukul rebana, ketika Abu Bakar masuk dia amsih memainkannya, ketika Ali datang dia masih memainkannya, ketika Utsman datang dia masih memainkannya, tapi ketika Engkau yang datang dia lempar rebana itu. (HR. At Tirmdzi No. 3690, katanya: hasan shahih. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya)

Ar Rubayyi binti Mu’awidz Radhiallahu ‘Anha bercerita:

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عُرْسِي، فَقَعَدَ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِي هَذَا، وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تَضْرِبَانِ بِالدُّفِّ، وَتَنْدُبَانِ آبَائِي الَّذِينَ قُتِلُوا يَوْمَ بَدْرٍ، فَقَالَتَا فِيمَا تَقُولَانِ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا يَكُونُ فِي الْيَوْمِ وَفِي غَدٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا هَذَا، فَلَا تَقُولَاهُ

Pada hari pernikahanku Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang, dia duduk di permadaniku ini, aku memiliki dua jariyah (budak wanita remaja) yang sedang memainkan rebana, mereka menyanyikan lagu tentang ayah-ayah kami ketika terbunuh dalam perang Badar, maka mereka berkata, “Di tengah kita ada seorang nabi yang mengetahui apa yang terjadi hari ini dan esok.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ucapan yang ini, janganlah kalian berdua ucapkan.” (HR. Ahmad No. 27021. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: shahih sesuai syarat Imam Muslim. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, 44/570)

▶ Para sahabat Nabi ﷺ juga berbicara dengan kaum wanita serta meriwayatkan hadits dari istri-istri Nabi ﷺ.

Begitu pula ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, Beliau menjenguk ayahnya dan Bilal bin Rabah Radhiallahu ‘Anhu yang sedang demam. ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ، وُعِكَ أَبُو بَكْرٍ وَبِلاَلٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَتْ: فَدَخَلْتُ عَلَيْهِمَا، قُلْتُ: يَا أَبَتِ كَيْفَ تَجِدُكَ؟ وَيَا بِلاَلُ كَيْفَ تَجِدُكَ؟

Ketika Rasulullah ﷺ sampai di Madinah, Abu Bakar dan Bilal mengalami demam. Lalu aku masuk menemui keduanya. Aku berkata: “Wahai ayah, bagaimana keadaanmu? Wahai Bilal bagaimana keadaanmu?” (HR. Al Bukhari No. 5654)

Maka, keterangan ini menunjukkan bahwa pendapat mayoritas ulama bahwa suara wanita bukan aurat adalah lebih argumentatif dan jelas.

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah berkata:

صوت المرأة عند الجمهور ليس بعورة؛ لأن الصحابة كانوا يستمعون إلى نساء النبي صلّى الله عليه وسلم لمعرفة أحكام الدين، لكن يحرم سماع صوتها بالتطريب والتنغيم ولو بتلاوة القرآن، بسبب خوف الفتنة.

Suara wanita menurut mayoritas ulama bukanlah aurat karena dahulu para sahabat Nabi ﷺ mendengarkan dari istri-istri Nabi ﷺ

untuk mempelajari hukum-hukum agama, tetapi diharamkan mendengarkan suara wanita jika melahirkan gairah dan mendayu-dayu walau pun membaca Al Quran, disebabkan khawatir lahirnya fitnah. (Al Fiqhu Al Islami wa Adillatuhu, 1/665)

2⃣ Kedua. Wanita bernyanyi di depan umum

Pada keterangan di atas disebutkan bahwa jika suara wanita melahirkan fitnah yaitu lahirnya syahwat misalnya, maka hal itu terlarang, jika tidak ada fitnah maka tidak apa-apa, walau pun mendengarkan wanita bernyanyi.

Hal ini dikatakan oleh Imam Ali Al Qari, ketika menjelaskan riwayat Buraidah bahwa Rasulullah, Abu Bakar, Utsman, dan Ali Radhiallahu ‘Anhum mendengarkan wanita bernyanyi dan main rebana. Juga riwayat Ar Rubayyi binti Muawidz di atas.

Imam Ali Al-Qari Rahimahullah mengomentari kisah ini:

دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ سَمَاعَ صَوْتِ الْمَرْأَةِ بِالْغِنَاءِ مُبَاحٌ إِذَا خَلَا عَنِ الْفِتْنَةِ

Ini merupakan dalil bahwa mendengarkan suara wanita yang bernyanyi adalah mubah jika tidak ada fitnah. (Mirqah Al-Mafatih, 9/3902)

Syakh Wahbah Az Zuhaili juga mengatakan:

فلا يحرم سماع صوت المرأة ولو مغنية، إلا عند خوف الفتنة

Maka, tidaklah diharamkan mendengarkan suara wanita walau wanita penyanyi kecuali jika khawatir terjadinya fitnah. (Ibid, 2/116)

Imam Asy Syaukani Rahimahullah berkata:

وَرَوَى الْحَافِظُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ حَزْمٍ فِي رِسَالَتِهِ فِي السَّمَاعِ بِسَنَدِهِ إلَى ابْنِ سِيرِينَ قَالَ: إنَّ رَجُلًا قَدِمَ الْمَدِينَةَ بِجَوَارٍ فَنَزَلَ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَفِيهِنَّ جَارِيَةٌ تَضْرِبُ، فَجَاءَ رَجُلٌ فَسَاوَمَهُ فَلَمْ يَهْوَ مِنْهُنَّ شَيْئًا، قَالَ: انْطَلِقْ إلَى رَجُلٍ هُوَ أَمْثَلُ لَكَ بَيْعًا مِنْ هَذَا؟ قَالَ مَنْ هُوَ؟ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ، فَعَرَضَهُنَّ عَلَيْهِ،فَأَمَرَ جَارِيَةً مِنْهُنَّ فَقَالَ لَهَا: خُذِي الْعُودَ، فَأَخَذَتْهُ فَغَنَّتْ فَبَايَعَهُ، ثُمَّ جَاءَ إلَى ابْنِ عُمَرَ إلَى آخِرِ الْقِصَّةِ وَرَوَى صَاحِبُ الْعِقْدِ الْعَلَّامَةُ الْأَدِيبُ أَبُو عُمَرَ الْأَنْدَلُسِيُّ: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ دَخَلَ عَلَى ابْنِ جَعْفَرٍ فَوَجَدَ عِنْدَهُ جَارِيَةً فِي حِجْرِهَا عُودٌ ثُمَّ قَالَ لِابْنِ عُمَرَ: هَلْ تَرَى بِذَلِكَ بَأْسًا؟ قَالَ: لَا بَأْسَ بِهَذَا

Al Hafizh Abu Muhammad bin Hazm meriwayatkan dalam risalahnya tentang As Samaa’ dengan sanadnya, dari Ibnu Sirin, katanya: Ada seorang laki-laki datang ke Madinah bersama tetangganya, mereka berhenti di tempatnya Abdullah bin Umar, pada mereka terdapat jariyah yang sedang main rebana, lalu datang laki-laki yang menawarkannya dan dia sedikitpun tidak tertarik kepadanya. Beliau (Ibnu Umar) berkata: “Pergilah ke laki-laki yang bisa membeli dengan harga lebih dibanding seperti kepunyaanmu dan jual-lah.” Laki-laki itu bertanya: “Siapa dia?” Beliau menjawab: “Abdullah bin Ja’far. Lalu mereka membawanya kepadanya (Abdullah bin Ja’far), lalu salah satu jariyah itu diperintahkan: “Ambil-lah ‘Uud (kecapi).” Lalu dia mengambilnya lalu bernyanyi. Maka laki-laki itu menjualnya. Kemudian dia datang lagi ke Ibnu Umar sampai akhir kisah ini.
Pengarang kitab Al ‘Iqdu, Al ‘Allamah Abu Umar Al Andalusi, meriwayatkan: “Bahwa Abdullah bin Umar masuk ke rumah Abdullah bin Ja’far Radhiallahu ‘Anhuma. Dia dapati di rumahnya itu ada seorang jariyah yang dikamarnya terdapat ‘Uud (kecapi). Lalu Beliau bertanya kepada Ibnu Umar: “Apakah pendapatmu ini boleh-boleh saja?” Beliau menjawab: “Tidak apa-apa.” (Nailul Authar, 8/179. Idarah Ath Thiba’ah Al Muniriyah)

Masalah wanita bernyanyi para ulama juga berselisih pendapat, yang mengharamkan juga ada, sebab tindakan preventif dari fitnah adalah lebih baik. Maka janganlah wanita bernyanyi di depan umum yang juga didengarkan laki-laki bukan mahram.

Tapi, semua sepakat keharamannya jika wanita bernyanyi dengan pakaian menampakkan aurat, ketat, goyang dan menari, atau sekadar melahirkan syahwat saja bagi laki-laki walau mendengarkan suaranya saja dan tanpa melihatnya. Demikian.

Wallahu A’lam

🍃🌻🌺☘🌷🌸🌾🌴

✏ Farid Nu’man Hasan

Cerai Ketika Marah dan Bagaimana Rujuknya

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamu ‘alaikum.. ustadz maaf nich ana mo nanya..
Tadi pagi2 ada temen yg curhat katanya semalem bertengkar sm istri sampe dia mnjatuhkan talak..
Terus dia nanya, apakah kalo talaknya dicabut gugur talaknya apa hrs ijab qobul lg?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Jumhur ulama mengatakan bahwa talak ketika marah adalah tidak sah, hal ini sama dengan talak ketika mabuk, dan tidak sadar. Semua keadaan ini memiliki kesamaan yakni hilangnya kesadaran dan akal sehat. Inilah pandangan jumhur (mayoritas) ulama seperti Utsman bin Affan, Ibnu Abbas, Ahmad, Bukhari, Abusy Sya’ tsa’, Atha’, Thawus, Ikrimah, Al Qasim bin Muhammad, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah, Laits bin Sa’ad, Al Muzani, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan lain-lain. Inilah pendapat yang kuat, bahwa thalak baru jatuh ketika sadar, akal normal, dan sengaja.

Ada juga ulama yang berkata talak orang mabuk dan marah adalah sah seperti Said bin Al Musayyib, Hasan Al Bashri, Az Zuhri, Asy Sya’bi, Sufyan Ats Tsauri, Malik, Abu Hanifah, dan Asy Syafi’i.

Ada pun Imam Ibnu Taimiyah memberikan perincian bahwa jika marahnya sampai tak terkendali dan gelap mata maka talak tidak sah, tapi jika marahnya masih dalam keadaan sadar dan dia mengerti apa yang dikatakannya maka talaknya sah. Ini pendapat yang bagus.

Kemudian …

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

واللفظ قد يكون صريحا، وقد يكون كناية، فالصريح: هو الذي يفهم من معنى الكلام عند التلفظ به، مثل: أنت طالق ومطلقة، وكل ما اشتق من لفظ الطلاق.
وقال الشافعي رضي الله عنه: ألفاظ الطلاق الصريحة ثلاثة: الطلاق، والفراق، والسراح، وهي المذكورة في القرآن الكريم. وقال بعض أهل الظاهر: لا يقع الطلاق إلا بهذه الثلاث، لان الشرع إنما ورد بهذه الالفاظ الثلاثة، وهي عبادة، ومن شروطها اللفظ فوجب الاقتصار على اللفظ الشرعي الوارد فيها والكناية :
ما يحتمل الطلاق وغيره

Lafaz cerai bisa lugas bisa juga bahasa simbolik. Yang lugas itu adalah perkataan yang maknanya sesuai dengan makna lafaznya, seperti: “Engkau telah dicerai,” atau perkataan yang lain yang bermakna turunan dari lafz cerai.
Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Lafaz cerai yang lugas ada tiga: “Thalaq/cerai, Al firaaq/perpisahan, dan As Siraah/bubar. Semua ini disebutkan dalam Al Quran Al Karim. Sebagian golongan Zhahiriyah berkata: Tidak jatuh cerai kecuali dengan tiga hal ini, karena syariat hanya menyebutkan tiga bentuk kata ini, dan ini adalah ibadah, dan di antara syarat sahnya adalah adnaya lafaz, maka wajib mencukupkan diri atas lafaz yang datang dari syariat.

Sedangkan lafaz simbolik adalah lafaz yang bisa dimaknai cerai atau selainnya. (Fiqhus Sunnah, 2/253-254)

Seperti “Urusanmu ditangan kamus sendiri”, “engkau haram bagiku”, ini bisa bermakna cerai atau bermakna haram untuk menyakitinya.

Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan bahwa LAFAZ SHARIH (LUGAS) tanpa diniatkan pun sudah sah, seperti kalimat istriku sudah aku cerai, engkau sudah aku cerai. Sedangkan LAFAZ KINAYAH (SIMBOLIK) mesti dibarengi dengan niat cerai. (Ibid)

Kemudian …

Jika dia mau rujuk maka rujuklah, baik dengan isyarat, sebagian ulama mengatakan mesti dengan perkataan lugas ingin rujuk, maka rujuklah dengan baik, dan disunnahkan adanya dua saksi.

Allah Ta’ala berfirman:

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُواذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ

Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu (QS. Ath Thalaq: 2)

Dalam ayat lain:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula).(QS. Al Baqarah: 231)

‘Imran bin Hushain Radhiallahu ‘Anhu, bercerita:

أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ اَلرَّجُلِ يُطَلِّقُ, ثُمَّ يُرَاجِعُ, وَلَا يُشْهِدُ? فَقَالَ: أَ

شْهِدْ عَلَى طَلَاقِهَا, وَعَلَى رَجْعَتِهَا

Bahwa dia ditanya tentang seorang laki-laki yang bercerai, lalu rujuk, namun tanpa saksi? Beliau menjawab: “Adakan saksi atas perceraiannya dan atas rujuknya.” (HR. Abu Daud. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: sanadnys shahih. Lihat Bulughul Maram No. 1086)

Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata:

طَلَّقَ أَبُو رُكَانَةَ أُمَّ رُكَانَةَ . فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ” رَاجِعِ امْرَأَتَكَ ” , فَقَالَ : إِنِّي طَلَّقْتُهَا ثَلَاثًا. قَالَ : ” قَدْ عَلِمْتُ , رَاجِعْهَا – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ

Abu Rukanah menceraikan Ummu Rukanah. Maka, berkata Rasulullah ﷺ: “Rujuklah istrimu.” Dia berkata: “Aku menceraikan istriku langsung tiga kali.” Beliau bersabda: “Aku sudah tahu, rujuklah dia.” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 2198)

Semua nash ini menunjukkan bahwa merujuk istri, sebelum masa ‘iddah adalah secara langsung, bukan akad nikah ulang. Akad nikah ulang itu terjadi jika rujuk setelah masa ‘iddah. Dianjurkan saksi, tapi saksi bukan syarat sahnya rujuk, sebagaimana kisah Abu Rukanah, Nabi ﷺ memerintahkannya rujuk tapi tidak memerintahkan adanya saksi.

Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan beberapa point penting dalam menjelaskan rujuk:

📌 Semua ulama sepakat rujuk menggunakan ucapan adalah sah

📌 Para ulama berbeda pendapat rujuk dengan “perbuatan”, maksudnya walau tidak diucapkan tapi secara perbuatan menunjukkan bahwa dia merujuk istrinya.

📌 Sebagian ulama mengatakan rujuk hanya dengan perbuatan tidak boleh dan tidak sah, sebab dianjurkannya adanya saksi menunjukkan bahwa rujuk mesti perkataan bukan hanya perkataan.

📌 Imam Ash Shan’ani mengoreksi pendapat tersebut, menurutnya itu tidak berdosa sebab saksi itu tidak wajib

📌 Mayoritas ulama mengatakan bahwa rujuk dengan perbuatan juga tetap sah

📌 Tapi, Imam Malik mengatakan rujuk dengan perbuatan TIDAK SAH kecuali dengan niat untuk rujuk

📌 Namun mayoritas ulama mengatakan SAH yang penting perbuatan tersebut menunjukkan dia ingin kembali (rujuk) kepada istrinya, perbuatan seperti menyentuh, mencium, dan selain keduanya, tanpa usah diniatkan untuk rujuk itu tetap menunjukkan rujuk berdasarkan ijma’.(kesepakatan ulama). (Subulus Salam, 3/182)

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌴🌺☘🌷🌸🌾🌻

✏ Farid Nu’man Hasan


🍃🌸 Suami menceraikan istri saat marah 🌸🍃

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz, apa hukum seorang suami manjatuhkan talak dalam keadaan emosi🙏🏽🙏🏽 (+62 857-5392-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Jika seorang suami mengucapkan kata talak kepada istrinya dlm keadaan marah/emosi namun masih paham apa yang diucapkan, maka talak/cerainya itu sah menurut empat madzhab.

Syaikh Muhammad Na’im Hani Saa’iy menjelaskan:

جمهور أهل العلم على أن من طلق امرأته وكان متغيظًا مغضبًا يدري ما يقول فإن طلاقه يقع، وكذلك عتقه، وبه يقول كل من يحفظ عنه من أهل العلم من فقهاء الأمصار وهو مذهب الأئمة الأربعة رحمهم الله تعالى

Mayoritas ulama mengatakan bahwa siapa yang menceraikan istrinya dalam keadaan marah dan dia tahu apa yang diucapkannya maka cerainya itu sah, demikian juga dalam hal membebaskan budak, inilah yang dikatakan oleh para ulama yang dikenal keilmuannya dari para ahli fiqih di berbagai negeri, dan merupakan pendapat para imam yang empat -semoga Allah merahmati mereka.

(Mausu’ah Masail Al Jumhur fi Fiqhil Islami, jilid. 2, hal. 729)

Ada pun jika marahnya sampai menutup akalnya, sehingga si suami tidak paham apa yang diucapkannya, maka ini tidak sah menurut mayoritas ulama.

Hal ini berdasarkan hadits:

لَا طَلَاقَ وَلَا عَتَاقَ فِي إِغْلَاقٍ

Tidak ada cerai dan pembebasan budak dalam keadaan ighlaq. (HR. Ibnu Majah no. 2046)

Hadits ini diperselisihkan validitasnya. Dishahihkan oleh Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak no. 2802, namun dinyatakan dhaif oleh Imam adz Dzahabi (Mukhtashar Talkhish, no. 248), juga Syaikh Syuaib al Arnauth dalam Tahqiq Musnad Ahmad dan Tahqiq Sunan Ibni Majah, lantaran ada perawi bernama Muhammad bin ‘Ubaid, yang dinyatakan sebagai rawi yang dhaif.

Artik Ighlaq dalam hadits di atas, kata Imam Abu Daud adalah al Ghadhab (marah). Ibnu Qutaibah mengatakan: al Ikrah (dipaksa). (Imam Az Zaila’i, Nashbur Rayah, jilid. 3, hal. 223)

Tentang arti ighlaq, Imam Ibnul Qayyim mengutip dari bbrp ulama, Imam Ahmad mengatakan: marah. Abu ‘Ubaid mengatakan: dipaksa. Yang lain mengatakan: gila. (Zaadul Ma’ad, jilid. 5, hal. 195)

Baik marah, dipaksa, dan gila, ada kesamaan dari sisi hilangnya kehendak. Dia tidak berkehendak melakukannya.

Imam Ibnu Taimiyah mengatakan:

وَحَقِيقَةُ الْإِغْلَاقِ أَنْ يُغْلَقَ عَلَى الرَّجُلِ قَلْبُهُ، فَلَا يَقْصِدُ الْكَلَامَ، أَوْ لَا يَعْلَمُ بِهِ، كَأَنَّهُ انْغَلَقَ عَلَيْهِ قَصْدُهُ وَإِرَادَتُهُ

Hakikat dari ighlaq adalah seseorang tertutup hatinya, dia tidak bermaksud mengatakan, atau tidak mengetahuinya, maksud dan kehendaknya tertutup. (Dikutip Imam Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, jilid. 5, hal. 195)

Lalu, Imam Ibnul Qayyim mengatakan tentang cerai yang kemarahannya seperti ini:

مَا يُزِيلُ الْعَقْلَ، فَلَا يَشْعُرُ صَاحِبُهُ بِمَا قَالَ، وَهَذَا لَا يَقَعُ طَلَاقُهُ بِلَا نِزَاعٍ

Akalnya lenyap, dia tidak paham/merasa apa yang diucapkan, maka talak jenis ini TIDAK SAH dan dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat. (Ibid, jilid. 5, hal. 196)

Talak seperti ini, menurut Syaikh Abdurrahman Al Juzairi tidak ragu lagi atas ketidak absahannya, ini semakna dengan talak yang dilakukan orang gila. (Al Fiqhu ‘ala Madzahib al Arba’ah, jilid. 4, hal. 262)

Ada pun marah jenis ketiga, yaitu seseorang yang marah tidak seperti biasanya tapi dia tidak sampai seperti orang gila yang tidak paham dan tidak ada maksud, maka mayoritas ulama mengatakan ini tetap SAH. (Ibid)

Semoga seorang suami dapat menahan diri, menahan lisannya dari bermudah-mudah mengucapkan kata-kata cerai. Sebaliknya bagi istri, tidak mudah pula menuntut cerai, dikala datangnya ujian dalam rumah tangga selama masih bisa dihadapi dengan baik-baik.

Demikian. Wallahu a’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Pembelaan Ulama Kepada Sayyid Quthb

💢💢💢💢💢💢💢

Telah beredar video, potongan ceramah yang menikam kehormatan salah satu pejuang muslim, Syaikh Sayyid Quthb Rahimahullah, oleh seseorang. Dia menyebut Syaikh Sayyid Quthb adalah Gembong Terorisme zaman ini. Bukan hanya itu dia juga menuduh para pengagum Syaikh Sayyid Quthb orang yang bodoh tentang aqidah, dll.

Allah Ta’ala berfirman:

ۚكَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ ۚ إِنْ يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا

Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka hanya mengatakan (sesuatu) kebohongan belaka. (QS. Al-Kahfi: 5)

1⃣ Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz Rahimahullah: “Kami harap Sayyid Quthb termasuk Syuhada yang mulia.”

Syaikh Abdul Aziz Bin Baaz Rahimahullah berkata dalam kitab Beliau Tuhfatul Ikhwan, tentang Al Ustadz Sayyid Quthb Rahimahullah:

سيد قطب رحمه الله :
نُفّذ في المذكور حكم الإعدام في يوم الاثنين 13/5/1386هـ فرحمة الله عليه وعلى سائر علماء المسلمين ونرجو أن يكون من الشهداء الأبرار .
وقد قُتل معه الشيخ عبدالفتاح إسماعيل ، والشيخ محمد إبراهيم هراس . غفر الله للجميع وكتب الشهادة لهم .
والمذكور له مؤلفات كثيرة مفيدة ، أشهرها وأهمها : تفسيره (( في ظلال القرآن ))

Sayyid Quthb Rahimahullah, dieksekusi dalam hukuman mati pada hari, Senin, 13-5-1386H.

Semoga Allah merahmatinya dan merahmati semua ulama kaum muslimin. Kami berharap semoga Sayyid Quthb termasuk dalam barisan para syuhada yang mulia.

Dan telah dibunuh pula bersamanya, Syaikh Abdul Fattah Ismail, Syaikh Muhammad Ibrahim Hiras, semoga Allah memgampuni mereka semua dan mencatatnya sebagai syuhada.

Disebutkan tentangnya, bahwa dia memiliki banyak karya yang bermanfaat, di antaranya yang terkenal dan penting adalah tafsir Fi Zhilalil Qur’an.

(Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz, Tuhfatul Ikhwan bitarajim Ba’dhil A’yaan, Hal. 39)

2⃣ Syaikh Manna’ Al Qaththan -Ketua Mahkamah Syariah Mekkah Al Mukarramah: “Tafsir Fi Zhilalil Quran Kitab Tafsir Yang Sempurna Bagi Kehidupan”

💢💢💢💢💢💢💢

Beliau berkata:

“Syaikh Sayyid Quthb telah menjumpai Rabbnya dalam keadaan Syahid demi membela aqidahnya dengan meninggalkan warisan pemikirannya. Dan , yang paling terdepan adalah kitab tafsirnya yang berjudul Fi Zhilalil Quran. Ini adalah kitab tafsir yang sempurna bagi kehidupan di bawah naungan Al Quran dan petunjuk Islam. Penulisnya hidup di bawah naungan Al Quran yang penuh hikmah, sebagaimana yang dipahami dari judulnya. Beliau menikmati keindahan Al Quran dan mengungkapkannya dengan segala perasaannya yang jujur sehingga sampai pada kesimpulan bahwa umat manusia dewasa ini sedang berada dalam kesengsaraan yang disebabkan berbagai paham dan aliran yang merusak dan pertarungan berdarah yang tiada hentinya ” …dst.

Lalu Syaikh Manna’ juga berkata:

“Bertitik tolak dari pandangan inilah Sayyid Quthb menempuh metode tertentu bagi penulisan tafsirnya.

Pertama-tama dia datangkan satu naungan pada mukadimah setiap surat untuk mengkaitkan atau mempertemukan antara bagian-baiannya dan untuk menjelaskan tujuan serta maksudnya.

Setelah itu barulah dia menafsirkan ayat dengan mengetengahkan atsar-atsar shahih, lalu mengemukakan sebuah paragraf tentang kajian-kajian kebahsaan secara singkat.

Kemudian dia beralih ke masalah lain, yaitu membangkitkan kesadaran, membetulkan pemahaman, dan mengaitkan Islam dengan kehidupan.

Kitab ini terdiri dari 8 jilid besar dan telah mengalami cetak ulang beberapa kali dalam beberapa tahun saja, karena mendapat sambutan baik dari kalangan cendekiawan.”

📚 Syaikh Manna’ Khalil Qaththan, Mabahits fi ‘Ulumil Quran, Hal. 362-363. Maktabah Wahbah, Kairo

3⃣ Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih Hafizhahullah: “Tidak benar Sayyid Quthb berfaham takfir.”

Beliau berkata:

وأما القول بأنه رمى المجتمعات الإسلامية شعوباً وحكاماً بالكفر فقول غير صحيح؛ بل رمى بالكفر من يستحقه إذا توفرت الشروط وانتفت الموانع، ونحن نعتقد أن سيد قطب ليس معصوماً بل هو بشر كغيره من الدعاة يؤخذ من قوله ويرد، فلا يجوز أن يغلو فيه أحد فيرفعه فوق منزلته، كما لا يجوز أن يهضمه آخر حقه ويسيء إليه بغير حق، فالعدل والإنصاف هو المطلوب من كل مسلم.

Adapun pendapat yang menyebut bahwa dia (Sayyid Quthb) menuduh masyarakat Islam, baik rakyat dan emerintahnya, telah kafir maka itu pendapat tidak benar.

Tetapi Beliau memvonis kafir kepada yang berhak menerimanya jika memang terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalangnya.

Kami meyakini bahwa Sayyid Quthb bukan seorang ma’shum (bebas dari salah) tapi dia adalah manusia seperti para da’i lainnya, pendapatnya bisa diambil dan bisa ditolak.

Maka tidak boleh seorang pun berlebihan meninggikannya di atas kedudukannya, sebagaimana yang lain tidak boleh pula menzalimi haknya dan berbuat buruk kepadanya tanpa hak. Maka bersikap adil dan bijak itulah yang dituntut pada tiap muslim.

📚 Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah, 1/3185, Fatwa 09 Jumadi Tsaniyah 1428

4⃣ Syaikh Abdullah bin Hasan Al Qu’ud Rahimahullah tentang kitab Ma’alim fith Thariq: “Kitab yang telah dibayar mahal penulisnya dengan mati fisabilillah.”

Tentang kitab Syaikh Sayyid Quthb, Ma’alim fith Thariq (Petunjuk Jalan), berkatalah Syaikh Abdullah bin Hasan Al Qu’ud –anggota Hai’ah Kibaril Ulama kerajaan Saudi Arabia- dalam kitabnya, Majmu’ Ar Rasail wa Maqalat, beliau menasihati Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali yang berkali-kali mencela Syaikh Sayyid Quthb:

نقل لي غير واحد قولك في اجتماع أخيار نحسبهم كذلك قولك في كتاب: “معالم في الطريق”: هذا كتاب ملعون.
سبحان الله!! كتاب أخذ صاحبه ثمنه قتلاً نحسبه في سبيل الله بدافع من الروس الشيوعيين لجمال كما يعرف ذلك المعاصرون للقضية، وقامت بتوزيع هذا الكتاب جهات عديدة في المملكة، وخلال سنوات عديدة، وأهل هذه الجهات أهل علم ودعوة إلى الله، وكثير منهم مشايخ لمشايخك، وما سمعنا حوله منهم ما يستوجب ما قلت، لكنك – والله أعلم- لم تمعن النظر فيه قبل أن تغضب، وخاصة الموضوعات: جيل قرآني فريد، الجهاد، لا إله إلا الله منهج حياة، جنسية المسلم عقيدته، استعلاء الإيمان، هذا هو الطريق.. وغيرها مما تلتقي معانيه في الجملة مع ما تدين الله به، فكيف بك إذا وقفت بين يدي الله وحاجك هذا الشخص الذي وصفته الإذاعة السعودية خلال سنوات متوالية بشهيد الإسلام

“Telah berkata kepadaku lebih dari satu orang tentang ucapanmu dalam sebuah perkumpulan baik-baik – saya berharap memang demikian-, ucapanmu bahwa kitab Ma’alim fith Thariq adalah kitab terlaknat. Subhanallah! Kitab yang telah dibayar mahal oleh penulisnya dengan mati di jalan Allah karena menentang penguasa komunis Mesir Jamal Abdun Nashir, sebagaimana diketahui oleh orang-orang pada masa itu. Padahal buku tersebut telah disebarkan oleh banyak pihak dikerajaan Saudi sejak bertahun-tahun lamanya, dan mereka adalah para ahli ilmu dan para da’i ilallah, dan banyak di antara mereka adalah syaikh dari syaikh-syaikhmu sendiri. Dan tidak satu pun di antara mereka mengatakan seperti yang engkau katakan. Tetapi engkau ini – wallahu a’lam- tidak mau memahami lebih mendalam apa yang engkau bicarakan sebelum marah, khususnya pada tema-tema kitab itu seperti: Jil Qur’ani farid (Generasi Qurani Yang Istimewa), Al Jihad, Laa Ilaha Illallah Manhajul Hayah (Laa Ilaaha Illallah sebagai Konsep Hidup), Jinsiyyatul Muslim wa ‘Aqidatuhu (Identitas seorang Muslim dan Aqidahnya), Isti’la Al Iman (Ketinggian Iman), Hadza Huwa Thariq (Inilah Jalan Itu) … dan tema lain, dimana secara global adalah bermakna nilai keberagamaanmu kepada Allah. Bagaimana denganmu nanti jika di hadapan Allah, jika orang ini mendebatmu? Padahal orang ini telah bertahun-tahun lamanya oleh media massa Saudi sebagai syahidul Islam?”

http://www.factway.net/vb/348099-post9.html

5⃣ Syaikh Umar Sulaiman al Asyqar. Seorang ulama Quwait, dosen Fakultas Syariah di Universitas Quwait

Dia berkata, “Sayyid Quthb -rahimahullah mendalami Islam secara orisinil sehingga beliau mencapai masalah secara mendasar seperti manhaj salaf, pemisahan total antara manhaj Al Qur’an dan filsafat, memurnikan sumber ajaran Islam dari lainnva. membatasi standar hukum hanya dengan Al Qur’an dan As Sunnah dan bukan pada pribadi atau tokoh tertentu. Sayyid Quthb menerapkan cara istimbath langsung dari nash seperti

yang dilakukan salaf. Akan tetapi, sayangnya beliau tidak memiliki kesempatan mempelajari manhaj Islam. Oleh karena itu, terkadang ada beberapa titik rancu dalam tulisannya meskipun beliau sudah berupaya mengkaji secara serius untuk berlepas dari kerancuan. Pastinya, Sayyid Quthb tidak melakukan hal tersebut karena hawa nafsunya.” (Jasim al Muhalhil, Ikhwanul Muslimin, Deskripsi, Jawaban, Tuduhan, dan Harapan, hal. 124)

6⃣ Syaikh Al Albani: “Sayyid Quthb Memperbaharui Da’wah Islam Bagi Para Pemuda.

العلامة الألباني : سيد قطب جدد دعوة الإسلام
في قلوب الشباب
سئل عن كتاب سيد قطب : ( جاهلية القرن العشرين ) فأنكر الشيخ أن يوصف القرن العشرين بالجاهلية ثم قال : ( ثم إن في كلام سيد قطب رحمه الله وفي بعض تصانيفه مما يشعر الباحث أنه كان قد أصابه شيء من التـحمس الزائد للإسلام في سبيل توضيـحه للناس ، ولعل عذره في ذلك أنه كان يكتب بلغة أدبية ، ففي بعض المسائل الفقهية كحديثه عن حق العمال في كتابه : ( العدالة الاجتماعية ) أخذ يكتب بالتوحيد وبعبارات قوية تـحيي في نفوس المؤمنين الثقة بدينهم وإيمانهم ، فهو من هذه الخلفية في الواقع قد جدد دعوة الإسلام في قلوب الشباب وإن كنا نلمس أحياناً أن له بعض الكلمات تدل على أنه لم يساعده وقته على أن يـحرر فكره من بعض المسائل التي كان يكتب حولها أو يتـحدث فيها ) ا.هـ
المرجع: كتاب (حياة الألباني وآثاره وثناء العلماء عليه) تصنيف محمد بن إبراهيم الشيباني ، الجزء الأول

Al ‘Allamah Al Albani: Sayyid Quthb Memperbarui Da’wah Islam dalam Dada Para Pemuda

Beliau ditanya tentang kitab Sayyid Quthb (Jahiliyah Abad 20), Syaikh menolak abad 20 disifati dengan jahiliyah, kemudian dia berkata:

“Kemudian, pada ucapan Sayyid Quthb Rahimahullah dan pada sebagian karyanya terkandung di dalamnya pembahasan yang begitu menyentuh, bahwasanya beliau dalam menjelaskan kepada manusia dibarengi semangat menggelora terhadap Islam, semoga itu adalah sebagai ‘uzur baginya, beliau menulis dengan bahasa sastra, lalu pada sebagian masalah fiqih seperti pembicaraannya tentang hak para pekerja dalam kitab Al ‘Adaalah Al Ijtima’iyah, dia menulis tentang tauhid dengan kata-kata yang begitu kuat yang menghidupkan jiwa orang-orang beriman yang percaya dengan agama dan keimanan mereka. Maka, itulah yang melatarbelakangi kenyataan bahwa dia telah memperbaharui dakwah Islam di dalam dada para pemuda. Sesungguhnya kami menemukan, kadang bahwa beliau memiliki sebagian perkataan yang menunjukkan waktu yang ada tidak membantunya membebaskan pemikirannya pada sebagian permasalahan yang dahulu pernah ditulisnya atau dibicarakannya.”

Referensi: Hayatu Al Albani wa Aatsaruhu wa Tsana’u Al ‘Ulama ‘Alaih, Juz. 1. disusun oleh Muhammad bin Ibrahim Asy Syaibani.

📚 Mudzakarah Al Watsaiq Al Jaliyyah, Hal. 49

‼‼‼‼‼

Siapa pun bisa berbuat salah, termasuk Syaikh Sayyid Quthb Rahimahullah dan tokoh lainnya, sebab yang ma’shum hanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tapi, kesalahan itu tidak boleh membuat mulut kita tidak terkontrol, dengan menikam mereka dengan sebutan yang buruk dan sangat tidak pantas.

Wallahul Musta’an

🌸🍃🌻🌿🌺🌴🌾☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Khitan Untuk Wanita

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu Alaikum …… Ustadz, masalah sunat perempuan kan ada bbrp pandangan … WHO sendiri sudah tidak rekomend sunat perempuan, kalau kemenkes mensyaratkan tenaga medis yang melakukan sunat harus bersertifikat kemenkes. Beberapa artikel menyebutkan jika perempuan tidak disunat syahwatnya akan tinggi. Sebaiknya gimana ya? (08111885xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu Ala Rasulillah wa Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah wa bad:

Khitan merupakan salah satu millah (ajaran) Nabi Ibrahim Alaihis Salam, yang Allah Taala perintahkan agar kita mengikutinya. Allah Taala berfirman:

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan. (QS. An Nahl (16): 123)

Maka, khitan baik laki-laki dan wanita adalah perbuatan yang memiliki tempat dalam syariat Islam. Dia bukan barang asing, bukan pula bidah yang menyusup ke dalam ajaran Islam, sebagaimana yang dituduhkan sebagian orang.

📌Apanya Yang Dikhitan?

Pada wanita, yang dipotong adalah kulit yang menyembul dibagian atas saluran kencing, yang mirip dengan jengger ayam (Urf ad Dik). (Al Mausuah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 19/28) Biasa kita menyebutnya klitoris.

Bagian ini adalah bagian luar yang paling sensitif pada genital wanita, oleh karena itu khitan wanita bertujuan untuk menstabilkan libido mereka. Tetapi, tidak dibenarkan memotong semua, atau sebagian besarnya sebagaimana dilakukan di negeri-negeri Afrika. Bahkan ada yang memotong bagian labia minora (bibir kecil). Ini tentu cara yang bertentangan dengan khitan wanita  menurut Islam.

Sedangkan, pada laki-laki yang dipotong adalah kulit yang menutupi  hasyafah (glans), kulit itu dinamakan Qulfah (Kulup), sehingga seluruh hasyafah terlihat. (Ibid)

Bagian ini adalah kumpulan bakteri dan najis, oleh karena itu tujuan khitan pada laki-laki adalah  agar najis yang ada padanya menjadi hilang, tak lagi terhalang oleh qulfah tersebut.

📌Dalil-Dalil Pensyariatannya

Ada beberapa dalil yang biasa dijadikan alasan kewajiban dan kesunnahan khitan bagi wanita. Tetapi, hadits hadits tersebut tak satu pun yang selamat dari cacat.  Di antaranya sebagai berikut:

1⃣     Dari Ummu Athiyah Radhiallahu ‘Anha,

Bahwa ada seorang wanita yang dikhitan di Madinah, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya:

لَا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ

“Jangan potong berlebihan, karena itu menyenangkan bagi wanita dan disukai oleh suami. (HR. Abu Daud No. 5271. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 8/324. Juga Syuabul Iman, No. 8393. Ath Thabarani, Al Mujam Al Kabir, No. 8062, juga dalam Al Awsath, No. 2343, dan dalam Ash Shaghir No. 122,  Abu Nuaim, Marifatush Shahabah, No. 3450)

Hadits ini menurut lafaz Imam Abu Daud. Sedangkan dari Imam yang lainnya, ada tambahan diawalnya dengan ucapan: Asyimmi dan Ikhfidhi yang berarti rendahkan/pendekkan. Sedangkan Laa Tanhiki artinya jangan berlebihan dalam memotong.

Hadits ini menurut Imam Abu Daud- sanadnya tidak kuat, dan hadits ini mursal, sedangkan Muhammad bin Hassan  adalah majhul (tidak dikenal). Dan, hadits ini dhaif (lemah). (Sunan Abi Daud No. 5271)

Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim Abadi mengatakan bahwa hadits ini idhthirab (guncang). (Aunul Mabud, 14/126)

2⃣       Dari Abdullah bin Umar secara marfu:

يَا نِسَاءَ الْأَنْصَارِ اِخْتَضِبْنَ غَمْسًا وَاخْفِضْنَ وَلَا تُنْهِكْنَ فَإِنَّهُ أَحْظَى عِنْد أَزْوَاجِكُنَّ

“Wahai wanita Anshar, celupkanlah dan potonglah, jangan banyak-banyak, karena itu membuat senang suami kalian.” (HR. Al Bazzar dan Ibnu ‘Adi)

Dalam sanad hadits  Al Bazzar terdapat Mandal bin Ali dan dia dhaif. Sedangkan, ri

wayat Ibnu ‘Adi terdapat Khalid bin ‘Amru Al Kursyi, dia lebih dhaif dari Mandal. (Ibid)

3⃣      Hadits lain:

الْخِتَان سُنَّة لِلرِّجَالِ مَكْرُمَة لِلنِّسَاءِ

“Khitan adalah sunah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita.” (HR. Ahmad)

Hadits ini juga dhaif, karena dalam sanadnya terdapat Hajaj bin Artha’ah. Imam Adz Dzahabi mengatakan: Hajaj bin Artha’ah adalah dhaif dan tidak boleh berhujjah dengannya.

Imam Ath Thabarani juga meriwayatkan yang seperti ini dari Syaddad binAus, dari Ibnu Abbas. Imam As Suyuthi mengatakan sanadnya hasan. Sedangkan Imam Al Baihaqi mengatakan dhaif dan sanadnya munqathi (terputus), dan ditegaskan pula kedhaifannya oleh Imam Adz Dzahabi.

Al Hafizh Al Iraqi mengatakan: sanadnya dhaif. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: Hajaj bin Arthaah adalah seorang mudallis (suka menggelapkan sanad), dan dalam hal ini terjadi idhthirab (keguncangan).  Imam Abu Hatim mengatakan: ini adalah kesalahan Hajaj atau perawi yang meriwayatkan darinya.

Imam Al Munawi mengatakan dalam At Taisir : sanad hadits ini dhaif, berbeda dengan yang dikatakan As Suyuthi yang mengatakan hasan.  (Ibid,  14/125. Lihat juga At Talkhish Al Habirnya Imam Ibnu Hajar)

📌Benarkah Seluruh Hadits Khitan Wanita Adalah Cacat dan Dhaif?

Hal ini ditegaskan para Imam muhaqqiq (peneliti). Berkata Imam Abu Thayyib Abadi:

وحديث ختان المرأة روي من أوجه كثيرة وكلها ضعيفة معلولة مخدوشة لا يصح الاحتجاج بها كما عرفت.وقال ابن المنذر: ليس في الختان خبر يرجع إليه ولا سنة يتبع. وقال ابن عبد البر في التمهيد: والذي أجمع عليه المسلمون أن الختان للرجال انتهى

“Dan hadits tentang khitannya wanita diriwayatkan oleh banyak jalur, semuanya dhaif, memiliki ilat (cacat), dan tidak sah berdalil dengannya sebagaimana yang telah anda ketahui. Berkata Ibnul Mundzir: Tentang khitan (wanita) tidak ada riwayat yang bisa dijadikan rujukan dan tidak ada sunah yang bisa diikuti. Berkata Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid: Dan yang di-ijmakan kaum muslimin adalah bahwa khitan itu bagi laki-laki. (Aunul Mabud, 14/126)

Tetapi, Syaikh Al Albani menshahihkan hadits riwayat Abu Daud di atas (hadits pertama). Beliau mengakui sanad hadits ini sebenarnya dhaif, tetapi banyak riwayat lain yang menguatkannya sehingga menjadi shahih. (Selengkapnya lihat di kitab As Silsilah Ash Shahihah 2/353, No. 722, dan Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 5271, lihat juga Shahih Al Jamiush Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/1244-1245)

Oleh karena itu, Syaikh Al Albani termasuk ulama yang mewajibkan khitan bagi wanita, karena keshahihan riwayat ini.

Tetapi, benarkah semua hadits tentang khitannya wanita adalah dhaif ?  Jika kita lihat secara seksama, tidaklah demikian.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إذا التقى الختانان فقد وجب الغسل

“Jika bertemu dua khitan maka wajiblah untuk mandi.” (HR. At Tirmidzi No. 109, katanya: hasan shahih. Ibnu Majah No. 608, Ahmad No. 26067, Ath Thahawi dalam Syarh Maani Al Aatsar No. 332, Al Bazzar dalam Musnadnya No. 1041, Asy Syafii dalam Musnadnya No. 102 (disusun oleh As Sindi), Ath Thabarani dalam Musnad Syamiyyin No. 2754, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 961 dari Asiyah. Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 954)

Hadits ini shahih. (Syaikh Al Albani, Irwaul Ghalil No. 80. Juga Syaikh Syuaib Al Arnauth, Taliq Musnad Ahmad No. 26067)

Hadits lainnya:

إذا جلس بين شعبها الأربع ومس الختان الختان فقد وجب الغسل

“Jika seserang duduk diantara empat cabang anggata badan, dan khitan bersentuhan dengan khitan, maka wajiblah dia mandi.” (HR. Muslim, No. 349, Abu Daud No. 216, dan At Tirmidzi, katanya: hasan shahih. Ibnu Khuzaimah No. 227,  Abu Yaala No. 4926)

Riwayat seperti ini cukup banyak, dan secara makna, hadits-hadits ini menunjukkan bahwa yang dikhitan bukan hanya laki-laki tetapi wanita. Sebab, maksud bertemunya dua khitan adalah bertemunya dua kemaluan laki-laki dan wanita yang sudah dikhitan. Maksud bertemu di sini bukan sekedar bersentuhan, tetapi terbenamnya kemaluan laki-laki pada kemalaun wanita, sebagaimana telah disepakati oleh madzhab yang empat. (Al Mausuah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/50).

Dan, Imam Ahmad mengatakan: Dari hadits ini, bahwa bagi wanita juga dikhitan.  Tetapi menurutnya khitan wanita adalah sunah.  (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 134. Darul Kutub Al Ilmiyah)

Dalam hadits lain, dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

الفطرة خمسٌ، أو خمسٌ من الفطرة: الختان، والاستحداد، ونتف الإِبط، وتقليم الأظفار، وقصُّ الشارب

“Fitrah itu ada lima, atau lima hal yang termasuk fitrah: (diantaranya) “Khitan ….” (HR. Bukhari No. 5550, Muslim No. 257)

Hadits ini umum, bukan hanya bagi laki-laki tetapi juga wanita, kecuali memendekkan kumis yang memang khusus untuk laki-laki. Nah, riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa khitan bagi wanita memang ada dalam Islam. Tetapi, memang tidak ada hadits shahih yang khusus menceritakan khitan wanita. Yang ada adalah hadits tentang khitan secara umum, dengan penyebutan untuk laki-laki dan perempuan.

📌Lalu, Apa Hukumnya Khitan Wanita?

Keterangan di atas telah jelas, bahwa khitan wanita adalah masyru (disyariatkan) dalam Islam. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum kemasyruannya. Ada yang mewajibkan, menyunnahkan, membolehkan, bahkan ada yang melarangnya dalam kedaan tertentu.
Pihak yang mewajibkan seperti Imam Asy Syafii dan mayoritas pengikutnya. Juga Imam Ibnul Qayyim dan Syaikh Al Albani Rahimahumulullah Taala.
Sedangkan,  Imam Malik dan Imam Abu Hanifah menyatakan sunah secara mutlak (laki-laki dan wanita), dan Imam Ahmad mengatakan wajib buat laki-laki namun sunah buat wanita. (Aunul Mabud, 14/125),

Imam Ibnu Qudamah mengatakan wajib bagi laki-laki, dan kemuliaan bagi wanita,  serta tidak wajib bagi mereka. (Al Masuah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 19/28).

Pihak yang mewajibkan berdalil dengan ayat An Nahl 123 (agar mengikuti millah Ibrahim), dan hadits sunah fitrah ada lima.

Alasan ini ditolak, sebab ayat tersebut memerintahkan kita mengikuti agama Ibrahim secara Global dan pokoknya yaitu Tauhid.

Sedangkan, hadits tersebut juga tidak bisa dijadikan dalil,  dan tidak menunjukkan wajibnya khitan, sebab jika khitan wajib, maka empat hal lainnya dalam hadits itu juga wajib seperti bersiwak, memendekkan kumis, mencukur bulu kemaluan, dan ketiak. Sedangkan kita tahu, tak ada yang mengatakan bersiwak , mencukur ketiak, bulu kemaluan adalah wajib, semua adalah sunah!
Selain itu, hadits tentang bertemunya dua khitan, juga bukan menunjukkan wajibnya khitan wanita, melainkan hanyalah informasi tentang khitan wanita. Ditambah lagi, lemahnya riwayat yang memerintahkan khitan khusus wanita. Maka, pendapat yang paling rajih (kuat) adalah khitan wanita adalah sunah. Inilah yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin, Syaikh Al Qaradhawi, dan lain-lain.

Tapi, hukum ini bisa berubah jika:

💢       Bagi wanita tertentu jika membahayakan maka sebaiknya dilarang. Syaikh Ali Jumah mufti Mesir saat ini- pernah memfatwakan haramnya khitan wanita lantaran kasus tewasnya seorang gadis setelah dikhitan.

💢     Tekstur genital wanita tidaklah sama satu sama lain. Jika klitorisnya pendek dan kecil, yang justru akan mendatangkan frigid jika dikhitan, maka tidak wajib dan tidak sunah, sebab akan membawa mudharat pada kehidupan seksualnya. Tetapi, jika ada wanita yang klitorisnya panjang, maka sangat dianjurkan untuk dikhitan, agar tidak terjadi mudharat berupa tidak stabilnya libido.

Ketentuan-ketentuan ini sebaiknya dikonsultasikan kepada dokter yang berkompeten.   Sekian. Wallahu Alam

📘📙📓📔📒📕📗

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top