Jadi PNS Karena Sogok, Bagaimana Status Gajinya?

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Aslkwrwb….
Ustadz, ana pernah dngar kalau orang yang lulus PNS dengan cara nyogok itu gaji yg ia terima nantinya dihukumi haram. Mhon penjelesannya ustad…
Suprapto/Kalimantan Barat (+62 856-5452-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh …

Bismillah wal Hamdulillah ..

Haramnya risywah/suap/sogok sudah jelas, dan dalil-dalilnya telah diketahui.

Lalu apakah seorang yg menjadi pegawai melalui jalan risywah maka penghasilannya juga haram? Ya, itu jelas haramnya. Sebab jika yg pokoknya haram maka cabangnya juga demikian. Dari akar yg haram tumbuhlah ranting yg haram.

Tapi, apakah ini selamanya? Tidak. Yaitu JIKA dia bertaubat dgn sebenar-benarnya, lalu dia menyedekahkan sebagian hartanya, serta memang dia punya kompetensi pada pekerjaannya. Maka, penghasilannya setelah pertaubatan itu halal, Insya Allah. Tapi, jika dia tidak bertaubat, tidak merasa bersalah, bahkan ada orang yang bangga dengan sogokannya, maka selamanya penghasilannya itu haram.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah menjelaskan:

وإذا كنت قد تبت إلى الله تعالى ، وتتصدق ببعض المال ، كما ذكرت ، فلا حرج في بقائك في هذا المنصب بشرط أن تكون لديك الكفاءة للعمل فيه ، لأن تولي غير الكفء هو من خيانة الأمانة ، ولا يخفى ضرره على عامة الأمة

Jika Anda telah bertaubat kepada Allah Ta’ala, dan menyedekahkan sebagian harta seperti yg Anda katakan. Maka, tidak apa-apa penghasilan Anda pada pekerjaan ini. Dengan syarat Anda memang memiliki kemampuan bekerja di situ. Sebab, diberikan tanggung jawab tanpa memiliki kemampuan adalah khianat terhadap amanah. Jelas ini berbahaya bagi banyak orang.

(Fatawa Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 112128)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌱🌴🌾🌸🍃🌵🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Fiqih Jamak dan Qashar

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Asslamu’alaikum wr wb
Ana mau nanya terkait, sholat jamak, apakah dibolehkan sholat jamak pada saat Mukhoyam/keperamukaan atau sejenisnya, kegiatan mukim, waktu kegiatan 3 hari, dengan jarak 25 KM dan tempat berbeda kabupaten,
SIngkawang KALIMANTAN BARAT
Mahmudi Febrianto

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Langsung aja ya ..

📋 Pertama. Jamak Shalat

Menjamak adalah menggabungkan dua shalat di satu waktu, yaitu Zhuhur dan Ashar, lalu maghrib dan Isya. Menjamak Shalat bisa dilakukan karena terjadinya masyaqqat (kesulitan/kesempitan) yang dialami oleh seorang muslim, sehingga susah baginya untuk shalat secara biasa.

Masyaqat tersebut di antaranya adalah:

📔 Bepergian (Safar)

Jamak ketika bepergian adalah boleh menurut jumhur (mayoritas) ulama. Hal ini berdasarkan hadits berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا

Dari Anas bin Malik, dia berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika dia mengadakan perjalanan sebelum matahari tergelincir (meninggi), maka dia akan akhirkan shalat zhuhur pada waktu Ashar, lalu dia turun dan menjamak keduanya.” (HR. Al Bukhari No. 1112)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

الجمع بين الصلاتين في السفر في وقت إحداهما جائز في قول أكثر أهل العلم لا فرق بين كونه نازلا أو سائرا

“Menjamak dua shalat dalam perjalanan, pada waktu salah satu dari dua shalat itu, adalah boleh menurut mayoritas para ulama, sama saja baik ketika dalam perjalanannya atau ketika turun (berhenti).” (Fiqhus Sunnah, 1/289)

Sebenarnya masyaqqat (kepayahan, kesempitan, kesulitan) yang membuat dibolehkannya jamak, bukan hanya perjalanan, melainkan juga hujan, sakit, dan keperluan yang mendesak.

📓 Jamak ketika hujan

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

روى الاثرم في سننه عن أبي سلمة ابن عبد الرحمن أنه قال: من السنة إذا كان يوم مطير أن يجمع بين المغرب والعشاء. وروى البخاري أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع بين المغرب والعشاء في ليلة مطيرة.

“Al Atsram meriwayatkan dalam Sunan-nya, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwa dia berkata: “Termasuk sunah jika turun hujan menjamak antara Maghrib dan Isya’.” Bukhari telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjamak antara maghrib dan isya’ pada malam hujan.” (Ibid, 1/290)

📙 Jamak ketika Sakit

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

الجمع بسبب المرض أو العذر: ذهب الامام أحمد والقاضي حسين والخطابي والمتولي من الشافعية إلى جواز الجمع تقديما وتأخيرا بعذر المرض لان المشقة فيه أشد من المطر. قال النووي: وهو قوي في الدليل.

Menjamak Shalat lantaran sakit atau udzur, menurut Imam Ahmad, Al Qadhi Husein, Al Khathabi, dan Mutawalli dari golongan Syafi’iyyah, adalah boleh baik secara taqdim atau ta’khir, sebab kesulitan lantaran sakit adalah lebih berat dibanding hujan. Berkata Imam An Nawawi: “Dan Alasan hal itu kuat.” (Ibid, 1/ 291)

📕 Jamak karena adanya keperluan (kesibukan)

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنْ الْأَئِمَّة إِلَى جَوَاز الْجَمْع فِي الْحَضَر لِلْحَاجَةِ لِمَنْ لَا يَتَّخِذهُ عَادَة ، وَهُوَ قَوْل اِبْن سِيرِينَ وَأَشْهَب مِنْ أَصْحَاب مَالِك ، وَحَكَاهُ الْخَطَّابِيُّ عَنْ الْقَفَّال وَالشَّاشِيّ الْكَبِير مِنْ أَصْحَاب الشَّافِعِيّ عَنْ أَبِي إِسْحَاق الْمَرْوَزِيِّ عَنْ جَمَاعَة مِنْ أَصْحَاب الْحَدِيث ، وَاخْتَارَهُ اِبْن الْمُنْذِر وَيُؤَيِّدهُ ظَاهِر قَوْل اِبْن عَبَّاس : أَرَادَ أَلَّا يُحْرِج أُمَّته ، فَلَمْ يُعَلِّلهُ بِمَرَضٍ وَلَا غَيْره وَاللَّهُ أَعْلَم

“Sekelompok para imam, membolehkan jamak ketika tidak bepergian apabila ia memiliki keperluan, namun hal itu tidak dijadikan sebagai kebiasaan. Demikianlah pendapat dari Ibnu Sirin, Asyhab dari golongan Malikiyah. Al Khathabi menceritakan dari Al Qaffal dan Asy Syasyil kabir dari madzhab Syafi’i, dari Abu Ishaq al Marwazi dan dari jamaah ahli hadits. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir, yang didukung oleh zhahir ucapan Ibnu Abbas, bahwa yang dikehendaki dari jamak adalah ‘agar umatnya keluar dari kesulitan.’ Karena itu, tidak jelaskan alasan jamak, apakah karena sakit atau yang lainnya. Wallahu A’lam.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/219)

Hal ini berdasarkan riwayat berikut, dan inilah hadits yang yang dijadikan hujjah oleh Imam An Nawawi di atas.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ

Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menjamak antara zhuhur dan ashar, maghrib dan isya di Madinah, pada hari saat tidak ketakutan dan tidak hujan.” (HR. Muslim No. 70)

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:

وأوسع المذاهب في الجمع مذهب أحمد فإنه جوز الجمع إذا كان شغل كما روى النسائي ذلك مرفوعا إلى النبي صلى الله عليه وسلم إلى أن قال: يجوز الجمع أيضا للطباخ والخباز ونحوهما ممن يخشى فساد ماله.

“Madzhab yang paling luas dalam masalah jamak adalah madzhab Imam Ahmad, dia membolehkan jamak karena kesibukkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i secara marfu’ (sampai) kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sampai-sampai dibolehkan jamak juga bagi juru masak dan pembuat roti dan semisalnya, dan juga orang yang ketakutan hartanya menjadi rusak.” (Al Fatawa Al Kubra, 5/350)

📘 Menjamak Karena Sedang Proses Menuntut Ilmu

Bahkan dibolehkan pula menjamak, karena sedang menuntut ilmu atau mengajarkan ilmu. Ini berdasarkan riwayat Imam Muslim berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ خَطَبَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ يَوْمًا بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى غَرَبَتْ الشَّمْسُ وَبَدَتْ النُّجُومُ وَجَعَلَ النَّاسُ يَقُولُونَ الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ قَالَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ لَا يَفْتُرُ وَلَا يَنْثَنِي الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ
فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَتُعَلِّمُنِي بِالسُّنَّةِ لَا أُمَّ لَكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَقِيقٍ فَحَاكَ فِي صَدْرِي مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ فَأَتَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ فَسَأَلْتُهُ فَصَدَّقَ مَقَالَتَهُ

Dari Abdullah bin Syaqiq, dia berkata: Ibnu Abbas berkhutbah kepada kami, pada hari setelah ‘ashar sampai matahari terbenam, hingga nampak bintang-bintang, sehingga manusia berteriak: “shalat .. shalat ..!” Lalu datang laki-laki dari Bani Tamim yang tidak hentinya berteriak: shalat.. shalat!. Maka Ibnu Abbas berkata: “Apa-apaan kamu, apakah kamu hendak mengajari saya sunah?”, lalu dia berkata: “Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam menjamak antara zhuhur dan ashar, serta maghrib dan isya.” Berkata Abdullah bin Syaqiq: “Masih terngiang dalam dada saya hal itu, maka aku datang kepada Abu Hurairah, aku tanyakan dia tentang hal itu, dia membenarkan keterangan Ibnu ‘Abbas tersebut.” (HR. Muslim No. 705)

📋 Kedua. Qashar (meringkas shalat)

Adapun Qashar, alasannya sedikit berbeda dengan jamak, kalau jamak bisa banyak alasan yang penting adanya masyaqqat. Sedangkan kalau qashar karena bepergian. Ini sesuai ayat:

Allah Ta’ala berfirman:

“Apabila kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada salahnya bila kamu mengqshar shalat …” (QS. An Nisa’: 101)

Dan baru bisa dilaksanakan jika:

1. Sudah keluar dari daerahnya,

2. lalu dengan jarak yang sudah layak, patut, dan pantas disebut sebagai perjalanan (safar). Inilah pandangan para Imam Muhaqiqin (peneliti) seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh Sayyid Sabiq, juga Ustadz Ahmad Hasan dan lainnya.

3. Perjalanannya bukan perjalanan maksiat.

⏲ Tenggang Waktu Dibolehkannya Qashar

Dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat. Namun, kita akan lihat dalil yang kuat yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat, dan itulah pandangan yang seharusnya kita pilih.

Dalam Musnadnya Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallami bermukim di Tabuk selama dua pulu

h hari dan beliau senantiasa mengqashar shalatnya. (HR. Ahmad No. 13625, Abu Daud No. 1046. Shahih)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bermukim dalam salah satu perjalanan selama sembilan belas hari dan selalu mengerjakan shalat dua rakaat.” (HR. Al Bukhari No. 1018)

Hafsh bin Ubaidillah mengatakan bahwa Anas bin Malik bermukim di Syam selama dua tahun dan terus mengerjakan qashar sebagaimana shalatnya musafir.

Menurut Anas bin Malik, para sahabat Nabi bermukim di daerah Ramhurmuz selama tujuh bulan dan tetap mengqashar shalat.

Berkata Al Hasan, “Aku pernah bermukim bersama Adurrahman bin Samurah di kota Kabul selama dua tahun, dan dia terus mengqashar shalatnya.”

Ibrahim juga pernah mengatakan bahwa para sahabat pernah bermukim di Ray selama satu tahun atau lebih dan di Sijistan selama dua tahun, tetap mengqashar shalat.

Ibnu Umar pernah tinggal di Azarbaijan selama enam bulan dan tetap mengqahar sebab terhalang oleh salju.

Adapun pendapat para Imam, seperti Imam Said bin al Musayyib, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, yang membatasi paling lama adalah empat hari, tidak memiliki dasar yang kuat. Begitu pula pendapat Imam Abu Hanifah yang menyebutkan lima belas hari saja, dan ikuti oleh Imam Laits bin Sa’ad.

Berkata Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah tentang bermukimnya Nabi selama dua puluh hari di Tabuk, bahwa hal tersebut kebetulan saja, artinya jika masa perang Tabuk lebih panjang dari itu, ia akan tetap mengqasharnya. Katanya, “Bermukim (singgah) dalam bepergian tidak dapat dianggap sudah keluar dari hukum bepergian, baik singgahnya lama atau sebentar, dengan syarat ia tidak bermaksud menetap di sana sebagai penduduk.”

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq, “Seorang musafir itu boleh terus mengqashar shalatnya selama ia masih dalam bepergian. Jika ia bermukim (singgah) karena ada keperluan yang harus diselesaikannya, ia tetap boleh mengqashar sebab masih terhitung dalam bepergian, walau bermukimnya selama bertahun-tahun lamanya.”

Imam Ibnul Mundzir berkata dalam penelitiannya bahwa para ulama ijma’ (sepakat) bahwa seorang musafir diperbolehkan tetap qashar selama ia tidak bermaksud akan terus menetap di suatu tempat, walau singgahnya itu selama bertahun-tahun. (Fiqhus Sunnah, 1/243)

Inilah pandangan yang sangat kuat berdasarkan dalil yang kuat pula, baik perilaku Rasulullah dan para sahabat, beserta pemikiran yang cerdas dari para ulama peneliti seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnul Mundzir, Syaikh Sayyid Sabiq,dan lain-lain.

Jadi, selama kita tidak berniat mukim, maka selama itu pula kita tetap disebut orang yang musafir, walau Anda pernah singgah dahulu dalam waktu cukup lama.Tapi, ada baiknya, jika kondisi masyarakat tidak memungkinkan, khawatir ada fitnah (omongan yang bukan-bukan) karena mereka tidak berpendapat seperti para Imam ini, ada baiknya Anda mengalah, untuk tetap shalat sempurna. Kadang-kadang kita harus ‘mengalah’ tidak melakukan apa yang kita yakini, demi menghindar keributan, kecuali Anda tinggal di tempat yang umat Islam-nya mampu menjaga adab Ikhtilaf.

📝 CATATAN TAMBAHAN:

📌Berapa lamakah interval waktu dibolehkannya jamak dan qashar?

Hal ini tergantung keadaan safarnya. Seseorang safar tidak lepas dari tiga keadaan.

1⃣ Safar dengan tujuan menetap di suatu daerah atau negeri. Menetap maksudnya menjadi penduduk tetap dengan dibuktikan kepemilikan ID card negeri tersebut, baik KTP atau KK. Maka, kebolehannya hanya ketika safar saja. Sesampainya di tempat tujuan maka sudah tidak ada rukhshah/keringanan tersebut, kecuali kembali dia menjalani safar di waktu lain atau dia mengalami berbagai masyaqqat (kesulitan) di sana, maka kembali berlaku hukum jamak, seperti hujan lebat, sakit, takut kepada musuh, bencana alam, dan semisalnya.

2⃣ Safar dengan niat untuk singgah, maka ini ada dua macam:

⏹ Singgah dengan waktu yang belum jelas, seperti peperangan, berobat, dan semisalnya, yang waktu selesainya tidak bisa dipastikan. Maka, selama itu pula dia boleh menjamak dan qashar. Sebab statusnya tetap seorang yang sa

far. Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengqashar 20 hari ketika perang Tabuk. Para sahabat ada yang mengqashar dua tahun, setahun, enam bulan, karena mereka tidak berniat menjadi penduduk tetap dan tidak jelas kapan pulangnya, seperti yang sudah kami jelaskan di atas.

⏹ Singgahnya sudah diketahui lamanya dan kapan pulangnya, seperti dinas kantor, ziarah ke rumah saudara, dan semisalnya. Maka, ini dibatasi. Secara ringkas, dalam madzhab Hanafi durasinya adalah 14 hari, selebihnya tidak boleh. Madzhab Syafi’iyah dan Malikiyah tiga hari selebihnya tidak boleh. Sedangkan Hanabilah (Hambaliyah) adalah empat hari, selebihnya tidak boleh.

Demikian. Wallahu a’lam

☘🌻🌴🌺🍃🌷🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Dana Bantuan Di Alihkan Penerimanya, Bokehkah?

💦💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Semoga ALLAH memberkahi ilmu, amal dan umur Ustadz Farid Nu’man.

Ana ingin bertanya, beberapa pekan yang lalu, terjadi kebakaran di Samarinda. Banyak pihak melakukan galang dana, termasuk kami di Forum Silaturrahim Rohis Samarinda (FSRS).
Hasil perhitungan awal, total dana sumbangan yg terkumpul sebesar Rp 5.123.200,-. Sehingga waktu itu diputuskan utk disumbangkan sebesar 5 juta.

Dalam perjalanannya, ketika dilakukan perhitungan ulang setelah semua dana terkumpul, jumlah uang yg ada ternyata sebanyak Rp 7.078.200,- dmn diputuskan bhw uang yg akan disumbangkan tetap Rp 5 juta, sedang sisa Rp 2 juta digunakan utk kegiatan2 FSRS.

Pertanyaannya Ustadz, bolehkah sisa uang Rp 2 juta ini kami pakai utk kegiatan FSRS dgn asumsi:
1. Uang itu dipakai utk kegiatan dakwah dan bukan utk kepentingan pribadi.
2. Penggunaan uang yg Rp 2 juta tadi diqiyaskan dengan amil zakat yg mempunyai hak atas zakat yg dikumpulkan.
Syukron atas jawabannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Ismail Latisi, Samarinda, Kaltim

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Ba’d:

Semoga Allah merahmati dan memberkahi semua usaha kebaikan Antum dan FSRS.

Langsung aja ..

Sebaiknya ambil langkah yang paling minim fitnahnya, yaitu berikan semua sumbangan itu sesuai amanahnya, sesuai peruntukan ketika awal dana itu dikumpulkan. Jika sudah diberikan ke korban kebakaran Rp. 5 juta, lalu terkumpul lagi Rp. 2 juta, anggaplah itu bantuan kedua untuk mereka.

Hal Itu kita tempuh dalam rangka menjalankan benar ayat dan hadits berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Wahai orang-orang beriman janganlah kalian khianati Allah, Rasul, dan amanah-amanah yang ada pada kalian. (QS. Al Anfal: 27)

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

لا إيمان لمن لا أمانة له ولا دين لمن لا عهد له

Tidak beriman orang yang tidak menjaga amanah dan tidak beragama orang yang tidak memenuhi janji. (HR. Ibnu Hibban No. 194. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan)

Jika ada seorang majikan yang mengamanahi pelayannya dengan sejumlah uang agar dibelikan sehelai kain ke pasar. Sesampai di pasar pelayannya melihat ada barang lain yang menurut asumsinya lebih baik dan lebih bermanfaat buat si majikan, misalnya tongkat rotan buat bantu berdiri. Bagaimana kira-kira perasaan si majikan? Mungkin dia heran, bahkan dia marah dan tersinggung. Oleh karena itu, minimkan hal ini dengan menjalankan sesuai amanahnya. KECUALI ada izin dari si pemberi amanah untuk dimanfaatkan hal lainnya. Maka itu tidak apa-apa.

Masalah ini bukan semata-mata memindahkan objek sumbangan ke objek lain. Tapi, belajar untuk menjalankan amanah dengan baik. Dan, ini tidak bisa diqiyaskan dengan amil zakat yang juga memperoleh zakat. Itu qiyas ma’al fariq (qiyas yang berbeda), bahkan rusak. Sebab amil zakat boleh memanfaatkan bagian hak zakatnya untuk keperluan dia sendiri, sedangkan pengumpul dana tadi memanfaatkannya untuk keperluan lembaga. Jadi, dasarnya tidak sama.

Dalam kitab Al Majmu’-nya Imam An Nawawi, konteksnya waqaf, jika ada waqaf tanah untuk masjid, yang ternyata ada tanah lebih yang tidak terpakai, boleh dijual lalu uangnya untuk keperluan masjid itu juga. Artinya, amanah itu kembali kepada masjid walau wujud bantuannya bisa diubah. Maka, dalam konteks bantuan kebakaran tersebut, jika panitia mengubah uangnya menjadi barang yang lebih bermanfaat untuk mereka tidak apa-apa, sebab arah amanah tidak hilang. Berbeda kasus, jika uang tersebut dipakai kepada objek lain di luar peruntukan dan niat awal pemberinya.

Wallahu A’lam

🍃🌻🌺☘🌷🌴🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Olah Raga Yang Ada Dalam Sunnah

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustad saya ingin bertanya
Apakah ada olah raga yg disunnahkan oleh Rosulallah? Jika ada, Olah raga apa ustad, kalau sunnah berarti mengerjakannya mendapat pahala tentu menyehatkan
Syukron katsir ustad

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa ‘Alaikumussalam wa Rahmatullah …, Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Pada dasarnya olah raga apa pun –selama terpenuhi adab-adab Islam- adalah baik, dan bisa dinilai ibadah jika diniatkan sebagai upaya menjaga amanah Allah ﷻ yang bernama KESEHATAN.

Hal ini berdasarkan dalil-dalil umum:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Wahai orang-orang beriman janganlah kalian khianati Allah, Rasul, dan amanah-amanah yang ada pada kalian. (QS. Al Anfal: 27)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

المؤمن القوي خير وأحب إلي الله من المؤمن الضعيف وفي كل خير

Mu’min yang kuat adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah dibanding mu’min yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan. (HR. Muslim No. 2664)

Maka, tidur yang cukup, makan minum yang halal dan sehat, serta olah raga, bisa bernilai ibadah jika diniatkan sebagai penjagaan terhadap amanah kesehatan kita.

📌 Beberapa Olah Raga dan Permainan Yang Disebut dalam As Sunnah

1⃣ Olah Raga Bela Diri, Berkuda, dan Pedang

Secara umum persiapan diri dengan ilmu bela diri dari serangan musuh disebutkan dalam firman Allah ﷻ :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انْفِرُوا جَمِيعًا

Wahai orang-orang beriman, bersiap siagalah, dan berangkatlah ke medan tempur baik secara berkelompok atau bersamaan. (QS. An Nisa: 71)

Firman Allah ﷻ :

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ

Dan siap siagakanlah olehmu untuk menghadapi mereka berupa kekuatan yang kamu sanggupi, dan dari kuda-kuda yang tertambat, yang dengannya dapat menggetarkan musuh Allah dan musuh kalian … (QS. Al Anfal: 60)

Firman Allah ﷻ :

وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُونَ

Dan (bagi) orang-orang yang jika menimpa kepada mereka kezaliman maka mereka membela diri (QS. Asy Syura: 39)

Dari As Sunnah, Imam An Nawawi Rahimahullah menceritakan:

قولها رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يسترني بردائه وأنا أنظر إلى الحبشة وهم يلعبون وأنا جارية وفي الرواية الأخرى يلعبون بحرابهم في مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم فيه جواز اللعب بالسلاح ونحوه من آلات الحرب في المسجد

Ucapan ‘Aisyah: “Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menutupi aku dengan selendangnya, saat itu aku menyaksikan orang-orang Habsyah (Etiopia) yang sedang bermain-main, dan saat itu aku masih remaja –dalam riwayat lain- mereka bermain dengan alat-alat perang mereka di masjid Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Pada kisah ini menunjukkan bolehnya memainkan senjata dan alat-alat perang lainnya di dalam masjid. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/184)

Lalu dalam riwayat Abu Daud No. 4080. dan At Tirmidzi No. 1784, bahwa Nabi pernah bergulat dengan Abu Rukanah.

Semua nash ini, menunjukkan bahwa kemampuan membela diri, baik berupa dengan belajar bela diri, bergulat, berlatih kuda, dan pedang adalah disebutkan baik secara tersurat dan tersirat. Hal ini bukan semata-mata olah raga, ketangkasan, dan permainan, tapi merupakan bagian dari I’dadul Jihad (persiapan jihad) bagi kaum muslimin.

2⃣ Memanah, Tombak, atau yang semisal

Mush’ab bin Sa’ad, dari ayahnya, dia memarfu’kan, katanya:

عَلَيْكُمْ بِالرَّمْيِ فَإِنَّهُ خَيْرٌ أَوْ مِنْ خَيْرِ لَهْوِكُمْ

Hendaknya kalian melempar (Ar Ramyu) karena itu adalah permainan terbaik bagi kalian atau di antara yang terbaik. (HR. Al Bazzar dalam Musnadnya No. 1146, Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 2049)

Imam As Suyuthi mengatakan shahih. (Al Jaami’ Ash Shaghiir No. 5524-5525)
Imam Al Haitsami mengatakan: “Para perawi Al Bazzar adalah perawi kitab Ash Shahih, kecuali Hatim bin Al Laits, dia terpercaya. Demikian juga para

perawinya Ath Thabarani.” (Majma’ Az Zawaid No. 9382)

Syaikh Al Albani menshahihkan pula. (Shahihul Jami’ No. 4065, Ghayatul Maram No. 381, dan kitabnya yang lain).

Imam Al Munawi mengatakan: shahih. (At Taysiir bi Syarhil Jaami’ Ash Shaghiir, 2/274)

Imam Abdurrauf Al Munawi Rahimahullah berkata:

(عليكم بالرمي) بالسهام (فإنه خير لهوكم) أي خير ما لهوتم به

(Hendaknya kalian melempar) yakni dengan PANAH, (karena itu adalah permainan terbaik bagi kalian) yaitu sebaik-baiknya permainan yang kalian lakukan. (Faidhul Qadir, 4/448)

Maka, di zaman ini bisa dianalogikan dengan olah raga melempar lainnya, seperti tombak (lempar lembing), tolak peluru, dan menembak, karena prinsipnya sama, bahwa semuanya ada upaya melempar.

3⃣ Berenang

Ada hadits yang menyebutkan secara khusus:

علموا بنيكم السباحة والرمي

“Ajarkan anak-anak kalian dengan berenang dan memanah.”

Imam As Sakhawi mengatakan: “Diriwayatkan oleh Ibnu Mandah dalam Ma’rifah, dan Ad Dailami dari hadits Bakr bin Abdillah bin Ar Rabi’ Al Anshari, sanadnya dhaif, tetapi hadits ini punya syahid (penguat).” (Maqashid Al Hasanah No. 708)

Dari Mak-huul, katanya:

أن عمر بن الخطاب كتب إلى أهل الشام أن علموا أولادكم السباحة والرمى والفروسية

Bahwa Umar bin Al Khathab menulis surat buat penduduk Syam: “Ajarkan anak-anak kalian berenang, memanah, dan berkuda.” (Kanzul ‘Ummal No. 11386)

Memanah, berkuda, dan berenang dinilai BUKAN HAL YANG MELALAIKAN, bukan semata-mata permainan, selama tidak meninggalkan hal yang lebih wajib.

Nabi ﷺ bersabda:

كل شيء ليس من ذكر الله فهو لعب لا يكون أربعة ملاعبة الرجل امرأته وتأديب الرجل فرسه ومشي الرجل بين الغرضين وتعلم الرجل السباحة

Segala hal selain dzikrullah adalah melalaikan, kecuali empat hal: “Seorang laki-laki yang bercumbu dengan istrinya, berkuda, memanah, dan belajar berenang.” (HR. An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 8889, dari Jabir bin Abdullah dan Jabir bin Umair)

Syaikh Al Albani mengatakan SHAHIH. (Shahihul Jami’ No. 4534)

Jadi, berkuda, berenang, bergulat, pedang, memanah dan semisahnya, merupakan olah raga yang sunah mubahah, dan bisa menjadi mustahabbah (dianjurkam) jika diniatkan untuk ibadah dan persiapan jihad.

Sekian. Wallahu A’lam

📓📕📗📘📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top