Hukum Laki-Laki Memakai Baju Merah

💦💥💦💥💦💥

Laki-laki memakai pakaian merah tidak lepas dari dua keadaan:

1.       Merah bercampur warna lain, atau ada corak lain. Ini sepakat kebolehannya. Hadits-hadits yang melarang pakaian merah itu konteksnya jika merahnya polos.

وأما أحاديث النهي فهي خاصة بما كان أحمر خالصا لا يخالطه شيء

Ada pun hadits-hadits yang menunjukkan larangan itu spesial untuk merah murni tanpa ada campuran lainnya. (Al Mausu’ah, 6/132)

2.       Seluruhnya merah, tanpa ada corak sama sekali. Baik corak itu garis, lengkung, warna lain, atau bentuk apa saja. Semuanya tidak ada, murni merah dan polos.

Untuk kasus ini, ada dua pendapat ulama:

Pendapat Pertama. Sebagaian Pihak yang mengatakan MERAH POLOS, tanpa campuran warna lain, hal itu terlarang yaitu makruh.

 ذهب بعض الحنفية والحنابلة إلى القول بكراهة لبس ما لونه أحمر متى كان غير مشوب بغيره من الألوان للرجال دون النساء

Sebagaian Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat  dengan pendapat makruhnya memakai pakaian merah selama tidak ada campuran warna lain, ini berlaku buat kaum pria bukan wanita. (Al Mausu’ah, 6/132)

Alasannya sebagai berikut:

1.       Al Bara bin ‘Azib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

نهانا النبي صلى الله عليه وسلم عن المياثر الحمر والقسي

Nabi ﷺ melarang kami memakai ranjang berwarna merah dan pakaian campuran sutera. (HR. Al Bukhari No. 5838)

2.       Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ عَلَيْهِ ثَوْبَانِ أَحْمَرَانِ، فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Lewat di hadapan Nabi ﷺ seorang laki-laki yang memakai dua lembar pakaian berwarna merah, dia mengucapkan salam kepadanya, tetapi Nabi ﷺ tidak menjawabnya. (HR. At Tirmidzi No. 2807, katanya: hasan gharib. Abu Daud No. 4069, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7399. Katanya: shahih. Disepakati oleh Imam Adz Dzahabi penshahihannya. Tetapi, didhaifkan oleh Syaikh Al Albani. (Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2807. Al Hafizh Ibnu Hajar menilainya cacat, karena ada seorang perawi yang dha’if. (Fathul Bari, 10/306) )

Imam At Tirmdzi berkata:

وَمَعْنَى هَذَا الحَدِيثِ عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ أَنَّهُمْ كَرِهُوا لُبْسَ الْمُعَصْفَرِ، وَرَأَوْا أَنَّ مَا صُبِغَ بِالحُمْرَةِ بِالمَدَرِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ، فَلاَ بَأْسَ بِهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ مُعَصْفَرًا

Maksud hadits ini adalah, menurut para ulama, mereka memakruhkan pakaian yang tercelup oleh ‘ushfur (merah), dan mereka memandang tidak mengapa pakaian celupan merah atau selainnya jika bukan berasal dari ‘ushfur (mu’ashfar). (Sunan At Tirmidzi No. 2807)

Pendapat Kedua. Sebagian Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah mengatakan BOLEH.

وذهب بعض الحنفية والمالكية والشافعية إلى القول بجواز لبس الثوب الأحمر الخالص غير المزعفر والمعصفر

Sebagian Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat BOLEHnya pakaian berwarna merah murni tanpa tercampur oleh za’faran dan ‘ushfur. (Al Mausu’ah, 6/132)

Dalilnya adalah:

1.       Dari Al Bara bin ‘Azib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرْبُوعًا، وَقَدْ رَأَيْتُهُ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ، مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْهُ

Nabi ﷺ adalah orang yang berperawakan sedang, aku pernah melihatnya tengah memakai hullah (pakaian) berwarna merah, aku belum pernah lihat siapa pun yang setampan dirinya. (HR. Al Bukhari No. 5848)

Imam Ibnu Rajab mengutip dari Abu ‘Ubaid,  katanya: “Hullah di sini adalah dua lapis pakaian yaitu kain (Izaar) dan selendang (Ridaa’). Tidak  dinamakan Hullah kalau belum dua pakaian. Selesai.” (Fathul Bari, 2/436)

2.       Dari Abu Juhaifah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

….وخرج رسول الله – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – في حلة حمراء مشمرا، صلى إلى العنزة بالناس ركعتين، ورأيت الناس والدواب يمرون بين يدي العنزة

“ … Dan Rasulullah ﷺ keluar dengan memakai  HULLAH berwarna merah  sepanjang sampai setengah betis, Beliau shalat menghadap tombak bersama manusia sebanyak dua rakaat, aku melihat orang-orang dan hewan lalu lalang di depan tombaknya.          (HR. Bukhari No. 376, Muslim No. 503)

Menurut Imam Ibnu Rajab, riwayat ini menjadi dalil bolehnya shalat memakai pakaian merah (Ats Tsaub Al Ahmar). (Fathul Bari, 2/436)

Walau pun  di hadits ini di sebut HULLAH, tetapi Imam Ibnu Rajab memahami secara umum pakaian, bukan hanya model hullah. Karena memang saat itu jenis seperti  hullah biasa di pakai. Hanya saja, definisi HULLAH MERAH dalam hadits ini oleh Sufyan Ats Tsauri dikatakan: mantel celupan tinta (Burdul Hibrah). Saat itu, yang dipakai oleh Nabi ﷺ   adalah mantel merah yang memiliki garis-garis, bukan merah seluruhnya. (Ibid, 2/437)

3.       Dari Hilal bin ‘Amir, dari ayahnya, katanya:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِنًى يَخْطُبُ عَلَى بَغْلَةٍ، وَعَلَيْهِ بُرْدٌ أَحْمَرُ  …..

Aku melihat Rasulullah ﷺ di Mina berkhutbah di atas Bighalnya, dan dia memakai mantel merah ….  (HR. Abu Daud No. 4073. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)

Imam Ibnul Qayyim menganggap bahwa mantel merah di sini adalah tidak polos, ada corak garisnya. Beliau pun menyalahkan para ulama yang menganggapnya polos. Pendapat Imam Ibnul Qayyim ini di kritik oleh para ulama, di antaranya Imam Asy Syaukani, seperti yang dikutip  Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim, kata beliau:

وقد زعم بن القيم أن الحلة الحمراء بردان يمانيان منسوجان بخطوط حمر مع الأسود وغلط من قال إنها كانت حمراء بحتا قال وهي معروفة بهذا الاسم ولا يخفاك أن الصحابي قد وصفها بأنها حمراء وهو من أهل اللسان والواجب الحمل على المعنى الحقيقي وهو الحمراء البحت

Ibnul Qayyim menyangka bahwa pakaian merah di sini adalah dua mantel Yaman yang terdapat jalinan garis warna merah dan hitam, dan salah pihak yang mengatakan bahwa itu adalah merah polos. Beliau (Asy Syaukahi) berkata: Hal ini sudah dikenal dengan nama ini, dan bukanlah rahasia lagi bahwa  sahabat  nabi telah mensifatinya bahwa pakaian itu adalah merah, dan dia pemilik bahasanya, maka wajib memaknainya dengan makna hakiki bahwa itu adalah MERAH POLOS. (‘Aunul Ma’bud, 11/85)

Kesimpulannya:

1.       Jika merahnya berasal dari ‘ushfur secara total (polos) sebagian ulama melarangnya.

2.       Jika merahnya bukan berasal dari ‘ushfur walau total (polos) sebagian ulama memandang  tidak apa-apa.

3.       Jika merahnya bergaris dan bercorak, baik dari ‘ushfur atau bukan, sama saja yakni tidak apa-apa.

Mengambil yang hati-hati lebih baik dan aman, yaitu tetap menghindari yang polos,  agar keluar dari perselisihan. Hari ini pun kelihatannya, tidak ada orang (pria) yang benar-benar memakai merah total dari atas sampai ke bawah (kaya pendekar), baik kemeja dan celana panjangnya, atau gamisnya, melainkan biasanya sudah ada kombinasinya.

Wallahu A’lam

🌴🌻🍃🌸🌾☘🌺🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Hukum Ibadah Dibarengi Niat dan Tujuan Duniawi, apakah Syirik?

📨 PERTANYAAN:

Asslm wrwb
Ustad Farid Nu’man, kalau puasa Daud dg niat spy sehat apakah termasuk syirik..?
Jazakallah khair
Atas jawaban ustad.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh.
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Ba’d:

Sesungguhnya Islam sangat perhatian kepada amal, terlebih lagi terhadap “pendorong” dibalik sebuah amal. Nilai sebuah amal ditentukan oleh pendorongnya itu, itulah niat.

Hal ini didasarkan pada hadits:

نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ

“Niat seorang mu’min lebih baik dari pada amalnya.” (HR. Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir, 6/185-186, dari Sahl bin Sa’ad As Saidi. Imam Al Haitsami mengatakan: “ Rijal hadits ini mautsuqun (terpercaya), kecuali Hatim bin ‘Ibad bin Dinar Al Jursyi, saya belum melihat ada yang menyebutkan biografinya.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 1/61)

📌Allah Ta’ala melihat seorang hamba dari niatnya

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada penampilan kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat pada hati dan perbuatan kalian.” (HR. Muslim 4/1987, dari Abu Hurairah)

Hujjatul Islam, Al Imam Al Ghazali Rahimahullah mengatakan:

وَإِنَّمَا نَظَرَ إِلَى الْقُلُوبِ لأَِنَّهَا مَظِنَّةُ النِّيَّةِ ، وَهَذَا هُوَ سِرُّ اهْتِمَامِ الشَّارِعِ بِالنِّيَّةِ فَأَنَاطَ قَبُول الْعَمَل وَرَدَّهُ وَتَرْتِيبَ الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ بِالنِّيَّةِ

“Sesungguhnya Dia melihat kepada hati lantaran hati adalah tempat niat, inilah rahasia perhatian Allah terhadap niat. Maka, diterima dan ditolaknya amal tergantung niatnya, dan pemberian pahala dan siksa juga karena niat.” (Ihya ‘Ulumuddin, 4/351)
Oleh karena itu, jika seseorang beribadah targetnya adalah akhirat, maka dia mendapatkannya. Jika targetnya adalah dunia maka dia akan mendapatkannya, tapi dia tidak mendapatkan akhirat.

Allah ﷻ berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)

Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Huud: 15-16)

Demikianlah. Jika amal-amal akhirat dilakukan untuk target duniawi semata-mata, tidak ada tujuan akhirat sama sekali, begitu keras ancamannya. Sebab itu merupakan bentuk kesyirikan.

Disebutkan dalam Shahih Muslim, kisah Mujahidin, Qari, dan seorang dermawan, yang semuanya masuk neraka, lantaran amal shalih mereka, jihad, membaca Al Quran, dan sedekah bukan mencari ridha Allah ﷻ tetapi tujuan duniawi semata.

📌Lalu .., Bagaimana Dengan Amal Shalih Yang bercampur?

Seseorang beramal akhirat, tujuannya akhirat, tapi ada noda tujuan dunia. Apakah ini tetap berpahala atau justru siksa? Ataukah tidak berpahala dan juga tidak ada siksa? Ataukah masing-masing dapat bagiannya, dia diberikan pahala karena niat akhiratnya dan dia juga berdosa karena noda dunianya.

Hal ini seperti seseorang pergi haji dengan niat berdagang, puasa sunnah sekalian diet, wudhu untuk kesegaran, dan semisalnya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa amal ini gugur. Hal ini berdasarkan hadits Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu:

جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال أرأيت رجلا غزا يلتمس الأجر والذكر ماله فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا شيء له فأعادها ثلاث مرات يقول له رسول الله صلى الله عليه و سلم لا شيء له ثم قال إن الله لا يقبل من العمل إلا ما كان له خالصا وابتغي به وجهه

Datang seorang laki-laki kepada Nabi ﷺ dan dia bertanya: “Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang berperang dalam rangka mencari balasan harta dunia?” Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu mengulangi sampai tiga kali, semua di jawab oleh Rasulullah ﷺ : “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Lalu Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali amal itu ikhlas berharap wajahNya semata.” (HR. An Nasa’i No. 3140, hasan shahih)

Inilah pendapat Imam Ibnu Rajab dalam Jaami’ Al ‘Uluum wal Hikam, saya akan kutip bagian yang penting saja:

واعلم أنَّ العمل لغيرِ الله أقسامٌ : فتارةً يكونُ رياءً محضاً ، بحيثُ لا يُرادُ به سوى مراآت المخلوقين لغرضٍ دُنيويٍّ ، كحالِ المنافِقين في صلاتهم ، كما قال الله – عز وجل – : { وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللهَ إلاَّ قَلِيلاً } .
وقال تعالى : { فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ } الآية
وكذلك وصف الله تعالى الكفار بالرِّياء في قوله : { وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بَطَراً وَرِئَاءَ النَّاسِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ الله } ((5)) .
وهذا الرِّياءُ المحضُ لا يكاد يصدُرُ من مُؤمنٍ في فرض الصَّلاةِ والصِّيامِ ، وقد يصدُرُ في الصَّدقةِ الواجبةِ أو الحجِّ ، وغيرهما من الأعمال الظاهرةِ ، أو التي يتعدَّى نفعُها ، فإنَّ الإخلاص فيها عزيزٌ ، وهذا العملُ لا يشكُّ مسلمٌ أنَّه حابِطٌ ، وأنَّ صاحبه يستحقُّ المقتَ مِنَ اللهِ والعُقوبة

Ketahuilah bahwa amal karena selain Allah ada beberapa macam; kadang karena semata-mata riya, yang tidak dimaksudkan pamer kepada makhluk dengan motivasi duniawi, seperti keadaan kaum munafik dalam shalat mereka, sebagaimana firman Allah ﷻ :

Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali hanya sedikit. (QS. An Nisa: 142)

Ayat yang lain:

Celakah bagi orang yang shalat, yaitu orang yang lalai dari shalatnya, yaitu mereka yang shalatnya ingin dilihat manusia. (QS. Al Ma’un: 4-5)

Begitu juga Allah ﷻ mensifatkan orang-orang kafir dengan riya, dalam firmanNya:

Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan. (QS. Al Anfal: 47)

Inilah riya yang murni, hampir-hampir seorang mukmin tidak akan muncul perasaan itu dalam shalat dan puasanya. Tapi bisa jadi muncul pada amal sedekah, haji, atau lainnya, yang merupakan amal zhahir atau kelihatan hasilnya. Ikhlas dalam amal-amal ini merupakan sesuatu yang amat berharga dan mulia. Tidak ragu lagi, bahwa amal seperti ini bisa menggugurkan pahala, bahkan itu layak dibenci Allah dan mendapatkan hukuman. (Jaami’ Al ‘Uluum wal Hikam, 3/30)

Sementara itu, ulama lain mengatakan bahwa amal shalih yang bercampur dorongan duniawi tetap di terima oleh Allah ﷻ walau tidak sesempurna yang ikhlas secara total.

Alasannya adalah:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (Al Zalzalah: 7-8)

Ayat lain:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (QS. An Nisa: 40)

Inilah yang diikuti oleh Imam Al Ghazali Rahimahullah, Beliau mengatakan:

أما الذي لم يرد به إلا الرياء فهو عليه قطعاً وهو سبب المقت والعقاب وأما الخالص لوجه الله تعالى فهو سبب الثواب وإنما النظر في المشوب وظاهر الأخبار تدل على أنه لا ثواب له وليس تخلو الأخبار عن تعارض فيه والذي ينقدح لما فيه والعلم عند الله أن ينظر إلى قدر قوة الباعث فإن كان الباعث الديني مساوياً للباعث النفسي تقاوماً وتساقطاً وصار العمل لا له ولا عليه وإن كان باعث الرياء أغلب وأقوى فهو ليس بنافع وهو مع ذلك مضر ومفض للعقاب
نعم العقاب الذي فيه أخف من عقاب العمل الذي تجرد للرياء ولم يمتزج به شائبة التقرب
وإن كان قصد التقرب أغلب بالإضافة إلى الباعث الآخر فله ثواب بقدر ما فضل من قوة الباعث الديني

Orang yang beramal semata karena riya, sudah pasti amalnya itu menyebabkan kebencian dan siksa dari Allah ﷻ. Sedangkan yang melakukan karena ikhlas, maka amal itu menjadi sebab datangnya pahala dari Allah.

Yang perlu dikaji lagi adalah amalan yang niatnya bercampur. Menurut zhahir hadits ada yang menyebut bahwa amal itu tidak ada pahalanya. Namun hadits lain menunjukkan sebaliknya. Yang bisa dikatakan dalam masalah ini -dan ilmunya pada sisi Allah ﷻ- bisa dilihat dari sisi kekuatan motivasinya amal. Jika motivasi keagamaan sejajar dengan motivasi pribadi, baik ukuran dan timbangan, maka amal itu tidak mendatangkan pahala dan dosa.

Jika pendorong riya lebih dominan dan kuat, maka amal itu tidak bermanfaat, dan bahkan bisa mendatangkan siksa. Namun siksa ini lebih ringan daripada siksa amal yang semata karena riya, dan tidak dicampuri motivasi untuk taqarrub kepada Allah ﷻ.

Jika tujuan taqarrub lebih dominan dari pada motivasi lainnya, maka dia mendapatkan pahala sesuai kekuatan motivasi agama. (Ihya ‘Ulumuddin, 4/384)

Apa yang disampaikan oleh Imam Al Ghazali sangat bagus dan memuaskan, baik secara dalil naqli dan akal. Semoga rahmat Allah ﷻ atasnya dan kita semua.

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌿🌺☘🌾🌹🌻🌴

✏ Farid Nu’man Hasan

Belajar Agama dari Guru yang Kurang Ilmu

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaykum
Ustadz farid nu’man yg dirahmati Allah. Ana ingin bertanya, bagaimanakah sebaiknya sikap seorang penuntut ilmu jika ia mendapati guru mengajinya memiliki kapasitas keilmuan agama yg sedikit? Apakah ada dalilnya jika seorang pengajar agama (da’i) harus berlatar belakang pendidikan dari universitas islam?
Jazakalloh khayr atas jawabaanya
Wassalamu’alaykum

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ba’d:

📌Kondisi Ideal

Idealnya memang kita menuntut ilmu kepada guru-guru yang expert. Menguasai banyak bidang seperti Al Quran dan tafsir, Hadits baik riwayah maupun dirayah, fiqih dan ushul fiqih, sirah nabawiyah, bahasa Arab, ilmu akhlak, dan sebagainya. Tetapi, jika kita mencari guru yang “ensiklopedi” seperti itu, entah di belahan bumi mana adanya.

Oleh karena itu ambil-lah dari kelebihan seorang guru pada bidang yang dia mampu, walau dia kurang menguasai sisi lainnya. Sisi lainnya kita bisa ambil dari guru lainnya.

Pepatah mengatakan:

“Jangan mencari guru yang ideal sebab dupa yang wangi pun tetap mengeluarkan asap.”

Kemudian, apakah harus menuntut ilmu kepada yang berlatar belakang universitas agama? Tidak harus tapi itu idealnya, sebab tanggung jawab ilmiah lebih otoritatif.

Yang terpenting adalah dia ahli dalam bidangnya dan bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah apa yang diajarkannya.

Sebagaimana hadits;

إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

Jika urusan duberijan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya. (HR. Al Bukhari No. 59)

Menjadi ahli bisa dilakukan berguru secara formal dan informal, baik di kampus resmi atau mendatangi majelis ilmu para ulama.

Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi, adalah seorang sarjana ilmu komputer, tapi juga seorang ahli fiqih. Yang seperti Beliau tentu banyak.

Wallahu A’lam

🌴🌻🍃🌾☘🌺🌸🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Fiqih Sujud Tilawah pada Ayat Sajadah (Bag 2)

▪▫▪▫▪▫▪▫

📌 Kapankah dilakukan sujud Tilawah?

Sujud tilawah dilakukan jika ayat sajadah sdh selesai dibaca, ada pun jika belum selesai dibaca walau satu huruf maka tidak sah.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ سُجُودِ التِّلاَوَةِ دُخُول وَقْتِ السُّجُودِ، وَيَحْصُل ذَلِكَ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ بِقِرَاءَةِ جَمِيعِ آيَةِ السَّجْدَةِ أَوْ سَمَاعِهَا، فَلَوْ سَجَدَ قَبْل الاِنْتِهَاءِ إِلَى آخِرِ الآْيَةِ وَلَوْ بِحَرْفٍ وَاحِدٍ لَمْ يَصِحَّ السُّجُودُ؛ لأَِنَّهُ يَكُونُ قَدْ سَجَدَ قَبْل دُخُول وَقْتِ السُّجُودِ فَلاَ يَصِحُّ، كَمَا لاَ تَصِحُّ الصَّلاَةُ قَبْل دُخُول وَقْتِهَا

Disyaratkan untuk sahnya sujud tilawah yaitu masuknya waktu sujud. Menurut mayoritas ulama hal itu terjadi dengan membaca semua ayat sajadah atau mendengarkannya, Seandainya sujud sebelum selesai di akhir ayat walau satu huruf maka tidak sah sujudnya, sebab sujud sebelum waktunya tidaklah sah, sebagaimana tidak sahnya shalat sebelum waktunya.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 24/215)

📌 Bagaimana caranya?

Sujud tilawah hanya satu kali, dan dilakukan dengan dua takbir yaitu takbir hendak sujud dan takbir saat bangun dari sujud, menempelkan ke tempat sujud; dahi, hidung, dua telapak tangan, lutut, dan ujung kaki, semuanya mengarah ke kiblat.

Dalam Al Mausu’ah tertulis:

اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ سُجُودَ التِّلاَوَةِيَحْصُل بِسَجْدَةٍ وَاحِدَةٍ، وَذَهَبَ جُمْهُورُهُمْ إِلَى أَنَّ السَّجْدَةَ لِلتِّلاَوَةِ تَكُونُ بَيْنَ تَكْبِيرَتَيْنِ، وَأَنَّهُ يُشْتَرَطُ فِيهَا وَيُسْتَحَبُّ لَهَا مَا يُشْتَرَطُ وَيُسْتَحَبُّ لِسَجْدَةِ الصَّلاَةِ مِنْ كَشْفِ الْجَبْهَةِ وَالْمُبَاشَرَةِ بِهَا بِالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَالْقَدَمَيْنِ وَالأَْنْفِ، وَمُجَافَاةِ الْمِرْفَقَيْنِ مِنَ الْجَنْبَيْنِ وَالْبَطْنِ عَنِ الْفَخِذَيْنِ، وَرَفْعِ السَّاجِدِ أَسَافِلَهُ عَنْ أَعَالِيهِ وَتَوْجِيهِ أَصَابِعِهِ إِلَى الْقِبْلَةِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ

Para ahli fiqih sepakat bahwa sujud tilawah telah hasil dengan sekali sujud. Mayoritas mereka mengatakan bahwa sujud tilawah terjadi diantara dua kali takbir. Sesungguhnya didalamnya disyaratkan dan disunnahkan apa-apa yang disyaratkan dan disunnahkan dalam sujud shalat baik berupa membuka dahi (kening/jidat), dua tangan bersentuhan langsung, juga lutut, dua telapak kaki, hidung, menjauhkan dua siku dari bagian samping badan, menjauhkan perut dari kedua pahanya, dan menghadapkan jari jemarinya ke kiblat.

(Al Mausu’ah, 24/221)

Masalah takbir dalam sujud tilawah ini disebutkan dalam berbagai madzhab, seperti Hanafiyah (Bada’i Shana’i, 1/188), Malikiyah (Al Mudawanah, 1/278), Syafi’iyah (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/63), dan Hambaliyah (Al Mughni, 1/686).

Semetara Imam Al Ghazali mengatakan tidak dianjurkan bertakbir, namun Imam An Nawawi mengkritiknya dan menyebutnya sebagai pendapat yang syadz (janggal). (Al Majmu’, 4/63)

📌 Apa yang dibaca saat sujud tilawah?

Pada bagian yg pertama sudah disebutkan bacaan sujud tilawah yang dicontohkan oleh Nabi ﷺ, diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, inilah yang Sunnah. Silahkan lihat lagi.

Lalu, apakah boleh membacanya dengan bacaan sujud biasanya?

Boleh saja, Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

ولو ‏قال ما يقول في سجود صلاته جاز، ثم يرفع رأسه مُكبّراً كما يرفع من سجود الصلاة

Seandainya membaca seperti bacaan dalam sujud shalat maka itu BOLEH, kemudian dia angkat kepalanya sambil bertakbir sebagaimana dia bangun pada sujud shalat. (Raudhatuth Thalibin, Hal. 322)

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

ويقول الساجد في سجود التلاوة ما يقوله في غيره من السجود ويستحب أن يقول ما رواه الترمذي وصححه عن عائشة …

Orang yang sujud tilawah hendaknya membaca apa yang dibaca sujud lainnya. Dan disunnahkan membaca seperti yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi dan dishahihkannya, dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha .. (lalu disebutkan bacaan seperti yang sdh kami sebutkan).

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 73514)

(Bersambung ..)

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷 💐

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top