Jenis-Jenis Walimah

▪▫▪▫▪▫▪

Makna Walimah

Maknanya, kata Syaikh Wahbah Az Zuhailiy Rahimahullah:

هي كل طعام يتخذ لسرور حادث من عرس و عقد زواج و غيرها

Yaitu jamuan makan yang disediakan karena adanya peristiwa membahagiakan, seperti pesta pernikahan, akad perkawinan, dan selainnya.

(Al Fiqhu Asy Syafi’iy Al Muyassar, 2/71)

Macam-Macamnya:

  1. Al ‘Urs, jamuan makan saat pesta pernikahan
  2. Al Khars, jamuan makan saat aqiqah
  3. Al I’dzar, jamuan makan saat anak dikhitan
  4. Al Wakirah, jamuan makan setelah usai membangun rumah
  5. An Naqim, jamuan makan saat kedatangan musafir
  6. Wadhimah, memberikan makan saat musibah
  7. Al Imlak, jamuan makan setelah akad nikah
  8. Al Ma’dubah, jamuan makan tanpa sebab (Traktir). (Ibid)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid menjelaskan tentang Al Wakirah:

الوكيرة طعام سرور وشكران ، يتخذه الإنسان عند فراغه من البناء ، ويدعو إليه الناس ، وقد استحبها كثير من الفقهاء

Al Wakirah adalah jamuan makanan karena bahagia dan bersyukur, biasa dilakukan orang saat selesainya membangun bangunan (rumah), lalu dia mengundang manusia. Banyak sekali ulama fiqih yang mengatakan sebagai amal yg mustahab/SUNNAH… (Fatawa Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 205413)

Ada pun memenuhi undangannya adalah SUNNAH, menurut mayoritas ulama.

كما ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ : الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ فِي أَصَحِّ الْوَجْهَيْنِ ، وَالْحَنَابِلَةُ : إِلَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ حَضَرَ طَعَامَ الْوَكِيرَةِ

Sebagaimana MAYORITAS ulama baik Hanafiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, bahwa SUNNAH menghadiri undangan makan Al Wakiirah. (Ibid)

Syaikh Wahbah Az Zuhailiy Rahimahullah berpendapat WAJIB memenuhi semua bentuk undangan makan-makan.

Beliau berkata:

من دعي إلى الوليمة لزمته الاجابة فهي فرض عين صائما كان أو مفكرا

Siapa yang diundang untuk hadir walimah maka dia mesti meresponnya, yaitu fardhu ‘ain, baik dia dalam keadaan puasa atau tidak. (Al Fiqhu Asy Syafi’iy Al Muyassar, 2/71)

Dalilnya adalah:

اذا دعي أحدكم إلى الوليمة فليأتيها

Jika kalian diundang pada walimah (jamuan makan) maka datangilah. (HR. Bukhari dan Muslim)

Bagi yang berpuasa, dia wajib datang, dan boleh memilih untuk mendoakan saja dan tetap berpuasa, atau ikut makan (membatalkan puasanya). Ini situasional.

Dalilnya:

اذا دعي أحدكم فليجب فإن كان صائما فليصل و ان كان مفطرا فليطعم

Jika kalian diundang maka penuhilah undangan itu, jika sedang puasa maka doakanlah (tuan rumah), jika sedang tidak puasa makanlah.

(HR. Muslim)

Ada pun undangan yang dicampur oleh maksiat maka boleh tidak datang, dengan kata lain tidak wajib mendatanginya.

Syaikh Muhammad Muhajirin Amsar Rahimahullah berkata:

أذا كان هناك ضرر شرعي فلا تجب إجابته

Jika ada dharar (bahaya/keburukan) menurut syariat maka tidak wajib mendatanginya.

(Misbahuzh Zhalam, 4/290)

Atau ‘udzur syar’iy lainnya seperti sakit, bencana alam, atau tempat yang teramat jauh.

Demikian. Wallahu a’lam

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Saling Boikot Jamaah Masjid

▪▫▪▫▪▫▪

📨 PERTANYAAN:

Tadz, masjid daerah kami sedang panas. Ribut masalah khilafiyah sih .. tapi ya begitu, sampai boikot segala. Gak mau shalat dengan yg beda pemahaman, beda guru .. khawatir gak sah katanya .. gimana tadz sarannya ? (#PejuangSedih)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim ..

Saya ikut prihatin atas apa yang antum saksikan dan alami di sana. Seharusnya seorang muslim tetaplah menyikapi saudaranya sebagai seorang muslim, walau berbeda dalam masalah-masalah furu’ (cabang) dalam agama. Tapi, sering kali karena kebodohan kita, kita mudah tersulut permusuhan dan saling boikot sesama muslim hanya karena perbedaan pendapat, ironis lagi ini terjadi di masjid!!

Saya sampaikan di sini, apa yang dijelaskan Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah tentang bagaimana akhlak luhur para ulama kita dalam menyikapi perselisihan pendapat di antara mereka.

Beliau berkata:

فَأَمَّا الْمُخَالِفُونَ فِي الْفُرُوعِ كَأَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ، وَمَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ، فَالصَّلَاةُ خَلْفَهُمْ صَحِيحَةٌ غَيْرُ مَكْرُوهَةٍ. نَصَّ عَلَيْهِ أَحْمَدُ؛ لِأَنَّ الصَّحَابَةَ وَالتَّابِعِينَ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ لَمْ يَزَلْ بَعْضُهُمْ يَأْتَمُّ بِبَعْضٍ، مَعَ اخْتِلَافِهِمْ فِي الْفُرُوعِ، فَكَانَ ذَلِكَ إجْمَاعًا، وَلِأَنَّ الْمُخَالِفَ إمَّا أَنْ يَكُونَ مُصِيبًا فِي اجْتِهَادِهِ، فَلَهُ أَجْرَانِ أَجْرٌ لِاجْتِهَادِهِ وَأَجْرٌ لِإِصَابَتِهِ، أَوْ مُخْطِئًا فَلَهُ أَجْرٌ عَلَى اجْتِهَادِهِ، وَلَا إثْمَ عَلَيْهِ فِي الْخَطَأِ، لِأَنَّهُ مَحْطُوطٌ عَنْهُ. فَإِنْ عَلِمَ أَنَّهُ يَتْرُكُ رُكْنًا أَوْ شَرْطًا يَعْتَقِدُهُ الْمَأْمُومُ دُونَ الْإِمَامِ، فَظَاهِرُ كَلَامِ أَحْمَدَ صِحَّةُ الِائْتِمَامِ بِهِ

Ada pun perbedaan pendapat dalam masalah cabang, seperti yang dialami oleh pengikut Imak Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Asy Syafi’iy, maka shalat dibelakang mereka adalah SAH dan tidak makruh. Imam Ahmad mengatakan bahwa para sahabat, tabi’in, dan generasi setelahnya, mereka senantiasa berimam kepada sesama mereka walau mereka berbeda dalam masalah furu’. Demikian itu (shalat berjamaah dengan yang berbeda masalah furu’, pen) adalah ijma’ mereka.

Sedangkan orang yang berbeda pendapat, jika dia benar pendapatnya maka pahalanya dua; satu karena ijtihadnya, satu karena benarnya. Ada pun yang ijtihadnya salah, dia dapat satu pahala, yaitu pahala ijtihadnya, sedangkan kesalahannya tidak berdosa baginya.

Jika seorang makmum mengetahui bahwa imamnya meninggalkan satu atau dua rukun, yang mana bagi makmum itu tidak boleh ditinggalkan, sedangkan si imam berpendapat boleh, maka menurut perkataan Imam Ahmad tetap SAH shalat berimam kepadanya.

(Al Mughni, 2/141)

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah bercerita tentang Imam Asy Syafi’iy Rahimahullah:

ثُمَّ مِنْ الْمَعْلُومِ بِالتَّوَاتُرِ عَنْ سَلَفِ الْأُمَّةِ أَنَّ بَعْضَهُمْ مَا زَالَ يُصَلِّي خَلْفَ بَعْضٍ مَعَ وُجُودِ مِثْلِ ذَلِكَ فَمَا زَالَ الشَّافِعِيُّ وَأَمْثَالُهُ يُصَلُّونَ خَلْفَ أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَهُمْ لَا يَقْرَءُونَ الْبَسْمَلَةَ سِرًّا وَلَا جَهْرًا. وَمِنْ الْمَأْثُورِ أَنَّ الرَّشِيدَ احْتَجَمَ فَاسْتَفْتَى

Kemudian, telah diketahui secara mutawatir dari generasi salaf bahwa mereka shalat berjamaah satu sama lain bersamaan dengan adanya hal itu (perselisihan pendapat). Imam Asy Syafi’iy dan orang-orang semisalnya shalat dibelakang penduduk Madinah (dulunya Malikiyah), di mana mereka tidak membaca Basmalah baik sirr (dilirihkan) atau jahr (dikeraskan).

(Majmu’ Al Fatawa, 20/365)

Kita mengetahui bahwa Imam Asy Syafi’iy Rahimahullah berpendapat membaca Basmalah dalam surat Al Fatihah itu ada dan dikeraskan suaranya. Tapi, Beliau tetap bermakmum kepada imam yang tidak membaca Basmalah sama sekali.

Berikut ini kisah mengagumkan tentang Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, yang mengomentari shalatnya Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘Anhu.

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ : كُنَّا مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ بِجَمْعٍ فَلَمَّا دَخَلَ مَسْجِدَ مِنًى سَأَلَ : كَمْ صَلَّى أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ؟ قَالُوا : أَرْبَعًا فَصَلَّى أَرْبَعًا قَالَ فَقُلْنَا لَهُ : أَلَمْ تُحَدِّثْنَا أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَأَبَا بَكْرٍ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ : بَلَى وَأَنَا أُحَدِّثُكُمُوهُ الآنَ ، وَلَكِنْ عُثْمَانُ كَانَ إِمَامًا فَأُخَالِفُهُ وَالْخِلاَفُ شَرٌّ

Dari Abdurrahman bin Yazid, dia berkata:

“Kami shalat bersama Abdullah bin Mas’ud secara jamak. Ketika masuk ke masjid Mina, beliau bertanya: “Berapa rakaat shalatnya Amirul mu’minin (Utsman) ?”

Orang-orang menjawab: “Empat rakaat,” maka Abdullah bin Mas’ud juga shalat empat rakaat.

Maka kami bertanya kepadanya: “Bukankah engkau sendiri yang menyampaikan hadits Nabi ﷺ bahwa Beliau shalat dua rakaat, begitu pula Abu Bakar?”

Ibnu Mas’ud menjawab: “Benar, saya akan sampaikan haditsnya kepada kalian sekarang, tetapi Utsman adalah seorang imam, maka aku tidak mau menyelisihinya, karena perselisihan itu buruk.”

(Imam Al Baihaqiy, As Sunan Al Kubra, no. 5645)

Inilah adab ulama, yang sudah melanglang buana dengan ilmu. Mereka sering meninggalkan apa yang menjadi keyakinannya, meninggalkan apa yang menurutnya benar, demi menjaga hati, menjaga perasaan, dan keutuhan umat Islam. Mereka semakin luwes dan lapang dada, selapang ilmu mereka. Berbeda dengan manusia zaman ini, yang begitu keras terhadap saudaranya dalam menyikapi perbedaan pendapat ..

Ini semua luka lama, pernah menganga beberapa puluh tahun lalu .. apakah luka ini tidak kunjung kering karena selalu ada manusia yang sulit menerima perbedaan pendapat, karena merasa pendapatnya yang paling benar? ..

Maka, tidak dibenarkan sikap memboikot antar jamaah, antar pengajian, hanya karena perbedaan-perbedaan furu’ tersebut ..

Mulailah dari diri kita dulu, menjadi perekat diantara mereka. Jangan ikut-ikutan panas, dan mesti ada yang memulai untuk meredam kegaduhan di sana. Semoga Allah menguatkan umat Islam dari fitnah perpecahan ..

Wallahul Musta’an!! ..

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

Risiko Menjadi Hakim dalam Islam

▪▫▪▫▪▫

عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ وَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ وَاثْنَانِ فِي النَّارِ فَأَمَّا الَّذِي فِي الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ

قَالَ أَبُو دَاوُد وَهَذَا أَصَحُّ شَيْءٍ فِيهِ يَعْنِي حَدِيثَ ابْنِ بُرَيْدَةَ الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ

Dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

“Hakim itu ada tiga; satu orang di Surga dan dua orang berada di Neraka.

1. Yang berada di surga adalah seorang laki-laki yang mengetahui kebenaran lalu menghukumi dengannya,

2. Seorang laki-laki yang mengetahui kebenaran lalu berlaku zalim dalam berhukum maka ia berada di Neraka,

3. dan orang yang memberikan keputusan untuk manusia di atas kebodohan maka ia berada di Neraka.”

Abu Daud berkata, “Hadits ini adalah yang paling shahih dalam hal tersebut, yaitu Hadits Ibnu Buraidah yang mengatakan; Hakim ada tiga….”

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

📚 HR. Abu Daud no. 3573, At Tirmidzi no. 1322, Ibnu Majah no. 2315, Al Hakim dalam Al Mustadrak no. 8012, katanya: SHAHIH.

Faidah Dalam hadits Ini:

📌 Pekerjaan/profesi sebagai hakim memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Sebab dia adalah pemutus di antara pihak yang bersengketa dengan keputusan atas nama Allah Ta’ala

📌 Bagi hakim yang berilmu, memutuskan dengan ilmunya, dan dia jujur serta istiqamah maka surga baginya

📌 Bagi hakim yang berilmu, tapi dia menjual ilmunya dengan murah, menjual kebenaran yang diketahuinya, sehingga dia berlaku zalim, maka dia neraka

📌 Bagi hakim yang tidak memiliki ilmu, baik ilmu dasarnya atau permasalahan yang dipersengketakan, lalu dia nekad memutuskan hukum di antara mereka maka dia neraka

Wallahul Musta’an ..

🌻☘🌿🌸🍃🍄🌷💐

✍ Farid Nu’man Hasan

MEMAKAI PECI SAAT SHALAT DAN DI LUAR SHALAT

💦💦💥💥💦💦💥💥

📨 PERTANYAAN:

Ana mau tanya tentang memakai peci di waktu sholat maupun di luar sholat. Apakah diwajibkan/disunnahkan memakai peci di dua keadaan tersebut Ustadz? Adakah hadist nya? Syukron Ustadz…

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:

Langsung aja ya.., berikut ini fatwa-fatwa para ulama tentang memakai penutup kepala ketika shalat, tidak satu pun mengatakan wajib, dia sunnah, ada pula yang mengatakan adab .. Imam Ibnul Mundzir dalam Al Ijma’ mengatakan bahwa memakai penutup kepala bagi umat Islam di luar shalat bukanlah kewajiban, kecuali Al Hasan Al Bashri yang berpendapat wajib. (Al Ijma’, Kitabul Libas, No. 77)

📌 Fatwa Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah

Beliau menulis dalam Fiqhus Sunnahnya:

روى ابن عساكر عن ابن عباس: أن النبي صلى الله عليه وسلم كان ربما نزع قلنسوته فجعلها سترة بين يديه

وعند الحنفية أن ه لا بأس بصلاة الرجل حاسر الرأس، واستحبوا ذلك إذا كان للخشوع

ولم يرد دليل بأفضلية تغطية الرأس في الصلاة

“Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membuka penutup kepalanya (seperti surban) dan menjadikannya sebagai sutrah (pembatas) di hadapannya, dan beliau shalat sehingga tidak ada seorang pun yang lewat di depannya. Menurut Hanafiyah, tidak apa-apa shalatnya laki-laki dengan kepala terbuka, mereka menganjurkannya jika itu membawa kekhusyu’an.

Tak ada dalil tentang keutamaan menutup kepala ketika shalat.” (Fiqhus Sunnah, 1/128. Darul Kitab Al ‘Arabi)

📌 Fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’

Mereka ditanya tentang imam yang kepalanya terbuka alias tidak mengenakan peci, bolehkah? Jawabnya:

الرأس ليس بعورة لا في الصلاة ولا في غيرها سواء كانوا بالغين أو غير بالغين ، لكن ستره بما يناسبه مما جرت به العادة ولا مخالفة فيه للشرع يعتبر من باب الزينة فيستحسن ستره في الصلاة عملاً بقوله تعالى {يا بني آدم خذوا زينتكم عند كل مسجد } . ويتأكد ذلك بالنسبة للإمام

“Kepala bukanlah aurat, baik saat shalat atau di luar shalat, sama saja baik dengan penutup atau tidak. Tetapi menutupnya dengan apa yang semestinya yang telah menjadi kebiasaan dan tidak bertentangan syara’, itu merupakan kategori pembahasan perhiasan. Maka, memperbagusnya dalam shalat merupakan pengamalan dari firman-Nya: “Wahai Anak-anak Adam pakailah perhiasan kalian ketika memasuki setiap masjid.” Bagi imam hal ini lebih ditekankan lagi. (Lihat Fatawa Islamiyah, Kitabus Shalah, 1/615. Disusun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid. Syamilah)

📌 Fatwa Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah

Beliau ditanya tentang orang yang shalat tanpa menutup kepala baik imam, makmum, atau shalat sendiri, bolehkah?

تغطية الرأس فى الصلاة لم يرد فيها حديث صحيح يدعو إليها ، ولذلك ترك العرف تقديرها ، فإن كان من المتعارف عليه أن تكون تغطية الرأس من الآداب العامة كانت مندوبة فى الصلاة نزولا على حكم العرف فيما لم يرد فيه نص ، وإن كان العرف غير ذلك فلا حرج فى كشف الرأس "ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن " .

وروى ابن عساكر عن ابن عباس رضى الله عنهما أن النبى صلى الله عليه وسلم كان ربما نزع قلنسوته فجعلها سترة بين يديه وهو يصلى حتى لا يمر أحد أمامه . والقلنسوة غطاء الرأس .

وعند الأحناف لا بأس بصلاة الرجل حاسر الرأس أى مكشوفا ، واستحبوا ذلك إذا كان الكشف من أجل الخشوع

“Menutup kepala ketika shalat, tidak ada hadits shahih yang menganjurkannya. Hal itu hanyalah meninggalkan kebiasaan saja. Jika telah dikenal secara baik bahwa menutup kepala merupakan adab secara umum, maka hal itu dianjurkan dalam shalat sebagai konsekuensi hukum Al ‘Urf (tradisi) terhadap apa-apa yang tidak memiliki dalil syara’. Jika tradisinya adalah selain itu, maka tidak mengapa membuka kepala. “apa-apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka di sisi Allah itu juga baik.”

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membuka penutup kepalanya (seperti surban) dan menjadikannya sebagai sutrah (pembatas) di hadapannya, dan beliau shalat sehingga tidak ada seorang pun yang lewat di depannya. Menurut Hanafiyah, tidak apa-apa shalatnya laki-laki dengan kepala terbuka, mereka menganjurkannya jika itu membawa kekhusyu’an. (Fatawa Al Azhar, 9/107. Syamilah)

📌 Fatwa Para Ulama Kuwait

Dalam Al Mausu’ah disebutkan sunahnya memakai penutup kepala:

لاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي اسْتِحْبَابِ سَتْرِ الرَّأْسِ فِي الصَّلاَةِ لِلرَّجُل ، بِعِمَامَةٍ وَمَا فِي مَعْنَاهَا ، لأَِنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ كَذَلِكَ يُصَلِّي

“Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ahli fiqih tentang kesunahan menutup kepala ketika shalat bagi laki-laki baik dengan surban atau yang semakna dengan itu karena begitulah shalatnya Nabi Shallallahu “Alaihi wa Sallam. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 22/5. Maktabah Misykah)

📌 Sedangkan Imam Ibnu Taimiyah, mengisyaratkan bahwa membuka kepala ketika beribadah adalah makruh dan munkar. Hal ini ditegaskan dalam Fatawa Al Kubra-nya ketika beliau ditanya tentang manusia yang berkumpul lalu berdzikir dan membaca Al Quran, dengan membuka kepala dan merendahkan diri, mereka membacanya bukan maksud riya atau sum’ah, demi untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, boleh atau tidak?

Beliau menjawab:

الِاجْتِمَاعُ عَلَى الْقِرَاءَةِ وَالذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ حَسَنٌ مُسْتَحَبٌّ إذْ لَمْ يُتَّخَذْ ذَلِكَ عَادَةً رَاتِبَةً ، كَالِاجْتِمَاعَاتِ الْمَشْرُوعَةِ ، وَلَا اقْتَرَنَ بِهِ بِدْعَةٌ مُنْكَرَةٌ

وَأَمَّا كَشْفُ الرَّأْسِ مَعَ ذَلِكَ فَمَكْرُوهٌ ، لَا سِيَّمَا إذَا اُتُّخِذَ عَلَى أَنَّهُ عِبَادَةٌ ، فَإِنَّهُ يَكُونُ حِينَئِذٍ مُنْكَرًا وَلَا يَجُوزُ التَّعَبُّدُ بِذَلِكَ

“Berkumpul untuk membaca, berdzikir dan berdoa adalah perbuatan baik dan dianjurkan, jika hal itu tidak dijadikan kebiasaan yang rutin, itu sebagaimana perkumpulan yang disyariatkan, dan janganlah hal itu dicampur dengan bid’ah yang munkar.

Ada pun membuka kepala saat itu adalah makruh, apalagi melakukannya ketika ibadah, maka saat itu hal tersebut adalah munkar dan tidak boleh beribadah seperti itu.” (Fatawa Al Kubra, 1/6)

Apa yang difatwakan Syaikhul Islam ini, jika yang dimaksudkan adalah membuka kepala ketika ibadah adalah ketika shalat, maka pemakruhannya masih bisa didiskusikan lagi. Bagaimana mungkin makruh, jika tak satu pun hadits shahih tentang keutamaan dan anjurannya? Bahkan Nabi sendiri pernah shalat tanpa menutup kepalanya, walau Beliau lebih sering menggunakannya. Begitu pula membuka kepala ketika membaca Al-Quran dan berdzikir, tak ada pula riwayat yang menganjurkan tentang menutup kepala. Lebih tepat hal itu disebut sebagai adab yang baik dan mulia, paling tidak itu adalah sunnah.

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam.

Wallahu A’lam.

🌴🌻🍃🌺☘🌷🌾🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top