Pilar-Pilar Kekafiran

💥💦💥💦💥💦

Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah:

أركان الكفر أربعة الكبر والحسد والغضب والشهوة فالكبر يمنعه
الانقياد والحسد يمنعه قبول النصيحة وبذلها والغضب يمنعه العدل والشهوة تمنعه التفرغ للعبادة فإذا انهدم ركن الكبر سهل عليه الانقياد وإذا انهدم ركن الحسد سهل عليه قبول النصح وبذله وإذا انهدم ركن الغضب سهل عليه العدل والتواضع وإذا انهدم ركن الشهوة سهل عليه الصبر والعفاف والعبادة

Pilar-Pikar kekafiran ada empat macam:

📌 Kesombongan
📌 Dengki
📌 Amarah
📌 Syahwat

✖ Kesombongan mencegah seseorang untuk tunduk,
✖ Dengki mencegah seseorang untuk menerima nasihat dan merendahkannya,
✖ Amarah mencegah seseorang untuk berbuat adil,
✖ Syahwat mencegah seseorang untuk konsentrasi beribadah

Jika pilar kesombongan runtuh maka mudah baginya untuk tunduk …

Jika pilar kedengkian runtuh maka mudah baginya untuk menerima nasihat …

Jika pilar amarah runtuh maka mudah baginya untuk adil dan rendah hati ..

Jika pilar syahwat runtuh maka mudah baginya untuk bersabar, menjaga kehormatan, dan beribadah

🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴

📚 Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Al Fawaid, Hal. 141. Cet. 2, 1973M-1393H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut

✏ Farid Nu’man Hasan

Jangan Sembarang Tafsirkan Al Quran

💦💥💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ane lihat begitu banyak org mudah menafsirkan alquran ..apakah setiap org berhak menafsirkan alquran?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam warahmatullah, … Bismillah wa Hamdulillah ..

Mengomentari dan menafsirkan Al Quran tanpa ilmu, jelas terlarang dan berbahaya. Sebab masing-masing ilmu ada ahlinya, kembalikan kepada yg ahlinya. Hal ini juga terjadi pada disiplin ilmu lainnya. Fisika, Biologi, Ekonomi, kedokteran, dll, ada spesialisnya masing-masing, maka Al Quran juga demikian. Ini bukan berarti Al Quran menjadi elitis, tp karena memang kemampuanlah yang menjadi dasarnya. Sederhananya, semua siswa berhak kuliah di ITB, tp apa semua siswa mampu secara akademik meneruskan ke ITB? Maka, pd prinsipnya semua umat Islam berhak menafsirkan al Quran, tapi apa semuanya mampu? Tidak. Maka, kembalikan ke ahlinya agar tidak binasa.

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار

“Barangsiapa yang berkata tentang (isi) Al Quran dengan tanpa ilmu, maka disediakan baginya tempat duduk di neraka.” (HR. At Tirmidzi No. 4022, katanya: hasan shahih)

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ومن قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار

“Barangsiapa yang berkata tentang (isi) Al Quran dengan akal pikirannya semata, maka disediakan bagianya tempat duduk di neraka.” (HR. At Tirmidzi No. 4023, katanya: hasan)

Bagaimana maksud hadits yang mulia ini? Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri Rahimahullah (w. 1353H):

“ومن قال” أي من تكلم “في القرآن” أي في معناه أو قراءته “برأيه” أي من تلقاء نفسه من غير تتبع أقوال الأئمة من أهل اللغة والعربية المطابقة للقواعدالشرعية بل بحسب ما يقتضيه عقله وهو مما يتوقف على النقل بأنه لا مجال للعقل فيه كأسباب النزول والناسخ والمنسوخ وما يتعلق بالقصص والأحكام

“Wa man qaala” yaitu barang siapa yang berbicara, “fil Quran” yaitu tentang makna Al Quran atau bacaannya, “bi Ra’yihi ” yaitu sesuai dengan nafsunya dengan tanpa mengikuti perkataan para imam ahli bahasa dan arab, (tanpa) menyesuaikan dengan kaidah-kaidah syariat. Bahkan akalnya harus mengikuti apa-apa yang disikapi oleh dalil, karena sesungguhnya tidak ada tempat bagi akal di dalamnya, seperti masalah asbabun nuzul, nasikh mansukh, dan hal yang terkait dengan kisah dan hukum.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 8/278-279)

Oleh karena itu, Imam Ibnu Katsir Rahimahullah (w. 774H) dengan tegas mengharamkan tafsir bir ra’yi (tafsir dengan akal/rasio), dengan ucapannya:

فأما تفسير القرآن بمجرد الرأي فحرام

“Ada pun tafsir Al Quran semata-mata dengan ra’yu, maka itu haram.” Lalu beliau menyebutkan hadits-hadits di atas. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/10. Dar Thaibah Lin Nasyr wat Tauzi’)

Menafsirkan Al Quran dengan akal yakni tafsir bir ra’yi tidak selamanya terlarang, selama orang tersebut melakukannya dengan ijtihad yang benar, memahami seluk beluk bahasa Arab dengan baik dan niat yang besih. Dan ini jelas tidak semua orang mampu melakukannya.

Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah mengatakan:

والقرآن الكريم والسنة المطهرة مرجع كل مسلم في تعرف أحكام الإسلام ، ويفهم القرآن طبقا لقواعد اللغة العربية من غير تكلف ولا تعسف ، ويرجع في فهم السنة المطهرة إلى رجال الحديث الثقات

“Al Quran Al Karim dan Sunah yang suci, merupakan referensi setiap muslim dalam mengetahui hukum-hukum Islam. Memahami Al Quran mesti sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dengan tanpa takalluf (memaksakan) dan ta’assuf (menyimpang), dan mengembalikan pemahaman tentang as sunah yang suci kepada para rijalul hadits yang tsiqat (kredibel).” (Ushul ‘Isyrin, No. 2)

Bahkan jika tafsirnya menyimpang dari jalan yang benar, tidak sesuai makna bahasa Arab yang benar, bisa membuat pelakunya menjadi kafir.

Al Ustadz Al Banna berkata lagi:

ولا نكفر مسلما أقر بالشهادتين وعمل بمقتضاهما وأدى الفرائض ـ برأي أو بمعصية ـ إلا إن أقر بكلمة الكفر , أو أنكر معلوما من الدين بالضرورة , أوكذب صريح القرآن , أو فسره على وجه لا تحتمله أساليب اللغة العربية بحال , أو عمل عملا لا يحتمل تأويلا غير الكفر

Kita tidak mengkafirkan seorang muslim, yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, mengamalkan kandungannya, dan menunaikan kewajiban-kewajibannya, baik karena lontaran pendapat maupun karena kemaksiatannya, kecuali jika ia mengatakan kata-kata kufur, mengingkari sesuatu yang telah diakui sebagai bagian penting dari agama, mendustakan secara terang-terangan Al-Qur’an, menafsirkannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, atau berbuat sesuatu yang tidak mungkin diinterpretasikan kecuali dengan tindakan kufur. (Ushul ‘Isyrin No. 20)

Hal serupa juga dikatakan oleh Syaikh Utsaimin Rahimahullah (Lum’ah al I’tiqad, Hal. 19) saya ringkas saja:

1⃣ Dilakukan melalui ijtihad dan niat yang baik. Maka ini dimaafkan.

2⃣ Dilakukan karena hawa nafsu dan fanatisme, dan memiliki argumentasi bahasa Arab, maka pelakunya fasiq, kecuali jika pendapatnya itu terdapat penguarangan atau aib terhadap Allah maka itu bisa kufur.

3⃣ Dilakukan karena hawa nafsu dan fanatisme, dan tanpa memiliki argumentasi bahasa Arab. Keloimpok ini kufur, kaena pada hakikatnya kedustaan yang tidak berdasar. (demikian dari Syaikh Ibnu Utsaimin)

Wallahu A’lam

🌻🍃🌸🌾🌴🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Lupa Membayar Zakat Fitrah

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Bagaimana menyikapi lupa bayar zakat fitrah bila trjadi pada diri kita atau keluarga kita, Pak Ustadz ??!

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃

Lekas bayar zakat FITRAH saat dia teringat, walau sesudah shalat ‘Id, dia ma’dzur (diberikan udzur) karena LUPA ..

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah berkata:

لا ريب أن السنة إخراج زكاة الفطر قبل صلاة العيد ، كما أمر بهذا النبي الكريم صلى الله عليه وسلم ، ولكن لا حرج عليك فيما فعلت ، فإخراجها بعد الصلاة يجزئ والحمد لله ، وإن كان جاء في الحديث أنها صدقة من الصدقات ، لكن ذلك لا يمنع الإجزاء ، وأنه وقع في محله ، ونرجو أن يكون مقبولاً ، وأن تكون زكاة كاملة ؛ لأنك لم تؤخر ذلك عمداً ، وإنما أخرته نسياناً ، وقد قال الله عز وجل في كتابه العظيم : (رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا) ، وثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : (يقول الله عز وجل : قد فعلت) ، فأجاب دعوة عباده المؤمنين في عدم المؤاخذة بالنسيان والخطأ” انتهى من “مجموع فتاوى الشيخ ابن باز ” (14/217)

Tidak ragu lagi bahwa yang sesuai dengan sunnah adalah membayar zakat fitrah sebelum shalat ‘Id, sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi ﷺ, tetapi apa yang anda lakukan tidak menjadi masalah; karena membayarkannya setelah shalat ‘Id Alhamdulillah tetap sah, meskipun ada hadits yang menjelaskan akan menjadi shadaqah biasa, namun hal itu tidak menghalanginya akan keabsahannya dan sudah tepat, kami berharap hal itu akan diterima dan tercatat sebagai zakat yang sempurna; karena anda tidak mengakhirkannya dengan sengaja dan karena lupa, Allah –‘Azza wa Jalla- di dalam kitab-Nya yang mulia:

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami telah berbuat salah”. (QS. Al Baraqah: 286)

Telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:

(يقول الله عز وجل : قد فعلت)

“Allah –‘Azza wa Jalla- berkata: “Aku telah melakukannya”.

Dia (Allah) telah mengabulkan doa hamba-hamba-Nya yang beriman agar tidak menyiksa mereka karena mereka salah dan lupa”.

(Syaikh Bin Baaz, Majmu’ Fatawa, 14/217)

Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata:

من أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة ومن أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات) إلا إذا كان الإنسان معذوراً مثل أن ينسى إخراجها ولا يذكرها إلا بعد الصلاة ، أو يكون معتمداً في إخراجها على من كان عادته أن يخرجها عنه ثم يتبين له بعد ذلك أنه لم يخرج ، فإنه يخرج ، ومثل أن يأتي خبر يوم العيد مباغتاً قبل أن يتمكن من إخراجها ثم يخرجها بعد الصلاة ففي حال العذر لا بأس من إخراجها بعد الصلاة وتكون في هذه الحال مقبولة لأن الرسول صلى الله صلى الله عليه وسلم قال في الصلاة : (من نام عن صلاة أو نسيها فليصلها إذا ذكرها) ، وإذا كان هذا في الصلاة وهي من أعظم الواجبات المؤقتة ففي ما سواها أولى

“Barang siapa yang membayarkan (zakat fitrah) sebelum shalat, maka zakat tersebut diterima, dan barang siapa yang membayarkannya setelah shalat maka itu menjadi shadaqah biasa, kecuali jika seseorang berhalangan, seperti karena lupa untuk membayarkannya dan tidak mengingatnya kecuali setelah shalat, atau dia biasa menyerahkan pembayaran zakat fitrahnya kepada seseorang, kemudian ternyata dia belum membayarkannya, maka dia harus membayarkannya sendiri, atau berita tentang hari raya datangnya secara tiba-tiba dan tidak sempat membayar zakat fitrah, lalu dia membayarnya setelah shalat ied. Jadi pada saat ada udzur maka tidak masalah membayarkan zakat fitrah setelah shalat ‘Id dan tetap diterima; karena Rasulullah ﷺ bersabda dalam masalah shalat:

(من نام عن صلاة أو نسيها فليصلها إذا ذكرها)

“Barang siapa yang tertidur dan belum mendirikan shalat atau karena lupa, maka hendaknya dia mendirikannya pada saat dia mengingatnya”.

Jika hadits tersebut berkaitan dengan shalat, sedangkan shalat adalah merupakan kewajiban yang terbesar dengan waktu tertentu, maka pada selainnya akan lebih bisa dimaafkan.

(Fatawa Nuur ‘Ala Darb)

Demikian. Wallahu a’lam

🍃🌻🌴🌺☘🌷🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Shalat Wajib Sambil Membaca Mushaf

◽◼◽◼◽◼◽

📨 PERTANYAAN:

ustadz izin bertanya,
masjid dekat rumah saya menyediakan alquran besar di depan imam, yang tujuannya utk dibaca oleh imam saat shalat wajib berjamaah,
bagaimana hukumnya apakah boleh, ustadz? imam membaca quran pada saat membaca surah pendek di shalat wajib. syukran (‪+62 856-8364-xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim ..

Untuk shalat wajib, sebagian ulama memakruhkan. Sebab hal itu tidak dibutuhkan, berbeda dgn shalat Sunnah, seperti tarawih yang memang biasanya ingin panjang bacaannya, maka pada shalat Sunnah itu dibolehkan.

Tapi, jika memang dibutuhkan maka tidak apa-apa melihat mushaf walau dalam shalat wajib juga. Ada pun bagi Hanafiyah hal itu adalah membatalkan shalat.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizahullah mengatakan:

لا بأس بقراءة القرآن من المصحف في صلاة النفل ، كقيام الليل . أما الفرض فيكره فيه ذلك لعدم الحاجة إليه غالبا ، فإن احتاج فلا بأس بالقراءة من المصحف حينئذٍ

Tidak apa-apa membaca mushaf saat shalat Sunnah, seperti shalat malam. Ada pun shalat wajib, itu dimakruhkan karena umumnya itu tidak dibutuhkan. Tapi, jika memang diperlukan maka tidak apa-apa saat itu.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 65924)

Maksud “diperlukan”, misalnya seperti orang yang tidak hapal Al Fatihah, padahal itu rukun shalat, maka tidak apa-apa baginya membuka mushaf baik shalat sunah atau wajib. Bahkan bukan hanya BOLEH, tapi WAJIB membuka mushaf bagi yg belum hapal Al Fatihah, sebab kedudukan Al Fatihah yang sangat vital dalam shalat.

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

لَوْ قَرَأَ الْقُرْآنَ مِنْ الْمُصْحَفِ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ سَوَاءٌ كَانَ يَحْفَظُهُ أَمْ لَا بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ ذَلِكَ إذَا لَمْ يَحْفَظْ الْفَاتِحَةَ كَمَا سَبَقَ، وَلَوْ قَلَّبَ أَوْرَاقَهُ أَحْيَانًا فِي صَلَاتِهِ لَمْ تَبْطُلْ، وَلَوْ نَظَرَ فِي مَكْتُوبٍ غَيْرِ الْقُرْآنِ وَرَدَّدَ مَا فِيهِ فِي نَفْسِهِ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ وَإِنْ طَالَ، لَكِنْ يُكْرَهُ، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْإِمْلَاءِ وَأَطْبَقَ عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ

“Seandainya membaca Al Quran melalui mushaf tidaklah membatalkan shalatnya, maka itu sama saja, apakah dia sudah hafal Al Quran atau belum, bahkan menjadi WAJIB melihat mushaf jika dia belum hafal Al Fatihah sebagaimana penjelasan lalu. Walau kadang membolak-balikan halamannya dalam shalat, maka itu tidak membatalkan shalatnya. Juga bagi seorang yang melihat catatan lain selain Al Quran dan diulang-ulang isinya dalam hati walau lama tidaklah batal, tetapi makruh. Demikian pemaparan Asy Syafi’i dalam Al Imla’.”

( Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/20. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Ini juga menjadi pendapat Imam Malik, Imam Muhammad bin Hasan, Imam Abu Yusuf, Imam Ahmad bin Hambal, sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan: batal shalatnya. (Ibid)

Sementara itu, Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizahullah mengatakan:

فإن للمصلي أن يقرأ من المصحف في صلاة النافلة وكذا المكتوبة، وهذا هو مذهب الشافعية والقول المعتمد في مذهب أحمد. وذهب المالكية إلى الكراهة. ودليل المجيزين ما رواه البيهقي عن -عائشة رضي الله عنها- أنها كان يؤمها غلامها ذكوان من المصحف في رمضان، قال الزهري: كان خيارنا يقرؤون من المصاحف، وذهب الحنفية إلى أن القراءة من المصحف تفسد الصلاة

Sesungguhnya orang yang shalat boleh membaca lewat mushaf baik shalat Sunnah atau wajib, inilah pendapat Syafi’iyah dan pendapat resmi dari madzhab Imam Ahmad. Ada pun Malikiyah, mereka memakruhkannya.

Dalil pihak yang membolehkan adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi, dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwa Dzakwan menjadi imam baginya pada shalat di bulan Ramadhan dengan membaca mushaf.

Az Zuhriy mengatakan: “Orang-orang terbaik kami mereka membaca mushaf saat shalat.” Sedangkan Hanafiyah mengatakan batalnya shalat sambil membaca mushaf.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 1781)

Untuk keluar dari Khilafiyah lebih baik itu tidak dilakukan pada shalat wajib. Berkata Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah:

الأولى ترك ذلك في الصلاة المكتوبة، خروجاً من الخلاف ومراعاة لسنن الصلاة من النظر إلى موضع السجود وترك الانشغال بالنظر وتقليب الأوراق

Lebih utama adalah hal itu ditinggalkan dalam shalat wajib, dalam rangka keluar dari perbedaan pendapat, dan menjaga sunah-sunnah shalat yaitu melihat tempat sujud, mata tidak disibukkan oleh pandangannya, dan membalik-balikkan kertas mushaf. (Ibid)

Demikian. Wallahu a’lam

🌻🌿🌸🍃🍄🌷 💐☘

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top