Tidak Meladeni Kicauan Orang Bodoh Adalah Kemuliaan

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Imam Asy Syafi’i Rahimahullah berkata:

والصمت عن جاهل أو أحمق شرف
وفيه أيـضا لصون العرض إصلاح
أما ترى الأسد تخشى وهي صامتة
والكلب يخسى- لعمري- وهو نباح

Mendiamkan orang yang bodoh adalah suatu kemuliaan. Begitu juga diam untuk menjaga kehormatan adalah suatu kebaikan.

Tidakkah kamu melihat bahwa seekor singa itu ditakuti saat diamnya ? Sedangkan seekor anjing dipermainkan karena gonggongannya?

📚 Hikam wa Aqwaal Asy Syafi’i

🍃🌻🌾🌸🌴🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Hukum Sholat Rawatib Ketika Safar (Bepergian)

▫▪▪▪▪▪▪▪▫

📨 PERTANYAAN:

Assalaamu’alaykum ustadz.. apakah seorang yg melakukan safar jg diberikan keringanan untuk tidak melakukan shalat sunnah tambahan spt rawatib? Atau boleh dilakukan spt biasa ustadz?🙏 (+62 896-6363-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim ..

Shalat rawatib ketika safar diperselisihkan para ulama. Mayoritas ulama mengatakan tetap sunnah dan menjadi perkara yang disukai. Sebagian lain mengatakan tidak dilakukan, seperti Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, begitu juga ulama kontemporer seperti Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al Jazaairiy dalam Minhajul Muslim.

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

قال أصحابنا يستحب صلاة النوافل في السفر سواء الرواتب مع الفرائض وغيرها. هذا مذهبنا ومذهب القاسم بن محمد وعروة بن الزبير وأبي بكر بن عبد الرحمن ومالك وجماهير العلماء قال الترمذي وبه قالت طائفة من الصحابة واحمد واسحق وأكثر أهل العلم

Para sahabat kami mengatakan sunahnya shalat nawafil saat safar, baik rawatib bersama shalat wajibnya dan shalat sunnah lainnya.

Inilah madzhab kami (Syafi’iyah), juga pendapatmya Al Qasim bin Muhammad, ‘Urwah bin Az Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman, Malik, dan mayoritas ulama.

Imam At Tirmidzi mengatakan bahwa inilah pendapat segolongan ulama dari kalangan sahabat, Ahmad, Ishaq, dan mayoritas ulama.

(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/400-401)

Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُومِئُ إِيمَاءً صَلَاةَ اللَّيْلِ إِلَّا الْفَرَائِضَ وَيُوتِرُ عَلَى رَاحِلَتِهِ

Dari Ibnu ‘Umar berkata, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perjalanan, maka beliau mengerjakan shalat (sunnah) di atas tunggangannya kemana saja hewan itu menghadap, beliau mengerjakannya dengan isyarat, kecuali shalat fardlu. Dan beliau juga mengerjakan shalat witir di atas kendaraannya.”

(HR. Bukhari no. 1000)

Juga riwayat lain, yg sangat panjang bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Sallam dan para sahabat safar, dan mereka bangun kesiangan saat subuh. Abu Qatadah bercerita, setelah Bilal adzan:

فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى الْغَدَاةَ فَصَنَعَ كَمَا كَانَ يَصْنَعُ كُلَّ يَوْمٍ

Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Sallam shalat dua rakaat (sunnah), lalu shalat subuh. Dia melakukannya seperti yg dilakukannya setiap harinya.

(HR. Muslim no. 681)

Dalam hadits lain, bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam shalat 8 rakaat saat dhuha di waktu Fathul Makkah, seperti yang diceritakan oleh Ummi Hani.

Ummu Hani Radhiyallahu ‘Anha berkata:

ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفَتْحِ فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ وَفَاطِمَةُ ابْنَتُهُ تَسْتُرُهُ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ مَنْ هَذِهِ فَقُلْتُ أَنَا أُمُّ هَانِئٍ بِنْتُ أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ غُسْلِهِ قَامَ فَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ مُلْتَحِفًا فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ

“Aku pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari pembebasan Makkah ternyata Beliau sedang mandi, dan Fathimah, putri Beliau menutupinya dengan tabir. Aku memberi salam kepada Beliau lalu Beliau bertanya: “Siapa ini?”. Aku jawab; “Aku Ummu Hani’ binti Abu Thalib”. Beliau berkata: “Marhaban (selamat datang) Ummu Hani'”. Setelah selesai mandi, Beliau shalat delapan raka’at dengan berselimut pada satu baju….

(HR. Bukhari no. 3171)

Dan masih banyak dalil lainnya. Semua ini menunjukkan walau dalam keadaan safar Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam tetap melalukan shalat Sunnah, baik rawatib dan lainnya.

Sementara itu …, sebagian lain mengatakan sunnah rawatib tidak dianjurkan di saat safar.

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وقالت طائفة لا يصلي الرواتب في السفر وهو مذهب ابن عمر

Segolongan ulama TIDAK shalat rawatib saat safar, inilah madzhabnya Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma.

(Al Majmu’Syarh Al Muhadzdzab, 4/401)

Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al Jazaairiy Rahimahullah mengatakan:

إذا سافر المسلم له ان يترك سائر النوافل و راتبة و غيرها ما عدا رغيبة الفجر و الوتر فإنه لا يحسن تركهما

Jika seorang muslim melakukan safar, maka hendaknya dia meninggalkan semua shalat sunnah, rawatib, dan lainnya kecuali shalat sunnah fajar dan witir. Sebab tidak bagus meninggalkan keduanya.

(Minhajul Muslim, Hal. 190)

Dalil kelompok ini adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma berikut ini:

صَحِبْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ أَرَهُ يُسَبِّحُ فِي السَّفَرِ وَقَالَ اللَّهُ جَلَّ ذِكْرُهُ
{ لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ إِسْوَةٌ حَسَنَةٌ }

Aku pernah menemani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku tidak melihat Beliau melaksanakan shalat sunnah dalam safarnya”. Dan Allah subhanahu wata’ala telah berfirman: “Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. (QS. Ahzab 21).

(HR. Bukhari no. 1101)

Beliau juga berkata:

صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ لَا يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ

“Aku pernah menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika safar (bepergian), selama kepergian itu Beliau tidak lebih melaksanakan shalat kecuali dua raka’at. Begitu juga dengan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman Radhiallahu ‘anhum.

(HR. Bukhari no. 1102)

Demikian perselisihan pendapat dalam hal ini. Jika kita mengikuti pendapat jumhur, silahkan. Mengikuti pendapat Ibnu Umar juga silahkan. Semua pendapat ini recommended, krn berdasarkan ilmu dan dalil-dalil masing-masing, bukan hawa nafsu.

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Apakah Adam a.s. Manusia Pertama?

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Ana minta penjelasan pada surat al-baqarah ayat 30
Disitu dikatakan
“….. Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana….”

Berarti, apakah sebelum nabi Adam di ciptakan, apakah sudah ada orang/ manusia yang telah Allah ciptakan..?

Bgmana penjelasan tentang fosil binatang bahkan yang berbentuk manusia, yang ditemukan jutaan tahun yang lalu..
Syukron. (Aris Permana)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Ilmu pengetahuan modern sampai hari ini belum menyimpulkan apa-apa tentang asal-usul manusia, kecuali terjadinya diskontinuitas. Semua penemuan bagian tulang belulang, baik itu tengkorak, rahang, dan lainnya, tidak pernah utuh, hanya bagian-bagian kecil tertentu yang terpisah di tempat yang jauh, lalu di reka-reka dan rekonstruksikan sebagai manusia purba bernama A, B, C, dan seterusnya. Beragam teori tentang asal usul manusia sudah banyak yang mengemukakan, ada yang saling menguatkan, ada yang saling  menegasikan.  Tetapi, semua berujung pada: ketidakpastian.

Sependek yang saya ketahui, tidak ada satu pun ahli yang benar-benar yakin bahwa temuan mereka, beserta teori yang mereka bangun, merupakan finalisasi perdebatan panjang tentang siapa manusia pertama yang pernah ada. Sebagai orang yang berakal, kita mengapresiasi segala jerih payah para ilmuwan untuk menguak misteri ini secara scientific. Semoga saja semua penemuan ini tidak berujung pada keputusasaan sehingga mengatakan keberadaan pencipta pun bisa diteorikan! Bagaimana mungkin bisa, padahal tentang asal usul dirinya saja mereka kebingungan?

Kemudian, di sisi lain, sebagai orang beriman, kita juga memiliki wahyu yang kebenarannya laa syakka wa laa rayba (tidak ragu dan bimbang). Semuanya adalah haq dari Allah ﷻ,hukumnya haq, kisahnya haq, nasihatnya haq, tidak sedikit pun kesalahan baik atas, bawah, kanan, kiri, dan tengahnya.

Semuanya saling menguatkan dan menopang. Maka, ketika penemuan modern masih masuk dalam ranah zhanniyat (dugaan), belum keluar darinya sedikit pun, bahkan tidak ada clue (tanda) baru untuk keluar dari ranah itu, maka selama itu pula dia bukan pegangan, apalagi dijadikan  aqidah yang mencapai derajat ilmul yaqin.

Maka, ketika terjadi ketidakserasian antara keduanya, yang satu masih berputar pada teori, mencari-cari data, mengumpulkan bukti, lalu saling bantah dan koreksi, apa yang mereka  upayakan pun hanya menjadi konsumsi elitis sebagian ilmuwan dan kaum terpelajar, bahkan tidak pernah ada yang bisa memastikan kapan berakhirnya upaya ini …, sementara Al Quran sudah menceritakannya, dengan penceritaan yang tidak sekali, lalu menjadi keyakinan milyaran manusia, baik cerdik cendikia, maupun awamnya, maka apa yang Allah ﷻsampaikan melalui firmanNya lebih kita ikuti.

Kita meyakini, bahwa dalam hal-hal yang qath’i (pasti) kebenarannya selamanya ayat suci tidak akan pernah berbenturan dengan teori modern yang haq, karena keduanya –pada hakikatnya- juga berasal dari ayat-ayatNya, yaitu ayat Qauliyah dan Kauniyah, keduanya berasal dari Allah ﷻ maka keduanya tidak mungkin dan tidak seharusnya berseberangan, justru saling mengkonfirmasi. Jika terjadi benturan keduanya, maka yang qath’i (pasti) lebih kita jadikan pedoman dibanding yang zhanni (dugaan). Justru yang zhanni itu mesti diarahkan kepada yang qath’i.

📕 Nabi Adam ‘Alaihissalam Dalam Al Quran

Taruhlah kita tidak dapatkan ayat dengan kalimat lugas (manthuq/tersurat) menyebut Nabi Adam ‘Alaihissalam adalah manusia pertama, yang mengharuskan ada kata “manusia pertama” dalam ayat tersebut. Kita tidak akan menemuinya. Tetapi secara mafhum (tersirat) kita banyak mendapatkannya. Mereka-mereka yang menolak atau meragukan Nabi Adam ‘Alaihissalam sebagai manusia pertama sangat-sangat tekstualist, mereka mensyaratkan  mesti ada kata semisal “Adam adalah manusia pertama, “ atau “Aku ciptakan manusia pertama adalah Adam,” atau yang semakna dengan ini, yang tanpa perlu penjelasan lagi memang begitulah maknanya.

Sejenak kita perhatikan ayat-ayat berikut:

▶        Al Baqarah ayat 30

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Mereka yang menolak meyakini Nabi Adam‘Alaihissalam sebagai manusia pertama memahami bahwa ayat ini menunjukkan ada orang lain sebelum Nabi Adam ‘Alaihisalam. Sebab, bagaimana para malaikat bisa tahu sebelum Nabi Adam sudah ada pertumpahan darah di muka bumi?  Pastilah sebelumnya sudah ada manusia lain.

Betulkah seperti itu? Betulkah sebelum Nabi Adam ‘Alaihissalam sudah ada manusia di muka bumi yang saling menumpahkan darah? Ataukah itu makhluk lain selain manusia?

Kita lihat penjelasan dari Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, imamnya para imam ahli tafsir, yang dijuluki Turjumanul Quran (penafsir Al Quran), Al Bahr (samudera), Hibru hadzihil ummah (tintanya umat ini), dan telah didoakan oleh Nabi ﷺ : “Ya Allah ajarkanlah dia ta’wil Al Quran, dan fahamkanlah dia ilmu agama.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 6287, katanya:shahih. Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 10587), dalam hadits lain: “Ya Allah ajarkanlah dia Al Kitab (Al Quran). (HR. Bukhari No. 75)

Beliau berkata:

أنه كان في الأرض الجِنُّ , فأفسدوا فيها , سفكوا الدماء , فأُهْلِكوا , فَجُعِل آدم وذريته بدلهم

Bahwasanya dahulu di muka bumi ada jin, mereka membuat kerusakan di dalamnya, dan menumpahkan darah dan mereka pun binasa, lalu diciptakanlah Adam dan keturunannya untuk menggantikan mereka. (Imam Abul Hasan Al Mawardi, An Nukat wal ‘Uyun, 1/95. Lihat Imam Ibnu Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan, 1/450)

Apa yang dikatakan oleh Abdullah bin  Abbas Radhiallahu ‘Anhuma ini sesuai dengan yang Allah ﷻfirmankan:

وَالْجَانَّ خَلَقْناهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نارِ السَّمُومِ

Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas. (QS. Al Hijr: 27)

Maka, keterangan Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, dan juga  ayat yang menyatakan bahwa Jin lebih dahulu diciptakan  sebelum Adam, merupakan koreksi yang menganulir pemahaman atau perkiraan  bahwa sudah ada manusia sebelum Nabi Adam ‘Alaihissalam.

Sementara, para pakar yang lain mengatakan bahwa pengetahuan para malaikat adanya kerusakan dan pertumbahan darah bukan karena sebelumnya sudah ada manusia, bukan pula karena jin, tetapi itu merupakan pengabaran masa yang akan datang setelah diciptakannya  Adam yang dilakukan oleh anak cucunya, baik itu merupakan terkaan malaikat terhadap yang ghaib, ada pula riwayat yang menyebutkan karena Allahﷻ juga telah mengabarkan itu kepada mereka. Bagi yang ingin memperluas masalah ini silahkan buka Tafsir Jami’ul Bayan-nya Imam Ibnu Jarir Ath Thabari Rahimahullah.

       Sebutan bagi manusia adalah “Bani Adam”

Al Quran dan As Sunnah menyebut manusia keseluruhan dengan Bani Adam (Keturunan Adam), atau jika satu orang disebut Ibnu Adam. Keduanya (baik Bani Adam dan Ibnu Adam) ada dalam teks-teks yang shahih lagi sharih (jelas). Penyebutan tersebut, secara mafhum muwafaqah  menjadikan Adam ‘Alaihissalam sebagai porosnya menunjukkan dialah yang pertama, bukan selainnya. Jika memang ada selainnya, tentunya Allah ﷻ tidak akan menyebut (semua) manusia Bani Adam, dan tidak mungkin Allah ﷻ salah sebut. Maha Suci Allah dari hal itu. Allah ﷻ juga menyebut Bani Israel, karena Israel (Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam) adalah yang awal bagi anaknya yang 12 orang dan menjadi suku-suku sendiri di kemudian hari, lalu mereka pun disebut Bani Israel, bukan bani-bani yang lainnya. Jikalau sebelum Nabi Adam ‘Alaihissalam sudah ada manusia, taruhlah namanya X atau jenis X, tentulah Bani X panggilannya.

Masalah ini begitu penting sampai-sampai menyita perhatian  milyaran manusia, bahkan ada disiplin ilmu khusus untuk mempelajarinya dan mereka menghabiskan usianya hanya untuk urusan ini. Apakah masalah sepenting ini luput begitu saja dari Al Quran? Ketika Al Quran telah membahasnya bahwa jenis “manusia”  adalah Bani Adam, maka itulah finalnya dari masalah penting ini, dan itulah jawaban dan perhatian Al Quran terhadap misteri ini.

Tenanglah jadinya hati kita bahwa Adam ‘Alaihissalam memang manusia pertama sebagaimana tersirat dalam beberapa ayat Al Quran.

Terakhir, ada baiknya kita renungkan perkataan bagus berikut ini. Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah mengatakan:

وقد يتناول كل من النظر الشرعي والنظر العقلي ما لا يدخل في دائرة الآخر , ولكنهما لن يختلفا في القطعي , فلن تصطدم حقيقة علمية صحيحة بقاعدة شرعية ثابتة ، ويؤول الظني منهما ليتفق مع القطعي , فإن كانا ظنيين فالنظر الشرعي أولى بالإتباع حتى يثبت العقلي أو ينهار

Pandangan teori agama dan pandangan akal masing-masing punya domain, dan tidak boleh dicampuradukkan, keduanya tidak akan pernah berselisih dalam masalah yang pasti kebenarannya. Maka, selamanya hakikat teori ilmiah yang shahih tidak akan bertentangan dengan kaidah syar’i  yang pasti. Jika salah satu di antara keduanya ada yang bersifat zhanni, dan yang lainnya adalah qath’i maka yang zhanni mesti ditarik agar sesuai dengan yang qath’i, jika keduanya sama-sama zhanni maka pandangan agama lebih utama diikuti, sehingga akal mendapatkan legalitasnya atau gugur sama sekali.  (Ushul ‘Isyrin, No. 19)

Wallahu A’lam

🍃🌾🌸🌳🌷🌿☘🌻

✏ Farid Nu’man Hasan

Hukum Mengazankan Bayi yang Baru Lahir

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ust, bagaimana hukumnya mengazankan anak yg baru lahir ust?
Ada referensi yg bisa saya bacakah ust?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh .., Bismillah wal Hamdulillah ..

Ini merupakan upaya merekamkan kalimat tauhid Laa Ilaha Illallah Muhammadurrasulullah sejak dini. Sebab otak bayi laksana pita kaset yang masih kosong, ia akan terisi oleh suara yang pertama kali tertangkap olehnya. Semoga hal itu menjadi arahan yang lurus bagi sang bayi, yang akan mengendalikan arah hidupnya.

Para ulama tidak sepakat dalam masalah mengadzankan dan mengqomatkan bayi, sebagian mereka ada yang menyebut keduanya adalah bid’ah karena tidak ada dasarnya, ada pula yang mengatakan adzan disyariatkan tetapi iqamah tidak, ada pula yang membolehkan dan menganjurkan adzan dan iqamah sekaligus. Demikianlah, wallahu a’lam. Adapun kami lebih cenderung mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa adzan disyariatkan, sedangkan iqamah tidak. Sebab seluruh hadits tentang iqamah untuk bayi tak ada satu pun yang shahih atau hasan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Dari Abu Rafi’, dari ayahnya, ia berkata:

“Aku melihat Rasulullah adzan seperti adzan shalat di telinga Al hasan ketika dilahirkan oleh Fathimah.” (HR. Abu Daud no. 5105. At Tirmidzi No. 1514, katanya: hasan shahih. Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No.7986, Ahmad No. 23869)

Syaikh Al Albany berkata tentang status hadits ini, “Hasan, Insya Allah!” (Irwa’ al Ghalil, 4/400. Dia juga menghasankan dalam kitabnya yang lain, Shahih Sunan Abi Daud No. 5105 dan Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1514) Selain itu Imam Al Hakim juga menshahihkannya, namun Imam Adz Dzahabi telah mengoreksinya.

Selain itu, Al Imam Al Hafizh Yahya bin Said Al Qaththan juga menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh seorang rawi yang dhaif, munkar, dan mudhtharib (guncang). (Imam Ibnul Qaththan, Bayanul Wahm wal Iham fi Kitabil Ahkam, No. 2135. 1997M-1418H. Dar Ath Thayyibah, Riyadh)

Namun Syaikh Al Albani dalam penelitian akhirnya dia mendhaifkan hadits ini. Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah:

“Syaikh Nashir (Al Albani) telah menghasankan hadits tersebut dalam sebagian kitabnya, tetapi pada kahirnya dia menarik kembali pendapat itu. Sebab dalam isnad hadits ini terdapat seorang yang dhaif, yaitu ‘Ashim bin ‘Ubaidullah. Beliau telah enyebutkan bahwa dalam kitab Syu’abul Iman karya Imam Al Baihaqi ada hadits dari Al Hasan yang terkait dengan azan, dan telah disebutkan: hadits tersebut (riwayat Al Baihaqi) merupakan penguat hadits ini (riwayat At Tirmidzi dari Abu Rafi’ di atas, pen). Dan Syaikh Nashir berkata: setelah buku tersebut diterbitkan saya melihat isnadnya ternyata ada seorang yang wadhaa’ (pemalsu hadits) dan matruk (ditinggalkan), dahulu sebelumnya hadits tersebut dianggap sebagai penguat hadits Abu Rafi’ yang ada pada kami. Oleh karena itu tidak benar menjadikan hadits tersebut sebagai penguat selama di dalamnya terdapat seorang yang pendusta dan matruk. Maka, kesimpulannya hadits ini tidak memiliki syahid (penguat). Dan, jika dalam pembahsan ini tidak ada dasar kecuali hadits ini yang di isnadnya terdapat kelemahan perawinya yaitu ‘Ashim bin ‘Ubaidullah, maka tidaklah ada satu pun yang bisa dijadikan argument dalam masalah ini (azan untuk bayi), kecuali jika ada hadits lain yang menguatkannya, maka hal itu dimungkinkan. Ada pun jika takwil terhadap hadits ini dan hadits lainnya yang terdapat pada Imam Al Baihaqi yang di dalamnya terdapat wadhaa’ (pemalsu) dan matruk, maka aktifitas azan pada telinga bayi tidaklah shahih, karena hadits ini (riwayat Tirmidzi dari Abu Rafi’, pen) terdapat seseorang yang lemah. Sedangkan hadits itu (Al Baihaqi) ada yang seorang yang wadhaa’ dan matruk, maka tidaklah salah satu menjadi penguat bagi yang lainnya. Maka tidaklah benar berhukum dengan hadits ini. Oleh karena itu, hadits ini dihukumi tidak shahih selama dengan sanad seperti ini.” (Syarh Sunan Abi Daud, No. 580)

Syaikh Syu’aib Al Arnauth juga mendhaifkan hadits ini dengan penjelasan y

ang panjang. (Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 23869)

Jadi, pandangan yang lebih kuat adalah hadits ini adalah dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Imam Adz Dzahabi, Imam Yahya bin Said Al Qaththan, Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Al Albani, dan lainnya.

Namun demikian ada baiknya kita menyimak perkataan Syaikh Syu’aib Al Arnauth sebagai berikut:

Kami berkata: bersama kelemahan hadits dalam masalah ini, mayoritas umat dahulu dan sekarang telah mengamalkan hadits ini, hal itu seperti yang diisyaratkan oleh At Timirdzi setelah dia meriwayatkan hadits ini, dengan ucapan beliau: hadits ini diamalkan. Dan, para ulama telah menyampaikan hal ini dalam bab-bab kitab-kitab mereka dan mereka menyunnahkannya. (Ibid)

Perkataan Imam At Tirmidzi yang dimaksud adalah:

Sebagian ulama telah berpendapat dengan hadits ini. (Sunan At Tirmidzi No. 1514)

Setelah masa Imam At Tirmidzi banyak sekali ulama di berbagai madzhab yang mengamalkan hadits tersebut. Diantaranya, Imam Ibnul Qayyim dalam kitab At Tuhfah-nya, bahwa azan (dan juga iqamah) untuk bayi baru dilahirkan adalah sunah.

Dalam kitabnya itu beliau menulis:

Bab keempat: Sunahnya azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri. (Lihat Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, Hal. 21, Cet. 1. 1983M- 1403H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) . lalu beliau menyebutkan beberapa hadits, termasuk hadits ini.

Sedangkan hadits tentang iqamah, adalah sebagai berikut:

“Siapa yang kelahiran anak lalu ia mengadzankannya pada telinga kanan dan iqamah pada telinga kiri maka Ummu Shibyan (jin yang suka mengganggu anak kecil, -pent) tidak akan membahayakannya”.

(Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/390) dan Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum wal Lailah (no. 623) dan Al-Haitsami membawakannya dalam Majma’ Zawaid (4/59) dan ia berkata : Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan dalam sanadnya ada Marwan bin Salim Al-Ghifari, ia matruk (haditsnya ditinggalkan)”.

Kami katakan hadits ini diriwayatkan Abu Ya’la dengan nomor (6780).

Berkata Muhaqqiq (peneliti hadits)nya : “Isnadnya rusak dan Yahya bin Al-Ala tertuduh memalsukan hadits”. Nah, dari keterangan ini jelaslah bahwa hadits tentang qamat untuk bayi tidak bisa dijadikan landasan untuk mengamalkannya, karena cacatnya yang parah.

Wallahu a’lam

🌷☘🌺🌴🌻🍃🌾🌸


🍃🌻Adzan di Telinga Bayi, Bid’ah? 🌻🍃

💢💢💢💢💢💢

Dalilnya:

عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ

Dari Ubaidullah bin Abu Rafi’ dari Bapaknya ia berkata,

“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengumandangkan adzan -shalat- pada telinga Hasan bin Ali saat ia dilahirkan oleh Fatimah.”

(HR. At Tirmidzi no. 1514)

Status hadits ini:

– Imam at Tirmidzi berkata: hasan shahih. (Sunan at Tirmidzi no. 1514)

– Imam al Hakim mengatakan: Shahih. (Al Mustadrak ‘alash Shahihain, no. 4827)

– Imam Ibnul Qayyim mengikuti pendapat Imam at Tirmidzi, hasan shahih. (al Wabil ash Shayyib, Hal. 131)

– Syaikh Abdul Aziz bin Baaz mengatakan:

والحديث في سنده عاصم بن عبيد الله بن عاصم بن عمر بن الخطاب وفيه ضعف وله شواهد

Sanad Haditsnya terdapat ‘Ashim bin Ubaidillah bin’ Ashim bin Umar bin al Khathab, dia DHAIF, tapi hadits ini ada SYAWAHID (riwayat lain yang mendukungnya). (Fatawa Nuur ‘Alad Darb, kaset no. 446)

– Syaikh al Albani mengatakan HASAN, dalam Irwa’ul Ghalil (4/400). Tapi, kemudian dia meralatnya dan mendhaifkan hadits ini. (Syaikh Abdul Muhsin al Abbad al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, no. 580)

– Syaikh Syu’aib al Arnauth mengatakan: dhaif. (Ta’liq Musnad Ahmad, no. 23896)

– Imam adz Dzahabi dalam Talkhish-nya juga menyatakan dhaif, lantaran kedhaifan ‘Ashim bin ‘Ubaidillah.

– Imam Yahya al Qaththan menyebutkan hadits ini terdapat seorang perawi yang dhaif, munkar, dan mudhtharib (guncang). (Imam Ibnul Qaththan, Bayanul Wahm wal Iham fi Kitabil Ahkam, No. 2135)

Jadi, para ulama berselisih pendapat tentang keshahihan hadits ini. Namun, mayoritas ulama sejak masa salaf mengamalkannya bahwa adzan di telinga bayi yang baru lahir adalah sunnah.

▶ Imam at Tirmidzi Rahimahullah, wafat th 279H alias 12 Abad lalu, Beliau berkata:

وَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ إِلَى هَذَا الْحَدِيثِ

Sebagian ulama berpendapat (mengamalkan) hadits ini. (Sunan At Tirmidzi no. 1514)

Tentu ulama yang dimaksud Imam at Tirmidzi adalah ulama yang hidup di zamannya atau sebelumnya. Itulah ulama salaf.

▶ Bagaimana pendapat fuqaha madzhab?

Mayoritas ulama madzhab juga mengatakan SUNNAH, kecuali Imam Malik dan sebagian pengikutnya.

1. Madzhab Hanafi

Imam Ibnu ‘Abidin Rahimahullah mengatakan:

مطلب في المواضع التي يندب لها الأذان فيندب للمولود.. انتهى

Perkara yang termasuk disunnahkan dilakukan adzan adalah adzan kepada bayi..

(Hasyiyah Ibnu’ Abidin, 1/385)

2. Madzhab Syafi’i

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

السنة أن يؤذن في أذن المولود عند ولادته ذكرا كان أو أنثى، ويكون الأذان بلفظ أذان الصلاة، لحديث أبي رافع الذي ذكره المصنف قال جماعة من أصحابنا: يستحب أن يؤذن في أذنه اليمنى، ويقيم الصلاة في أذنه اليسرى

Disunnahkan melantunkan adzan di telinga bayi yg baru lahir baik bayi laki-laki atau perempuan, dengan lafaz seperti adzan shalat. Berdasarkan hadits Abu Rafi’, yang disebutkan oleh al Mushannif. Segolongan sahabat kami (Syafi’iyah) mengatakan: disunnahkan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri.

(al Majmu’ Syarh al Muhadzab, 8/442)

3. Madzhab Hambali

Imam al Buhuti Rahimahullah mengatakan:

وسن أن يؤذن في أذن المولود اليمنى ذكرا كان أو أنثى حين يولد، وأن يقيم في اليسرى؛ لحديث أبي رافع

Disunnahkan adzan di telinga kanan bayi baik laki-laki atau perempuan, juga iqamah di telinga kiri, berdasarkan hadits Abu Rafi’.

(Kasysyaaf al Qinaa’, 3/28)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah – salah satu tokoh Hambali- berkata:

في إستحباب التأذين في أذن اليمنى و الإقامة في أذن اليسرى. و في هذا الباب أحاديث….

Tentang SUNNAHnya adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri. Dalam masalah ini terdapat sejumlah hadits…. (lalu Beliau menyebutkan beberapa).

(Tuhfatul Maudud, Hal. 30)

4. SEBAGIAN MALIKIYAH, sebagian mereka memakruhkan semua adzan selain keperluan shalat.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

وَكَرِهَ الإْمَامُ مَالِكٌ هَذِهِ الأْمُورَ وَاعْتَبَرَهَا بِدْعَةً ، إِلاَّ أَنَّ بَعْضَ الْمَالِكِيَّةِ نَقَل مَا قَالَهُ الشَّافِعِيَّةُ ثُمَّ قَالُوا : لاَ بَأْسَ بِالْعَمَل بِهِ

Imam Malik memakruhkan semua ini dan menyebutnya sebagai bid’ah, kecuali sebagian Malikiyah yang mengambil pendapat yang sama dengan Syafi’iyah, menurut mereka: “Tidak apa-apa mengamalkannya.”

(al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah, 2/372-373)

Imam al Hathab Rahimahullah mengatakan:

كره مالك أن يؤذن في أذن الصبي المولود

Imam Malik memakruhkan adzan di telinga bayi yang baru lahir.

(Mawahib al Jalil, 1/434)

Tetapi, Imam al Hathab sendiri mengatakan:

قلت: وقد جرى عمل الناس بذلك فلا بأس بالعمل به. والله أعلم

Aku berkata: hal ini telah diamalkan oleh manusia, maka tidak apa-apa mengamalkannya. (Ibid)

▶ Ulama Masa Kini

– Ahli hadits, Syaikh Syu’aib al Arnauth mengatakan:

قلنا: ومع ضعف الحديث الوارد في هذه المسألة، فقد عمل به جمهور الأمة قديما وحديثا، وهو ما أشار إليه الترمذي عقبه بقوله: والعمل عليه. وقد أورده أهل العلم في كتبهم وبوبوا عليه واستحبوه

Kami berkata: meskipun hadits ini lemah, mayoritas umat dahulu dan sekarang telah mengamalkan hadits ini, hal itu seperti yang diisyaratkan oleh At Timirdzi setelah dia meriwayatkan hadits ini, dengan ucapan beliau: hadits ini diamalkan. Dan, para ulama telah menyampaikan hal ini dalam bab-bab kitab-kitab mereka dan mereka menyunnahkannya.

(Ta’liq Musnad Ahmad, 39/298)

– Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah mengatakan:

هذا مشروع عند جمع من أهل العلم، وقد ورد فيه بعض الأحاديث وفي سندها مقال، فإذا فعله المؤمن فحسن؛ لأنه من باب السنن ومن باب التطوعات، والحديث في سنده عاصم بن عبيد الله بن عاصم بن عمر بن الخطاب وفيه ضعف وله شواهد

Adzan ditelinga bayi itu DISYARIATKAN, menurut segolongan ulama. Hal itu sesuai hadits yg sanadnya masih didiskusikan. Jika seorg mukmin mempraktekkannya MAKA ITU BAGUS. Sebab itu termasuk SUNNAH, dan hal yang dianjurkan. Haditsnya terdapat ‘Ashim bin Ubaidillah bin’ Ashim bin Umar bin al Khathab, dia DHAIF, tapi hadits ini ada SYAWAHID (riwayat lain yang mendukungnya).

(Fatawa Nuur ‘Alad Darb, kaset no. 446)

– Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

الآذان عند ولادة المولود سنة

Adzan disaat kelahiran bayi adalah SUNNAH..

(Fatawa Nuur ‘Alad Darb, kaset no. 307)

– Dan lainnya, seperti fatwa Dar al Ifta al Mishriyyah.

Demikian. Wallahu a’lam

🍀🍁🌿🌳🌷🌻🍃🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top