Pemuda Perindu Syahid

💦💥💦💥💦💥

Imam Ibnul Atsir Rahimahullah menceritakan:

Tatkala Rasulullah ﷺ dan para sahabat menuju medan badar. Ikut bersama mereka seorang remaja bernama Umair bin Abi Waqqash. Ia takut kalau Rasulullah ﷺ menolak keikutsertaannya karena usianya yang masih sangat belia. Oleh karena itu ia bersembunyi dan menghindar agar tidak ada yang melihatnya. Namun, ketika saudaranya , Sa’ad, melihatnya ia bertanya: “Wahai saudaraku, ada apa?” Umair menjawab: “Aku takut kalau Rasulullah menganggapku masih kecil yang membuat aku ditolaknya untuk ikut. Sungguh aku ingin sekali ikut serta dan Allah memberikan aku karunia mati syahid.” Ia tetap bersikeras ingin ikut, ketika Rasulullah ﷺ memulangkannya karena usianya yang masih belia, ia menangis. Sehingga timbul rasa iba di hati Rasulullah ﷺ, akhirnya ia pun diizinkan ikut dan mendapatkan kemuliaan mati syahid di perang tersebut. 1]

Lain lagi ketika perang Uhud. Rasulullah ﷺ memulangkan para pemuda yang belum berusia 15 tahun. Di antaranya adalah Rafi’ bin Khadij dan Samurah bin Jundub Radhiallahu ‘Anhuma. Tapi karena mereka sangat rindu untuk ikut berperang, ada manusia yang mengatakan: “Rafi’ ini ahli memanah!” Maka Nabi ﷺ mengizinkan untuk ikut. Melihat itu, Samurah bin Jundub maju dan berkata: “Kau mengizinkannya berperang tapi kau menolak aku, padahal jika dia bergulat dengan aku pasti dia kalah.” Maka, Nabi ﷺ berkata kepada Rafi’, “Lawanlah dia bergulat!” Dan ternyata benar, Rafi’ dikalahkan oleh Samurah bin Jundub. Maka, Nabi ﷺ memberikan izin kepada Samurah juga. 2]

🍃🍃🍃🍃

[1] Imam Ibnul Atsir, Usudul Ghabah, 4/148
[2] Imam Ibnu Hisyam, Sirah An Nabawiyah, 2/66

🍃🌻🌾🌸🌴🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Da’wah Nabi: Antara Lembut dan Tegas

💦💥💦💥💦💥

✔ Islam mengajarkan untuk tawazun (seimbang), wa aqiimul wazna bil qishthi wa laa tukhsirul miizaan

✔ Di antara keseimbangan itu adalah seimbang antara reward dan punishment, pujian dan kritik, serta kelembutan dan ketegasan

✔ Pada dasarnya, lembut adalah baik, tapi jika bukan pada tempat dan waktunya maka itu zalim

✔ Pada dasarnya, tegas itu bagus, tapi jika bukan pada tempat dan waktunya, itu juga zalim

☑ Kedua sikap ini benar pada kondisinya masing-masing

☑ Da’wah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sangat memperhatikan keduanya.

☑ Nabi pernah melerai seorang pemuda yang mabuk dari amuk massa saat itu, dan menyelamatkannya, serta mengatakan “dia masih mencintai Allah dan RasulNya”

☑ Nabi pernah menjenguk Yahudi yang sakit lalu mengajaknya kepada Islam

☑ Nabi tidak memarahi Badui yang kencing di masjid, justru melarang para sahabat yang bersikap keras kepadanya

☑ Nabi tidak menghardik orang yang tubuhnya beraroma bawang merah dan bawang putih di masjid, tapi dia pegang tangannya dengan lembut dan membawa keluar masjid sampai ke Baqi’

☑ Masih banyak fragmen lain, yang menunjukkan kelembutan da’wah nabi

✅ Tapi .. kita dapati ketegasan pula dalam da’wahnya, jika memang itu yang diperlukan

✅ Nabi pernah memboikot tiga sahabatnya sendiri lantaran tidak mentaatinya untuk mengikuti perang Tabuk , 50 hari lamanya mereka didiamkan sampai Allah menerima taubat mereka

✅ Nabi pernah mendiamkan semua istrinya sebulan lamanya pasca perang Hunain, lantaran mereka meminta harta dunia yang tidak dimilikinya

✅ Nabi pernah sangat marah kepada Usamah bin Zaid karena mencoba merayu nabi agar meringankan hukuman bagi wanita Bani Makhzum yang mencuri, “Seandainya Fathimah mencuri aku sendiri yang memotong tangannya!” Kata nabi

✅ Nabi pernah marah kepada Usamah bin Zaid karena telah membunuh musuh yang telah bersyahadat, walau syahadatnya itu menurutnya hanya untuk menghindar saja, “Kenapa kau tidak belah saja dadanya agar kau tahu karena apa dia bersyahadat!” Kata nabi

✅ Nabi pernah marah kepada para sahabat yang telah salah dalam fatwa mandi wajib bagi yang junub dalam keadaan pendarahan sehingga hilang nyawa seseorang karena fatwa itu, “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah memerangi mereka!” Kata nabi

📌 Masih banyak fragmen ketegasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam baik kepada sahabatnya dan juga musuhnya

📌Maka, selalu lembut tanpa kenal ketegasan adalah banci …

📌 Selalu tegas tanpa kenal kelembutan adalah preman …

📌 Da’wah Nabi dan para sahabat amat memperhatikan keseimbangan keduanya ..

📌 Keshalihan seseorang tidak semata dinilai dari berapa lembut dia terhadap manusia ..

📌 Keshalihan seseorang juga tidak dinilai dari berapa tegas dia terhadap manusia ..

📌 Tetapi ditentukan oleh kemampuannya dalam meletakkan posisi manusia dan kesalahan mereka ..yang dengannya disikapi lembut atau tegas

📌 Maka, lembut atau tegas karena tiga hal: kondisi orangnya, kadar dan jenis kesalahannya, dan situasi yang melatar belakanginya

📌 Pemahaman terhadap hal-hal ini sangat vital, jika tidak memahaminya pasti dia tergelincir dan jauh tergelincir .. walau dia merasa benar dan tahu

Wallahu a’lam

🍃🌺🌾🌹🌿🌻🍃☘🌴

✏ Farid Nu’man Hasan

Hukum Menyebut Almarhum Untuk Muslim

💥💦💥💦💥💦

Sebagian muballigh melarang penyebutan “AlMarhum” bagi mayat muslim sebab itu merupakan pemastian adanya rahmat bagi mayat tersebut, padahal mayat tersebut belum tentu shalih.

Kita lihat fatwa ulama ..

1⃣ Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Jibrin Rahimahullah

س : ما حكم إطلاق كلمة المرحوم أو المغفور له على الميت؟
– أرى أنه لا بأس بذلك تفاؤلا كالدعاء كما يقال غفر الله له، فهو مغفور له بواسطة دعاء إخوانه المسلمين، وليس في ذلك جزم ولا تزكية

Pertanyaan: apa hukum memutlakan kata Al Marhum (yang dirahmati) atau Al Maghfur lahu (yang diampuni) kepada mayit?

Jawaban: (Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin Rahimahullah)

Saya memandang hal itu tidak apa-apa dengan menyikapinya selayaknya doa, sebagaimana disebutkan ghafarallahu lahu (semoga Allah mengampuninya), maka dia mendapakan ampunan dengan sebab doa saudara-saudaranya kaum musliman, yang demikian itu bukanlah kalimat jazm (pemastian) dan bukan pula tazkiyah (pensucian/pengkultusan). (Fatawa Asy Syaikh Ibnu Jibrin, 81/17. Syamilah)

2⃣ Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah juga mengatakan:

وهو قولك المرحومة والدتي المرحومة فإن بعض الناس ينكر هذا اللفظ يقولون إننا لا نعلم هل هذا الميت من المرحومين أو ليس من المرحومين وهذا الإنكار في ملحه إذا كان الإنسان يخبر خبراً عن أن هذا الميت قد رحم لأنه لا يجوز أن نخبر أن هذا الميت قد رحم أو عذب بدون علم قال الله تعالى (وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ) لكن الناس لا يريدون بذلك الإخبار قطعاً فالإنسان الذي يقول المرحوم الوالد أو المرحومة الوالدة أو المرحومة الأخت أو الأخ أو ما أشبه ذلك لا يريدون بهذا الجزم أو الإخبار أنهم مرحومون وإنما يريدون بذلك الدعاء أن الله تعالى قد رحمهم والرجاء وفرق بين الدعاء والخبر ولهذا نحن نقول فلان رحمه الله فلان غفر الله له ولا فرق من حيث اللغة العربية بين قولنا فلان المرحوم وفلان رحمه الله لأن جملة رحمه الله جملة خبرية والمرحوم بمعنى الذي رحم فهي أيضاً خبرية فلا فرق بينهما أي بين مدلولهما باللغة العربية فمن منع المرحوم يجب أن يمنع فلان رحمه الله على كل حال نقول لا إنكار في هذه الجملة أي في قولنا فلان المرحوم وفلان المغفور له وما أشبه ذلك لأننا لسنا نخبر بذلك خبراً ونقول إن الله قد رحمه وأن الله قد غفر له ولكننا نسأل الله ونرجو فهو من باب الرجاء والدعاء وليس من باب الإخبار وفرق بين هذا وهذا

Dan ucapan Anda “Al Marhumah Ibuku”, sesungguhnya Al Marhumah telah diingkari oleh sebagian manusia. Mereka mengatakan sesungguhnya kita tidak mengetahui apakah mayit ini termasuk yang mendapatkan rahmat atau tidak termasuk. Pengingkaran ini adalah pada penghormatannya, jika manusia membawa berita tentang mayit tersebut bahwa dia telah dirahmati sesungguhnya tidak boleh kita mengabarkan bahwa mayit ini telah mendapatkan rahmat atau azab tanpa ilmu. Allah Ta’ala berfirman: (janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya)

Tetapi mereka tidaklah memaksudkannya sebagai kabar yang menunjukkan kepastian. Manusia yang mengucapan Al Marhum ayahku, Al Marhumah ibuku, Al Marhum saudaraku yang laki-laki, Al Marhumah saudaraku yang perempuan, atau yang semisalnya, tidaklah memaksudkannya sebagai bentuk memastikan atau pengabaran bahwa mereka dirahmati. Sesungguhnya mereka memaksudkannya sebagai doa, bahwasanya Allah Ta’ala telah merahmati mereka dan sebagai pengharapan, dan berbeda antara doa dan pengabaran. Oleh karenanya kita mengatakan: fulan rahimahullah, fulan ghafarallahu lahu, dan tidak ada perbedaan dari sisi bahasa Arab antara ucapan fulan Al Marhum dengan fulan rahimahullah. Karena rahimahullah merupakan kalimat khabariyah (jumlah khabariyah), sedangkan Al Marhum dengan makna yang mendapatkan rahmat, juga kalimat khabariyah. Maka tidak ada perbedaan antara keduanya, yaitu tidak ada perbedaan dari sisi bahasa. Maka, barang siapa yang melarang Al Marhum wajib melarang pula fulan rahimahullah bagaimana pun keadaannya.

Kita katakan, tidak ada pengingkaran pada kalimat ini yaitu pada ucapan kita: Si Fulan Al Marhum dan Si fulan Al Maghfur Lahu, dan yang semisalnya. Sesungguhnya dengan kalimat itu kami tidak menyampaikan sebuah berita dengan perkataan: sesungguhnya Allah Ta’ala telah merahmatinya dan telah mengampuninya. Tetapi, kita memohon kepada Allah Ta’ala dan berharap, dan ini masuk dalam bab pengharapan (Ar Raja) dan doa, bukan masuk bab pengabaran, dan antara ini dan ini berbeda. (Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Fatawa Nur ‘Alad Darb Bab Al Janaaiz)

🍃☘🌾🌻🌺🌴🌿🌹

✏ Farid Nu’man Hasan

Hikmah dan Peristiwa Isra Miraj

💦💥💦💥💦💥💦

I. Definisi

Isra’ artinya perjalanan dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsa pada malam hari. Hal ini sesuai ayat:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al Isra (17): 1)

Mi’raj artinya perjalanan naiknya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Masjidil Al Aqsa ke Sidratul Muntaha di langit ke tujuh. Hal ini sesuai dengan ayat:

وَلَقَدْ رَآَهُ نَزْلَةً أُخْرَى (13) عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى (14) عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى (15) إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى (16) مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى (17) لَقَدْ رَأَى مِنْ آَيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى(18)

Dan Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (QS. An Najm (53): 13-18)

II. Kapan Peristiwanya?

Tidak ada kesepakatan para ulama hadits dan para sejarawan muslim tentang kapan peristiwa ini terjadi, ada yang menyebutnya Rajab, dikatakan Rabiul Akhir, dan dikatakan pula Ramadhan atau Syawal. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 7/242-243)

Imam Ibnu Hazm mengatakan terjadinya pada bulan Rajab, di tahun kedua belas kenabian. Sementara Imam Al Hafizh Abdul Ghani Al Maqdisi mengatakan terjadinya pada malam 27 Rajab. (Al Quran Al Karim wa Tafsiruhu, 5/429)

Imam Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, bahwa banyak ulama yang melemahkan pendapat bahwa peristiwa Isra terjadi pada bulan Rajab, sedangkan Ibrahim Al Harbi dan lainnya mengatakan itu terjadi pada Rabi’ul Awal. (Ibid Hal. 95).

Beliau (Imam Ibnu Rajab) juga berkata:

و قد روي: أنه في شهر رجب حوادث عظيمة ولم يصح شيء من ذلك فروي: أن النبي صلى الله عليه وسلم ولد في أول ليلة منه وأنه بعث في السابع والعشرين منه وقيل: في الخامس والعشرين ولا يصح شيء من ذلك وروى بإسناد لا يصح عن القاسم بن محمد: أن الإسراء بالنبي صلى الله عليه وسلم كان في سابع وعشرين من رجب وانكر ذلك إبراهيم الحربي وغيره

“Telah diriwayatkan bahwa pada bulan Rajab banyak terjadi peristiwa agung dan itu tidak ada yang shahih satu pun. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dilahirkan pada awal malam bulan itu, dan dia diutus pada malam 27-nya, ada juga yang mengatakan pada malam ke-25, ini pun tak ada yang shahih. Diriwayatkan pula dengan sanad yang tidak shahih dari Al Qasim bin Muhammad bahwa peristiwa Isra-nya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terjadi pada malam ke-27 Rajab, dan ini diingkari oleh Ibrahim Al Harbi dan lainnya.” (Lathaif Al Ma’arif Hal. 121. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Sementara, Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani mengutip dari Ibnu Dihyah, bahwa: “Hal itu adalah dusta.” (Tabyinul ‘Ajab hal. 6). Imam Ibnu Taimiyah juga menyatakan peristiwa Isra’ Mi’raj tidak diketahui secara pasti, baik tanggal, bulan, dan semua riwayat tentang ini terputus dan berbeda-beda.

III. Ruh dan jasad, atau ruh saja?

Mayoritas Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa perjalanan Isra Mi’raj yang dialami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah ruh dan jasad sekaligus. Hal ini berdasarkan nash ayat:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha (QS. Al Isra: 1)

Kata bi’abdihi – hambaNya, menunjukkan perjalanan tersebut adalah ruh dan jasad sekaligus, sebab seseorang dikatakan ‘abdu (hamba) jika terdapat unsur keduanya.

Inilah pendapat Ibnu Abbas, Jabir, Anas, Khudzaifah, Umar, Abu Hurairah, Malik bin Sha`sha`ah, Abu Habbah Al Badriyyi, Ibnu Mas`ud, Dhahak, Said bin Jubair, Qatadah, Ibnu Musayyib, Ibnu Syihab, Ibnu Zaid, Al Hasan, Ibrahim, Masruq, Mujahid, Ikrimah, Ibnu Juraij, dengan dalil ucapan Aisyah dan pendapat para ulama ahli fiqh Muta`akhirin , para ahli hadits, para ahli bahasa, dan para ahli tafsir.

Syaikh Shalih Fauzan Hafizhahullah berkata:

الإسراء والمعراج كانا بالجسم والروح معًا، هذا قول الجمهور من أهل العلم، وذلك لقوله تعالى : { سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجدِ الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ } [ الإسراء : 1 . ] ، والعبد اسم للروح والجسم، وليس اسمًا للرُّوح فقط، وقد جاء في حديث النبي صلى الله عليه وسلم في ذكر الإسراء والمعراج ؛ أنه جاءه جبريل بدابَّة اسمها البُراق، وأركبه عليها، وذهب إلى بيت المقدس، وصلى بالأنبياء هنا . . . كل هذا يعطي أنه بالجسم والرُّوح معًا، وهذا قول الجماهير من أهل العلم، ولم يخالفهم فيه إلا طائفة يسيرة

Isra’ Mi’raj terjadinya dengan jasad dan ruh secara bersamaan, inilah pendapat mayoritas ulama. Hal ini berdasarkan ayat: Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha. (QS. Al Isra: 1).

Kata Al ‘Abdu merupakan nama bagi ruh dan jasad, bukan nama bagi ruh saja. Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menceritakan tentang Isra Mi’raj; bahwa Jibril mendatangi Beliau dengan membawa hewan bernama Buraq, dia menungganginya, lalu dnegannya pergi menuju Baitul Maqdis dan shalat di sana bersama para nabi ………. Semua ini menunjukkan terjadinya adalah ruh dan jasad sekaligus, dan inilah pendapat mayoritas ulama, dan tidak ada yang menyelisihinya kecuali kelompok yang sedikit saja. (Al Muntaqa min Fatawa Al Fauzan, 7/3)

Lalu kafirkah orang yang menyatakan bahwa Isra Mi’raj hanya ruh saja tanpa jasad? Syaikh Shalih Fauzan berkata lagi:

وأما من أنكر الإسراء بالجسم؛ فهو لا يكفر؛ لأنه قال به بعض السَّلف؛ قالوا : إنَّ الإسراء بالرُّوح فقط، يقظة لا منامًا . وإن كان هذا القول مرجوحًا وضعيفًا، لكن من أخذ به؛ فإنه يكون مُخطئًا، ولا يكفر بذلك

Ada pun orang yang mengingkari Isra Mi’raj dengan jasad, maka dia tidak dikafirkan, karena sesungguhnya sebagian salaf ada yang berpendapat demikian. Mereka mengatakan bahwa Isra itu hanya ruh saja, dalam keadaan sadar dan bukan mimpi. Ini adalah pendapat yang lemah, tetapi siapa pun yang mengambil pendapat ini maka dia termasuk berbuat salah, dan tidak dikafirkan karena itu. (Ibid)

IV. Hikmah Isra’ Mi’raj

1⃣ Ujian Iman kepada Allah bahwa Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu

Bagi sebagian orang dahulu dan sekarang, tidak mempercayai kejadian ini. Mereka memandang dengan akal semata, bahwa mustahil manusia mengalami ini dalam waktu semalam saja.

Di tambah lagi berbagai kisah tentang berjumpanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan para nabi sebelumnya di masing-masing lapisan langit, serta pemandangan tentang surga dan neraka.

Ada pun bagi seorang mu’min amat meyakini wallahu ‘ala kulli syai’in qadiir, Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Jika saja ada peristiwa yang lebih besar dan lebih “tidak masuk akal” dari Isra’ Mi’raj, nisacaya bagi seorang mu’min tetap akan meyakininya. Sebab, hal-hal seperti adalah peristiwa yang sangat mudah bagi Allah Ta’ala untuk menjadikannya.

2⃣ Ujian Iman kepada kebenaran risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Seorang mu’min wajib meyakini tanpa ragu sedikitpun, bahwa apa yang dibawa dan diberitakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah benar adanya. Lihatlah yang dilakukan Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu tentang peristiwa ini.

‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha menceritakan dengan sanad yang shahih:

لما أسري بالنبي صلى الله عليه وسلم إلى المسجد الأقصى أصبح يتحدث الناس بذلك فارتد ناس فمن كان آمنوا به وصدقوه وسمعوا بذلك إلى أبي بكر رضى الله تعالى عنه فقالوا هل لك إلى صاحبك يزعم أنه أسري به الليلة إلى بيت المقدس قال أو قال ذلك قالوا نعم قال لئن كان قال ذلك لقد صدق قالوا أو تصدقه أنه ذهب الليلة إلى بيت المقدس وجاء قبل أن يصبح قال نعم أني لأصدقه فيما هو أبعد من ذلك أصدقه بخبر السماء في غدوة أو روحة فلذلك سمي أبو بكر الصديق

Ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Isra (perjalanan malam) menuju Masjidil Aqsha, paginya beliau menceritakan hal itu kepada manusia dan manusia mengingkarinya. Sedangkan bagi yang mempercayainya, membenarkannya, dan mendengarkan hal itu, mereka mendatangi Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu. Mereka mengatakan: “Apakah kau dengar sahabatmu bahwa dia menyangka melakukan perjalanan malam hari menuju Baitul Maqdis?” Beliau (Abu Bakar) menjawab: “Dia mengatakan demikian?” Mereka menjawab: “Ya.” Abu Bakar berkata: “Jika benar dia berkata demikian maka dia telah benar (shadaqa).” Mereka mengatakan: “Apakah kau membenarkan bahwa dia pergi pada malam hari ke Baitul Maqdis dan sudah pulang sebelum subuh?” Abu Bakar menjawab: “Ya, saya membenarkannya walau pun dalam jarak yang lebih jauh dari itu.” Beliau membenarkan berita dari langit baik pada pagi atau malam, oleh karena itu dia dinamakan Abu Bakar Ash Shiddiq.

(HR. Al Hakim, Al Mustadrak No. 4407, Imam Al Hakim mengatakan: sanadnya shahih tetapi Bukhari – Muslim tidak meriwayatkannya. Imam Adz Dzahabi menyepakati keshahihan hadits ini. Abu Nu’aim, Ma’rifatush Shahabah No. 69. Syaikh Al Albani menyatakan shahih dalam As Silsilah Ash Shahihah, 1/615, No. 603)

3⃣ Keagungan dan keistimeaan ibadah shalat

Shalat adalah ibadah yang diperintahkan ketika Rasulullah di langit, sementara ibadah lain diperintahkan ketika Rasulillah di bumi. Shalat merupakan “mi’raj”-nya orang-orang mukmin di dunia. Shalat merupakan tiangnya agama, dan para sahabat nabi memandang pembeda antara kekafiran dan keislaman seseorang adalah shalat.

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

فُرِضَتْ عَلَى النّبِيّ صلى الله عليه وسلم لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ الصَلوَاتُ خَمْسِينَ، ثُمّ نُقِصَتْ حَتّى جُعِلَتْ خَمْساً، ثُمّ نُودِيَ: يا محمدُ: إِنّهُ لاَ يُبَدّلُ الْقَوْلُ لَدَيّ وَإِنّ لَكِ بِهَذِهِ الْخَمْسِ خَمْسينَ

“Telah difardhukan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat pada malam beliau diisra`kan 50 shalat. Kemudian dikurangi hingga tinggal 5 shalat saja. Lalu diserukan, “Wahai Muhammad, perkataan itu tidak akan tergantikan. Dan dengan lima shalat ini sama bagi mu dengan 50 kali shalat.”

(HR. At Tirmidzi No. 213, katanya: hasan shahih gharib. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 213)

4⃣ Kemuliaan Masjidul Haram dan Masjidul Aqsha

Keduanya dianjurkan untuk diziarahi, juga Masjid Nabawi. Keduanya adalah kiblat umat Islam; pertama adalah Al Aqsha, lalu dipindahkan ke Al Haram. Shalat di keduanya memiliki kelipatan yang sangat banyak dibanding masjid lain.

Demikian. Wallahu a’lam

🍃🌾🌻🌴🌺☘🌷🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top