Hukum Melepas Jilbab Karena Pekerjaan

▪▫▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Ust .. ada kawan saya, dia berjilbab, tapi dikantor melepas jilbabnya karena dilarang oleh kantornya, krn dia takut dipecat maka dia membukanya .. itu gimana ya, apa ada saran? Syukran

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim ..

Kewajiban menutup aurat bagi wanita, dari kepala sampai kakinya, kecuali bagian yang dikecualikan, telah diketahui bersama berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’. Ini adalah kewajiban yg tidak ada perselisihan lagi, kecuali oleh sebagian syubhat yang dilemparkan pemuka-pemuka liberal.

Syaikh Ali Jum’ah Hafizhahullah mengatakan:

و قد اجمعة الأمة الإسلامية سلفا و خلفا على وجوب الحجاب و هذا من المعلوم من الدين بالضرورة. والحجاب لا يعد من قبيل العلامات التي تميز المسلمين عن غيرهم، بل هو من قبيل الفرض الازم الذي هو جزء من الدين

Umat Islam baik salaf dan khalaf telah ijma’ (aklamasi) tentang Kewajiban berhijab. Ini adalah perkara yang telah diketahui secara pasti dalam agama ini. Hijab tidaklah dianggap semata-mata sebagai bentuk ciri khas kaum muslimin dari kaum lainnya saja. Tapi, itu adalah bentuk perintah yg wajib dan merupakan bagian kewajiban dari agama.

(Al Kalim Ath Thayyib Fatawa ‘Ashriyah, 1/464)

Maka, tidak dibenarkan bagi seorang muslimah yang sudah baligh melepas hijabnya saat keluar rumah hanya karena mentaati perintah kantor. Tidak ada kondisi darurat apa pun yang dihadapinya untuk melepas hijabnya.

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

Tidak ada ketaatan dalam maksiat, sesungguhnya ketaatan itu dalam hal yang baik saja.

(HR. Bukhari no. 7257)

Maka, sebaiknya dia lebih mementalingkan akhirat yang abadi dan ridha Allah, dibanding dunia yang fana dan tidak seberapa. Carilah pekerjaan lain yang memberikan keleluasaan bagi muslimah untuk tetap menjalankan kewajiban agamanya.

Syaikh Ali Jum’ah Hafizhahullah juga mengatakan:

فانه لا يجوز لهذه الأخت أن تخلع حجابها لأن لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق و هي ليست مضطرة إذ يمكنها العمل في محل آخر وسوف يفتح الله عيلها ابواب الرزق ان شاء الله

Tidak dibolehkan bagi saudari ini melepaskan hijabnya, karena perintah untuk melepaskan hijab adalah mentaati makhluk dalam maksiat kepada khaliq (Allah Ta’ala). Dia juga tidak dalam keadaan bahaya. Jika memungkinkan, lebih baik dia kerja di tempat lain. Semoga Allah Ta’ala membukakan pintu-pintu rezeki baginya, Insya Allah.

(Ibid, 1/464)

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Menunda Shalat Sampai Berakhir Waktunya Karena ‘Udzur Syar’iy

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum wr wb Ustadz..Ana bekerja di RS di bagian bedah. Suatu saat ana pernah melakukan tindakan operasi setelah waktu Dhuhur yg diperkirakan lama operasinya hanya 2-3 jam. Tapi karena adanya penyulit, ternyata operasinya memanjang sampai 5-6 jam hingga memasuki waktu maghrib. Bagaimana seharusnya yg ana lalukan, bolehkah sholat Ashar dilaksanakan di waktu sholat maghrib ? Sementara utk meninggalkan pasien utk sholat Ashar tidak memungkinkan dan kita belum menjamak dengan Dhuhur karena perkiraan operasinya tidak sampai waktu maghrib. Mohon penjelasannya Ustadz. Jazakumullahu khairan katsiir..🙏🏼 (Wahyu, Bondowoso)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim ..

Menunda shalat secara sadar, jika tanpa ‘udzur syar’iy, adalah diharamkan.

Allah Ta’ala berfirman:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang saahuun (lalai) terhadap shalatnya.

(QS. Al-Ma’un, Ayat 4-5)

Allah Ta’ala mengecam orang yang lalai dari shalatnya, siapakah mereka? Sebagian mufassir salaf, menjelaskan mereka adalah orang yang melalukan shalat sampai habis waktunya, secara sengaja tanpa ada uzur syar’iy.

Imam Ibnu Jarir Rahimahullah mengatakan:

عني بذلك أنهم يؤخرونها عن وقتها، فلا يصلونها إلا بعد خروج وقتها

Maknanya, bahwa mereka mengakhirkan shalat dari waktunya, mereka tidaklah shalat kecuali setelah keluar dari waktunya. (Tafsir Ath Thabariy, 10/8786)

Imam Ibnu Jarir mengumpulkan berbagai penjelasan generasi awal mufassir seperti Ibnu Abbas, Ibnu Abza, Sa’ad, Masruq, Abu Adh Dhuha, dan Muslim bin Shabih, yang menyebut bahwa maksud saahuun adalah mereka yg shalat setelah habis waktunya. (Ibid, 10/8786-8787)

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan:

واتفقوا أن الصلاة لا تسقط ولا يحل تأخيرها عمدا عن وقتها

Para ulama sepakat bahwa shalat tidaklah gugur, dan tidak halal, menundanya secara sengaja sampai keluar waktunya. (Maratibul Ijma’, Hal. 25)

Dalam Al Mausu’ah:

اتفق الفقهاء على تحريم تأخير الصلاة حتى يخرج وقتها بلا عذر شرعي

Para fuqaha sepakat haramnya menunda shalat sampai habis waktunya tanpa uzur syar’iy. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/8)

Lalu, bagaimana jika ada uzur syar’iy? Para ulama menyebut ‘udzur syar’iy tersebut adalah lupa dan tertidur. Ini tidak masalah, dan wajib atasnya qadha.

Namun, jika kasusnya adalah karena adanya aktifitas yang sangat penting dan genting, yang jika ditinggalkan sangat berbahaya bagi dirinya atau nyawa orang lain, seperti yang tertera dalam pertanyaan ?

Imam Al ‘Izz bin Abdissalam Rahimahullah dalam Qawaid Al Ahkam Beliau berkata tentang mendahukan penyelamatan nyawa dibanding shalat:

تقديم إنقاذ الغرقى المعصومين على أداء الصلاة لأن إنقاذ الغرقى المعصومين عند الله أفضل من أداء الصلاة، والجمع بين المصلحتين ممكن بأن ينقذ الغريق ثم يقضي الصلاة

Mendahulukan upaya penyelamatan orang yang tenggelam dibanding shalat, karena upaya penyelamatan orang yang tenggelam di sisi Allah lebih utama dibanding shalat. Dia memungkinkan dapat dua maslahat, yaitu menyelamatkan nyawa dan bisa mengqadha shalatnya. (Qawa’id Al Ahkam fi Mashalihil Anam, 1/66)

Demikian. Apa yang dialaminya dimaafkan oleh syariat, dan wajib baginya qadha setelah selesai kesulitan yang dia alami.

Wallahu A’lam

Wa Shalallahu’Ala Nabiyyina Muhammadin wa’ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Gampang Mengkafirkan Sesama Muslim

▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

assamulkm..saya ardiansyah dari bima ntb..di tempat tinggal saya bnyak ikhwan2 yg suka mengkafirkan sesama muslim..bagai mana cara saya untk menanggapinya?? trimah kasih

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Bismilahirrahmanirrahim ..

Mudah mengkafirkan sesama muslim, tanpa bukti, tanpa dalil, adalah sangat terlarang. Sebab itu kebohongan atas nama Allah ﷻ dan atas nama kaum muslimin. Dia katakan kafir, padahal belum tentu di sisi Allah ﷻ dia telah kafir. Bahaya mengkafirkan tanpa bukti adalah bisa-bisa kekafiran itu kembali kepada si penuduh.
Ibnu Umar Radhiallahu Anhuma berkata, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ

Siapa pun yang berkata kepada saudaranya: “Wahai Kafir, maka kekafiran itu akan yang kembali kepada salah satu dari mereka berdua, itu jika memang dia seperti dikatakannya, tapi kalau tidak, maka itu kembali kepada si pengucapnya.” (HR. Muslim no. 60)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

لا يجوز التساهل في تكفير المسلم أو تفسيقه ؛ لما في ذلك من الافتراء على الله ، والافتراء على عباده المسلمين ، ولا يجوز تكفير المسلم أو تفسيقه إلا إذا جاء بما يوجب ذلك قولا أو فعلا بدلالة الكتاب والسنة .
وكذا لا يجوز تكفيره أو تفسيقه ، إلا بعد استيفاء شروط التكفير أو التفسيق ، وانتفاء موانعه .
ومن الشروط : أن يكون عالماً بمخالفته التي أوجبت أن يكون كافراً أو فاسقاً .
ومن الموانع : أن يكون متأولا ، أو عنده بعض الشُّبَه التي يظنها أدلة ، أو كان بحيث لا يستطيع فهم الحجة الشرعية على وجهها ، فالتكفير لا يكون إلا بتحقق تعمد المخالفة وارتفاع الجهالة

Tidak boleh bermudah-mudah dalam mengkafirkan seorang Muslim atau menuduh fasiq, karena hal itu mengandung kedustaan atas nama Allah dan atas hamba-hambaNya kaum muslimin.

Tidak boleh mengkafirkan atau memfasikkan kecuali jika ada hal yang menunjukkan itu baik berupa perkataan atau perbuatan menurut Al Qur’an dan As Sunnah.

Tidak boleh pula mengkafirkan dan memfasikkan kecuali setelah terpenuhinya syarat-syarat kekafiran dan kefasikkan, dan tidak ada penghalangnya.

Di antara syaratnya adalah dia mengetahui perbuatan yang menyelisihi syariat yang membawa kekafiran atau kefasikan.

Di antara penghalangnya adalah dia melakukan itu karena mentakwil, atau menurutnya masih ada dalil yg samar dalam persangkaannya, atau dia tidak mampu memahami hujjah syar’iy, maka pengkafiran tidaklah terjadi kecuali dengan adanya kesengajaan menyelisihi syariat dan hilangnya kebodohan.

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 220526)

Maksudnya, jika kesalahan dalam pemahaman yang berakibat pada murtad dilakukan oleh orang yg bodoh, atau dia memiliki tafsir atau takwil lain terhadap masalah itu, maka dia tidak dikatakan Kafir.

Demikian. Wallahu a’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ala aalihi wa shahbihi wa sallam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Tangisan Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu

Imam An Nawawi Rahimahullah menuliskan:

وعن عمر بن الخطاب رضي الله عنه أنه صلى بالجماعة الصبح فقرأ سورة يوسف فبكى حتى سالت دموعه على ترقوته وفي رواية أنه كان في صلاة العشاء فتدل على تكريره منه وفي رواية أنه بكى حتى سمعوا بكاءه من وراء الصفوف

Dari Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Beliau shalat subuh berjamaah, Beliau menangis saat membaca surat Yusuf sampai mengalir air matanya ke tulang dadanya. Dalam riwayat lain, pada saat shalat Isya hal itu terjadi berulang-ulang. Dalam riwayat lain, bahwa Beliau menangis sampai tangisannya terdengar oleh jamaah di shaf belakang. 1]

Suatu malam Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu, berkunjung ke rumah Abu Darda Radhiallahu ‘Anhu, terjadi dialog di antara mereka:

فَقَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَتَذْكُرُ حَدِيثًا حَدَّثَنَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: أَيُّ حَدِيثٍ؟ قَالَ: «لِيَكُنْ بَلَاغُ أَحَدِكُمْ مِنَ الدُّنْيَا كَزَادِ الرَّاكِبِ» قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَمَاذَا فَعَلْنَا بَعْدَهُ يَا عُمَرُ؟ قَالَ: فَمَا زَالَا يَتَجَاوَبَانِ بِالْبُكَاءِ حَتَّى أَضْحَيَا “

Abu Darda berkata: “Apakah kau ingat sebuah hadits yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ kepada kita?”
Umar bertanya: “Hadits yang mana?”
Abu Darda berkata: “Hendaknya bekal kalian di dunia seperti bekal seorang penunggang (musafir).”
Umar menjawab: “Ya.”
Abu Darda berkata: “Sekarang, apa yang kita lakukan setelah Rasulullah wafat wahai Umar?”
Maka, mereka berdua menangis sampai pagi hari. 2]


🍃🍃🍃🍃🍃

[1] Imam An Nawawi, At Tibyan fi Adab Hamalah Al Quran, Hal. 87)

[2] Abu Zaid Umar bin Syubbah, Tarikh Al Madinah, 3/835

🍃🌸🌾🌻🌴🌺☘🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top