Hukum Rebo Wekasan

Bismillahirrahmanirrahim ..

Tentang Rebo Wekasan. Tidak ada dasar yang Shahih dan Hasan anjuran berpuasa, shalat khusus, saat itu, walau berpuasa adalah perbuatan positif, tapi keyakinan yg mengiringinya bukan berasal dari Islam. Tidak pada Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’, dan imam empat madzhab. Ada hadits dhaif yg menjelaskan bahwa Rabu akhir safar itu hari sial.

Apa itu Rabu Wekasan dan bagaimana hukumnya?

JAWABAN

Rabu Wekasan (Jawa: Rebo Wekasan) adalah tradisi ritual yang dilaksanakan pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, guna memohon perlindungan kepada Allah Swt dari berbagai macam malapetaka yang akan terjadi pada hari tersebut. Tradisi ini sudah berlangsung secara turun-temurun di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Madura, dll.

Bentuk ritual Rebo Wekasan meliputi empat hal; (1) shalat tolak bala’; (2) berdoa dengan doa-doa khusus; (3) minum air jimat; dan (4) selamatan, sedekah, silaturrahin, dan berbuat baik kepada sesama.

Asal-usul tradisi ini bermula dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi (w.1151 H) dalam kitab “Fathul Malik Al-Majid Al-Mu-Allaf Li Naf’il ‘Abid Wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid (biasa disebut: Mujarrobat ad-Dairobi). Anjuran serupa juga terdapat pada kitab: ”Al-Jawahir Al-Khams” karya Syeikh Muhammad bin Khathiruddin Al-‘Atthar (w. th 970 H), Hasyiyah As-Sittin, dan sebagainya.

Dalam kitab-kitab tersebut disebutkan bahwa salah seorang Waliyullah yang telah mencapai maqam kasyaf (kedudukan tinggi dan sulit dimengerti orang lain) mengatakan bahwa dalam setiap tahun pada Rabu terakhir Bulan Shafar, Allah Swt menurunkan 320.000 (tiga ratus dua puluh ribu) macam bala’ dalam satu malam. Oleh karena itu, beliau menyarankan Umat Islam untuk shalat dan berdoa memohon agar dihindarkan dari bala’ tsb. Tata-caranya adalah shalat 4 Rakaat. Setiap rakaat membaca surat al Fatihah dan Surat Al-Kautsar 17 kali, Al-Ikhlas 5 kali, Al-Falaq dan An-Nas 1 kali. Kemudian setelah salam membaca doa khusus yang dibaca sebanyak 3 kali. Waktunya dilakukan pada pagi hari (waktu Dhuha).

PANDANGAN ISLAM

Untuk menyikapi masalah ini, kita perlu meninjau dari berbagai sudut pandang.

Pertama, rekomendasi sebagian ulama sufi (waliyullah) tersebut didasari pada ilham. Ilham adalah bisikan hati yang datangnya dari Allah (semacam “inspirasi” bagi masyarakat umum). Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh, ilham tidak dapat menjadi dasar hukum. Ilham tidak bisa melahirkan hukum wajib, sunnah, makruh, mubah, atau haram.

Kedua, ilham yang diterima para ulama tersebut tidak dalam rangka menghukumi melainkan hanya informasi dari “alam ghaib”. Jadi, anjuran beliau-beliau tidak mengikat karena tidak berkaitan dengan hukum Syariat.

Ketiga, ilham yang diterima seorang wali tidak boleh diamalkan oleh orang lain (apalagi orang awam) sebelum dicocokkan dengan al-Qur’an dan Hadits. Jika sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits, maka ilham tersebut dapat dipastikan kebenarannya. Jika bertentangan, maka ilham tersebut harus ditinggalkan.

Memang ada hadits dla’if yang menerangkan tentang Rabu terakhir di Bulan Shafar, yaitu:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي..

“Dari Ibn Abbas ra, Nabi Saw bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya naas yang terus-menerus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam at-Tafsir, dan al-Khathib al-Baghdadi. (dikutip dari Al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).

Selain dla’if, hadits ini juga tidak berkaitan dengan hukum (wajib, halal, haram, dll), melainkan hanya bersifat peringatan (at-targhib wat-tarhib).

HUKUM MEYAKINI

Hukum meyakini datangnya malapetaka di akhir Bulan Shafar, sudah dijelaskan oleh hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم

“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Menurut al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, hadits ini merupakan respon Nabi Saw terhadap tradisi yang brekembang di masa Jahiliyah. Ibnu Rajab menulis: “Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial pada bulan Shafar. Maka Nabi SAW membatalkan hal tersebut. Pendapat ini disampaikan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial pada bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini pertanda buruk) yang dilarang.” (Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).

Hadis ini secara implisit juga menegaskan bahwa Bulan Shafar sama seperti bulan-bulan lainnya. Bulan tidak memiliki kehendak sendiri. Ia berjalan sesuai dengan kehendak Allah Swt.

Muktamar NU ke-3 juga pernah menjawab tentang hukum berkeyakinan terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau hari keempat pada tiap-tiap bulan. Para Muktamirin mengutip pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam Al-Fatawa al-Haditsiyah sbb: “Barangsiapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti, bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Pencipta. Apa yang dikutip tentang hari-hari naas dari sahabat Ali kw. adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu” (Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54).

HUKUM SHALAT

Shalat Rebo Wekasan (sebagaimana anjuran sebagian ulama di atas), jika niatnya adalah shalat Rebo Wekasan secara khusus, maka hukumnya tidak boleh, karena Syariat Islam tidak pernah mengenal shalat bernama “Rebo Wekasan”. Tapi jika niatnya adalah shalat sunnah mutlaq atau shalat hajat, maka hukumnya boleh-boleh saja. Shalat sunnah mutlaq adalah shalat yang tidak dibatasi waktu, tidak dibatasi sebab, dan bilangannya tidak terbatas. Shalat hajat adalah shalat yang dilaksanakan saat kita memiliki keinginan (hajat) tertentu, termasuk hajat li daf’il makhuf (menolak hal-hal yang dikhawatirkan).

Syeikh Abdul Hamid Muhammad Ali Qudus (imam masjidil haram) dalam kitab Kanzun Najah Was Surur halaman 33 menulis: “Syeikh Zainuddin murid Imam Ibnu Hajar Al-Makki berkata dalam kitab “Irsyadul Ibad”, demikian juga para ulama madzhab lain, mengatakan: Termasuk bid’ah tercela yang pelakunya dianggap berdosa dan penguasa wajib melarang pelakunya, yaitu Shalat Ragha’ib 12 rakaat yang dilaksanakan antara Maghrib dan Isya’ pada malam Jum’at pertama bulan Rajab…….. Kami (Syeikh Abdul Hamid) berpendapat : Sama dengan shalat tersebut (termasuk bid’ah tercela) yaitu Shalat Bulan Shafar. Seseorang yang akan shalat pada salah satu waktu tersebut, berniatlah melakukan shalat sunnat mutlaq secara sendiri-sendiri tanpa ada ketentuan bilangan, yakni tidak terkait dengan waktu, sebab, atau hitungan rakaat.”

Keputusan musyawarah NU Jawa Tengah tahun 1978 di Magelang juga menegaskan bahwa shalat khusus Rebo Wekasan hukumnya haram, kecuali jika diniati shalat sunnah muthlaqah atau niat shalat hajat. Kemudian Muktamar NU ke-25 di Surabaya (Tanggal 20-25 Desember 1971 M) juga melarang shalat yang tidak ada dasar hukumnya, kecuali diniati shalat mutlaq. (Referensi: Tuhfah al-Muhtaj Juz VII, Hal 317).

HUKUM BERDOA

Berdoa untuk menolak-balak (malapetaka) pada hari Rabu Wekasan hukumnya boleh, tapi harus diniati berdoa memohon perlindungan dari malapetaka secara umum (tidak hanya malapetaka Rabu Wekasan saja). Al-Hafidz Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali menyatakan: “Meneliti sebab-sebab bencana seperti melihat perbintangan dan semacamnya merupakan thiyarah yang terlarang. Karena orang-orang yang meneliti biasanya tidak menyibukkan diri dengan amal-amal baik sebagai
penolak balak, melainkan justru memerintahkan agar tidak keluar rumah dan tidak bekerja. Padahal itu jelas tidak mencegah terjadinya keputusan dan ketentuan Allah. Ada lagi yang menyibukkan diri dengan perbuatan maksiat, padahal itu dapat mendorong terjadinya malapetaka. Syari’at mengajarkan agar (kita) tidak perlu meneliti melainkan menyibukkan diri dengan amal-amal yang dapat menolak balak, seperti berdoa, berzikir, bersedekah, dan bertawakal kepada Allah Swt serta beriman pada qadla’ dan qadar-Nya.” (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, hal. 143).

Wallahu a’lam

Adab Left Grup

💢💢💢💢💢💢

Dari Abu Burdah, katanya:

دَخَلْت مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ فَإِذَا عَبْدُ اللهِ بْنُ سَلاَمٍ ، فَسَلَّمْت ثُمَّ جَلَسْت ، فَقَالَ : يَا ابْنَ أَخِي ، إنَّك جَلَسْت وَنَحْنُ نُرِيدُ الْقِيَامَ

Aku masuk ke Masjid Madinah, ada Abdullah bin Salam, lalu aku mengucapkan salam kemudia aku duduk. Dia berkata: “Wahai Anak saudaraku, kamu duduk sedangkan kami hendak berdiri.”

📚 Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 26178

Dari Musa bin Nafi’, dia berkata:

قَعَدْتُ إِلَى سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَقُومَ، قَالَ: ” أَتَأْذَنُونَ؟ إِنَّكُمْ جَلَسْتُمْ إِلَيَّ “

Aku duduk bersama Sa’id bin Jubair, ketika Beliau hendak berdiri, Beliau berkata : “Apakah kamu mengizinkan ? Sesungguhnya kamu telah bermajelis (duduk) bersamaku.”

📚 Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah, No. 26184

🌾🌾🌾🌾🌾🌾

Di antara adab bermajelis atau berkumpul adalah izin atau pamit kepada manusia yang semajelis dengannya. Ini merupakan hiasan akhlak bagi seorang muslim.

Sebagaimana datang mengucapkan salam atau izin, meninggalkannya juga demikian. Bermajelis di zaman modern bukan hanya di sebuah tempat, ruangan, masjid, dan semisalnya, tetapi juga di dunia maya, di antaranya grup Whatsapp, Telegram, dll. Hal ini penting, bukan hanya menunjukkan bagusnya perilaku, tapi juga meminimalisir zhan yang tidak baik bagi rekan-rekan sekumpulannya, dan terputusnya silaturrahim.

Namun, diakui bahwa kadang left grup terjadi secara tidak sengaja dan tidak diduga oleh pemiliknya, baik karena; hp error, dimainkan anak, dsb.

Wallahu A’lam

🌺🌾🌸🌿🍃🌾🌴🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

Tanya Soal Sholat Arbain dan Thawaf Ifadah

📌📌📌📌📌

📨 PERTANYAAN:

Yuni Tjahyono:
Ustadz apakah sholat arbain di madinah mrpkn sunah haji ? Lalu bagaimana hukum wanita haid pada saat wukuf di arofah apakah hajinya sah?

Apakah thowaf iffadoh termsk rukun haji ? Terkait wanita yg sdg haid bgmn pelaksanaannya ?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃

📌 Riwayat ttg shalat arbain (40 waktu) di masjid nabawi, sehingga orang berdiam 8 hari di sana, dengan tujuan bebas dari api neraka dan kemunafikan, haditsnya ada tapi dhaif. Sehingga sebagai dasar ibadah tidak bisa dijadikan hujjah.

Ada pun jika shalat arbain yg dimaksud adalah 40 hari berjamaah sejak takbir pertama, di masjid mana pun, maka bebas dari api neraka dan kenunafikan, ini ada haditsnya dan juga dinilai tsiqah dan shahih oleh sbagian ulama.

📌 Wukuf walau haid tetap sah, mnurut ksepakatan ulama. Dan juga tidak kena dam.

📌 Thawaf Ifadah itu rukun, kalo tidak thawaf ifadhah haji tidak sah, dan mesti dalam keadaan suci.

Adapun wanita haid, dan dia tidak bisa menghindari haid, itu merupakan masyaqqat/kesempitan yang membuatnya dharurat, tidak mengapa dia thawaf. Sebagaimana difatwakan sebagian ulama. Ada pun kalau menunggu suci, khawatir tertinggal rombongan hajinya dan masalah teknis lainnya.

Wallahu a’lam

🍃🌾🌸🌻🌴☘🌷🌺

✏ Farid Nu’man Hasan

Khatib Jumat Menyebut Nama Nabi Shalallahu’Alaihi Sallam, Bolehkah Jamaah Bershalawat?

▪▫▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’laikum warohmatullohi wababarokatu
Ustad.. disaat kutbah jum’at khotib menyebut rosululloh muhammad SAW…
Apakah jama’ah mengucap SAW/tidak …jazakaullohukhoiron (+62 812-2566-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bershalawat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam tetap sunnah, saat disebut nama Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam, walau disaat khutbah Jum’at.

Imam Al Bujairimiy Rahimahullah mengatakan:

ووجب رد السلام، وسن تشميت العاطس ورفع الصوت بالصلاة على النبي – صلى الله عليه وسلم – عند قراءة الخطيب {إن الله وملائكته يصلون على النبي} [الأحزاب: ٥٦]

Wajib menjawab salam, sunah mendoakan org bersin, dan meninggikan suara bershalawat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam disaat khatib membaca: _Innallaha wa malaaikatahu yushalluuna ‘alan nabiy

(Hasyiyah Al Bujairimiy ‘alal Khathib, 2/202)

Syaikh Abdurrahman Ba’alawiy Rahimahullah mengatakan:

ينبغى لسامع الصلاة علي النبي أو الترضي عن الصحابة حال الخطبة أن يصلي على النبي و يترضى عنهم فهو افضل من الانصات

Seyogyanya seorang yg mendengar khutbah dia shalawat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam dan taradhi (mengucapkan Radhiallahu ‘Anhum), kepada para sahabat. Itu lebih utama dibanding diam.

(Bughyah Al Mustarsyidin, Hal. 137)

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan:

وفرض على كل من حضر الجمعة – سمع الخطبة أو لم يسمع – أن لا يتكلم مدة خطبة الإمام بشيء ألبتة، إلا التسليم إن دخل حينئذ، ورد السلام على من سلم ممن دخل حينئذ، وحمد الله تعالى إن عطس، وتشميت العاطس إن حمد الله، والرد على المشمت، والصلاة على النبي – صلى الله عليه وسلم – إذا أمر الخطيب بالصلاة عليه، والتأمين على دعائه

Wajib bagi yg menghadiri shalat Jumat baik bagi yg mendengar khutbah atau tidak kedengaran, utk tidak berbicara sepanjang khutbah berlangsung, kecuali mengucapkan salam bagi yg baru masuk, menjawab salam org tersebut, mengucapkan hamdalah bagi yang bersin, tasymit (yarhamukallah) untuk org yg bersin tersebut, bershalawat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi Sallam ketika khatib memerintahkan itu, dan mengaminkan doa khatib.

(Al Muhalla, 3/269)

Demikian. Wallahu a’lam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

scroll to top